Anda di halaman 1dari 16

MALPRAKTEK MEDIS

A. DEFINISI MALAPRAKTIK

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V, malapraktik

adalah praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau

kode etik.1 Menurut Stamm et, all (2016) Malpraktek medis adalah bentuk hukum,

kesalahan sipil yang tidak muncul dari kontrak. Malpraktek umumnya sejalan

dengan kelalaian, bentuk hukum yang memberikan solusi perdata untuk dugaan

tindakan kelalaian yang mengakibatkan cedera pada sesorang. Penggugat dalam

gugatan umumnya menuntut kerugian finansial, kompensasi dari terdakwa dan

hukuman untuk terdakwa.2

Menurut W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh

Dagi, T.F dalam tulisannya yang berjudul Cause and Culpability di Journal of

Medicine and Philosophy Vol. 1, No. 4, 1976, unsur malapraktik adalah (1)

Adanya perjanjian dokter-pasien; (2) Adanya pengingkaran perjanjian; (3)

Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan musibah

yang terjadi; (4) Tindakan pengingkaran itu merupakan penyebab utama dari

musibah dan; (5) Musibah itu dapat dibuktikan keberadaannya.3

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu :3

1. Duty to use due care (kewajiban)

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini

berarti harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/ rumah sakit.

Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap


tindak dokter (atau tenaga medis lainnya) di rumah sakit tersebut harus sesuai

dengan standar pelayanan medisagar pasien jangan sampai menderita cedera

karenanya.

Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah

bertindak berdasarkan adanya indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan

teliti, bekerja sesuai standar profesi serta sudah ada informed consent.

Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek

Kedokteran No. 29 tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik

Kedokteran, yang menyebutkan pada bagian kesatu pasal 36, 37 dan 38

bahwa seorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan bagian kedua

tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43.

Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1)

menyebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus diberi penjelasan

yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter.

Selain itu, ketika dia menjalankan praktik kedokteran wajib untuk

membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek

kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien

selesai menerima pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan

tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.


Misalnya dalam melakukan sunatan massal perlu melakukan anamnesis

dengan lengkap, menyiapkan alat untuk menghentikan perdarahan seperti

klem, jarum, benang untuk mencegah terjadinya perdarahan.

2. Dereliction (breachof duty/adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas)

Apabila sudah ada kewajiban, maka dokter (atau tenaga medis lainnya)

di rumah sakit tersebut harus bertindak sesuai standar profesi yang berlaku.

Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut, maka ia dapat

dipersalahkan. Misalnya dalam melakukan sunatan massal, anamnesis tidak

lengkap, tidak disinfeksi alat (tidak melakukan kewajiban dengan benar).

3. Damage (injury/kerugian)

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah cedera atau

kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter atau

rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan

luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak

dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah injury tidak saja dalam bentuk fisik,

namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat.

Misalnya dalam melakukan sunatan massal, perdarahan dan infeksi

4. Direct Causation (Proximate Cause/penyebab langsung )

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktik

medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak

tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang diderita oleh pasien

sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung.

Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cukup untuk mengajukan


tuntutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangannya itu sedemikian

tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien

tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara adekuat, maka hanya atas dasar

suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat

untuk meminta pertanggungjawaban hukumnya.

Meskipun demikian, pada kenyataannya tidak semua sengketa medik yang

memenuhi unsur 4-D berakhir dengan proses peradilan. Hal ini terjadi akibat

adanya unsur kelima kelalaian; yaitu willing plaintiff (keinginan menggugat).3

B. JENIS-JENIS MALPRAKTEK MEDIS

Malpraktek dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika

dan malpraktek yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum:4

1. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan

yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang

dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan

atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktek ini merupakan dampak negatif

dari kemajuan teknologi, yang bertujuan memberikan kemudahan dan

kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan

diagnosa dengan cepat, lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien

bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.

Contoh konkritnya adalah di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan


bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium

memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan

pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah

tersebut.

Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu

digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan yang

dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan indikasi

medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati,

mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu

kehidupan pasien. Yang terakhir adalah, mempertimbangkan hal-hal kontekstual

yang terkait dengansituasi kondisi pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi,

hukum, budaya, dan sebagainya.

2. Malpraktek Yuridik

Dalam malpraktek yuridik ini Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga

bentuk, yaitu:

a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan

tidak terpenuhinya isi perjanjian di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau

tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum sehingga

menimbulkan kerugian kepada pasien.

Pada civil malpractice, tanggung gugat bersifat individual atau korporasi.

Selain itu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious

liability. Dengan prinsip ini, maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan dokternya, asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan

dokter dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.

b. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami

cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang

cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal

dunia atau cacat tersebut.

c. Malpraktek Administratif (administrative Malpractice)

Malpraktek administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain

melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,

misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin praktek, melakukan tindakan

yang tidak sesuai dengan izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah

kedaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

C. BENTUK – BENTUK MALPRAKTIK MEDIS

Malpraktik media dibagi berdasarkan kejadiannya antara lain:

1. Neglicence

Neglicence adalah tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau

melalaikan kewajiban. Neglicence adalah teori hukum umum yang berperan

ketika menilai siapa yang bersalah dalam kasus gugatan.

Neglicence terjadi ketika dokter, dokter gigi, perawat, ahli bedah atau

profesional medis lainnya melakukan pekerjaan mereka dengan cara yang

menyimpang dari standar perawatan medis yang diterima ini. Jika seorang dokter
memberikan perawatan yang di bawah standar dalam hal norma-norma medis

yang diterima dalam keadaan itu, maka dokter itu telah gagal untuk melakukan

tugasnya, dan dikatakan lalai. 5,6

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,

sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu :

a. Malfeasance; melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/

layak (unlaw atau improper). Misalnya melakukan tindakan medis tanpa

indikasi yang memadai.

b. Misfeasance; melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance). Misalnya

melakukan tindakan medis yang menyalahi prosedur.

c. Nonfeasance; tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban

baginya.

2. Lack Of Skill

Lack of skill adalah melakukan tindakan diluar kemampuan atau

kompetensi seorang dokter, kecuali pada situasi kondisi sangat darurat, seperti

melakukan pembedahan oleh bukan dokter, dan mengobati pasien diluar

spesialisasinya. Kompentensi kurang atau diluar kompetensi / kewenangan, Sering

menjadi penyebab eror, Sering dikaitkan dengan kompetensi institusi/ sarana,

Kadang dapat dibenarkan pada situasi kondisi lokal tertentu.7

3. Medical Misscunduct
Medical misconduct berarti bahwa seseorang dokter tahu bahwa cedera

kemungkinan disebabkan oleh tindakan dan, terlepas dari pengetahuannya,

bertindak dengan sadar mengabaikan keselamatan orang lain, dengan kata lain

terdapat unsur kesengajaan.7

D. Pencegahan Malpraktik Medis

Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa

saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran

tertentu yang berkompetensi dan mendapatkan izin dari institusi yang berwenang

dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh

organisasi profesinya.3

Untuk memastikan bahwa para dokter yang berpraktik adalah benar telah

memiliki kompetensi dan kewenangan medis dan yang sesuai dengan standar

medis dan etika profesi maka perlu adanya UU Praktik Kedokteran. UU Praktik

Kedokteran dimaksudkan untuk mencapai akuntabilitas profesi dan layanan

kedokteran.3

Prof.Dr.dr Daldiyono mengatakan bahwa seharusnya yang diperlukan

adalah dokter yang bijak. Dalam filsafat kedokteran, dokter bijak diharapkan

memiliki criteria:3

1. Pendidikan kedokteran berkelanjutan

2. Praktik kedokteran bermutu dan beretika (manusiawi) (good clinical

practice)
3. Sistem dan cara pelayanan kesehatan bermutu serta beretika (good clinical

governance).

Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan

tindakan malpraktek maka dia akan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU No.

23 1992 tentang kesehatan. Dan UU Praktek kedokteran dalam BAB X Ketentuan

Pidana Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi “setiap dokter atau dokter gigi yang

dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda

registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00

(seratus juta rupiah)”. Sehubungan dengan hasil keputusan Mahkama Konstitusi

pasal tersebut telah mengalami revisi, dimana salah satu keputusan dari Mahkama

Konstitusi adalah ketentuan ancaman pidana penjara kurungan badan yang

tercantum dalam pasal 75, 76, 79, huruf a dan c dihapuskan. Namun mengenai

sanksi pidana denda tetap diberlakukan.3

E. PROSEDUR MENYELESAIKAN SENGKETA MEDIS

Keputusan untuk mengajukan tuntutan hukum telah diambil tidak saja

karena cidera yang dialami, tetapi juga karena ketidak-pekaan penanganan selama

perawatan, serta komunikasi yang buruk antara pasien dan dokter. Pada umumnya

pasien dan keluarganya mengajukan tuntutan ke pengadilan bukan saja karena

adanya cidera atau kerugian lain, tetapi juga karena adanya beberapa faktor lain,

di antaranya:8

1. Kurangnya keterbukaan dan kejujuran


2. Minimnya penjelasan dari pihak medis

3. Kurangnya komunikasi

Di Indonesia, penyelesaian kasus malpraktik medik mengacu pada

Pasal 66 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Pasal 66:

1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas

tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik

kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Idnonesia (MKDKI).

2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. Identitas pengadu

b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu

tindakan dilakukan, dan

c. Alasan pengaduan.

Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya

dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan / atau

menggugat kerugian perdata ke pengadilan..

Sesuai Pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang

merasa dirugikan akibat praktik kedokteran yang mereka anggap tidak tepat

dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI, yang merupakan jalur non-

litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien/ keluarga pasien yang

menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien tidak tertutup


kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, yaitu melalui jalur

perdata atau pidana. 8

Kewenangan MKDKI dalam menangani pengaduan masyarakat,

sesuai dengan Pasal 67 : “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang

berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.” 8

MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada

tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan

disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan

lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang dalam

menjalankan tugasnya bersifat independen.8

Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3) :

1. Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam

penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan

Disiplin Kedokteran Indonesia.

2. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan

lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.

3. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam

menjalankan tugasnya bersifat independen.

Untuk menjamin netralitas MKDKI, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-

Undang No.29 Tahun 2004 disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga)

orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-

masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah
skait, dan 3 (tiga) orang sarjana hokum. Sedangkan ayat (2) dalam pasal

yang sama menyebutkan persyaratan menjadi anggota MKDKI.

Pasal 59 ayat (1) dan (2):

1. Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) dokter gigi dari organisasi

profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi

mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum

2. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Republik Indonesia

b. Sehat jasmani dan rohani

c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia

d. Berkelakuan baik

e. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tingg

65 (enampuluh lima) tahun pada saat diangkat

f. Bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik

kedokteran paling sedikit (sepuluh) tahun dan memiliki surat

tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi

g. Bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bindang

hukum paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki

pengetahuan di bidang hukum kesehatan, dan

h. Cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi

serta memiliki reputasi yang baik.


Keputusan MKDKI merupakan sanksi disiplin dan bersifat mengikat,

sesuai dengan Pasal 69 ayat (1), (2), dan (3) Undang – Undang No. 29

Tahun 2004 :

1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.

2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.

3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud padat ayat (2) dapat berupa:

a. Pemberian peringatan tertulis,

b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin

praktik, dan/atau

c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi

pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Alur penanganan ketidakpuasan pasien

Gambar 1. Tahapan pemeriksaan disiplin penanganan kasus


Lembaga ADR adalah lembaga yang mencoba menawarkan

penyelesaian kepada pihak-pihak yang bertikai, antara pasien dengan dokter

atay dokter gigi. Penyelesaian ini menggunakan pendekatan kepentingan

(interest based) yang bersifat win-win solution, melalui konsiliasi, mediasi,

fasilitasi dan negosiasi, tanpa mengedepankan benar-salah (right based),

dilakukan di luar pengadilan, dengan atau tanpa kompensasi. Melalui

lembaga ADR ini dapat dilakukan upaya mencari jalan keluar atas

keputusannya, baik pihak dokter maupun pihak pasien. 8

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI

meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/

IDI atau Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia/ PDGI), sesuai Pasal 68:

“Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada

organisasi profesi.” 8

Perselisihan itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis Kehormatan

Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik

Kedokteran Gigi Indonesia (MKEKG) PDGI. MKEK dan MKEKG adalah

suatu badan pengadilan profesi, yang bertugas mengadili anggota ikatan

profesi itu sendiri. Hukuman yang dijatuhkan MKEK/MKEGK bisa berupa

teguran atau pemecatan dari keanggotaan IDI/PDGI yang dapat bersifat

sementara (skorsing) atau tetap/selamanya. 8


Apabila suatu kasus yang diduga malpraktik medik dilakukan oleh

masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan

supaya kasus itu langsung dibawa ke siding pengadilan untuk diperiksa.

Oleh karena Undang – Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada

disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan perdata atau pidana

diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert

witness testimonium) apabila diperlukan, sebagaimana lazimnya juga di luar

negeri.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016) Kamus Besar Bahasa


Indonseia (KBBI) edisi V. Jakarta; Balai Pustaka
2. Stamm, J. A., Korzick, K. A., Beech, K., & Wood, K. E. (2016). Medical
malpractice: reform for today's patients and clinicians. The American journal of
medicine, 129(1), 20-25.
3. Tim Penyusun. ROMAN’S Edisi 38. Banjarmasin: Bagian/SMF Forensik dan
Medikolegal FK ULM-RSYD Ulin. 2019.
4. Guwandi J. Pengantar ilmu hukum medik & bio-etika (Prinsip, Pedoman,
Pembuktian, dan contoh kasus). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2005.
5. Hannawa, A. F., Shigemoto, Y., & Little, T. D. (2016). Medical errors: Disclosure
styles, interpersonal forgiveness, and outcomes. Social Science & Medicine, 156, 29-
38.
6. Larson, Aaron, (2016). Negligence and Tort Law. ExpertLaw. Retrieved 22
September 2017.
7. Bryden D., Storey, (2011). Duty of care and medical negligence Continuing
Education in Anaesthesia Critical Care & Pain, Volume 11, Issue 4, Pages 124–127,
8. Yunanto A, Helmi. Hukum Pidana dan Malpraktek Medik. Yogyakarta: ANDI.
2013.

Anda mungkin juga menyukai