Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN CEREBROVASCULAR ACCIDENT


DI RUANG 27
RSU dr. SAIFUL ANWAR MALANG

PERIODE TANGGAL 14 Oktober 2019 – 20 Oktober 2019

Oleh:

NAMA : RIZKY SRI LESTARI


NIM : 172303101068

PRODI D3 KEPERAWATAN KAMPUS LUMAJANG


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN INI TELAH DISAHKAN PADA


TANGGAL ................................. 2019

MAHASISWA

RIZKY SRI LESTARI


NIM. 172303101068

MENGETAHUI,
PEMBIMBING KLINIK PEMBIMBING AKADEMI

....................................................... .......................................................
NIP. .............................................. NIP. ..............................................

KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Cerebrovascular accident/Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang adalah setiap
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan aatu terhentinya aliran darah
melalui sistem suplai arteri di otak. Stroke juga merupakan penyakit serebrovaskuler yang
menunjukan beberapa kelainan di otak baik secara fungsionnal maupun structural yang
disebabkan oleh beberapa keadaan patologis dari pembulu darah otak, yang disebabkan robekan
pembulu darah atau okulasi parsial/total yang bersifat sementara atau permanen (Indonesia,
2016)

Stroke didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi ketika sebagian sel – sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembulu darah di otak
(Nina, 2009)

B. Etiologi
Stroke biasanya diakibatkan dari salah satu kejadian di bawah ini diantaranya :
1. Trombus
Serebral Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehinnga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti
disekitarnya. (Muttaqin, 2008)
Beberapa keadaan di bawah ini yanga dapat menyebabkan trombus otak :
1. Aterosklerosis
2. Hiperkoagulasi pada polisitema
3. Arteritris ( radang pada arteri )
4. Emboli (Muttaqin, 2008)
2. Hemoragi
Perdarahan intracranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subaracnoid
atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan
hipertensi. Akibat pecahnya pembulu darah otak menyebabkan perembesan darah ke
dalam parenkim otak yang dapat menyebabkan penekanan, pergeseran dan pemisahan
jaringan otak yang berdekatan sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan,
sehingga menjadi infark otak, edema dan mungkin herniasi otak. (Muttaqin, 2008).
3. Iskemia Penurunan aliran darah ke area otak.
C. Patofisiologi dan Pathway
1. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu diotak. Luasnya infark
bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya
sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Sampai
darah keotak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli,
perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum ( hipoksia karena gangguan paru
dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat
berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran
darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008).
Trombus dan emboli di dalam pembuluh darah akan terlepas dan terbawa hingga
terperangkap dalam pembuluh darah distal, lalu menyebabkan pengurangan aliran darah yang
menuju ke otak sehingga sel otak akan mengalami kekurangan nurisi dan juga oksigen, sel otak
yang mengalami kekurangan oksigen dan glukosa akan menyebabkan asidosis lalu asidosis akan
mengakibatkan natrium, klorida, dan air masuk ke dalam sel otak dan kalium meninggalkan sel
otak sehingga terjadi edema setempat. Kemudian kalsium akan masuk dan memicu serangkaian
radikal bebas sehingga terjadi perusakan membran sel lalu mengkerut dan tubuh mengalami
defisit neurologis lalu mati (Esther, 2010).
Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena trombus atau emboli, maka mulai
terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan otak. Kekurangan oksigen dalam satu menit dapat
menunjukkan gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran. Sedangkan kekurangan
oksigen dalam waktu yang lebih lama menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron area
yang mengalami nekrosis disebut infark (Batticaca, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh
darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akaan lebih sering menyebabkan kematian
dibandingkan keseluruhan peyakit serebrovaskular, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi
massa otak, peninngkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herbiasi
otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum. (Muttaqin, 2008)

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang
otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah darah ke ventrikel otak
terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons. (Muttaqin,
2008)

2. Pathway
Peningkatan tekanan sistemik dan
Trombus/ Emboli diastolic

Peredaran darah otak terganggu Ruptur pembuluh darah serebral


Suplai darah ke jaringan Pendarahan
tidak adekuat
Hematom serebral
Iskemik / infark jaringan
Peningkatan TIK
Defisit neurologi
reversibel / irrevelsibel
Kesadaran menurun

Vasospasme arteri
serebral saraf sentral

Askemik/infark jaringan
otak, keluhan nyeri tekan

Defisit neurologi
reversibel / irrevelsibel

STROKE

Deficit Medulla Cerembelum Cerembrum


neurologis oblongata

Kehilangan Gangguan
control Menggagu keseimbangan Gangguan gangguan
volunter fungsi bahasa fungsi
pernafasan kesadaran
Resiko cidera
Hemiplegi Afasia
dan Pola nafas Penurunan
hemiparesis tidak efektif kesadaran
Kerusakan
komunikasi
Hambatan verbal Resiko
mobilitas fisik cidera

D. Manifestasi Klinis
1. Tanda khas dalam mengenali gelaja stroke : (FAST)
a. F: Face (wajah) seperti wajah tertetuk sebelah atau perot
b. A: Arm (tangan) seperti kelemahan pada tangan
c. S: Speack (berbicara) seperti kesulitan bebicara / pelo
d. T: Time (waktu) seperti memanggil panggilan 118 dengan cepat agar dapat di
tolong.
2. Monoparesis : kelemahan satu kaki / satu tangan
3. Parapariesis: kelemahan pada kedua kaki
4. Hemiparesis: kelemahan satu tangan dan satu kaki di kedua sisi tubuh
5. Tetraparesis / quadriparasis : keempat anggota tubuh ( Jusuf Misbach ,2011)
E. Pemeriksaan Penunjang
1) Agiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya pertahanan atau
sumbatan arteri
2) Skan tomografi komputer (computer tomography scan) mengetahui tekanan normal dan
adanya trombosis, emboli serebral, dan tekana intra kranial (TIK). Peningkatan TIK dan
cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subaraknoid dan
pendarahan intracranial. Kadar protein total meningkat, beberapa kasus Thrombosis
disertai proses inflamasi.
3) Maknetic resonance imaging (MRI)
Menunjukkan daerah infark, perdarahan , mal formasi, arteri ovena (MAV)
4) Ultrasonografi doppler (USG doppler)
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis aliran darah atau
timbulnya plak) dan arterios klerosis.
5) Elektroensefalogram (electroencephalogram-EEG)
Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
6) Sinar tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pinal daerah yang berlawanan dari massa
yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral ; Klasifikasi
parsial dinding aneurisma pada perubahan subarkhnoid. (Batticaca, 2012)
Pemeriksaan laboratorium
1. Lumbal pungsi
Pemeriksaan likour merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya warna likour masih normal (xantokhom) sewaktu
hari-hari pertama.
2. Pemeriksaan kimia darah
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia, gula darah dapat mencapai 250 mg
didalam serum dan kemudian berangsur-ansur turun kembali.
3. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri. (Muttaqin, 2008)
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
1. Terapi antikoagulan. Kontraindikasi terapi antikoagulan pada klien dengan riwayat
ulkus, uremia dan kegagalan hepar. Sodium heparin diberikan secara subkutan atau
melalui IV drip.
2. Phenytonin (Dilantin) dapat digunakan untuk mencegah kejang.
3. Enteris-coated, misalnya aspirin dapat digunakan untuk lebih dulu untuk
menghancurkan trombotik dan emboli.
4. Epsilon-aminocaproicacid (Amicar) dapat digunakan untuk stabilkan bekuan di atas
aneurisma yang ruptur.
5. Caciumchannelblocker (nimodipine) dapat diberikan untuk mengatasi vasospasme
pembuluh darah.
2. Non Farmakologi ( Pembedahan )
1. Karotidendarterektomi untuk mengangkat plaqueatherosclerosis.
2. Superior temporal arteri middle serebral arteri anastomosis dengan melalui daerah yang
tersumbat dan menetapkan kembali aliran darah pada daerah yang dipengaruhi.
G. Komplikasi
a. Depresi
Keterbatasan akibat lumpuh sulit berkomunikasi sehingga penderita stroke sering
mengalami depresi
b. Darah beku
Darah beku mudah terbentuk pada jaringan yang lumpuh yang menyebabkan
pembekakan, selain itu darah beku juga dapat terjadi pada arteri yang mengalirkan darah ke
paru (emboli paru) sehingga penderita sulit bernafas dan mengalami kematian
c. Memar
Jika penderita stroke menjadi lumpuh penderita harus sering dipindahkan dan
digerakkan secara teratur agar bagian panggul, pantat, sendi kaki, dan tumit tida terluka atau
mengalami dekubitus akibat terhimpit alas tidur. Bila luka tidak dirawat akan mneyebabkan
infeksi
d. Otot mengerut dan sendi beku
Kurang gerak dapat menyebabkan sendi kaku dan nyeri. Hal ini biasanya ditangani
dengan fisioterapi
e. Pneumonia (radang paru)
Ketidakmampuan untuk bergerak setelah mengalami strokemembuat pasien mungkin
mengalami kesulitan menelan dengan sempurna atau sering batuk sehingga cairan terkumpul
di paru dan selanjutnyadapat terjadi pneumonia
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998) dalam Ariani (2012) adalah sebagai
berikut.
a. Komplikasi dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Komplikasi Jangka Pendek (1-14 hari pertama).
1) Pneumonia: akibat immobilisasi lama.
2) Infark miokard.
3) Emboli paru: cenderung terjadi 7-14 hari pasca-stroke, sering kali pada saat penderita
mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: dapat terjadi pada setiap saat.
c. Komplikasi jangka panjang.
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskular lain: penyakit vaskular perifer.
Menurut Smeltzer (2001) dalam Ariani (2012), komplikasi yang terjadi pada pasien
stroke yaitu sebagai berikut.
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi.
b. Penurunan darah serebral.
c. Embolisme serebral
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Anamnesis
Anamnesis pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial (Muttaqin,
2012).
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua, jenis kelamin, pendidikan, laamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
2) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat
kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang
melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai
tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam
intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi latergi, tidak responsive, dan koma.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung,
anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obatan anti
koagulan, aspirin, vasodilatator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian
obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia,
penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
5) Riwayat Pengkajian Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderits hipertensi, diabetes mellitus, atau adanya
riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6) 11 Pola pola fungsi kesehatan
1. Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, dan penggunaan kontrasepsi oral
2. Pola nutrisi dan metabolik
Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut
3. Pola eliminasi
Biasanya terjadi gangguan eliminasi urine dan pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus
4. Pola aktivitas dan latihan
Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori, mudah lelah
5. Pola istirahat dan tidur
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang/nyeri otot
6. Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kerusakan komunikasi
akibat gangguan bicara
7. Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, mudah marah, tidak kooperatif
8. Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan pengelihatan kekaburran pandangan,
perabaan/sentuhan menurun padaa muka dan ektremitas yang sakit. Pada pola kogitif
biasanya terjadi penurunanmemori dan proses berfikir
9. Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan cva (stoke)
seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis, histamin.
10. Pola penanggulanagn stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses
berfikir dan kesulitan berkomunikasi
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasnya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil,
kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
7) Pengkajian Psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat
untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul dari klien yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan klien
merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola
penanganan stress, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena
gangguam proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalampola tata nilai dan
kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang
tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, maka apakah keadaan ini memberi dampak
pada status ekonomi klien karena biaya perawata dan oengobatan memerlukan dana yang
tidak sedikit. Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan, dan perawatan dapat memengaruhi keuangan keluarga sehingga faktor biasa ini
dapat memengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan keluarga. Perawat juga
memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis
yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri
atas dua masalah keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya
dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan secara persistem. (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan denga keluhan-keluhan dari klien (Muttaqin, 2012).
1) Keadaan umum
Umumnaya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami gangguan bicara yaitu sulit
dimengerti, kadang tidak bisa bicara dan pada tanda – tanda vital tekanan darah meningkat,
dan denyut nadi bervariasi.
2) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan
batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya
tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
3) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering
terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi
hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).
4) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh
darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah
kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
5) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang
kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
6) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada
fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
7) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN (Upper Motor Neuron) dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron
motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada salah satu sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain. Pada
kulit jika klien kekurangan O2, kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan, maka
turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada
daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/
hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
8) Pengkajian Tingkat Kesadaran.
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang
paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan.
Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi,
stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma, maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan
pemberian asuhan.
9) Pengkajian Fungsi Serebral.
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal,
dan hemisfer.

B. Prioritas Masalah Keperawatan


1. Hambatan mobilitas fisik
2. Resiko cidera
3. Pola nafas tidak efektif
4. Kerusakan komunikasi verbal
C. Intervensi Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan
kekuatan/ kontrol otot, penurunan daya tahan.
(sebutkan tingkat dan skalanya)
Tingkat 0 : Mandiri total
Tingkat 1 : Memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : Memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan, pengawasan atau
pengajaran
Tingkat 3 : Membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat bantu
Tingkat 4 : Ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas
a. Definisi
Hambatan mobilitas fisik adalah Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan
terarah pada tubuh atau satu ektermitas atau lebih
b. Batasan karakteristik
- Penurunan waktu reaksi
- Kesulitan membolak balik posisi tubuh
- Asik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
- Dispnea saat beraktivitas
- Perubahan cara berjalan
- Pergerakan menyentak
- Keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motorik halus
- Keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motorik kasar
- Keterbatasan rentang pergerakan sendi
- Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
- Ketidakstabilan postur tubuh
- Melambatnya pergerakan
- Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
c. Faktor yang berhubungan
- Intoleransi aktivitas
- Perubahan metabolisme sel
- Ansietas
- Gangguan kognitif
- Kelemahan
- Penurunan daya tahan
d. Rencana tindakan
NOC NIC
1) Tujuan Pemberian posisi:
Setelah dilakukan tindakan 3 X 24
Independen
jam, klien diharapkan mampu:
a. Kaji kemampuan fungsi dan luas hambatan
2) Kriteria hasil pada saat pertama kali dan secara teratur.
Konsekuensi imobilitas: fisiologis Klasifikasi sesuai dengan skala 0-4. Ubah
a. Mempertahankan atau posisi minimal setiap 2 jam (terlentang,
meningkatkan kekuatan dan miring) dan kemungkinan lebih sering jika
fungsi bagian tubuh yang klien diposisikan miring kesisi bagian tubuh
terganggu atau yang terpengaruh. yang terganggu.
b. Mempertahankan posisi fungsi b. Posisikan tengkurap satua atau dua kali sehari
yang optimal sebagaimana jika klien dapat menoleransinya.
c. Sangga ekstremitas dalam posisi fungsional,
dibuktikan dengan tidak terjadi
gunakan papan kaki selama periode paralisis
kontraktur dan footdrop.
c. Mendemonstrasikan teknik dan flaksit. Pertahankan posisi kepala netral.
d. Gunakan mitela lengan ketiaka klien berada
perilaku yang memampukan
dalam posisi duduk tegap, sesuai indikasi.
pelaksanaan kembali aktivitas.
e. Evaluasi pengguanaan dan perlunya bantuan
d. Mempertahankan integritasi kulit
e. Pasien mampu memenuhi ADL posisi dan beban selama paralisis spatik:
1) Letakkan bantal dibawah aksila untuk
mengapduksi lengan.
2) Elavasikan lengan dan tangan.
3) Letakkan gulungan tangan yang keras
dalam telapak tangan dengan jari dan ibu
jari berhadapan.
4) Letakkan lutut dan pinggul dalam posisi
ekstensi.
5) Pertahankan tungakai dalam posisi netral
dengan trokanter roll.
6) Hentikan pengguanaan papan kaki, jika
tepat.
f. Observasi warna, edema, atau tanda lain dari
perburukan sirkulasi pada sisi yang terganggu.
g. Inspeksi kulit secara teratur, terutama diatas
tonjolan tulang, secara berlahan masaase
setiap area kemerahan dan beri bantuan
Terapi latihan: kontrol otot
Independen
a. Mulai latihan rentang gerak aktif atau pasif
kesemua ekstemitas.
b. Bantu klien mengembangkan keseimbangan
saat duduk
c. Dudukkan klien dikursi segera setelah tanda
vital stabil.
d. Bantali alas duduk kursi dengan busa, jel, atau
bantal berisi air dan bantu klien memindahkan
berat badannya secara sering.
e. Tetapkan tujuan dengan klien atau orang
dekat untuk meningkatkan partisipasi dalam
aktivitas dalam, latiahan, perubahan posisi.
f. Dorong klien untuk membantu pergerakan
dan latihan menggunakan ekstremitas yang
tidak terpengaruh untuk menopang dan
menggerakkan sisi yang lemah.
Kolaboratif:
a. Konsultasi dengan ahli terapi fisik mengenai
latihan aktif, resistif dan ambulasi klien.

2. Resiko Cedera
a. Definisi
Rentang mengalami cidera fisik akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber
adaptif dan sumber defensif individu
b. Faktor resiko
Internal :
a. Disfungsi biokimiawi
b. Uasia perkembangan
c. Disfungsi efektor
d. Penyakit imun atau autoimun
e. Disfungsi integratif
f. Malnutrisi
g. Fisik (kulit rusak,perubahan mobilitas)
h. Psikologis
i. Disfungsi sensori
j. Hipoksia jaringan
Eksternal :
k. Biologis (tingkat imuninasi komunitas, mikroorganisme)
l. Kimia (racun, obat, aalkohol, kafein, nikotin)
m. Manusia (nosokomial, pola staf)
n. Jenis kendaraan atau transportasi
o. Nutrisi (vitamin, jenis makanan)
p. Fisik (rancangan, struktur, dan penataan komunitas, bangunan, atau peralatan)
c. Rencana Tindakan

NOC NIC
1) Tujuan Menejemen lingkungan: keamanan :
Setelah dilakukan tindakan 2x
- Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
24jam klien diharapkan - Singkirkan benda bahaya lingkungan
- Lindungi pasien dengan pegangan pada sisi /
mampu:
2) Kriteria hasil bantalan di sisi ruangan
Pengendalian resiko: - Sediakan tempat tidur dengan ketinggian
a. Dapat memantau faktor
yang rendah
resiko perilaku individu dan - Meletakkan benda yang yang sering di
lingkungan butuhan di dekat klien
b. Dapat mengembangkan - Sesuaikan suhu lingkungan dengan
strategi pengendalian resiko kebutuhan klien
- Pencahayaan yang cukup untuk terapi
yang efektif
- Edukasi pasien dan pengunjung mengenai
c. Dapat menerapkan strategi
perubahan / tindak pencegahan.
pengendlian resiko pilihan
d. Dapat modifikasi gaya hidup
untuk mengurangi resiko
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, T.A., 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta: Salemba Medika.

Batticaca, F.B., 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Esther, 2010. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

Indonesia, D.K.M.B., 2016. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Jusuf Misbach, 2011. Guideline Stroke Tahun 2011 Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi). Jakarta: Fakultas Kedokteran UR
Muttaqin, A., 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta : Salemba Medika.

Nina, 2009. Solusi Sehat Mengatasi Stroke. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai