ABSTRAK
ABSTRACT
1
Telah dimuat dalam jurnal Visi Publik, Vol. I No. 1 April 2004, yang diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Administrasi
Negara, Fisip, Universitas Jenderal Soedirman
2
PENDAHULUAN
administrasi publik. UNDP menjelaskan governance mempunyai tiga kaki, yaitu : economic,
political, dan administrative. Konsep good governance mengandung dua pengertian, (a) nilai-
nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat
berkelanjutan dan keadilan sosial, dan (b) aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang
efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut (LAN,
2000).
pembangunan, dengan logika dalam good governance tidak lagi pemerintah, tetapi juga citizen,
masyarakat, dan sektor usaha/swasta yang berperan dalam governance, masyarakat bangsa. Ini
juga karena perubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah
dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi
bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang
Substansi dari konsep good governance sebenarnya telah diterapkan dalam Program
mulai melaksanakan PPK tahun 2000. Pada tahun tersebut, tiga kecamatan melaksanakan PPK
dengan alokasi dana Rp2.5 milyar. Tahun 2001, 11 kecamatan di Kabupaten Banyumas
Kabupaten Banyumas terdiri dari instansi terkait. Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten
hingga tahap II. Sehubungan dengan pelaksanaan PPK tersebut, diperoleh data yang menarik
berdasarkan Laporan Bulanan KM-Kabupaten Banyumas bulan November 2001 dan bulan Juni
2002.
Tabel 1 menjelaskan dua hal yang menarik. Pertama, jumlah kecamatan penerima
program telah bertambah namun partisipasi masyarakat sama pada masing-masing tahapan,
kecuali tahapan pelaksanaan proyek. Kedua, jika data pada tabel 1 adalah data yang benar, maka
tingkat partisipasi masyarakat pada pelaksanaan PPK justru semakin rendah. Sementara,
partisipasi masyarakat dalam PPK merupakan faktor penentu keberhasilan pelaksanaan PPK.
masyarakat pada pelaksanaan PPK di Desa Purbadana? Bagaimanakah efektivitas peran swasta
dalam pelaksanaan PPK menurut penilaian masyarakat dan Tim Koordinasi Kabupaten?
Hambatan dan faktor pendukung apa yang ditemui oleh KM-Kabupaten selama implementasi
PPK? Mengapa diperoleh gambaran partisipasi masyarakat yang sama pada dua tahapan
kegiatan PPK? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjawab
METODE PENELITIAN
Penelitian ini memfokuskan pada partisipasi masyarakat pada pelaksanaan PPK di Desa
Purbadana, efektivitas peran swasta dalam pelaksanaan PPK, hambatan-hambatan dan faktor-
faktor pendukung yang ditemui oleh KM-Kabupaten selama implementasi PPK, serta
mengapa diperoleh gambaran partisipasi masyarakat yang sama pada dua tahapan kegiatan
PPK. Agar dapat diperoleh gambaran yang mendalam, digunakan metode kualitatif dengan
dan dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan secara terbuka, dengan pemilihan informan
awal secara purposive dan informan selanjutnya menggunakan teknik snow-ball. Analisis data
menggunakan model analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1984). Untuk menetapkan
ketergantungan, dan kepastian (Lincoln dan Guba, 1985; Nasution, 1988; Moleong, 1990).
Banyumas. Desa yang memiliki 105,68 Ha ini, terletak 1 km dari ibu kota Kecamatan
Kembaran dan ± 11 km dari ibu kota Kabupaten Banyumas. Penduduk Desa Purbadana
berjumlah 2.981 jiwa, terdiri dari laki-laki 1.438 jiwa, perempuan 1.463 jiwa, dan 720 KK
(keadaan Agustus 2003). Desa Purbadana mempunyai sarana dan prasarana umum yang cukup
lengkap seperti: sarana peribadatan (masjid dan musholla), sarana pendidikan (TK dan SD),
dan sarana perekonomian desa (satu pasar, 37 toko/kios/warung, lima badan perkreditan, 36
usaha rumah tangga, satu KUD, satu koperasi simpan pinjam, dan satu lumbung desa).
5
Hingga tahun 2003 ini, Desa Purbadana telah melaksanakan PPK sebanyak dua kali,
yakni tahun 2000 dan 2003. Sesuai dengan guideline program, PPK dilaksanakan dengan
melalui proses yang cukup panjang. Perincian tahapan yang menggambarkan proses
pelaksanaan PPK Tahun 2000 di Desa Purbadana dapat dilihat pada tabel 2.
kegiatan, mulai dari setiap RT hingga desa. Selain dalam bentuk kehadiran dan konstribusi
gagasan, masyarakat juga berpartisipasi melalui swadaya. Sebagai contoh, dari kegiatan fisik
yang disetujui senilai Rp104 juta untuk membangun talud di Karang Duwur dan Grumbul
Cingkrang, jalan beton di Dam Jolang, Masjid An-nur, Cingkrang, jembatan Sungai Nariban,
serta pengaspalan jalan makam dan KUD, diperoleh swadaya senilai Rp14 juta.
Dana kegiatan non fisik sebesar Rp22 juta dibagikan ke 16 RT, PKK, dan kelompok
perikanan, yang kemudian dikelola untuk kegiatan simpan pinjam. Kegiatan ekonomi ini masih
berlangsung, dengan besar pinjaman cukup bervariasi antara Rp100 ribu - Rp1 juta. Meski
cukup lancar, masih ada tunggakan sebesar Rp4.8 juta (data Oktober 2003).
Pada tahun 2003, Desa Purbadana memperoleh dan melaksanakan PPK untuk kedua
kalinya. Pelaksanaan tahap kedua ini pun melalui tahapan-tahapan tertentu seperti yang diatur
dalam guideline program. Perbedaannya hanya pada nama tahapan kegiatan yang tidak seperti
Pelaksanaan PPK Tahap kedua di Desa Purbadana baru sampai Musyawarah Desa III.
Seperti halnya pada pelaksanaan PPK tahap pertama, masyarakat juga berpartisipasi, baik pada
setiap tahapan kegiatan maupun dalam bentuk swadaya. Pada tahap kedua, kegiatan fisik yang
kegiatan simpan pinjam dengan dana yang diusulkan dari PPK sebesar Rp6.740.000,00.
Berdasarkan pengumpulan data mengenai proses pelaksanaan PPK tahun 2000 dan 2003
tersebut diperoleh temuan sebagai berikut: pertama: munculnya kesepakatan di antara pelaku
program bahwa pada pelaksanaan PPK tahun 2003 usulan kegiatan tidak lagi bersifat kompetitif
sebagaimana ketentuan dasar PPK. Munculnya kesepakan tersebut karena beban kepala desa
apabila gagal memperoleh dana PPK sementara warganya telah mengikuti setiap tahapan
kegiatan. Pada akhirnya, KM-Kabupaten maupun Fasilitator Kecamatan (FK) menerima usulan
tersebut sehingga 16 desa di Kecamatan Kembaran memperoleh dana PPK. Kedua, masyarakat
merasa jenuh dengan panjangnya tahapan dan lamanya waktu hingga dana turun. Pengalaman
tahap pertama dan kedua bagi Desa Purbadana, hingga dana turun setidaknya memerlukan
waktu 10 bulan. Tidak heran jika PPK diubah kepanjangannya menjadi ‘Program Pating
Kruwet’
Pelaku PPK di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa yang berasal dari non aparat
adalah KM-Kabupaten, FK, tim verifikasi, Unit Pengelola Kegiatan (UPK), pendamping lokal,
Fasilitator Desa (FD), Tim Pengelola Kegiatan (TPK), dan Tim Penulis Usulan (TPU). UPK,
pendamping lokal, FD, TPK, dan TPU pada umumnya dipilih dari anggota masyarakat dimana
manjerial yang profesional atau orang yang berpengalaman dengan keahlian di bidang teknik
berasal dari sebuah perusahaan swasta, sementara FK berasal dari perusahaan swasta lainnya.
Kedua perusahaan swasta yang berasal dari Jakarta tersebut merupakan pemenang tender untuk
tahun 2000 hingga 2002 adalah dua orang tenaga profesional bergelar insinyur. Sedangkan FK
berjumlah 11 orang.
maupun FK. Kedua jenis tenaga profesional tersebut, tidak lagi direkrut oleh pemenang tender,
melainkan direkrut langsung oleh KM-Nasional di bawah tim leader. Akan tetapi hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi kedua jenis tenaga profesional tersebut masih ditangani oleh
perusahaan swasta yang sama dengan KM-Kabupaten Banyumas tahun 2000–2002. Sebagai
KM-Kabupaten Kabupaten Banyumas adalah dua orang tenaga profesional bergelar insinyur.
Bagi masyarakat Desa Purbadana, pelaku PPK yang berasal dari non aparat dan sering
berinteraksi dengan mereka adalah FK, FD, UPK, TPK, dan TPU. Baik KM-Kabupaten periode
2000–2002 maupun 2003 belum pernah ke Desa Purbadana, melainkan hanya sampai pada
Meski terdapat perubahan mekanisme rekrutmen tenaga konsultan, tugas dan tanggung
jawab tenaga profesional tersebut sama, yakni memfasilitasi masyarakat dalam setiap tahapan
kegiatan PPK. Khusus untuk KM-Kabupaten, bertanggung jawab atas koordinasi dan membina
jaringan kerja dengan aparat/dinas terkait, LSM, perguruan tinggi maupun tokoh masyarakt
Masyarakat Desa Purbadana menilai positif kehadiran FK, FD, UPK, TPK, dan TPU,
dalam arti peran pelaku-pelaku tersebut memang sangat besar dan membantu dalam setiap
tahapan kegiatan PPK. Tahapan kegiatan, baik PPK tahap pertama maupun kedua, dilaksanakan
10
sesuai dengan rencana. Akan tetapi, hal tersebut tidak terlepas dari karakteristik PPK, yang
sesuai dengan kebutuhan dan jadual kegiatan, serta sifat transparan PPK.
Catatan masyarakat untuk para pelaku tersebut adalah terlalu kaku dengan tahapan dan
prosedur pelaksanaan program. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tahapan dan prosedur
PPK cukup panjang, dan untuk satu wilayah kecamatan untuk ke tahap selanjutnya mesti
menunggu desa lain dalam wilayah kecamatan tersebut. Sebagai contoh, tahap pencairan dana.
Meski suatu desa telah melaksanakan Musdes III serta merevisi dana dan kegiatan apabila
memang diperlukan, tidak bisa langsung mencairkan dana karena menunggu desa lainnya
hingga selesai melaksanakan Musdes III serta merevisi dana dan kegiatan. Hal inilah yang
Catatan lain yang diberikan oleh masyarakat adalah peran FD. Bagi masyarakat peran
FD adalah ketika sosialisasi, penggalian gagasan, penyusunan proposal hingga Musdes III.
Ketika pelaksanaan kegiatan, peran TPK dan masyarakat lebih besar ketimbang FD. Hal inilah
yang dinilai ‘mubadir’ karena membayar orang yang sudah selesai tugasnya.
Penilaian positif juga diberikan Tim Koordinasi PPK Kabupaten (TK-PPK Kab) kepada
KM-Kabupaten, FK dan FD, maupun UPK, TPK, dan TPU. Penilaian positif tersebut
didasarkan atas peran mereka dalam setiap tahapan, termasuk capaian dari rencana kegiatan
yang telah disusun. Semua kegiatan fisik pada pelaksanaan PPK tahun 2000 dan 2001 telah
tercapai sesuai dengan rencana. Demikian halnya dengan upaya pemeliharaan dan pelestarian
program, telah diupayakan meski belum seluruh desa telah membuka rekening desa untuk
keperluan kegiatan tersebut. Sebagai gambaran, hingga bulan Agustus telah terkumpul dana
Perguliran dana untuk kegiatan ekonomi jugamasih berjalan. Berdasarkan catatan KPM
hingga Agustus 2003, dana yang digulirkan dari pengembalian dana PPK tahun 2000 mencapai
11
Rp961.880.000,00 dan telah diangsur sekitar 79 persen. Sedangkan untuk tahun 2001 telah
Koordinasi di tingkat kabupaten juga senantiasa dilakukan. Selain dalam bentuk rapat
koordinasi, setiap bulan KM-Kabupaten menyampaikan laporan bulanan yang harus disetujui
oleh KPM selaku ketua dan sekretaris TK-PKK Kab. Meski demikian, keberadaan KM-
Kabupaten, FK, maupun FD dinilai bisa juga diperankan oleh aparat apabila juga disertai
Temuan yang cukup menarik dalam hubungannya dengan koordinasi TK-PKK Kab
dengan KM-Kabupaten adalah pejabat TK-PKK Kab yang tidak bisa menjelaskan tabel 1 di
atas. Hal ini menunjukkan kekurangtelitian dari kedua pelaku PPK di tingkat kabupaten yang
semestinya tidak harus terjadi. Dengan demikian, masih perlu dikaji capaian angka partisipasi
Seperti halnya kegiatan pada umumnya, PPK pun mengalami beberapa hambatan dalam
ditemui adalah berhubungan dengan masyarakat, aparat pemerintah, dan kinerja pelaku di
tingkat desa.
Hal yang dirasakan oleh konsultan (FK dan FD) bisa berubah menjadi hambatan apabila
tidak diupayakan pemecahannya adalah ‘kecemburuan’ aparat di tingkat desa dan kecamatan.
Dalam penilaian konsultan tersebut, aparat di tingkat desa dan kecamatan merasa sebagian
peran mereka telah diambil FK dan FD. Apalagi dana bagi kedua konsultan tersebut cukup
besar. Pada sisi yang lain, masyarakat masih menanyakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan PPK kepada aparat, terutama di tingkat desa. Hal inilah yang memposisikan aparat desa
menjadi penghambat kegiatan PPK pada masa yang akan datang. Sebagaimana dijelaskan di
muka, masyarakat merasa jenuh dengan panjangnya tahapan dan lamanya waktu yang
dibutuhkan cairnya dana serta pelaksanaan kegiatan. Sikap pragmatis ini tentu bisa menjadi
dukungan yang besar dari anggota konsultan dan aparat pemerintah yanga telah bersedia
menempatkan posisinya sebagai fasilitator. Sikap ini dirasakan sangat mendukung pelaksanaan
PPK.
Selain hal tersebut, dukungan dana dari pemerintah pusat juga dirasakan menunjang
PEMBAHASAN
tidak dapat dilepaskan dari potensi program tersebut dalam mewujudkan good governance.
Oleh karenanya, perlu dikaji nilai dari program, yang dalam kajian ini adalah PPK. Melalui
pengkajian nilai tersebut akan dapat diketahui substance maupun perspektif Program P2MPD
Berdasarkan kajian terhadap blue print program PPK sebagaimana telah diuraikan di
kepada masyarakat, penerapan media informasi sebagai bentuk keterbukaan program dan
pelaksana program, pelaksanaan program didasarkan atas aturan dan sanksi yang dilahirkan
13
atas kesepakan bersama, tidak membedakan bahkan memperhatikan usulan dari kelompok laki-
laki maupun perempuan. Namun, apabila disandingkan dengan kriteria dari UNDP
sebagaimana dikutip Setyoko (2002) aspek efektivitas dan efisiensi dari perspektif masyarakat
dirasakan tidak efisien mengingat prosesnya yang sangat panjang. Akan tetapi, perspektif
masyarakat akan efisiensi tersebut lebih didasarkan atas sikap pragmatisnya sehingga nilai
strategis yang ingin diwujudkan berupa kemampuan menemukenali permasalahan dan mencoba
demikian juga disebabkan karena penerapan sistem pembangunan yang lebih bersifat top down
Selain itu, kajian lapangan juga menggambarkan pada setiap tahapan kegiatan program
senantiasa menyertakan unsur pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, dimana masing-
masing unsur tersebut berperan dan memberikan kontribusi pada setiap tahapan kegiatan sesuai
dengan tuntutan perannya. Pada setiap tahapan program juga nampak adanya kerjasama,
koordinasi, dan sinergi antara konsultan, aparat, dan masyarakat. Kondisi inilah yang dalam
pembangunan (good governance) karena pada setiap tahapan program ada pengelolaan
Akan tetapi satu catatan kritis perlu diberikan sehubungan dengan sisi positif munculnya
kerjasama, koordinasi, dan sinergi di antara para pelaku program, di mana sisi positif tersebut
menjadi sia-sia apabila tidak dilanjutkan dengan strategi jangka panjang yang memungkinkan
sisi positif tadi tetap terjaga bahkan berkembang. Dengan kata lain, sisi positif tersebut tidak
hanya bersifat sementara karena pelaksanaan suatu program. Peningkatan koordinasi dan
sinergi di antara ketiga unsur pelaku tersebut membutuhkan strategi jangka panjang untuk
mengubah praktik-praktik yang telah berjalan lama yakni menganggap adanya trikotomi antara
peran pemerintah, swasta, dan masyarakat (lihat Stoker, dalam Islamy, 2000). Apabila sisi
14
positif tersebut mampu dipertahankan dan dikembangkan, good governance sebagai bentuk
KESIMPULAN
a. Setiap pelaksanaan tahapan kegiatan PPK senantiasa menyertakan unsur pemerintah, sektor
b. Bentuk-bentuk peran dan partisipasi masyarakat pada setiap tahapan kegiatan adalah
menghadiri musyawarah kegiatan, memberikan usul dan pemikiran, menjadi pelaku dan
c. Ada kecenderungan masyarakat merasa jenuh dengan panjangnya tahapan serta lamanya
waktu yang dibutuhkan hingga dana turun sehingga mengubah kepanjangan PPK ‘Program
Pating Kruwet’
d. Muncul diskresi pada pelaksanaan PPK yang berupa kesepakatan antar pelaku untuk tidak
secara ketat melaksanakan prinsip dasar program. Kesepakatan tersebut diambil dengan
pertimbangan ‘merasa tidak enak’ dan takut masyarakat akan kecewa karena memperoleh
dana program
e. Masyarakat dan Tim Koordinasi Kabupaten menilai positif kehadiran FK, FD, UPK, TPK,
dan TPU, dalam arti peran pelaku-pelaku tersebut sangat besar dan membantu dalam setiap
tahapan kegiatan PPK. Akan tetapi, hal tersebut tidak terlepas dari karakteristik PPK, yang
sesuai dengan kebutuhan dan jadwal kegiatan, serta sifat transparan PPK.
f. Kerjasama, koordinasi, dan sinergi antara konsultan, aparat, dan masyarakat mulai terbina.
anggapan keliru serta sikap pragmatis masyarakat terhadap dana dan program, penerapan
target tertentu oleh aparat terhadap pelaksanaan program, ‘kecemburuan’ aparat di tingkat
desa dan kecamatan terhadap sektor swasta. Sedangkan faktor pendukungnya adalah
kesediaan aparat pemerintah sebagai fasilitator program dan dukungan dana dari
h. Tingkat ketelitian aparat maupun konsultan masih perlu ditingkatkan bergayutan dengan
DAFTAR PUSTAKA
16
Abdul Wahab, Solichin, 1994, “Esensi Nilai Dalam Kebijakan: Perbincangan Teoritikal”,
dalam “Kebijakan Publik dan Pembangunan”, Z.A. Akhmadi, dkk., Penerbit IKIP
Malang.
Lembaga Administrasi Negara, 2000, Modul 1 : Akuntabilitas dan Good Governance, Penerbit
Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
Lincoln, Yvonna dan Egon G. Guba, 1984, Naturalistic Inquiry, Sage Publications, Baverly
Hills, London.
Miles, B. Mattew dan A. Michael Huberman (terjemahan), 1994, Analisis Data kualitatif, UI
Press, Jakarta.
Moleong, Lexy J., 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Setyoko, Paulus Israwan, 2002, “Good Governance di Indonesia : Sebuah Perjuangan”, Pidato
Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis Unsoed ke XXXIX Tahun 2002.
Strauss, Anselm L. & Yuliet Corbin, 1990, Basics of Qualitative Research, Sage Publications,
London.
Yin, Robert K., 1987, Case Study Research : Design and Methods, Baverly Hills, Sage
Publications.
Dokumen/Arsip