Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SYSTEM


PERSARAFAN DAN IMUNITAS
PADA PASIEN HIV-AIDS

DI RUANG 27
RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

PERIODE TANGGAL 14 Oktober - 19 Oktober 2019

Oleh:

NAMA : ISMU NAZILATUZ ZAHROH


NIM : 172303101048

PRODI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER KAMPUS LUMAJANG
TAHUN 2019

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN INI TELAH DISAHKAN PADA
TANGGAL ................................. 2019

MAHASISWA

..................................................
NIM. ......................................

MENGETAHUI,
PEMBIMBING KLINIK PEMBIMBING AKADEMI

....................................................... .......................................................
NIP. .............................................. NIP. ..............................................

KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Sindrom imunodefisiensi didapat AIDS didefinisikan sebagai bentuk paling berat dalam
rangkaian penyakit yang disebakan oleh infeksi virus HIV. HIV diisebabkan oleh kelompok
virus yang dikenal sebagai retrovirus. Virus ini membawa materi genetik mereka dalam
bentuk asam ribonukleat atau RNA dan bukan asam deoksiribonukleat atau DNA. Infeksi HIV
terjadi ketika virus memasuki sel CD4 (T) pejamu dan menyebabkan sel ini mereplikasi RNA
virus dan protein virus, yang pada akhirnya menyerap sel CD4 lain.
Tahap penyakit HIV didasarkan pada riwayat klinis, pemeriksaan fisik, temuan
laboratorium tentang disfungsi imun, tanda dan gejala, dan infeksi serta keganasan
(malignansi). Definisi kasus standart dari Centers for Deasease Control and Preventation
(CDC) tentang AIDS mengatagorikan infeksi HIV dan AIDS pada individu dewasa dan
remaja berdasarkan kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi HIV dan jumlah sel T CD4 +.
Empat kategori status terinfeksi diindikasikan oleh :

1. Infeksi primer (infeksi HIV akut atau baru, syndrome HIV akut : penurunan dramatis
jumlah sel T CD4, yang normalnya antara 500 dan 1500 sel/mm3)
2. HIV tak bergejala (CDC kategori : lebih dari 500 limfosit T CD4+/mm3)
3. HIV bergejala (CDC kategori B : 200 sampai 499 limfosit T CD4+/mm3)
4. AIDS (CDC kategori C : lebih sedikit dari 200 limfosit T CD4+/mm3)
(Smeltzer, Keperawatan Medikal Bedah, 2015)

B. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang di sebut HIV dari
kelompok virus yang di kenal retrovirus yang disebut lymphadenopathy associated virus
(LAV) atau human T-cell leukemia virus (HTL-III yang juga disebut human T-cell
lymphotropic virus (retrovirus).retrovirus mengubah asamrebonokleatnya (RNA) menjadi
asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu.penularan virus ditularkan
melalui:

1. Hubungan sekssual (anal,oral,vaginal)yang tidak terlindungi (tanpa kondom) dengan oral


yang telah terinfeksi HIV

2. Jarum suntik / tindik / tato yang tidak steril dan dipakai bergantian
3. Mendapatkan tranfusi darah yang mengandung virus HIV
4. Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan , saat melahirkan atau
melalui air susu ibu ( ASI) (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 10)
(Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.)

C. Patofisiologi dan Pathway


1. Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertical,
horizontal, dan transeksual. jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung
dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau tidak
langsung melaui kulit dan mukosa yang tidak intak terjadi pada kontak seksual. Begitu
mencapai atau berada dalam sirkulasi sitemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat di
deteksi didalam darah.

Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda
infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual,
muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dll. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini
mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan
meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai pada suatu titik
tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus
meningkat. Keadaan tersebut akan di ikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam
waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu1,5-
12,5 tahun sebelum akhirnya jatuh kesetadium AIDS

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi
target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel
target, gp120 HIV perlu diberikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada
permukaan limfosit T, monosit-makrofag, langerhan’s, sel dendrit, astrosit, mikroglia. Selain
itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine receptor yaitu CXCRA4 dan CCR5,
beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Intensitas ikatan gp120
HIV denagn reseptor CD4 ditentukan melalui peran regiovi terutama V3. Stabilitas dan
potensi ikatan di perkuat oleh ko-reseptor CCR5 dan CXCR4. Semakin kuat dan
meningkatnya itensitas ikatan tersebut akan di ikuti oleh proses intraksi lebih lanjut yaitu
terjadi fusi membrane HIV dengan membrane sel target atas peran gp41 HIV. Dengan
terjadinya fusi kedua membrane, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse
transkriptase dan inti masuk kedalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target,
HIV melepaskan singlestran RNA (ssRNA). Enzim revense transkriptase akan menggunakan
RNA sebagai template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA di pindahkan oleh
ribononuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga
menjadi double strane DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus,
menyatu dengan kromosom sel host T dengan perantara enzim intregrase. Penggabungan ini
menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi
privirus yang tidak aktif ini di sebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktivkan provirus dari
keadaan laten tersebut memerlukan proses aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi
oleh inductor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor
kB (NF-Kp) sehingga menjadi aktiv dan berikatan pada 5’LTR (long terminal repeats) yang
mengapit gen gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi
gen, NFkB emnginduksi replikasi DNA. Inductor nuclear factor kB (NF-kB).sehingga cepat
memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang
memicu infeksi sekunder dan mempengaruhi jalannya aplikasi adalah bakteri, virus, jamur,
maupun protozoa. Dari ke empat mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya
terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA.

Enzim polimerase akan mentranskip DNA menjadi RNA secara struktur berfungsi
sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru.
Inti beserta perangkap lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian di poli peptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang
fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolopid dari permukaan sel host,
sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar
dari sel, akan menginfeksi sel target berikut. Dalam satu hari HIV mampu melakukan
replikasi hingga mencapai virus baru.

Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari
waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4
melalui beberapa mekanisme sebagai berikut

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat
adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak
berintegrasi dengan nukleus dan terjadinya gangguan sintesis makro molekul.
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan
limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respons imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan
sel yang terinfeksi dan sel normal disekitarnya (innocent-bystander)
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi
5. Kematian sel yang terprogram ( apoptosis ). Pengikatan antara gp 120 di regio V3
dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan
pesan kematian sel melalui apoptosis
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi sitoprotektif,
pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi missfolding dan
denaturasi protein, jejas dan kematian
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T
CD4 secara dramatis dari normal berkaisar 600 – 1200 / mm menjadi 200 / mm atau lebih
rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga
peetahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan
resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi
sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

PERJALANAN INFEKSI HIV

Jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus, dan gejala klinis melalui 3 fase :

Fase infeksi akut

Setelah HIV menginfeksi sel target. Terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-
virus baru ( virion ) jumlahnya berjuta-juta virion. Viremia dan begitu banyak virion tersebut
memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu
yang juga mirip infeksi mononukleosa. Diperkirakan bahwa sekitar 50 % sampai 70 % orang
yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut selama 3 sampai 6 minggu setelah di
infeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia,
latargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. HIV
juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf meskipun paparan HIV terjadi pada
stadium infeksi masih awal. Menyebabkan meningitis, ensefalitis, neuropati perifer dan
mielopati. Gejala pada dermatologi, yaitu ruam makropapuler eritematosa dan ulkus
mukokutan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi
kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih
di atas 500 sel/mm dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi
HIV.

Fase infeksi laten

Pembentukan respons imunspesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel


dendritik folikuler ( SDF ) di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat
dikendalikan, gejala menghilang, dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang
ditemukan virion diplasma sehingga jumlah virion diplasma menurun karena sebagian virus
terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi dikelenjar limfe. Sehingga penurunan
limfosit T terus terjadi walaupun virion diplasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah
limfosit T-CD4 menurun sehingga sekitar 500- 200 sel/mm, meskipun telah terjadi setelah
serokonversi positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis ( asimtomatis ).
Beberapa pasien terdapat sarkoma kaposi’s, Herpes simpleks, sinusitis baterial, herpes zooster
dan pneumonia yang sering berlangsung tidak terlalu lama. Fase ini berlangsung rerata sekitar
8-10 tahun ( 3-13 tahun ) setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam,
banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10 %, diare, lesi
pada mukosa dan kulit berulang, penyakit infeksi kulit berulang. Gejala ini merupakan tanda
awal munculnya infwksi oportunistik.

Fase infeksi kronis

Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus
yang di ikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe
sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah.
Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion yang berlebihan tersebut, limfosit semakin
tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T-
CD4 hingga dibawah 200 sel/mm. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun
menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan
penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Infeksi sekunder. Infeksi
sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia yang disebabkan pneumocytis carinii,
tuberkolosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus
herpes, kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain misalnya histoplasmosis,
koksidiodomikosis. Kadang kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker kelenjar getah
bening dan kanker sarkoma kaposi’s.

Selain 3 fase tersebut ada periode masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes
antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien
dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui
pemeriksaaan laboratorium kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya
muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat
penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial
menularkan HIV kepada orang lain. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada periode
ini sebaiknya yang mampu mendeteksi antigen p18, p24, p31, p36, gp120, gp41.

(Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2015)

Pathway
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (syndrome retroviral akut,
demensia HIV), infeksi opportunistic, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit
dibagi dalam tahap tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD (Kapita selekta
kedokteran)

Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat
intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan
asintomatis berkepanjangan, hingga menifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda dari
HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap.

Pertama merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala tetapi tidak
spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa
letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran kelenjar getah bening. Dapat juga
disetai meningitis aseptik yang ditandai demam, nyeri kepala hebat, kejang kejang dan
kelumpuhan saraf otak.

Kedua merupakan tahap asimtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan hilang. Tahap
ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi. Pada saat ini
sedang terjadi internalisasi HIV ke intra seluler. Pada tahap ini aktivitas penderita masih
normal.

Ketiga merupakan tahap sintomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik
dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada
selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat juga
ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas namun penderita dapat melakukan
aktivitas meskipun terganggu. Penderita lebih banyak berada ditempat tidur meskipun kurang
12 jam perhari dalam bulan terakhir.

Keempat merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini terjadi
penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui
penyebabnya lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, tuberculosis paru,
dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring ditempat tidur lebih dari 12 jam perhari selama
sebulan terakhir. Penderita diserbu berbagai macam infeksi sekunder, misalnya pneumonia
pneumokistik karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus
sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis pada esophagus, trakea, bronkus atau paru serta
infeksi jamur yang lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga ditemukan
beberapa jenis maliknansim, termasuk keganasan kelenjar getah bening dan serkoma kaporsi.
Hiperaktivitas komplemen menginduksi sekresi histamine. Histamine menimbulkan keluhan
gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme di kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.

Derajat Berat Infeksi HIV dan AIDS

Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui stadium
klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC

Stadium klinis 1

1. Asimtomatis
2. Limadenopati persistent generalisata

Penampilan / aktivitas fisik skala 1 : Asimtomatis, aktivitas normal

Stadium klinis II

1. Penurunan berat badan, tetapi < 10% dari berat badan sebelumnya
2. Manifestasi mukokutaneus minor ( dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur
pada kuku, ulserasimukosa oral berulang, cheilitis angularis)
3. Herpes zoster, dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi berulang pada saluran pernafasan atas ( missal : sinusitis bakterial )

Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala II : simptomatis, aktivitas normal

Stadium klinis III

1. Penurunan berat badan, > 10 %


2. Diare kronis dengan penyebab tidak jelas , > 1 bulan
3. Demam dengan sebab yang tidak jelas ( intermittent atau tetap), > 1 bulan
4. Kondidiasis oris
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tb pusmoner, dalam satu tahun trakhir
7. Infeksi bacterial berat ( misal : pneumonia, piomiositis

Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada ditempat tidur, < 50 %
per hari dalam bulan trakhir

Stadium klinis IV

1. HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC


2. PCP
3. Ensefalitis Toksoplasmosis
4. Diare karena Cryptosporidiosis, > 1 bulan
5. Cryptococcosis ekstrapulmoner
6. Infeksi virus sitomegalo
7. Infeksi Herpes simpleks > 1 bulan
8. Berbagai infeksi jamur berat ( histoplasma, coccidioidomycosis )
9. Kandidiasis esofagus, trachea atau bronkus
10. Mikobakteriosis atypical
11. Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
12. TB, ekstrapulmoner
13. Limfoma maligna
14. Sarkoma kaposi’s
15. Ensefalopati HIV

Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4 : sangat lemah, selalu beradda ditempat
tidur > 50 % perhari dalam bulan terakhir.

Kategori klinis A

1. Infeksi HIV asimtomatis


2. Limfadenopati generalisata yang menetap
3. Infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi
HIV akut

Katagori klinis B

Terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang
tidak termasuk dalam katagori C dan memenuhi paling kurang satu dari keadaan :

1. Angiomatosis
2. Kandidiasis, orofarengal
3. Kandidiasis, vulvovaginal
4. Displasia servikal
5. Demam 38,5 °C atau diare lebih dari 1 bulan
6. Herpes zoster
7. ITP
8. Penyakit radang panggul
9. Nuropati perifer

Kategori klinis C

1. Kondidiasis pada bronkus, trachea dan paru


2. Kandidiasis esofagus
3. Kanker leher rahim
4. Coccidioidomycosis yang menyebar atau di paru
5. Kriptokokosis ekstrapulmoner
6. Retinitis virus sitomegalo
7. Ensefalopati HIV
8. Herpes simpleks, ulkus kronis lebih 1 bulan
9. Histoplamosis sistemik atau ekstrapulmoner
10. Sarkoma kaposis
11. Limfoma imunoblastik
12. Limfoma primer di otak
13. TB diberbagai tempat
14. PCP
15. Pneumonia berulang
16. Septicemia salmonela berulang
17. Toksoplasmosis ensefalitis
18. HIV wasting syndrome ( penurunan berat badan lebih 10% disertai diare
kronis lebih 1 bulan atau demam lebih 1 bulan yang bukan disebabkan
penyakit lain ).

E. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan Diagnosis
Tujuan
Menegakkan diagnosis pada seseorang yang kemungkinan terinfeksi HIV.
(Kecurigaan kemungkinan terinfeksi didasarkan pada tanda dan gejala
penyakit yang terkait HIV atau adanya faktor risiko tertular HIV)
Panduan Pelaksanaan

 Gunakan tes cepat HIV (rapid test) sebagai sarana penegakan diagnosis
 Pemeriksaan dilakukan secara serial dengan menggunakan 3 jenis
reagen yang berbeda sesuai dengan pedoman nasional
 Penyimpanan reagen HIV dilakukan sesuai dengan instruksi yang
tertera dilembar informasi dan digunakan sebelum tanggal kedaluwarsa
 Bila tidak tersedia petugas laboratorium maka tes HIVdapat
dilakukan oleh petugas kesehatan lain seperti petugas medis atau
paramedis yang terlatih.
 Interpretasi hasil tes dan keputusan tindak lanjut dilakukan oleh
dokter yang meminta pemeriksaan tes
Bagan 4: Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV

Intepretasi hasil pemeriksaan anti-


HIVHasil positif:
• Bila hasil A1 reaktif. A2 rektif dan A3 reaktif Hasil Negatif :
• Bila hasil A1 non reaktif
• Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
• Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
Hasil indeterminate
• Bila dua hasil reaktif
• Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko

Tindaklanjut hasil pemeriksaan anti-HIV


Tindak lanjut hasil positif
• Rujuk ke pengobatan HIV Tindak lanjut hasil negatif
• Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3
bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama
• Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku sehat
Tidak lanjut hasil indeterminate
• Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimum setelah dua minggu dari
pemeriksaan yang pertama
• Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR
• Bila tidak ada akses ke pemeriksaan PCR, rapid tes diulang 3 bulan, 6
bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama. Bila sampai satu tahun
tetap “indeterminate“ dan faktor risiko rendah, hasil dinyatakan sebagai
negatif.

(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana Pajanan
Setiap pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang yaitu atasan
langsung dan Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) atau
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Laporan tersebut sangat penting untuk
menentukan langkah berikutnya. Memulai PPP sebaiknya secepatnya (< 4 jam)
dan tidak lebih dari 72 jam. Setelah 72 jam tidak dianjurkan karena tidak efektif.

Bahan yang memberikan risiko penularan infeksi adalah:

• Darah
• Cairan bercampur darah yang kasat mata
• Cairan yang potensial terinfeksi, yaitu: semen, vagina, serebrospinal,
sinovia, pleura, peritoneal, perikardial, amnion
• Virus yang terkonsentrasi

Penilaian status infeksi sumber pajanan terhadap penyakit yang menular melalui
darah yang dapat dicegah, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium bila
memungkinkan. Penyakit tersebut adalah:

• HbsAg untuk Hepatitis B


• Anti HCV untuk Hepatitis C
• Anti HIV untuk HIV
• Untuk sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan adanya faktor risiko
yang tinggi atas ketiga infeksi di atas

Langkah dasar tatalaksana klinis PPP HIV pada kasus pemerkosaan :

• Menenangkan dan memberikan bantuan psikologis pada korban


• Melakukan pemeriksaan visum untuk laporan kepada kepolisian
• Melakukan tes kehamilan
• Pemeriksaan IMS termasuk sifilis jika memungkinkan
• Memberikan obat IMS setidaknya untuk GO, klamidia dan sifilis
• Memberikan obat pencegah kehamilan dengan obat after morning pill
• Memberikan ARV untuk PPP HIV

Pemberian obat ARV untuk PPP


Dosis pertama PPP harus selalu ditawarkan secepat mungkin setelah pajanan
dalam waktu tidak lebih dari 3 kali 24 jam, dan jika perlu, tanpa menunggu
konseling dan tes HIV atau hasil tes dari sumber pajanan. Strategi ini sering
digunakan jika yang memberikan perawatan awal adalah bukan ahlinya, tetapi
selanjutnya dirujuk kepada dokter ahli dalam waktu singkat.
Langkah selanjutnya setelah dosis awal diberikan, adalah agar akses terhadap
keseluruhan pasokan obat PPP selama 28 hari dipermudah.

Tindak lanjut
Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus selalu dilakukan tindak lanjut, terlebih
pada yang mendapatkan PPP seperti halnya pemberian terapi ARV pada
umumnya. Tindakan yang diperlukan meliputi:

• Evaluasi laboratorium, termasuk tes HIV pada saat terpajan dan 6 minggu,
3 bulan, dan 6 bulan setelahnya; tes HbsAg bagi yang terpajan dengan
risiko Hepatitis B
• Pencatatan
• Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut klinis atas gejala infeksi
HIV, Hepatitis B, efek samping obat PPP, konseling berkelanjutan untuk
kepatuhan terapi ARV, dsb.
Tabel 3: Paduan Obat ARV untuk PPP
Orang yang
Paduan ARV
terpajan
Pilihan TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
Remaja dan
Alternatif TDF + 3TC (FTC) + EFV
dewasa
ATAU AZT + 3TC + LPV/r
Pilihan AZT + 3TC + LPV/r
Alternatif TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
Anak (<10 tahun)
Dapat menggunakan EFV/NVP untuk
NNRTI

Tabel 4: Dosis obat ARV untuk PPP HIV bagi Orang Dewasa dan Remaja
Nama obat ARV Dosis
Tenofovir (TDF) 300mg sekali sehari
Lamivudin (3TC) 150 dua kali sehari atau 300mg sekali sehari
Emtricitabin (FTC) 200mg sekali sehari
Zidovudin (AZT) 300mg dua kali sehari
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 200mg/50mg dua kali sehari

C.Penemuan Kasus Baru


Tujuan
Untuk menemukan pasien pada stadium awal dan memberikan akses
terhadap terapi ARV, profilaksis kotrimoksasol dan paket layanan HIV lainya.
Panduan Pelaksanaan

 KTHIV menjadi pendekatan utama dalam deteksi dini HIV


 Layanan tes HIV harus menjadi prosedur dalam setiap tindakan
bedah/tindakan lainnya
 Penemuan kasus dapat dilakukan Faskes di tingkat puskesmas, pustu,
polindes dan posyandu yang memiliki tenaga terlatih
 Sebagai bagian dari LKB tes HIV perlu dipastikan untuk penanganan
rujukan PDP HIV.
 Penawaran tes HIV di Faskes dapat dilakukan oleh semua tenaga
kesehatan melalui pelatihan KTIP.
 Penemuan kasus HIV pada daerah dengan epidemi terkonsentrasi
dilakukan pada pasien TB, pasien IMS, pasien Hepatitis dan Ibu hamil
serta populasi kunci seperti pekerja seks, penasun, waria/transgender, LSL
dan warga binaan di rutan/lapas.
 Pada daerah dengan epidemi meluas penemuan kasus dilakukan pada
semua pasien yang datang ke Faskes.
 Persetujuan untuk tes HIV dapat dilakukan secara lisan (verbal
consent) sesuai dengan Permenkes no. 21 tahun 2013. Pasien
diperkenankan menolak tes HIV. Jika pasien menolak, maka pasien
diminta untuk menandatangani surat penolakan tes secara tertulis.
 Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tes HIV wajib
ditawarkan kepada semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau menjelang
persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV
diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB.

Konseling dan Tes HIV (KT HIV)


Dengan demikian maka pasien yang terdeteksi sebagai ODHA akan didiagnosis
dan ditangani lebih dini dan optimal.

Penemuan kasus baru secara rutin mempunyai keuntungan sebagai berikut:

1. Penemuan kasus HIV lebih dini meningkatkan akses perawatan dan


pengobatan yang memadai sehingga mengurangi perawatan di rumah sakit
dan angka kematian.
2. Pasien mendapatkan akses layanan lanjutan seperti skrining TB, skrining
IMS, pemberian kotrimoksasol dan atau INH, serta pengobatan ARV
3. Penurunan stigma dan diskriminasi karena masyarakat akan melihat bahwa
hal tersebut merupakan kegiatan rutin

Meskipun demikian semua pemeriksaan HIV harus mengikuti prinsip yang telah
disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut “5C” (informed
consent, confidentiality, counseling, correcttest result and connection/linked to
prevention, care, and treatment services) yang tetap diterapkan dalam
pelaksanaannya.
Prinsip konfidensial sesuai dengan Permenkes no. 21 tahun 2013 pasal 21 ayat 3
berarti bahwa hasil pemeriksaan harus dirahasiakan dan hanya dapat dibuka
kepada :

a. yang bersangkutan;
b. tenaga kesehatan yang menangani;
c. keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap;
d. pasangan seksual; dan
e. pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tes HIV adalah pemeriksaan laboratorium dengan tujuan untuk penemuan kasus.
Tes HIV bersifat sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, yaitu:

a. Perlu informasi singkat dan sederhana tanpa membuat pasien menjadi


takut tentang manfaat dan tujuannya
b. Perlu persetujuan pasien. Persetujuan verbal cukup untuk melakukan
pemeriksaan HIV. Jika pasien menolak maka pasien diminta untuk
menandatangani formulir penolakan tes HIV.
c. Hasil tes HIV disampaikan kepada pasien oleh dokter dan tenaga
kesehatan yang meminta
d. Harus mendapatkan tindak lanjut pengobatan dan perawatan lainnya
seperti skrining TB, skrining IMS, konseling pasca tes jika dibutuhkan
dan pemberian ARV
e. Hasil tes bersifat konfidensial dan dapat diketahui oleh dokter dan
tenaga kesehatan lain yang berkepentingan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Identitas

Berdasarkan data dari ditjen PP dan PL depkes RI (2009), terdapat 19.973 jumlah kumulatif
kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun,30,14% bterdapat
pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% terdapat pada umur 40-49 tahun , 3,05% terdapat
pada kelompok usia 15-19 tahun, 2,49% terdapat pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,51
%pada kelompok umur , 15 tahun dan 3,27 %tidak di ketahui ,rasio kasus AIDS antara laki-
laki dan perempuan adalah 3 : 1 diagnosa medis :HIV/AIDS

(Katiandagho, 2015, p. 81)

1. Status kesehatan saat ini

 Keluhan utama

Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan merasakan demam dan diare terus menerus.
(Katiandagho, 2015, p. 28)

 Alasan masuk rumah sakit

Pasien diare terus menerus (Katiandagho, 2015, p. 28)

(Katiandagho, D. (2015). Epidemiologi HIV AIDS. Bogor: In Media.)

 Riwayat penyakit sekarang

Biasanya pasien mengeluh hipoksia, sesak nafas, jari tabuh, limfadenopati (Jauhar & Bararah,
2013, hal. 299)

1. Riwayat kesehatan terdahulu

 Riwayat penyakit sebelumnya

Sebelumnya pasien mengeluh mengalami penurunan BB lebih dari 10%,demam,dan batuk


dengan waktu yang cukup lama. (Jauhar & Bararah, 2013, hal. 302)

 Riwayat penyakit keluarga

Biasanya penyakit HIV di tularkan dari ibu ke anaknya. (Jauhar & Bararah, 2013, hal. 296)
 Riwayat pengobatan

Pemberian obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, dan inhibitor protease. (Yulrina & Lusiana, 2015, hal. 13)

3.1 Pengkajian Fungsional (menurut Gordon)


a. Aktivitas/istirahat:Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas, kelelahan
yang progresif.
b. Sirkulasi: Proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama bila cidera.
c. Integritas ego: Faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan: dukungan
keluarga, hubungan dengan orang lain, penghasilan dan gaya hidup tertentu.
Menguatirkan penampilan: alopesia, lesi, cacat, menurunnya berat badan. Merasa
tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri, dan depresi.
Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis, kontak mata
kurang.
d. Eliminasi: Diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih. Feses encer disertai
mucus atau darah. Nyeri tekan abdominal, lesi pada rektal, perubahan dalam jumlah
warna urine.
e. Makanan /cairan: Tidak ada nafsu makan, mual, muntah. Penurunan BB yang cepat.
Bising usus hiperaktif. Turgor kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput
putih/perubahan warna mukosa mulut.
f. Hygiene: Tidak dapat menyelesaikan ADL, memperlihatkan penampila yang tidak
rapi.
g. Neurosensorik: Pusing, sakit kepala. Perubahan status mental, kerusakan mental,
kerusakan sensasi. Kelemahan otot, tremor, penurunan visus. Beban, kesemutan pada
ekstremitas. Gaya berjalan ataksia.
h. Nyeri/kenyamanan:Nyeri umum/lokal, sakit, rasa terbakar pada kaki. Sakit kepala,
nyeri pleuritis.
i. Pernapasan: Terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non, sesak
pada dada, takipnea, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
j. Keamanan: Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses penyembuhan.
Demam berulang.
k. Seksualitas: Riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan
kondom yang tidak konsisten, lesi pada genetalia, keputihan.

Interaksi sosial: Isolasi, kesepian, perubahan interaksi


1. Pemeriksaan fisik

 Keadaan Umum

1. Kesadaran

Kesadaran Pasien melemah (Katiandagho, 2015, hal. 29)

1. Tanda tanda vital

GSC 4 6 5, T = 150/100 mmhg

S = 38 c

RR = 25x/mnt

N = 95 /mnt (Yulrina & Lusiana, 2015, hal. 130)

 Body System

1. Sistem pernafasan

 Hidung :simetris, pernafasan, cuping hidung.


 Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar lymfe di sub mandibula.
 Dada :

bentuk dada normal`

perbandingan ukuran anterior-posterior dengan tranversal 1:1

Gerakan dada : simetris, tidak terdapat reaksi`

Suara nafas :ronki

Suara nafas tambahan : ronki(Nurarif & Kusuma, 2015, p. 14)

(Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis &Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.)

1. System kardiovaskuler

 Conjungtiva : tidak anemia, bibir pucat/ cyanosis, arteri carotis : berisi regular tekanan
vena jugularis tidak meninggi.
 Ukuran jantung : tidak ada pembesaran.
 Suara jantung : tidak ada bunyi abnormal
 Capillary refilling time > 2 detik(Yulrina & Lusiana, 2015, p. 132)

1. System persarafan

 Fungsi selebral : status mental orientasi masih tergantung orang tua,kesadaran mata
(membuka mata spontan ). Motorik ( bergerak mengikuti perintah ). Verbal ( bicara
normal)
 Fungsi karnial : saat pemeriksaan tidak di temukan tanda-tanda kelainan dari nervus 1-
7
 Fungsi motorik : klien Nampak lemah, seluruh aktivitasnya di bantu.
 Fungsi sensorik: suhu nyeri, getaran,posisi deskriminasi ( terkesan terganggu )
 Fungsi cerebellum : koordinasi keseimbangan, kesan normal.
 Refleks: bisip,trisep, patella dan babinski terkesan normal.(Katiandagho, 2015, p. 29)

1. System perkemihan

 Urin produksi oliguria sampai anuria ( 200-400 ml/24 jam ) frekuensi berkurang
 Tidak di temukan odema
 Tidak di temukan adanya nokturia, disuria, dan kencing batu`(Yulrina & Lusiana,
2015, p. 134)

1. System pencernaan

 Mulut :terjadi peradangan pada mukosa mulut


 Abdomen : distensi abdomen, peristalticmeningkat >25x/mnt akibat adanya virus yang
menyerang usus.
 Gaster : nafsu makan menurun, mules, mual muntah, minum normal
 Anus : meradang gatal dan terdapat bintik`(Jauhar & Bararah, 2013, p. 302)

1. System integument

 Warna kulit pucat dan terdapat bintik-bintik dengan rasa gatal, turgor menurun >dl
 Suhu meningkat 39⁰c,akral hangat,akral hangat,akral dingin (waspada syok ),capillary
refill time memanjang >2 dl, kemerahan pada daerah perianal(Yulrina & Lusiana,
2015, p. 133)

1. System musculoskeletal

 Kepala :betuk kurang baik, sedikit nyeri


 Vertebrae:tidak di temukan skoliosis,kiposis,ROM pasif klien malas bergerak,aktifitas
utama pasien adalah berbaring di tempat tidur
 Lutut :tidak bengkak,tidak kaku ,gerakan aktif,kemampuan baik
 Tangan tidak bengkak , gerakan dan rom aktif(Jauhar & Bararah, 2013, p. 302)

(Jauhar, M., & Bararah, T. (2013). Asuhan Keperawatan. Jakarta: Prestasi Pustaka.)

1. System endokrin

 Kelenjar tiroid tidak nampak tidak ada pembesaran.


 Suhu tubuh tdk tetap keringat normal.
 Tidak ada riwayat diabetes,(Yulrina & Lusiana, 2015, p. 134)

(Yulrina, A., & Lusiana, N. K. (2015). Bahan Ajar Aids Pada Asuhaan Kebidanan.
Yogyakarta: Depublish.)

1. System reproduksi

 Alat genetallia termasuk glans penis dan oraficum uretra eskrena mera dan gatal.
(Setiati, 2014, p. 899)

(Setiati, S. (2014). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.)

1. System penginderaan

 Mata : agak cekung


 Hidung :penciuman kurang baik
 Auditorius : kurang bersih akibat penyebaran penyakit ,fungsi pendengaran kesan
baik.(Jauhar & Bararah, 2013, p. 303)

(Jauhar, M., & Bararah, T. (2013). Asuhan Keperawatan. Jakarta: Prestasi Pustaka.)

1. System imun

 Klien tidak ada riwayat energy


 Imunisasi lengkap
 Penyakit yang berhubungan dengan perubahan.cuaca tidak ada
 Riwayat transfuse darah tidak ada (Yulrina & Lusiana, 2015, p. 134)
 (Yulrina, A., & Lusiana, N. K. (2015). Bahan Ajar Aids Pada Asuhaan Kebidanan.
Yogyakarta: Depublish.)

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
Nyeri akut

Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan
sedemikian rupa (International Association for the study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau
lambat dan intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi
dan berlangsung <6 bulan.
Batasan Karakteristik :

1. Perubahan selera makan


2. Perubahan tekanan darah
3. Perubahan frekwensi jantung
4. Perubahan frekwensi pernapasan
5. Laporan isyarat
6. Diaforesis
7. Perilaku distraksi (mis,berjaIan mondar-mandir mencari orang lain dan atau
aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
8. Mengekspresikan perilaku (mis, gelisah, merengek, menangis)
9. Masker wajah (mis, mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata
berpencar atau tetap pada satu fokus meringis)
10. Sikap melindungi area nyeri
11. Fokus menyempit (mis, gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berfikir,
penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
12. Indikasi nyeri yang dapat diamati
13. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
14. Sikap tubuh melindungi
15. Dilatasi pupil
16. Melaporkan nyeri secara verbal
17. Gangguan tidur

Faktor Yang Berhubungan :

1. Agen cedera (mis, biologis, zat kimia, fisik, psikologis)


2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan depresi sistem imun, aktivitas
yang tidak terorganisir.
3.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional


keperawatan (NOC) keperawatan
(NIC)

1. Nyeri akut Tujuan: Setelah a. Kaji keluhan nyeri, a. Mengindikasikan


berhubungan dilakukan tindakan perhatikan lokasi, kebutuhan untuk
dengan inflamasi keperawatan selama intensitas, frekuensi intervensi dan juga
atau kerusakan 1x24 jam. dan waktu. tanda-tanda
jaringan. Kriteria hasil: Keluhan perkembangan
nyeri hilang, komplikasi.
b. Meningkatkan
menunjukkan ekspresi b. Ajarkan klien untuk
relaksasi dan
wajah rileks, dapat tidur relaksasi progresif,
perasaan sehat.
atau beristirahat secara teknik napas dalam.
c. Dapat mengurangi
c. Dorong
adekuat.
ansietas dan rasa
pengungkapan
sakit, sehingga
perasaan
persepsi akan
intensitas rasa
sakit.
d. Meningkatkan
d. Lakukan tindakan
relaksasi atau
paliatif, seperti
menurunkan
pengubahan posisi,
tegangan otot.
masase, rentang
gerak pada sendi
e. Memberikan
yang sakit.
e. Kolaborasikan penurunan nyeri
dengan tim medis atau tidak nyaman,
terkait pemberian mengurangi
obat analgesik atau demam. Obat yang
antipiretik. dikontrol pasien
berdasar waktu 24
jam dapat
mempertahankan
kadar analgesik
darah tetap stabil,
mencegah
kekurangan atau
kelebihan
intensitas rasa
sakit.
2. Resiko terjadinya Tujuan: Setelah a. Cuci tangan sebelum a. Resiko cros infeksi
infeksi dilakukan tindakan dan sesudah kontak dapat melalui
berhubungan keperawatan selama dengan pasien. prosedur yang
dengan depresi 1x24 jam. dilakukan.
b. Ciptakan lingkungan
sistem imun, Kriteria hasil: Klien akan yang bersih dan b. Lingkungan yang
aktivitas yang tidak menunjukkan tanpa ventilasi yang kotor akan
terorganisir. adanya tanda-tanda cukup. meningkatkan
infeksi (tidak ada pertumbuhan
c. Informasikan
demam, sekresi tidak kuman pathogen.
perlunya tindakan
c. Penurunan daya
purulent).
isolasi.
tahan tubuh
memudahkan
berkembangbiakny
a kuman pathogen.
Tindakan isolasi
sebagai upaya
menjauhkan dari
d. Kaji tanda-tanda
kontak langsung
vital.
dengan kuman
pathogen.

d. Peningkatan suhu
e. Observasi kulit atau
badan
membran mukosa
menunjukkan
kemungkinan
adanya infeksi
adanya lesi atau
sekunder.
perubahan warna,
bersihkan kuku
setiap hari. e. Luka akibat
f. Perhatikan adanya
garukan
tanda-tanda
memudahkan
inflamasi.
timbul infeksi
g. Awasi penggunaan luka.
jarum suntik dan
mata pisau secara f. Panas kemerahan
ketat dengan pembengkakakan,
menggunakan merupakan tanda
wadah tersendiri. adanya infeksi.
g. Tindakan prosedur
dapat
menyebabkan
perlukaan pada
permukaan kulit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, kementri


kesehatan republic Indonesia. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual:
Dirjen P2PL;2011
2. Djoerban Z, Djauzi S. 2009.HIV/AIDS di Indonesia Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam
Edisi V. Editor: SUdoyo AW, SetyohadiB, Alwi I, Simadibrata M,Setiati S. Jakarta: Puat
Penerbitan IPD FAKUI.
3. Nasronudin. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang .Surabaya:
Airlangga.
4. Mansjoer Arif.2001.Selekta Kapita Kedokteran.Jakarta.Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
5. http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf

6. (Smeltzer, Keperawatan Medikal Bedah, 2015)

Anda mungkin juga menyukai