DI RUANG 27
RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh:
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN INI TELAH DISAHKAN PADA
TANGGAL ................................. 2019
MAHASISWA
..................................................
NIM. ......................................
MENGETAHUI,
PEMBIMBING KLINIK PEMBIMBING AKADEMI
....................................................... .......................................................
NIP. .............................................. NIP. ..............................................
KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Sindrom imunodefisiensi didapat AIDS didefinisikan sebagai bentuk paling berat dalam
rangkaian penyakit yang disebakan oleh infeksi virus HIV. HIV diisebabkan oleh kelompok
virus yang dikenal sebagai retrovirus. Virus ini membawa materi genetik mereka dalam
bentuk asam ribonukleat atau RNA dan bukan asam deoksiribonukleat atau DNA. Infeksi HIV
terjadi ketika virus memasuki sel CD4 (T) pejamu dan menyebabkan sel ini mereplikasi RNA
virus dan protein virus, yang pada akhirnya menyerap sel CD4 lain.
Tahap penyakit HIV didasarkan pada riwayat klinis, pemeriksaan fisik, temuan
laboratorium tentang disfungsi imun, tanda dan gejala, dan infeksi serta keganasan
(malignansi). Definisi kasus standart dari Centers for Deasease Control and Preventation
(CDC) tentang AIDS mengatagorikan infeksi HIV dan AIDS pada individu dewasa dan
remaja berdasarkan kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi HIV dan jumlah sel T CD4 +.
Empat kategori status terinfeksi diindikasikan oleh :
1. Infeksi primer (infeksi HIV akut atau baru, syndrome HIV akut : penurunan dramatis
jumlah sel T CD4, yang normalnya antara 500 dan 1500 sel/mm3)
2. HIV tak bergejala (CDC kategori : lebih dari 500 limfosit T CD4+/mm3)
3. HIV bergejala (CDC kategori B : 200 sampai 499 limfosit T CD4+/mm3)
4. AIDS (CDC kategori C : lebih sedikit dari 200 limfosit T CD4+/mm3)
(Smeltzer, Keperawatan Medikal Bedah, 2015)
B. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang di sebut HIV dari
kelompok virus yang di kenal retrovirus yang disebut lymphadenopathy associated virus
(LAV) atau human T-cell leukemia virus (HTL-III yang juga disebut human T-cell
lymphotropic virus (retrovirus).retrovirus mengubah asamrebonokleatnya (RNA) menjadi
asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu.penularan virus ditularkan
melalui:
2. Jarum suntik / tindik / tato yang tidak steril dan dipakai bergantian
3. Mendapatkan tranfusi darah yang mengandung virus HIV
4. Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan , saat melahirkan atau
melalui air susu ibu ( ASI) (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 10)
(Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.)
Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda
infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual,
muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dll. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini
mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan
meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai pada suatu titik
tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus
meningkat. Keadaan tersebut akan di ikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam
waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu1,5-
12,5 tahun sebelum akhirnya jatuh kesetadium AIDS
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi
target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel
target, gp120 HIV perlu diberikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada
permukaan limfosit T, monosit-makrofag, langerhan’s, sel dendrit, astrosit, mikroglia. Selain
itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine receptor yaitu CXCRA4 dan CCR5,
beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Intensitas ikatan gp120
HIV denagn reseptor CD4 ditentukan melalui peran regiovi terutama V3. Stabilitas dan
potensi ikatan di perkuat oleh ko-reseptor CCR5 dan CXCR4. Semakin kuat dan
meningkatnya itensitas ikatan tersebut akan di ikuti oleh proses intraksi lebih lanjut yaitu
terjadi fusi membrane HIV dengan membrane sel target atas peran gp41 HIV. Dengan
terjadinya fusi kedua membrane, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse
transkriptase dan inti masuk kedalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target,
HIV melepaskan singlestran RNA (ssRNA). Enzim revense transkriptase akan menggunakan
RNA sebagai template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA di pindahkan oleh
ribononuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga
menjadi double strane DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus,
menyatu dengan kromosom sel host T dengan perantara enzim intregrase. Penggabungan ini
menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi
privirus yang tidak aktif ini di sebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktivkan provirus dari
keadaan laten tersebut memerlukan proses aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi
oleh inductor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor
kB (NF-Kp) sehingga menjadi aktiv dan berikatan pada 5’LTR (long terminal repeats) yang
mengapit gen gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi
gen, NFkB emnginduksi replikasi DNA. Inductor nuclear factor kB (NF-kB).sehingga cepat
memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang
memicu infeksi sekunder dan mempengaruhi jalannya aplikasi adalah bakteri, virus, jamur,
maupun protozoa. Dari ke empat mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya
terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA.
Enzim polimerase akan mentranskip DNA menjadi RNA secara struktur berfungsi
sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru.
Inti beserta perangkap lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian di poli peptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang
fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolopid dari permukaan sel host,
sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar
dari sel, akan menginfeksi sel target berikut. Dalam satu hari HIV mampu melakukan
replikasi hingga mencapai virus baru.
Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari
waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4
melalui beberapa mekanisme sebagai berikut
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat
adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak
berintegrasi dengan nukleus dan terjadinya gangguan sintesis makro molekul.
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan
limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respons imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan
sel yang terinfeksi dan sel normal disekitarnya (innocent-bystander)
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi
5. Kematian sel yang terprogram ( apoptosis ). Pengikatan antara gp 120 di regio V3
dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan
pesan kematian sel melalui apoptosis
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi sitoprotektif,
pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi missfolding dan
denaturasi protein, jejas dan kematian
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T
CD4 secara dramatis dari normal berkaisar 600 – 1200 / mm menjadi 200 / mm atau lebih
rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga
peetahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan
resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi
sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.
Jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus, dan gejala klinis melalui 3 fase :
Setelah HIV menginfeksi sel target. Terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-
virus baru ( virion ) jumlahnya berjuta-juta virion. Viremia dan begitu banyak virion tersebut
memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu
yang juga mirip infeksi mononukleosa. Diperkirakan bahwa sekitar 50 % sampai 70 % orang
yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut selama 3 sampai 6 minggu setelah di
infeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia,
latargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. HIV
juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf meskipun paparan HIV terjadi pada
stadium infeksi masih awal. Menyebabkan meningitis, ensefalitis, neuropati perifer dan
mielopati. Gejala pada dermatologi, yaitu ruam makropapuler eritematosa dan ulkus
mukokutan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi
kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih
di atas 500 sel/mm dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi
HIV.
Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus
yang di ikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe
sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah.
Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion yang berlebihan tersebut, limfosit semakin
tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T-
CD4 hingga dibawah 200 sel/mm. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun
menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan
penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Infeksi sekunder. Infeksi
sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia yang disebabkan pneumocytis carinii,
tuberkolosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus
herpes, kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain misalnya histoplasmosis,
koksidiodomikosis. Kadang kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker kelenjar getah
bening dan kanker sarkoma kaposi’s.
Selain 3 fase tersebut ada periode masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes
antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien
dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui
pemeriksaaan laboratorium kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya
muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat
penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial
menularkan HIV kepada orang lain. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada periode
ini sebaiknya yang mampu mendeteksi antigen p18, p24, p31, p36, gp120, gp41.
Pathway
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (syndrome retroviral akut,
demensia HIV), infeksi opportunistic, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit
dibagi dalam tahap tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD (Kapita selekta
kedokteran)
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat
intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan
asintomatis berkepanjangan, hingga menifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda dari
HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap.
Pertama merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala tetapi tidak
spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa
letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran kelenjar getah bening. Dapat juga
disetai meningitis aseptik yang ditandai demam, nyeri kepala hebat, kejang kejang dan
kelumpuhan saraf otak.
Kedua merupakan tahap asimtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan hilang. Tahap
ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi. Pada saat ini
sedang terjadi internalisasi HIV ke intra seluler. Pada tahap ini aktivitas penderita masih
normal.
Ketiga merupakan tahap sintomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik
dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada
selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat juga
ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas namun penderita dapat melakukan
aktivitas meskipun terganggu. Penderita lebih banyak berada ditempat tidur meskipun kurang
12 jam perhari dalam bulan terakhir.
Keempat merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini terjadi
penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui
penyebabnya lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, tuberculosis paru,
dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring ditempat tidur lebih dari 12 jam perhari selama
sebulan terakhir. Penderita diserbu berbagai macam infeksi sekunder, misalnya pneumonia
pneumokistik karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus
sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis pada esophagus, trakea, bronkus atau paru serta
infeksi jamur yang lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga ditemukan
beberapa jenis maliknansim, termasuk keganasan kelenjar getah bening dan serkoma kaporsi.
Hiperaktivitas komplemen menginduksi sekresi histamine. Histamine menimbulkan keluhan
gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme di kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.
Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui stadium
klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC
Stadium klinis 1
1. Asimtomatis
2. Limadenopati persistent generalisata
Stadium klinis II
1. Penurunan berat badan, tetapi < 10% dari berat badan sebelumnya
2. Manifestasi mukokutaneus minor ( dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur
pada kuku, ulserasimukosa oral berulang, cheilitis angularis)
3. Herpes zoster, dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi berulang pada saluran pernafasan atas ( missal : sinusitis bakterial )
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada ditempat tidur, < 50 %
per hari dalam bulan trakhir
Stadium klinis IV
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4 : sangat lemah, selalu beradda ditempat
tidur > 50 % perhari dalam bulan terakhir.
Kategori klinis A
Katagori klinis B
Terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang
tidak termasuk dalam katagori C dan memenuhi paling kurang satu dari keadaan :
1. Angiomatosis
2. Kandidiasis, orofarengal
3. Kandidiasis, vulvovaginal
4. Displasia servikal
5. Demam 38,5 °C atau diare lebih dari 1 bulan
6. Herpes zoster
7. ITP
8. Penyakit radang panggul
9. Nuropati perifer
Kategori klinis C
E. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan Diagnosis
Tujuan
Menegakkan diagnosis pada seseorang yang kemungkinan terinfeksi HIV.
(Kecurigaan kemungkinan terinfeksi didasarkan pada tanda dan gejala
penyakit yang terkait HIV atau adanya faktor risiko tertular HIV)
Panduan Pelaksanaan
Gunakan tes cepat HIV (rapid test) sebagai sarana penegakan diagnosis
Pemeriksaan dilakukan secara serial dengan menggunakan 3 jenis
reagen yang berbeda sesuai dengan pedoman nasional
Penyimpanan reagen HIV dilakukan sesuai dengan instruksi yang
tertera dilembar informasi dan digunakan sebelum tanggal kedaluwarsa
Bila tidak tersedia petugas laboratorium maka tes HIVdapat
dilakukan oleh petugas kesehatan lain seperti petugas medis atau
paramedis yang terlatih.
Interpretasi hasil tes dan keputusan tindak lanjut dilakukan oleh
dokter yang meminta pemeriksaan tes
Bagan 4: Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana Pajanan
Setiap pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang yaitu atasan
langsung dan Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) atau
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Laporan tersebut sangat penting untuk
menentukan langkah berikutnya. Memulai PPP sebaiknya secepatnya (< 4 jam)
dan tidak lebih dari 72 jam. Setelah 72 jam tidak dianjurkan karena tidak efektif.
• Darah
• Cairan bercampur darah yang kasat mata
• Cairan yang potensial terinfeksi, yaitu: semen, vagina, serebrospinal,
sinovia, pleura, peritoneal, perikardial, amnion
• Virus yang terkonsentrasi
Penilaian status infeksi sumber pajanan terhadap penyakit yang menular melalui
darah yang dapat dicegah, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium bila
memungkinkan. Penyakit tersebut adalah:
Tindak lanjut
Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus selalu dilakukan tindak lanjut, terlebih
pada yang mendapatkan PPP seperti halnya pemberian terapi ARV pada
umumnya. Tindakan yang diperlukan meliputi:
• Evaluasi laboratorium, termasuk tes HIV pada saat terpajan dan 6 minggu,
3 bulan, dan 6 bulan setelahnya; tes HbsAg bagi yang terpajan dengan
risiko Hepatitis B
• Pencatatan
• Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut klinis atas gejala infeksi
HIV, Hepatitis B, efek samping obat PPP, konseling berkelanjutan untuk
kepatuhan terapi ARV, dsb.
Tabel 3: Paduan Obat ARV untuk PPP
Orang yang
Paduan ARV
terpajan
Pilihan TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
Remaja dan
Alternatif TDF + 3TC (FTC) + EFV
dewasa
ATAU AZT + 3TC + LPV/r
Pilihan AZT + 3TC + LPV/r
Alternatif TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
Anak (<10 tahun)
Dapat menggunakan EFV/NVP untuk
NNRTI
Tabel 4: Dosis obat ARV untuk PPP HIV bagi Orang Dewasa dan Remaja
Nama obat ARV Dosis
Tenofovir (TDF) 300mg sekali sehari
Lamivudin (3TC) 150 dua kali sehari atau 300mg sekali sehari
Emtricitabin (FTC) 200mg sekali sehari
Zidovudin (AZT) 300mg dua kali sehari
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 200mg/50mg dua kali sehari
Meskipun demikian semua pemeriksaan HIV harus mengikuti prinsip yang telah
disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut “5C” (informed
consent, confidentiality, counseling, correcttest result and connection/linked to
prevention, care, and treatment services) yang tetap diterapkan dalam
pelaksanaannya.
Prinsip konfidensial sesuai dengan Permenkes no. 21 tahun 2013 pasal 21 ayat 3
berarti bahwa hasil pemeriksaan harus dirahasiakan dan hanya dapat dibuka
kepada :
a. yang bersangkutan;
b. tenaga kesehatan yang menangani;
c. keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap;
d. pasangan seksual; dan
e. pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tes HIV adalah pemeriksaan laboratorium dengan tujuan untuk penemuan kasus.
Tes HIV bersifat sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, yaitu:
A. Pengkajian
Identitas
Berdasarkan data dari ditjen PP dan PL depkes RI (2009), terdapat 19.973 jumlah kumulatif
kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun,30,14% bterdapat
pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% terdapat pada umur 40-49 tahun , 3,05% terdapat
pada kelompok usia 15-19 tahun, 2,49% terdapat pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,51
%pada kelompok umur , 15 tahun dan 3,27 %tidak di ketahui ,rasio kasus AIDS antara laki-
laki dan perempuan adalah 3 : 1 diagnosa medis :HIV/AIDS
Keluhan utama
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan merasakan demam dan diare terus menerus.
(Katiandagho, 2015, p. 28)
Biasanya pasien mengeluh hipoksia, sesak nafas, jari tabuh, limfadenopati (Jauhar & Bararah,
2013, hal. 299)
Biasanya penyakit HIV di tularkan dari ibu ke anaknya. (Jauhar & Bararah, 2013, hal. 296)
Riwayat pengobatan
Pemberian obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, dan inhibitor protease. (Yulrina & Lusiana, 2015, hal. 13)
Keadaan Umum
1. Kesadaran
S = 38 c
RR = 25x/mnt
Body System
1. Sistem pernafasan
(Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis &Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.)
1. System kardiovaskuler
Conjungtiva : tidak anemia, bibir pucat/ cyanosis, arteri carotis : berisi regular tekanan
vena jugularis tidak meninggi.
Ukuran jantung : tidak ada pembesaran.
Suara jantung : tidak ada bunyi abnormal
Capillary refilling time > 2 detik(Yulrina & Lusiana, 2015, p. 132)
1. System persarafan
Fungsi selebral : status mental orientasi masih tergantung orang tua,kesadaran mata
(membuka mata spontan ). Motorik ( bergerak mengikuti perintah ). Verbal ( bicara
normal)
Fungsi karnial : saat pemeriksaan tidak di temukan tanda-tanda kelainan dari nervus 1-
7
Fungsi motorik : klien Nampak lemah, seluruh aktivitasnya di bantu.
Fungsi sensorik: suhu nyeri, getaran,posisi deskriminasi ( terkesan terganggu )
Fungsi cerebellum : koordinasi keseimbangan, kesan normal.
Refleks: bisip,trisep, patella dan babinski terkesan normal.(Katiandagho, 2015, p. 29)
1. System perkemihan
Urin produksi oliguria sampai anuria ( 200-400 ml/24 jam ) frekuensi berkurang
Tidak di temukan odema
Tidak di temukan adanya nokturia, disuria, dan kencing batu`(Yulrina & Lusiana,
2015, p. 134)
1. System pencernaan
1. System integument
Warna kulit pucat dan terdapat bintik-bintik dengan rasa gatal, turgor menurun >dl
Suhu meningkat 39⁰c,akral hangat,akral hangat,akral dingin (waspada syok ),capillary
refill time memanjang >2 dl, kemerahan pada daerah perianal(Yulrina & Lusiana,
2015, p. 133)
1. System musculoskeletal
(Jauhar, M., & Bararah, T. (2013). Asuhan Keperawatan. Jakarta: Prestasi Pustaka.)
1. System endokrin
(Yulrina, A., & Lusiana, N. K. (2015). Bahan Ajar Aids Pada Asuhaan Kebidanan.
Yogyakarta: Depublish.)
1. System reproduksi
Alat genetallia termasuk glans penis dan oraficum uretra eskrena mera dan gatal.
(Setiati, 2014, p. 899)
1. System penginderaan
(Jauhar, M., & Bararah, T. (2013). Asuhan Keperawatan. Jakarta: Prestasi Pustaka.)
1. System imun
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan
sedemikian rupa (International Association for the study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau
lambat dan intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi
dan berlangsung <6 bulan.
Batasan Karakteristik :
d. Peningkatan suhu
e. Observasi kulit atau
badan
membran mukosa
menunjukkan
kemungkinan
adanya infeksi
adanya lesi atau
sekunder.
perubahan warna,
bersihkan kuku
setiap hari. e. Luka akibat
f. Perhatikan adanya
garukan
tanda-tanda
memudahkan
inflamasi.
timbul infeksi
g. Awasi penggunaan luka.
jarum suntik dan
mata pisau secara f. Panas kemerahan
ketat dengan pembengkakakan,
menggunakan merupakan tanda
wadah tersendiri. adanya infeksi.
g. Tindakan prosedur
dapat
menyebabkan
perlukaan pada
permukaan kulit.
DAFTAR PUSTAKA