HIV/AIDS
Di Susun Oleh :
2. Anatomi Fisiologi
Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan hamper semua
organisme atau toksin yang cenderung masuk ke jaringan dan organ. Kemampuan ini
dinamakan imunitas (kekebalan/yang khusus untuk membentuk antibody serta limfosit
untuk menyerang dan menghancurkan mikroorganisme spesifik atau toksin. Factor yang
mempengaruhi sistem imun yaitu usia, jenis kelamin, nutrisi, factor psikoneuroimunologi
dan kelainan organ lain. Abnormalitas fungsi sistem imun menyebabkan timbulnya
penyakit imun. Penyakit defisiensi imun misalnya AIDS yang disebabkan oleh virus HIV
yang menyerang dan melumpuhkan sel T Helper.
Limfosit sel T merupakan limfosit yang ada dalam sirkulasi pada awal
perkembangan dalam korteks timus. Sel T disebut juga Pro-T. sel T tidak mengeluarkan
antibody, hanya berkontak langsung dengan sasaran suatu proses yang dikenal dengan
imunitas yang diperantarai oleh sel T. Setiap sel T mempunyai protein-protein reseptor
yang diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen yang berada dipermukaan sel dapat
mengikat sel asing.
Terdapat tiga subpopulasi sel T bergantung pada perannya setelah diaktifkan:
1) Sel T sitoksik, menghancurkan sel pejamu yang memiliki antigen asing. Misalnya
sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, sel cangkokan.
2) Sel T penolong, yang meningkatkan sel B aktif menjadi sel plasma.
3) Sel T penekan, yang menekan produksi antibody sel B dan aktifitas sel T sitoksik
dan penolong.
3. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV
dari kelompok virus yang dikenal dengan retrovirus yang disebut Lympadenophaty
Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus HTL-III yang juga disebut
Human T-Cell Lymphotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam
rebonukleatnya (RNA) menjadi asam deolsiribunukleat (DNA) setelah masuk ke dalam
sel pejamu. Penularan virus ditularkan melalui:
1) Hubungan seksual (anal, organ, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom)
dengan orang yang telah terinfeksi HIV
2) Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian
3) Mendapat tranfusi darah yang mengandung HIV
4) Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan,
melalui air susu ibu (ASI)
4. Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lewat
pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu
antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi
dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu,
dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-
stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus
dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper
tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV
didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang
asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T
sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit.
Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan
penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Ketika sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
5. Manifestasi Klinis
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1) Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2) Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
9. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan menumpukan secret
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
3) Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup
yang beresiko.
5) Resiko tinggi penularan infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan
10. Tujuan NIC dan NOC
Dx Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji keadaan pasien 1. Memantau kondisi pasien
keperawatan selama 3x24 jam 2. Posisikan pasien untuk 2. Memudahkan pasien
diharapkan bersihan jalan memaksimalkan ketika bernapas
napas ketidakefektifan hilang ventilasi 3. Mengeluarkan secret
dengan kriteria hasil: 3. Ajarkan untuk batuk 4. Pemberian oksigen untuk
1. Tidak terdapat sputum efektif memperlancar napas
2. Frekuensi napas 16- 4. Monitor respirasi dan 5. Memberikan kenyamanan
20x/menit berikan terapi oksigen untuk pasien
3. Tidak ada suara napas sesuai indikasi
tambahan 5. Berikan pasien posisi
4. Retraksi dinding dada (-) semi fowler
5 Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien atau 1. Pasien dan keluarga mau
keperawatan selama 3x24 jam orang penting lainnya dan memerlukan
diharapkan Infeksi HIV tidak metode mencegah informasikan ini
ditransmisikan, tim kesehatan transmisi HIV dan 2. Mencegah transimisi
memperhatikan universal kuman patogen lainnya. infeksi HIV ke orang lain
precautions dengan kriteria, 2. Gunakan darah dan
kontak pasien dan tim cairan tubuh precaution
kesehatan tidak terpapar HIV, bial merawat pasien.
tidak terinfeksi patogen lain Gunakan masker bila
seperti TBC. perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Syaifuddin. (2012). Anatomi Fisilogi : Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk Keperawatan &
Kebidanan, Ed. 4. Jakarta: EGC
Nurafif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus. Jogjakarta: Mediaction
Jogja
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/16725/Chapter%20II.pdf?sequence=4&
isAllowed=y
https://www.academia.edu/14954720/PATHWAY_PATOFISIOLOGI_HIV_AIDS
https://www.academia.edu/36355563/Asuhan_Keperawatan_HIV_AIDS
https://www.academia.edu/38475014/LAPORAN_PENDAHULUAN_HIV.docx