Anda di halaman 1dari 16

TUGAS ETIKA BISNS

“Etika Perlindungan Konsumen dan Etika Periklanan”

Dosen Pengampu : Dra. Ni Ketut Purnawati, M.S.

Oleh Kelompok 1 :

I Komang Putra Krisna Eka Yasa 1707521076


Ni Luh Putu Prawerti Widhari 1707521077
Ni Komang Ardi Wahyuni 1707521078

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

PROGRAM REGULER

2019
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN

1. Pasar dan Perlindungan Konsumen


Dengan adanya pasar bebas dan kompetitif, banyak orang meyakini bahwa konsumen
secara otomatis terlindungi dari kerugian, sehingga pemerintah dan pelaku bisnis tidak perlu
mengambil langkah-langkah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pasar bebas
mendukung alokasi, penggunaan, dan distribusi barang-barang yang dalam artian tertentu, adil,
menghargai hak, dan memiliki nilai kegunaan maksimum bagi orang-orang yang berpartisipasi
dalam pasar. Konsumen dikatakan "berdaulat penuh", saat konsumen menginginkan dan bersedia
membayar untuk suatu produk, para penjual memperoleh insentif untuk memenuhi keinginan
mereka. Jika penjual tidak menyediakan apa yang diinginkan konsumen, berarti mereka rugi.
Sebaliknya, jika menyediakan apa yang diinginkan konsumen, maka mereka untung.
Dalam pendekatan “pasar” terhadap perlindungan konsumen, keamanan konsumen
dilihat sebagai produk yang paling efesien bila disediakan melalui mekanisme pasar bebas, di
mana penjual memberikan tanggapan terhadap permintaan konsumen. Pihak produsen harus
menanggapi permintaan konsumen dengan meningkatkan keamanan produk mereka. Jika tidak,
mereka akan kehilangan konsumen karena di ambil alih oleh pesaingnya. Hanya konsumen yang
bisa mengatakan berapa besar nilai yang mereka berikan pada masalah keamanan. Konsumen
harus diperbolehkan menunjukkan preferensi tersebut melalui pilihan-pilihan bebas dan tidak
melalui pemaksaan dari para pelaku bisnis atau pemerintah untuk membayar sesuatu yang tidak
mereka inginkan.
Keuntungan yang diperoleh pasar bebas hanya terjadi bila pasar memiliki tujuh
karakteristik (Sutrisna Dewi, 2010 :102) sebagai berikut :
1. Banyak pembeli dan penjual
2. Semua orang bebas keluar masuk pasar
3. Semua orang memiliki informasi lengkap
4. Semua barang di pasar sama
5. Tidak ada biaya eksternal
6. Semua para pembeli dan penjual merupakan pemaksimal utilitas yang rasional
7. Pasar tidak diatur
Pasar dikatakan efisian jika konsumen memiliki informasi lengkap dan sempurna tentang
barang-barang yang mereka beli. Pada kenyataannya konsumen jarang memiliki informasi
lengkap karena memang produk-produk yang ada di pasar sangat beragam dan hanya para ahli
yang memiliki informasi lengkap. Konsumen tidak memiliki sumber daya untuk memperoleh
informasi tersebut. Konsumen diasumsikan sebagai “individu yang selalu berpegang pada
anggaran, rasional, tanpa kenal lelah terus berusaha memaksimalkan kepuasan mereka”.
Konsumen dalam konteks ini didefinisikan sebagai orang yang selalu menjaga pengeluaran
dengan sangat hati-hati. Namun, konsumen biasanya mengabaikan risiko-risiko dari aktivitas
yang berbahaya bagi kehidupan. Riset menunjukkan bahwa kemampuan konsumen untuk
membuat perkiraan menjadi kacau karena beberapa alasan, yaitu :
1. Perkiraan sebelumnya diabaikan saat informasi baru tersedia, sekalipun informasi itu
tidak relevan
2. Penekanan pada “penyebab” mengakibatkan konsumen mengabaikan bukti yang relevan
dengan probabilitas, namun tidak dianggap sebagai “penyebab”
3. Generalisasi dibentuk dengan berdasarkan jumlah sampel yang kecil
4. Keyakinan ditempatkan pada “hukum rata-rata” yang selalu diperbaharui, namun
sebenarnya tidak ada.
5. Orang-orang percaya bahwa mereka memiliki kendali atau peristiwa-peristiwa yang
sesungguhnya hanya kebetulan
Orang-orang cenderung bersikap tidak rasional dan tidak konsisten dalam menimbang
pilihan dengan didasarkan pada perkiraan probabilitas atas biaya atau keuntungan pada masa
mendatang. Meskipun pembeli atau konsumen di pasar memang banyak, namun sebagian besar
pasar masih merupakan pasar monopoli atau oligopoli atau dengan kata lain didominasi oleh satu
atau beberapa penjual besar. Para penjual di pasar monopoli dan oligopoli bisa menarik
keuntungan sebanyak-banyaknya dari konsumen dengan memastikan bahwa jumlah permintaan
lebih besar dari persediaan sehingga terjadi kekurangan dan selanjutnya diatasi dengan
menaikkan harga.
Jadi, secara keseluruhan tidak terlihat bahwa keuntungan-keuntungan pasar mampu
menghadapi semua pertimbangan konsumen tentang keamanan, bebas risiko, dan nilai. Adanya
kenyataan yang ditunjukkan oleh kurangnya informasi yang dimiliki konsumen dan sikap
konsumen yang tidak rasional ketika memilih, telah menolak argumen yang berusaha
menunjukkan bahwa pasar saja sudah mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi
konsumen.
Produsen adalah pihak yang paling mengetahui kemungkinan bahaya yang muncul dari
produk tertentu dan berkewajiban menekan bahaya tersebut saat produk dibuat. Sebagai
tambahan, keahlian yang dimiliki produsen membuat ia menjadi pihak yang mengetahui bahan-
bahan dan metode yang paling aman dan memungkinkan dia memberi perlindungan yang
memadai dalam desain produk. Terakhir, karena produsen mengetahui dengan pasti cara kerja
produk, maka dia selayaknya memberikan informasi tentang cara paling aman untuk
menggunakan dan melakukan tindakan pencegahan yang perlu dilakukan.

2. Hubungan antara Produsen dan Konsumen


Menurut Velasques (2005:321-347) terdapat 3 (tiga) teori atau pandangan berkaitan
dengan kewajiban produsen dengan konsumen, yaitu teori kontrak, due care, dan teori biaya
sosial. Masing- masing menekankan keseimbangan yang berbeda antara kewajiban konsumen
terhadap diri mereka sendiri dengan kewajiban produsen terhadap konsumen. Pandangan kontrak
menempatkan tanggungjawab yang lebih besar pada konsumen, sementara pandangan due care
dan biaya sosial menempatkan sebagian besar tanggungjawab pada produsen.
a. Teori Kontrak
Menurut pandangan kontrak, hubungan antara perusahaan (produsen) dengan konsumen
pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual. Pandangan ini menyebutkan bahwa saat
konsumen membeli sebuah produk, konsumen secara sukarela menyetujui, "kontrak penjualan"
dengan perusahaan. Pihak perusahaan secara sukarela dan setuju untuk memberikan sebuah
produk kepada konsumen dengan karakteristik tertentu, dan konsumen juga secara sukarela dan
sadar setuju membayar sejumlah uang pada perusahaan untuk produk tersebut. Karena telah
secara sukarela menyetujui perjanjian tersebut, pihak perusahaan berkewajiban memberikan
produk sesuai dengan karakteristik yang dimaksud dan konsumen memiliki hak korelatif untuk
memperoleh produk dengan karakteristik yang dimaksud. Teori kontrak berpandangan bahwa
kontrak sebuah perjanjian bebas yang mewajibkan pihak-pihak terkait untuk melaksanakan isi
persetujuan.
b. Teori Perhatian Semestinya (Due Care Theory)
Teori "due care" tentang hubungan antara produsen dan konsumen didasarkan pada
gagasan bahwa produsen dan konsumen tidak saling sejajar dan bahwa kepentingan-kepentingan
konsumen sangat rentan terhadap tujuan-tujuan produsen yang memiliki pengetahuan dan
keahlian tidak dimiliki konsumen. Karena produsen yang berada dalam posisi yang lebih
menguntungkan, mereka berkewajiban menjamin bahwa kepentingan-kepentingan konsumen
tidak dirugikan oleh produk yang mereka tawarkan. Pandangan due care menyatakan bahwa
karena konsumen harus bergantung pada keahlian produsen, maka produsen tidak hanya
berkewajiban untuk memberikan produk yang sesuai dengan klaim yang dibuatnya. Namun, juga
wajib berhati-hati untuk mencegah orang lain tidak terluka oleh produk tersebut. Perusahaan
dianggap melanggar atau melalaikan kewajiban ini bila gagal memberikan perhatian yang
seharusnya bisa dilakukan dan perlu dilakukan untuk mencegah agar orang lain tidak dirugikan
oleh penggunaan suatu produk. Perhatian juga harus dimasukkan dalam desain produk, proses
pembuatan, proses kendali mutu yang dipakai untuk menguji dan mengawasi produksi, serta
peringatan, label, dan instruksi yang ditempelkan pada suatu produk.

c. Teori Biaya Sosial


Teori biaya sosial merupakan teori tentang kewajiban perusahaan memperluas kewajiban
tersebut di luar kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh hubungan kontraktual serta kewajiban
memberikan perhatian untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan. Teori ini menyatakan
bahwa perusahaan harus membayar biaya kerugian yang diakibatkan oleh semua kerusakan atau
cacat dalam produk, sekalipun perusahaan telah memberikan semua perhatian dan dalam proses
pembuatannya telah mengambil langkah untuk memperingatkan konsumen tentang kemungkinan
bahayanya. Menurut teori ini, perusahaan berkewajiban menanggung semua kerugian, termasuk
kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan produk yang tidak bisa diperhitungkan atau diketahui
sebelumnya. Teori biaya sosial menjadi dasar dari doktrin hukum pertanggungjawaban penuh
yang dibentuk dari argumen-argumen utilitarian. Argumen utilitarian tersebut menyatakan
bahwa biaya-biaya "eksternal" dari kerugian yang diakibatkan dari desain sebuah produk
merupakan bagian biaya yang harus ditanggung masyarakat dalam memproduksi dan
menggunakan suatu produk. Dengan meminta perusahaan menanggung biaya eksternal dari
kecelakaan atau kerugian akibat penggunaan suatu produk, dan juga biaya-biaya eksternal untuk
mendesain dan memproduksi barang, berarti semua biaya diinternalisasikan dan ditambahkan
kedalam harga jual produk. Internalisasi biaya menurut pendukung teori ini, akan mengarahkan
kepada pernggunaan sumber daya yang lebih efisien.

3. Gerakan Konsumen
Gerakan konsumen merupakan hal sangat penting dalam upaya riil mewujudkan
perlindungan konsumen dan keadilan dalam pasar. Pada prinsipnya sebuah gerakan konsumen
diawali dari kesadaran akan hak dan kewajiban konsumen. Pelanggaran dan tidak terpenuhinya
hak konsumen menjadi sumber utama bagi terjadinya permasalahan/sengketa konsumen.
Ketidakadilan bagi konsumen muncul dalam sengketa konsumen. Kesadaran akan kondisi
ketidakadilan tersebut menjadi salah satu penggerak bagi sebuah gerakan konsumen guna
mewujudkan keadilan pasar. Gerakan konsumen sendiri akan terwujud jika terbangun solidaritas
diantara konsumen. Untuk menuju sebuah kesadaran kritis dan tumbuhnya rasa solidaritas
tersebut memerlukan proses pendidikan yang terus-menerus.
Gerakan konsumen ini terutama lahir karena dirasakan adanya penggunaan kekuatan bisnis
secara tidak adil. Gerakan konsumen (Keraf, 1998) juga lahir karena pertimbangan sebagai
berikut :
 Produk yang semakin banyak di satu pihak menguntungkan konsumen karena mereka
punya pilihan bebas yang terbuka, namun di pihak lain juga membuat pilihan mereka
menjadi rumit.
 Jasa kini semakin terspesialisasi sehingga menyulitkan konsumen untuk memutuskan
mana yang benar-benar dibutuhkannya.
 Pengaruh iklan yang merasuki setiap menit dan segi kehidupan manusia modern yang
melalui berbagai media massa dan media informasi lainnya, membawa pengaruh yang
sangat besar bagi kehidupan konsumen
 Kenyataan menunjukkan bahwa kemanan produk jarang sekali diperhatikan secara serius
oleh produsen
 Dalam hubungan jual beli yang didasarkan oleh kontrak, konsumen lebih berada pada
posisi yang lemah.
4. Fungsi Iklan

a. Iklan Sebagai Pemberi Informasi

Iklan berfungsi untuk membeberkan dan menggambarkan seluruh kenyataan yang rinci
tentang suatu produk. Sasaran iklan adalah agar konsumen dapat mengetahui dengan baik
keberadaan produk itu, kegunaannya, kelemahannya, dan kemudahaan-kemudahannya. Apabila
iklan memberikan informasi yang palsu tentang sebuah produk, maka sebenarnya bukan hanya
kegiatan iklan saja yang akan dibenci masyarakat, produk yang diiklankan juga akan dibenci dan
dijauhi. Karena itu, iklan yang tidak benar akan membawa dampak yang bertentangan dengan
tujuan iklan dan pada akhirnya akan merugikan tidak hanya bagi perusahaan iklan, tetapi juga
produsen. Sehubungan dengan iklan sebagai pemberi informasi yang benar kepada konsumen,
maka pihak yang terlibat dan bertanggungjawab secara moral atas informasi yang disampaikan
sebuah iklan adalah : Produsen yang memiliki produk tersebut, Biro iklan, Bintang iklan, Media
massa dan masyarakat.

b. Iklan Sebagai Pembentuk Pendapat Umum

Dalam hal ini, fungsi iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang berusaha
mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, fungsi iklan adalah untuk menarik massa
konsumen untuk membeli produk itu dengan cara menampilkan model iklan yang manipulatif,
persuatif, dan tendensius dengan maksud menggiring konsumen untuk membeli produk tersebut.
Oleh karena itu, iklan seperti ini juga disebut sebagai iklan manipulatif. Secara etis, iklan
manipulatif jelas dilarang karena iklan semacam itu benar-benar memanipulasi manusia dan
segala aspek kehidupannya. Iklan persuasif sangat beragam sifatnya sehingga kadang-kadang
sulit untuk dinilai etis tidaknya.

5. Persoalan Etis dalam Iklan


Ada beberapa persoalan etis yang ditimbulkan oleh iklan, khususnya iklan yang
manipulatif dan persuasif non-rasional, yaitu :
1. Merongrong otonomi dan kebebasan manusia. Iklan membuat manusia tidak lagi di
hargai kebebasannya dalam menentukan pilihannya untuk membeli produk. Manusia
didikte oleh iklan dan tunduk kepada kemauan iklan, khususnya iklan manipulatif dan
persuasif yang tidak rasional.
2. Menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif.
Secara ekonomis hal ini baik karena dengan demikian, akan menciptakan permintaan dan
ikut menaikkan daya beli masyarakat. Bahkan, dapat mengacu produktivitas kerja
manusia hanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus bertambah dan meluas
itu. Namun, dipihak lain muncul masyarakat konsumtif, di mana banyak dari apa yang
dianggap manusia sebagai kebutuhannya sebenarnya bukan benar-benar kebutuhan.
3. Membentuk dan menentukan identitas atau citra dari manusia modern. Manusia modern
merasa belum menjadi dirinya kalau belum memiliki barang sebagaimana ditawarkan
iklan.
4. Merongrong rasa keadilan sosial masyarakat. Iklan yang menampilkan serba mewah
sangat ironis dengan kenyataan social dimana banyak anggota masyarakat masih berjuang
hanya untuk sekedar hidup. Iklan yang mewah tampil seakan tanpa punya rasa solidaritas
dengan sesamanya yang miskin.
Dari uraian diatas, (Sutrisna Dewi, 2010 : 140) beberapa prinsip yang kiranya perlu
diperhatikan dalam iklan adalah :
a. Iklan tidak boleh menyampaikan informasi yang palsu dengan maksud memperdaya
konsumen;
b. Iklan wajib menyampaikan semua informasi tentang produk tertentu, khususnya
menyangkut keamanan dan keselamatan manusia;
c. Iklan tidak boleh mengarah pada pemaksaan, khususnya secara kasar dan terang-
terangan, dan
d. Iklan tidak boleh mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan moralitas,
tindakan kekerasan , penipuan, pelecehan seksual, diskriminasi perendahan martabat
manusia, dan sebagainya.

6. Makna Etis Menipu dalam Iklan


Prinsip etika bisnis yang paling relevan di sini adalah prinsip kejujuran, yakni
mengatakan hal yang benar dan tidak menipu. Prinsip ini tidak hanya menyangkut kepentingan
banyak orang, namun juga menyangkut kepentingan perusahaan atau bisnis seluruhnya sebagai
sebuah profesi yang baik. Prinsip ini menyangkut kepentingan banyak orang dan juga
kepentingan perusahaan atau bisnis seluruhnya sebagai profesi yang baik. Namun, pertanyaannya
adalah apa makna etis menipu? Dan sejauh mana sebuah sebuah iklan di kategorikan menipu
secara moral?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama harus di lihat perbedaan antara
menipu dan berbohong. Dilihat dari pengertian menipu menurut KBBI mengandung arti
perbuatan dan perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksut untuk
menyesatkan, mengakali dan mencari untung. Dari sudut pandang moral, menipu di lihat sebaga
tindakan yang tidak jujur dengan maksud untuk memperdaya orang lain.
Menurut Kant (dalam Keraf, 1998) menipu adalah memberi pernyataan yang salah secara
sengaja dengan maksud untuk memperdaya orang lain dan/atau kalau orang yang memberi
pernyataan itu telah berjanji untuk mengatakan apa yang sebenarnya atau kalau pernyataan itu
disampaikan kepada orang yang berhak mengetahui kebenarannya.
Ada tiga kondisi yang bisa dikategorikan sebagai menipu :
1. Pernyataan yang salah secara sengaja dengan maksud memperdaya orang lain.
2. Pernyataan yang salah itu berkaitan dengan janji kepada pihak yang dituju untuk
mengatakan apa adanya.
3. Pernyataan salah itu diberikan kepada orang yang berhak mengetahui kebenarannya.
Sebaliknya, berbohong diartikan sebagai perkataan atau pernyataan yang tidak sesuai
dengan hal atau keadaan yang sebenarnya. Bohong hanya terbatas pada tidak sesuainya apa yang
dikatakan dengan kenyataan, bukan menyangkut tindakan atau perbuatan. Berbohong tidak
melibatkan maksud dan niat si subjek untuk mengecoh orang lain, sedangkan menipu justru
sebaliknya melibatkan maksud dan niat si subjek. Secara moral, berbohong bersifat netral atau
tidak punya kualitas moral karena bohong hanya soal salah atau tidak benarnya suatu ucapan
atau pernyataan dari segi faktual. Dari pengertian menipu dan berbohong diatas, dapat
disimpulkan bahwa berbohong dapat menjadi menipu, tetapi tidak semua berbohong itu menipu.
Sehubungan dengan itu, perlu dibedakan antara menipu “Positif” dan “Negatif”. Menipu
positif berarti secara sengaja mengatakan hal yang tidak ada dalam kenyataan dengan maksud
untuk memperdaya orang lain. Menipu negatif berarti secara tidak sadar tidak mengatakan (atau
menyembunyikan) kenyataan yang sebenarnya (biasanya kenyataan yang tidak baik atau
berbahaya) sehingga orang lain terpedaya.
De George (dalam Sutrisna Dewi, 2010) bahkan mengatakan : “Tanpa membuat
pernyataan apapun yang tidak benar, sebuah iklan bisa menyesatkan atau memperdaya. Iklan
yang menyesatkan bukanlah iklan yang memberi atau membuat pernyataan yang tidak benar,
melainkan iklan yang membuat pernyataan yang sedemikian rupa sehingga orang yang normal
sekali pun paling kurang sebagian besar orang kebanyakan, yang membacanya secara cepat dan
tanpa memperhatikannya dengan seksama dan banyak piker, akan menarik kesimpulan yang
salah.”
Jadi, karena konsumen adalah pihak yang berhak mengetahui kebenaran sebuah produk,
iklan yang membuat pernyataan yang menyebabkan mereka salah menarik kesimpulan tentang
produk itu tetap dianggap menipu dan dikutuk secara moral kendati tidak ada maksud apa pun
untuk memperdaya. Dengan kata lain, bahkan iklan yang hanya bohong, dan tidak ada maksud
memperdaya sekalipun sudah dikategorikan sebagai penipuan, karena itu dianggap sebagai tidak
etis. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa iklan yang menipu, karena itu secara moral dikutuk
adalah iklan yang secara sengaja menyampaikan pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan
dengan maksud menipu. Dengan kata lain, berdasarkan prinsip kejujuran, iklan yang baik dan
diterima secara moral adalah iklan yang memberi pernyataan atau informasi yang benar
sebagaimana adanya.

7. Kebebasan Konsumen
Permintaan muncul karena adanya produksi barang tertentu yang ditawarkan dalam
pasar. Demi menciptakan dan membangkitkan permintaan inilah, iklan memainkan peranan yang
sangat penting dan strategis. Persoalan moral dan etis yang timbul disini adalah bahwa
kebebasan individu dalam menentukan kebutuhannya dalam masyarakat modern sekarang ini
hampir tidak ada sama sekali. Permintaan yang sudah dianggap sebagai kebutuhan, tidak timbul
secara bebas, melainkan dipengaruhi dan dirangsang oleh pasar dan oleh iklan. Keinginan atau
kebutuhan konsumen tidak lagi merupakan sesuatu yang mandiri, melainkan tergantung
sepenuhnya pada produsen dan iklan.
Dengan demikian, dalam mekanisme semacam itu mustahil konsumen bisa memutuskan
atau memilih secara bebas apa yang menjadi kebutuhannya. Sebagian terbesar dari kebutuhan
konsumen merupakan kebutuhan yang diciptakan oleh produsen dan iklan. Maka konsumen
tunduk pada ketentuan-ketentuan iklan. Maka itulah yang disebut Galbraith sebagai “ Efek
Ketergantungan”. Iklan yang informatif pun belum tentu netral dan tidak merongrong kebebasan
konsumen dalam menentukan pilihan barang dan jasa tertentu. Ditinjau dari sudut pandang
Galbraith di atas, iklan yang informative tidak lagi netral karena informasi yang disampaikan
telah menciptakan kebutuhan atau paling kurang keinginan dalam diri konsumen.
Dapat dikatakan bahwa sebagai mahluk sosial kita memang tidak bisa lepas dari
pengaruh dan informasi orang lain. Tetapi, ini tidak berarti bahwa pengaruh tersebut
membelenggu dan meniadakan kebebasan setiap individu. Timbulnya kebutuhan ditentukan oleh
banyak factor sebab produsen tidak hanya satu dan iklan pun tidak hanya satu. Itu berarti
konsumen masih tetap mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihannya.

8. Contoh Kasus

Perusahaan Susu Kental Manis Dinilai Telah Melanggar UU Konsumen

Sekretaris Umum Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno


mengatakan perusahaan susu kental manis telah melanggar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen karena menampilkan iklan yang manipulatif dan tidak memberi informasi yang jelas,
benar, serta jujur. "Iklan itu kan fungsinya untuk memberi informasi tentang sebuah produk,
yang kedua sebagai sarana bagi konsumen untuk mendapat informasi. Ketika kemudian produk
yang mengklaim sebagai susu ini tidak bisa memenuhi unsur yang kedua yaitu memberi
informasi kepada konsumen," kata Agus kepada Tirto, Kamis (5/7/2018). Agus mencontohkan
terminologi "susu kental manis" yang selama ini digunakan. Menurutnya, yang dimaksud susu
itu tidak kental dan tidak manis. "Ketika dia mengklaim sebagai 'susu kental manis' maka
terminologinya akan keliru. Kok bisa ada susu kental manis, susu itu tidak kental dan tidak
manis," kata Agus. Selain itu Agus pun mempermasalahkan kandungan susu kental manis yang
ternyata lebih banyak memakai gula dibanding susu itu sendiri. "Jadi yang mau ditampilkan susu
kental manis atau gula kental manis? Terminologi ini yang harus disampaikan dengan benar,"
kata Agus. Meski begitu Agus mengatakan kewenangan memberikan sanksi sepenuhnya ada di
Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) setelah mereka melakukan penyelidikan.
Sebelumnya BPOM mengeluarkan surat edaran Nomor HK.06.5.51.511.05.18.2000 Tahun 2018.
Lewat surat itu, BPOM memberi 4 perintah kepada produsen, importir, dan distributor susu
kental manis dan analognya mengenai label dan iklan produk mereka. Pertama BPOM melarang
perusahaan susu kental dan analognya dilarang menampilkan anak berusia di bawah 5 tahun
dalam bentuk apapun. Kemudian BPOM melarang penggunaan visualisasi yang menyetarakan
susu kental (kategori pangan 01.3) dengan produk susu lain sebagai penambah atau pelengkap
zat gizi. Adapun produk susu yang dimaksud ialah susu sapi, susu pasteurisasi, susu yang
disterilisisasi, susu formula atau susu pertumbuhan. Selain itu BPOM melarang menggunakan
visualisasi gambar susu cair dan/atau susu dalam gelas serta disajikan dengan cara diseduh untuk
dikonsumsi sebagai minuman. Terakhir iklan susu kental dan analognya dilarang tayang pada
jam anak-anak. "Dalam rangka melindungi konsumen, utamanya anak-anak, dari informasi yang
tidak benar dan menyesatkan, perlu diambil langkah perlindungan yang memadai tentang label
dan iklan pada produk Susu Kental dan Analognya,” kata Deputi Bidang Pengawasan Pangan
Olahan BPOM RI Suratmo lewat keterangan tertulisnya pada 22 Mei 2018.
III. SIMPULAN

1. Alasan perangkat pengendalian terutama tertuju pada produsen dalam hubungannya dengan
konsumen adalah dalam hubungan antara konsumen atau pelanggan di satu pihak dan
pemasok, produsen, dan penyalur barang atau jasa tertentu di pihak lain, konsumen atau
pelanggan terutama berada pada posisi yang lebih lemah dan rentan untuk dirugikan serta
dalam kerangka bisnis sebagai profesi, konsumen sesungguhnya membayar produsen untuk
menyediakan barang kebutuhan hidupkan secara profesional. Adanya kenyataan yang
ditunjukkan oleh kurangnya informasi yang dimiliki konsumen dan sikap konsumen yang
tidak rasional ketika memilih, telah menolak argumen yang berusaha menunjukkan bahwa
pasar saja sudah mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen.
2. Pandangan berkaitan dengan kewajiban produsen dengan konsumen ada tiga yaitu teori
kontrak, teori due care, dan teori sosial. Teori kontrak, hubungan antara perusahaan
(produsen) dengan konsumen pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual. Teori "due
care" tentang hubungan antara produsen dan konsumen didasarkan pada gagasan bahwa
produsen dan konsumen tidak saling sejajar dan bahwa kepentingan-kepentingan konsumen
sangat rentan terhadap tujuan-tujuan produsen yang memiliki pengetahuan dan keahlian tidak
dimiliki konsumen. Teori biaya sosial merupakan teori tentang kewajiban perusahaan
memperluas kewajiban tersebut di luar kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh hubungan
kontraktual serta kewajiban memberikan perhatian untuk mencegah terjadinya hal-hal yang
merugikan.

3. Gerakan konsumen merupakan hal sangat penting dalam upaya riil mewujudkan
perlindungan konsumen dan keadilan dalam pasar. Pada prinsipnya sebuah gerakan
konsumen diawali dari kesadaran akan hak dan kewajiban konsumen. Pelanggaran dan tidak
terpenuhinya hak konsumen menjadi sumber utama bagi terjadinya permasalahan/sengketa
konsumen. Ketidakadilan bagi konsumen muncul dalam sengketa konsumen. Kesadaran akan
kondisi ketidakadilan tersebut menjadi salah satu penggerak bagi sebuah gerakan konsumen
guna mewujudkan keadilan pasar. Gerakan konsumen sendiri akan terwujud jika terbangun
solidaritas diantara konsumen.
4. Iklan berfungsi sebagai pemberi informasi dengan membeberkan dan menggambarkan
seluruh kenyataan yang rinci tentang suatu produk dan iklan sebagai pembentuk pendapat
umum untuk menarik massa konsumen agar membeli produk itu dengan cara menampilkan
model iklan yang manipulatif, persuatif, dan tendensius dengan maksud menggiring
konsumen untuk membeli produk tersebut.
5. Persoalan etis yang ditimbulkan oleh iklan, khususnya iklan yang manipulatif dan persuasif
non-rasional, yaitu merongrong otonomi dan kebebasan manusia, menciptakan kebutuhan
manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif, membentuk dan menentukan
identitas atau citra dari manusia modern, dan merongrong rasa keadilan social masyarakat.
6. Iklan yang menipu, karena itu secara moral dikutuk adalah iklan yang secara sengaja
menyampaikan pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan dengan maksud menipu.
Dengan kata lain, berdasarkan prinsip kejujuran, iklan yang baik dan diterima secara moral
adalah iklan yang memberi pernyataan atau informasi yang benar sebagaimana adanya.
7. Permintaan atau permintaan yang sudah dianggap sebagai kebutuhan, tidak timbul secara
bebas, melainkan dipengaruhi dan dirangsang oleh pasar dan oleh iklan. Dapat dikatakan
bahwa sebagai mahluk sosial kita memang tidak bisa lepas dari pengaruh dan informasi
orang lain. Tetapi, ini tidak berarti bahwa pengaruh tersebut membelenggu dan meniadakan
kebebasan setiap individu. Timbulnya kebutuhan ditentukan oleh banyak factor sebab
produsen tidak hanya satu dan iklan pun tidak hanya satu yang berarti konsumen masih tetap
mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihannya.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Sutrisna. 2011.Etika Bisnis Konsep Dasar Implementasi & Kasus. Denpasar: Udayana
University Press.
Keraf, A Sony. 1998, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya). Yogyakarta: Kanisius
Velasquez, Manuel G, 2005, Etika Bisnis; Konsep dan Kasus, Edisi 5, Yogyakarta: Penerbit
Andi
Mohammad Bernie. 2018. Perusahaan Susu Kental Manis Dinilai Telah Melanggar UU
Konsumen di https://tirto.id/perusahaan-susu-kental-manis-dinilai-telah-melanggar-uu-
konsumen-cNAV ( di akses 19 Oktober)

Anda mungkin juga menyukai