Portofolio Kasus Medik Edema Paru Aku1
Portofolio Kasus Medik Edema Paru Aku1
Disusun oleh:
dr. Erdina Hana Jelita
Pembimbing:
dr. Rachfita Chandra Sp.JP
dr. Nyimas Maida Sofa Sp.PD
Pendamping :
dr. Kurniati, SpKK
dr. Lisa Puspitorini, SpS
3. Riwayat Keluarga
PJK (-), DM (-), Hipertensi (-)
2
4. Riwayat Sosial
Pasien beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. Tidak ada riwayat merokok dan
konsumsi alkohol
PEMERIKSAAN FISIK
Thorax
Cor : Inspeksi – tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi – pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V 2 jari lateral
MCL sinistra, tidak teraba thrill
Perkusi – batas kanan jantung melebar pada MCL dextra, batas
kiri jantung melebar 2 jari kiri MCL Sinistra
Auskultasi – S1, S2 tunggal,
Pulmo : Inspeksi – Gerak dada
simetris, Palpasi –
fremitus raba +/+
Perkusi – sonor/sonor
Auskultasi – suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonchi
basah halus +/+
Abdomen : Inspeksi – flat,
Auskultasi – bising usus (+) normal
Palpasi – supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak
teraba Perkusi – timpanik pada, pekak hepar (+)
Extremitas : akral hangat kering merah, CRT<2detik, tidak didapatkan
edema di kedua tungkai.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Enzim Jantung
Troponin (-)
CKMB 8
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Kesimpulan :
Kardiomegali, Edema paru akut
4
ASSESSMENT
Edema Paru Akut + Penyakit Jantung Koroner + Diabetes Mellitus + Penyakit Ginjal
Kronik St. V + Hiperkalemia
PLAN
Diagnosis:
Konsul penyakit dalam
Terapi:
- Injeksi Ranitidin 2x1
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 2 IU sebanyak 3x (selang 1 jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 3x1 ampul
- Pump. Furosemide 5 mg/jam
- Pump. ISDN 2 mg/jam
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
- Tab. Atorvastatin 1x40mg
- MRS di ICU
MONITORING
Keluhan, vital sign, komplikasi yang muncul.
EDUKASI
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit, komplikasi dan
prognosis dari penyakit.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang rencana diagnosa, terapi
dan monitoring.
5
Perkembangan Pasien
Tanggal SOAP
26/7/2019 S: Nyeri dada berkurang,
ICU sesak (+)
O : KU : Lemah
GCS : 4,5,6
TD : 158/73mmHg
N : 79x/m
T : 37.0
RR : 24x/m
Sp.O2 : 100%
Rhonki basah halus +/+
Lab
Chol: 118 TG:65 HDL:42 LDL:59
Na :144 K:5,6 Ca: 9,4 Cl:107
P:
- EKG pagi
- SE post koreksi
- Injeksi Ranitidin 2x1
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 4 IU sebanyak 2x (selang 1
jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 3x1 ampul
- Pump. Furosemide 5 mg/jam
- Tab. ISDN 3 x 5 mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
- Tab. Atorvastatin 1x40mg
- Tab. Canderin 1x8mg
- Tab. Kalitake 3x1
6
- Nebul Ventolin 3x
Hasil BGA :
pH 7.36
pCO2 31 mmHg
pO2 144 mmHg
BE -7.4 mmol/L
T CO2 17.8 mmol/L
HCO3 16.9 mmol/L
Lab
Na :137 K:5,9 Ca: 9,4 Cl:113
P:
- EKG pagi
- SE post koreksi
- Injeksi Ranitidin 1x1
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 2 IU sebanyak 3x (selang 1
jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 1x1 ampul
- Pump. Furosemide 3 mg/jam
7
- Tab. ISDN 3 x 5 mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
- Tab. Atorvastatin 1x40mg
- Tab. Kalitake 3x1
- Tab.concor 1x2,5 mg
- Tab. Na.bic 3x1
P:
- Injeksi Ranitidin 1x1
- Injeksi Ca. Gluconas 1x1 ampul
- Pump. Furosemide 3 mg/jam
- Tab. ISDN 3 x 5 mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
- Tab. Atorvastatin 1x40mg
- Tab. Kalitake 3x1
- Tab.concor 1x2,5 mg
- Na.bic 3x1
- Nebul Ventolin 3x
29/7/2019 S: Keluhan sesak berkurang
ICU O: KU : Cukup
GCS : 4,5,6
TD : 170/90
N : 90x/m
T : 36.5
RR : 20x/m
Rhonki basah halus +/+ (berkurang)
Lab
BUN : 75.6 SK: 5.70 UA:11.3
Na:143 K:6. Cl:107
8
A Edema Paru Akut + Penyakit Jantung Koroner + Diabetes Mellitus +
Penyakit Ginjal Kronik St. V + Hiperkalemia
P:
- EKG pagi
- Injeksi Ranitidin 1x1
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 2 IU sebanyak 3x (selang 1 jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 1x1 ampul
- Pump. Furosemide 3 mg/jam
- Tab. ISDN 3 x 5 mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
- Tab. Atorvastatin 1x40mg
- Tab. Kalitake 3x1
- Tab.concor 1x2,5 mg
- Na.bic 3x1
30/7/2019 S: Keluhan sesak berkurang
Wijaya Kusuma O: KU : Cukup
GCS : 4,5,6
TD : 156/80
N : 98x/m T
: 36.5
RR : 20x/m
Rhonki basah halus +/+ (berkurang)
Lab
9
Na:143 K:5.6. Cl:107
P:
- Injeksi Ranitidin 1x1
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 2 IU sebanyak 3x (selang 1 jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 1x1 ampul
- Pump. Furosemide 3 mg/jam
- Tab. ISDN 3 x 5 mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
31/7/2019 S: Keluhan –
Wijaya Kusuma O: KU : Cukup
GCS : 4,5,6
TD : 158/73
N : 98x/m
T : 36.5
RR : 20x/m
Rhonki basah halus +/+ (berkurang)
Lab
1
0
Na:137 K:6.4. Cl:111
P:
- Injeksi Ranitidin 1x1
- D10 + actrapid 10iu
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 2 IU sebanyak 3x (selang 1
jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 1x1 ampul
- Inj. Furosemide 3x1
- Tab. ISDN 3 x 5 mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
01/8/2019 S: Keluhan –
Wijaya Kusuma O: KU : Cukup
GCS : 4,5,6
TD : 152/70
N : 88x/m
T : 36.5
RR : 20x/m
Rhonki basah halus +/+ (berkurang)
Lab
Hb : 9.4 Leu:8100 PCV: 28 Plt: 175.000
BUN: 87.6 SK: 6.35
Na:140 K:6. Cl:105
1
1
HbsAg (-), anti HCV (-), B23 (NR)
P:
- Injeksi Ranitidin 1x1
- D10 + actrapid 10iu
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 2 IU sebanyak 3x (selang 1
jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 1x1 ampul
- Tab. Furosemide 3 x 5mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
- HD besok
02/8/2019 S: Keluhan –
Wijaya Kusuma O: KU : Cukup
GCS : 4,5,6
TD : 158/73
N : 98x/m
T : 36.5
RR : 20x/m
Rhonki basah halus +/+ (berkurang)
Lab
Na:136 K:5.8. Cl:108
Post HD
Na:137 K:3.8. Cl:101
P:
- Injeksi Ranitidin 1x1
- D10 + actrapid 10iu
- Injeksi D40 1 ampul + Injeksi actrapid 2 IU sebanyak 3x (selang 1
1
2
jam)
- Injeksi Ca. Gluconas 1x1 ampul
- Tab. Furosemide 3 x 5mg
- Tab. ASA 1x100 mg
- Tab. CPG 1x75 mg
- Tab. Amlodipin 1x10 mg
- Tab. Kalitake 3x1
- Ciprofloxacin 2 x 200mg
03/8/2019 S: Keluhan –
Wijaya Kusuma O: KU : Cukup
GCS : 4,5,6
TD : 128/73
N : 80x/m
T : 36.5
RR : 20x/m
Rhonki basah halus +/+ (berkurang)
P:
- Tab.ASA 1x1
- Tab.CPG 1x1
- Tab.Furosemid 1-1-0
- Tab. Amlodipin 1 x 10 mg
- Tab. ISDN 3x 5mg
- Tab. Atorvastatin 1x 40 mg
- Tab.Lansoprazole 2x1
- Sucralfat syr 3 x 1
- Tab. Ciprofloxacin 2 x 200 mg
- Acc KRS
1
3
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Edema paru akut didefinisikan secara umum sebagai akumulasi cairan yang berlebihan di
dalam sel, ruang interstisial, dan rongga alveoli paru. Cairan dapat berupa serosa atau
serosanguinosa.1 Edema paru merupakan suatu keadaan gawat darurat yang terjadi akut dengan
tingkat mortalitas yang masih tinggi.2
Edema paru akut diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan edema paru non-
kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
paru, sedangkan edema paru non kardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler
paru.3,4 Penyebab utama edema paru kardiogenik adalah gangguan pada ventrikel kiri atau atrium
kiri sementara pada edema paru non kardiogenik sering disebabkan oleh infeksi (pneumonia,
sepsis), trauma, dan aspirasi. Dispnea nokturnal paroksismal, ortopnea, serta adanya murmur atau
bunyi jantung ketiga mengarah pada kemungkinan etiologi berasal dari jantung; namun, akurasi
diagnosis untuk gejala tersebut masih rendah. Keduanya memberikan gambaran klinis yang
serupa, sehingga identifikasi yang tepat sangat terkait terapi yang dibutuhkan untuk
menyelamatkan pasien dari kerusakan lanjut akibat gangguan keseimbangan cairan di paru.5
Epidemiologi
Prevalensi edema paru meningkat seiring dengan bertambahnya usia, penelitian pada tahun
1994 menunjukkan terdapat 74,4 juta penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris terdapat
sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang memerlukan pengobatan dan pengawasan secara
komprehensif. Di Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru. Di
Jerman penderita edema paru sebanyak 6 juta penduduk. Di Indonesia sendiri edema paru pertama
kali terdeteksi pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut dilaporkan di berbagai daerah sehingga
sampai tahun 1980 sudah mencakup seluruh provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan,
jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah.
Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun
tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun 2002), dan
23,87 % (tahun 2003).6 Edema paru kardiogenik akut sering terjadi, dan berdampak merugikan
dan mematikan dengan tingkat kematian 10- 20%.7
14
Etiologi
Edema Paru Akut dianggap merupakan salah satu modalitas gagal jantung akut,.8 Edema
paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal jantung kronik maupun akibat
gagal jantung akut pada infark miokard. Selain itu, gangguan anatomi yang mendasari terjadi akibat
penyakit arteri koroner berat, yang juga menjadi penyebab utama gagal jantung kronis dimana
terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat melemahnya pompa
jantung. .. Faktor-faktor yang terlibat dalam eksaserbasi gagal jantung, antara lain : ketidakpatuhan
terhadap pengobatan, iskemia miokard, infeksi, aritmia jantung, dan anemia.9 Kondisi-kondisi
tersebut merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular yang mengancam jiwa, sehingga diagnosis dan
terapi membutuhkan penanganan medis yang cepat.
Tidak adanya riwayat penyakit jantung sebelum kondisi edema paru akut terjadi,
kemungkinan etiologi yang harus dipertimbangkan adalah: kelebihan cairan, hipertensi, disfungsi
akut katup mitral dan/atau aorta, penyakit ginjal dan eksaserbasi gagal jantung sistolik atau diastolik,
tumor jantung dan emboli paru. Penyebab lain yang juga mungkin sering didefinisikan sebagai
sinonim untuk edema paru "flash" yang merupakan suatu kondisi akibat stenosis arteri ginjal, yang
diidentifikasi oleh Pickering pada tahun 1988 dan disebut sebagai Sindrom Pickering oleh Messerli
et al, yang mendefinisikan "edema flash" sebagai istilah untuk menggambarkan edema paru yang
lebih berat, dan belum tentu akibat stenosis arteri renalis.10
Patofisiologi
Pada keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari cairan dan protein
intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah melalui saluran limfatik
yang memenuhi hukum Starling Q = K (Pc-Pt) - d (c-t).5 Edema paru terjadi bila cairan yang
difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan, selanjutnya
alveoli akan penuh terisi cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas.5 Faktor-
faktor penentu yang berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen
kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan molekul besar
seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu atau lebih dari faktor-faktor diatas
akan menimbulkan terjadinya edema paru.5
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Tekanan
hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal
ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru.
15
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun
sehingga terjadi edema paru.
Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial
antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu
dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus
kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel
yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi
seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai
macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir kerusakan endotel yang berakibat peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan
banyak mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin. Karakteristik
edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru ialah tidak adanya peningkatan tekanan
pulmonal (hipertensi pulmonal).
Bila tekanan interstisial paru lebih besar dibandingkan tekanan intrapleural maka cairan
bergerak menuju pleura viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler
endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan
protein rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan normal tekanan
kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik koloid plasma 28 mmHg.5,11
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses-
proses sebagai berikut:
1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya pasokan oksigen
miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang melalui mekanisme interdependensi
ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif ion Na+ dan Cl-
melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta
epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja
Na/K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti,
kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air.
16
Patologi
Proses patologis edema paru akut kardiogenik disebabkan oleh ekstravasasi plasma di dalam
celah paru-paru dan alveoli akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri, sehingga tekanan
kapiler paru pada level di atas 18 mmHg.12 Diagnosis pasti edema paru akut membutuhkan
pemahaman terkait pertukaran cairan mikrovaskuler di paru-paru. Pada paru normal, kebocoran
cairan dan protein diperkirakan terjadi terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan
dan zat terlarut yang disaring dari sirkulasi ke ruang interstitial alveolar pada kondisi normal tidak
memasuki alveoli karena epitel alveolar terdiri dari juntion yang sangat ketat. Sebaliknya, begitu
cairan yang disaring memasuki ruang interstitial alveolar, ia bergerak secara proksimal ke dalam
ruang peribronkovaskular. Pada kondisi normal, sistem limfatik mengeluarkan sebagian besar cairan
yang disaring ini dari interstitium dan mengembalikannya ke sirkulasi sistemik. Gaya hidrostatik
untuk filtrasi cairan melintasi mikrosirkulasi paru kira-kira sama dengan tekanan hidrostatik di kapiler
paru yang sebagian diimbangi oleh gradien tekanan osmotik protein. Peningkatan tekanan hidrostatik
secara cepat pada kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular adalah ciri
khas dari edema kardiogenik akut. Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler paru biasanya
disebabkan oleh peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan diastolik akhir
ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Sedikit peningkatan tekanan atrium kiri (18 hingga 25 mm Hg)
menyebabkan edema di ruang interstitial perimikrovaskular dan peribronkovaskular. Saat tekanan
atrium kiri meningkat lebih jauh (> 25 mm Hg), cairan edema meluas melalui epitel paru-paru,
sehingga memenuhi alveoli dengan cairan rendah protein. Sebaliknya, edema paru non kardiogenik
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru-paru, menghasilkan peningkatan
fluks cairan dan protein ke dalam interstisium paru-paru dan alveoli. Edema paru non-kardiogenik
memiliki kandungan protein tinggi karena membran vaskular lebih permeabel terhadap pergerakan
keluar protein plasma.
17
Gambar Fisiologi Pertukaran Cairan Mikrovaskuler di Paru-Paru. Pada paru-paru normal (Gambar A), cairan bergerak kontinyu ke luar dari
vaskular menuju ruang interstitial sesuai dengan perbedaan bersih antara tekanan osmotik hidrostatik dan protein, serta permeabilitas membran kapiler.
Persamaan Starling berlaku pada filtrasi cairan melintasi membran semipermeable dan menggambarkan faktor-faktor yang menentukan jumlah cairan
yang meninggalkan ruang vaskular: Q = K [(Pmv − Ppmv) - (πmv − πpmv)], di mana Q adalah aliran transvaskuler cairan, K adalah permeabilitas
membran, Pmv adalah tekanan hidrostatik dalam pembuluh mikro, Ppmv adalah tekanan hidrostatik dalam interstitium perimikrovaskular, πmv adalah
tekanan osmotik protein plasma dalam sirkulasi, dan πpmv adalah tekanan protein osmotik dalam interstitium perimikrovaskular. . Ketika tekanan
hidrostatik meningkat dalam sirkulasi mikro, laju filtrasi cairan transvaskular meningkat (Gambar B). Ketika tekanan interstitial paru melebihi tekanan
pleura, cairan bergerak melintasi pleura visceral, menghasilkan efusi pleura. Karena permeabilitas endotel kapiler tetap normal, cairan edema yang
difiltrasi meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Pengeluaran cairan edema dari ruang udara paru-paru tergantung pada
transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Lokasi utama reabsorpsi natrium dan klorida adalah saluran ion epitel yang terletak
pada membran apikal sel tipe I dan II epitel alveolar dan epitel saluran napas bagian distal. Natrium secara aktif diekstrusi ke dalam ruang interstitial
dengan menggunakan Na + / K + -ATase yang terletak di membran basolateral sel tipe II. Air mengikuti secara pasif, kemungkinan melalui aquaporin,
yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada sel-sel tipe I epitel alveolar. Edema paru non-kardiogenik (Gambar C) terjadi ketika
permeabilitas membran mikrovaskular meningkat karena cedera paru langsung atau tidak langsung (termasuk sindrom gangguan pernapasan akut),
menghasilkan peningkatan jumlah cairan dan protein yang meninggalkan ruang vaskular. Edema paru nonkardiogenik memiliki kandungan protein
yang tinggi karena membran mikrovaskuler yang lebih permeable, sehingga kemampuan untuk membatasi pergerakan keluar molekul yang lebih besar
seperti protein plasma berkurang. Tingkat kelebihan cairan pada alveolar tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidaknya cedera pada
epitel alveolar, dan kapasitas epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Pada edema akibat cedera paru akut, cedera epitel
alveolar umumnya menyebabkan penurunan kapasitas untuk mengeluarkan cairan alveolar, menunda resolusi edema paru.
18
Anamnesis
Manifestasi klinis edema paru akut baik kardiogenik maupun non-kardiogenik dapat serupa,
sehingga sangat penting untuk menetapkan gejala yang dominan dari keduanya sebagai pedoman
pengobatan. Terjadinya edema interstitial menyebabkan dispnea dan takipnea yang membuat pasien
dengan keluhan sesak napas dan terkait dengan riwayat sakit jantung. Keluhan lain dapat berupa
sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu yang disebut pink frothy sputum
yang merupakan tanda khas edema paru akut akibat ruptur kapiler alveoli. Gejala-gejala umum lain
yang mungkin ditemukan berupa nyeri dada, mudah lelah, sesak napas saat baru saja melakukan
aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea), atau kelemahan.13
Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan edema paru kardiogenik sering mengalami pemeriksaan jantung abnormal.
Auskultasi S3 gallop relatif spesifik untuk peningkatan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri dan
disfungsi ventrikel kiri serta menunjukkan edema paru kardiogenik. Murmur yang menetap dengan
stenosis valvular atau regurgitasi semakin meningkatkan kecurigaan terhadap diagnosis edema paru
kardiogenik. Tekanan vena jugularis yang meningkat, hati membesar dan lunak, serta edema perifer
menunjukkan peningkatan tekanan vena sentral. Namun, penilaian tekanan vena sentral dengan
pemeriksaan fisik pada pasien yang sakit kritis biasanya sulit dilakukan. Selain itu, edema perifer
tidak spesifik untuk gagal jantung kiri dan mungkin berhubungan dengan insufisiensi hati atau ginjal,
gagal jantung kanan, atau infeksi sistemik. Pemeriksaan auskultasi paru-paru tidak banyak membantu,
karena alveolar yang berisi cairan dari penyebab apa pun akan bermanifestasi sebagai ronki saat
inspirasi. Ekstrimitas yang dingin jmerupakan manifestasi dari rendahnya cardiac output.3
Pemeriksaan penunjang
Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan awal yang dapat segera dilakukan sesaat
setelah pasien dengan kecurigaan penyakit kardiovaskuler datang. Pemeriksaan ini dapat
menunjukan gangguan seperti pembesaran atrium kiri, pembesaran ventrikel kiri, aritmia, iskemik
maupun infark miokard yang mendasari terjadinya edema paru akut.3
Pemeriksaan laboratorium enzim jantung dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan
terjadinya iskemia atau infark miokard. Peningkatan kadar troponin menunjukkan adanya
kerusakan miosit. Namun, peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi pada pasien dengan
sepsis berat tanpa adanya bukti untuk sindrom koroner akut. Pada pasien yang mengalami edema
paru dari penyebab yang tidak diketahui, pengukuran elektrolit, osmolaritas serum, dan
19
toksikologi dapat mengarahkan pada diagnosis. Peningkatan kadar serum amilase dan lipase
menunjukkan pankreatitis akut. Kadar plasma brain natriuretic peptide (BNP) sering digunakan
pada evaluasi edema paru. BNP dikeluarkan terutama oleh ventrikel jantung sebagai respons
terhadap peregangan dinding jantung atau peningkatan tekanan intrakardiak. Pada pasien dengan
gagal jantung kongestif, kadar BNP plasma terkait dengan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
dan tekanan oklusi arteri pulmonal. Kadar BNP pada pasien yang kritis sulit dipastikan, karena
cenderung mengalami peningkatan >500 pg tanpa disertai gagal jantung. Sehingga pengukuran
BNP paling berguna pada pasien yang sakit kritis jika levelnya di bawah 100 pg per mililiter.
Kadar BNP juga lebih tinggi pasien dengan gagal ginjal tanpa gagal jantung, batas di bawah 200
pg per mililiter disarankan untuk mengecualikan gagal jantung ketika laju filtrasi glomerulus di
bawah 60 ml per menit. BNP juga dapat dikeluarkan oleh ventrikel kanan, dan peningkatannya
juga terjadi pada pasien dengan emboli paru akut, cor pulmonale, dan hipertensi pulmonal.3,14,15
Pada pemeriksaan radiologis thorax, pengukuran lebar pedikel vaskular dapat
meningkatkan akurasi diagnostik edema paru, tetapi diperlukan evaluasi lebih lanjut dalam
membedakan edema kardiogenik dari edema nonkardiogenik. Edema paru mungkin tidak terlihat
sampai jumlah cairan dalam paru-paru meningkat hingga 30 persen. Pemeriksaan foto toraks yang
menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi
pleura dan infiltrasi bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang
berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan
dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri. Efusi pleura unilateral juga sering
dijumpai dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.3
Ekokardiografi transthoracic dapat mengevaluasi fungsi miokard dan valvular serta dapat
20
membantu mengidentifikasi penyebab edema paru. Pada beberapa pasien yang sakit kritis,
echocardiogram transthoracic mungkin tidak cukup membantu Sebagai alternatif,
echocardiography transesophageal dapat digunakan, dengan efek samping seperti perdarahan
orofaringeal, hipotensi akibat sedasi, serta aritmia. Meskipun ekokardiografi efektif dalam
mengidentifikasi disfungsi sistolik ventrikel kiri dan disfungsi katup, pemeriksaan ini kurang
sensitif dalam mengidentifikasi disfungsi diastolik. Dengan demikian, ekokardiogram normal
dengan metode standar tidak mengesampingkan edema paru kardiogenik. Teknik ekokardiografi
yang lebih baru seperti pencitraan Doppler jaringan annulus katup mitral dapat digunakan untuk
menentukan tekanan akhir-diastolik ventrikel kiri serta menilai disfungsi diastolik.
Kateterisasi arteri pulmonal yang digunakan untuk menilai tekanan oklusi arteri pulmonal
dianggap sebagai standar emas untuk menentukan penyebab edema paru akut. Kateterisasi arteri
pulmonal juga memungkinkan untuk dilakukannya pemantauan pada tekanan pengisian jantung,
output jantung, dan resistensi vaskular sistemik selama pengobatan. Tekanan oklusi arteri
pulmonal lebih dari 18 mm Hg menunjukkan edema paru kardiogenik atau edema paru karena
volume yang berlebihan.5
Beberapa penelitian acak pada kateterisasi arteri pulmonal yang digunakan dalam
manajemen gagal jantung atau penyakit kritis menunjukkan efek yang merugikan sebesar 4,5
hingga 9,5 persen.16,17 Komplikasi yang sering terjadi adalah hematoma di lokasi tusukan arteri,
perdarahan , aritmia, dan infeksi. Pengukuran tekanan vena sentral tidak boleh dianggap sebagai
pengganti untuk kateterisasi arteri pulmonalis, karena data yang tersedia menunjukkan bahwa
sering terdapat korelasi yang buruk antara keduanya. Tekanan vena sentral yang meningkat dapat
mencerminkan hipertensi arteri paru akut atau kronis dan kelebihan ventrikel kanan tanpa adanya
peningkatan tekanan atrium kiri.
Analisis gas darah dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan PCO2 pada kondisi akut,
namun pada perkembangan penyakit selanjutnya PO2 semakin menurun sedangkan PCO2
meningkat. Pada kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.1
Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema dibandingkan protein plasma dapat
digunakan untuk membedakan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan
diambil dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan
pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif
rendah dibanding plasma (rasio 0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang.6
21
Tatalaksana
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang memerlukan
penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis.3 Penatalaksanaan utama meliputi
pengobatan suportif yang untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi
organ) dan kardiovaskuler antara lain pemberian diuretik intravena, vasodilator, dan terapai
oksigen, sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin. 12,18
Suplementasi oksigen
Hipoksemia pada edema paru merupakan ancaman utama bagi susunan saraf pusat, baik
berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi
22
oksigen merupakan terapi intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan
menurunkan kerja pernapasan untuk mengoptimalisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin,
serta mengurangi overdistensi alveolar. Pada kasus yang ringan oksigen dapat diberikan dengan
kanul hidung atau masker muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat
membantu pada pasien edema paru kardiogenik. Masip et al. menemukan bahwa penggunaan
CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka mortalitas.19 Pada pasien dengan edema
paru kardiogenik akut, induksi ventilasi non-invasif dalam gangguan pernapasan dan gangguan
metabolik meningkat lebih cepat dibandingkan terapi oksigen standar namun tidak berpengaruh
terhadap mortalitas jangka pendek.20 Ventilasi non-invasif dengan CPAP telah terbukti
menurunkan angka intubasi endotrakeal dan kematian pada pasien dengan edema paru akut
kardiogenik. Menurut penelitian Agarwal et al., noninvasive pressure support ventilation
(NIPSV) aman dan berguna sebagai CPAP, dibandingkan jika bekerja dengan titrasi pada tekanan
tetap.21 Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive positive pressure
ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua teknik tersebut dipakai untuk
menurunkan need for endotracheal intubation (NETI) dan kematian dibandingkan standard
medical therapy (SMT), serta tidak menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP
dianggap sebagai intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang lebih baik
bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih mudah untuk
diimplementasikan dalam praktek klinis. Intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik dengan
positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang berat.21
Terapi Medikamentosa
1. Nitrat
Mekanisme kerja nitrat adalah membuat otot polos relaksasi, menyebabkan venodilatasi
dan menurunkan preload pada dosis rendah. Dosis yang lebih tinggi menyebabkan dilatasi arteriol
yang mengakibatkan penurunan afterload dan tekanan darah. Dilatasi pada arteri koroner
menyebabkan peningkatan aliran darah koroner yang selanjutnya meningkatkan oksigenasi
sekaligus menurunkan beban kerja jantung.22 Nitrat dapat diberikan secara sublingual, namun
beberapa rumah sakit juga menggunakannya sebagai infus karena pemberian secara intravena
meningkatkan kecepatan onset dan kemampuan untuk titrasi dosis.22 Pemantauan tekanan darah
sangat penting dilakukan karena nitrat dapat menyebabkan hipotensi, sehingga harus dipastikan
tekanan darah sistolik tetap terjaga di atas 90 mmHg.18,22 Nitrat tidak boleh diberikan jika tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau pasien mengalami stenosis aorta berat, karena kondisi
23
tersebut sangat bergantung pada preload.23 Nitrat biasanya dapat ditoleransi dengan baik, efek
samping yang paling sering adalah sakit kepala. Efek samping lainnya termasuk refleks takikardia
dan bradikardia paradoks.22 Nitrat juga terkait dengan takiphilaksis, dengan toleransi yang muncul
dalam 16-24 jam jika diberikan terus-menerus.
2. Diuretik
Penelitian terkontrol yang menunjukkan bahwa diuretik bermanfaat dalam edema paru
akut masih kurang. Namun, diuretik diindikasikan untuk pasien yang terbukti mengalami
kelebihan cairan.22 Loop diuretik seperti furosemide memurunkan preload dan harus digunakan
secara cermat pada pasien yang dengan kemungkinan mengalami penurunan volume
intravaskuler. 22 Pemberian melalui jalur intravena lebih diminatii, dengan dosis furosemide mulai
dari 40-80 mg. Dosis yang lebih tinggi digunakan untuk pasien yang sudah menggunakan diuretik
oral atau pasien dengan penyakit ginjal kronis. Bolus awal dapat diberikan secara intravena
22
perlahan dan diulangi 20 menit kemudian jika diperlukan. Setelah bolus, infus intravena
kontinyu dapat dipertimbangkan, dimulai pada kecepatan 5-10 mg per jam. Dosis yang lebih
tinggi dapat menimbulkan efek samping berupa dyspnea, perburukan fungsi ginjal, dan
peningkatan rawat inap di ruang perawatan intensif, tetapi hubungan ini cenderung mencerminkan
penyakit yang sangat berat.
24
Rekomendasi Dosis Diuretik (Furosemide) 22
3. Inotropik
Obat inotropik intravena diindikasikan pada edema paru akut jika terdapat hipotensi dan
tanda penurunan perfusi organ. Penggunaannya terbatas pada situasi klinis pasien yang sakit kritis
karena berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan perpanjangan masa rawat inap di rumah
sakit. Pada kasus gangguan fungsi ventrikel kiri dan hipotensi, terapi lini pertama adalah infus
dobutamin intravena. 22 Selain sebagai inotropik positif, dobutamin memiliki efek vasodilatasi
perifer yang dapat mengakibatkan perburukan hipotensi, yang mungkin memerlukan
penatalaksanaan dengan vasopressor. Dobutamin dapat menyebabkan aritmia dan
dikontraindikasikan jika pasien mengalami aritmia ventrikel atau fibrilasi atrium. Inotrop lain
yang dapat meningkatkan curah jantung dan meningkatkan perfusi perifer adalah milrinone.
Milrinone hanya digunakan untuk manajemen jangka pendek gagal jantung berat yang belum
respon terhadap terapi lain, karena efek sampingnya cukup berat yaitu meningkatkan mortalitas
pada kondisi gagal jantung kronis eksaserbasi akut.22
Etiologi dasar dari edema paru akut pada pasien harus tetap mendapatkan terapi yang
sesuai. Pemantauan lebih lanjut termasuk berat badan dan nilai elektrolit serum serta fungsi ginjal.
Setelah pasien dengan edema paru kardiogenik akut telah distabilkan, tujuan terapi adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup jangka panjang. Jika ekokardiogram menunjukkan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang tetap, fokus terapi adalah untuk merawat segala kondisi yang terkait, termasuk
manajemen hipertensi dengan obat antihipertensi, menurunkan kongesti paru dan edema perifer
dengan diuretik, dan mengontrol laju atrial fibrilasi. Jika terdapat bukti penurunan fraksi ejeksi
dan gagal jantung kronis maka ACE inhibitor, beta blocker, dan antagonis reseptor
mineralokortikoid harus dipertimbangkan untuk diberikan.24 ACE inhibitor paling baik mulai
diberikan pada 24-48 jam setelah masuk rumah sakit, dengan syarat pasien stabil secara
hemodinamik. Obat-obat tersebut harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan hipotensi
25
atau gangguan ginjal, dengan pengawasan ketat terhadap tekanan darah dan fungsi ginjal.9
Beta bloker, seperti bisoprolol, dimulai dengan dosis rendah begitu pasien mencapai
euvolaemia, atau sebelum keluar dari rumah sakit. Obat antagonis reseptor mineralokortikoid,
seperti spironolakton, paling baik dimulai segera setelah keluar rumah sakit dengan pemantauan
cermat terhadap tekanan darah, kalium serum dan fungsi ginjal.18
26
II. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan gangguan fungsi jantung akibat terjadinya
penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan
berhentinya aliran darah ke otot jantung.25 Pada kondisi yang berat, kemampuan jantung memompa
darah akan hilang, sehingga sistem kontrol irama jantung akan terganggu dan selanjutnya bisa
menyebabkan kematian.
Secara statistik 9,4 juta kematian di dunia setiap tahun disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler dan 45% kematian tersebut disebabkan oleh penyakit jantung koroner, angka tersebut
diperkirakan akan meningkat hingga 23,3 juta pada tahun 2030.26 Di Indonesia sendiri salah satu
penyakit kardiovaskular yang terus menerus menempati urutan pertama adalah penyakit jantung
koroner.27 Prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan diagnosis dokter yang dilakukan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 sebesar 0,5% sedangkan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala
sebesar 1,5%. Hasil Riskesdas ini menunjukkan penyakit jantung koroner berada pada posisi ketujuh
tertinggi Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia.28
Etiologi
Secara umum etiologi PJK terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan arteri koreoner
karena timbulnya plak aterosklerosis. Munculnya plak aterosklerotik sangat terkait beberapa faktor
risiko kardiovaskuler yang dimiliki individu, antara lain merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik,
berat badan, kadar kolesterol, tekanan darah (hipertensi) dan diabetes. Faktor-faktor resiko dibagi
menjadi dua, yaitu faktor yang dapat diubah dan tidak dapat diubah.29
29
timbulnya aterosklerosis premature. Riwayat keluarga penderita jantung koroner
umumnya mewarisi faktor-faktor resiko lainnya, seperti abnormalitas kadar kolesterol,
peningkatan tekanan darah, kegemukan dan DM.
3. Usia. Penambahan usia akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner
terkait timbulnya plak yang menempel di dinding akan menyebabkan gangguan aliran
darah. Penelitian Donald di RSU Pirngadi di Medan menunjukkan penyakit jantung
koroner terdapat lebih banyak pada kelompok usia ≥ 40 tahun. Individu yang berusia
≥ 40 tahun berisiko 2,72 kali dibanding < 40 tahun.29 Faktor usia terbukti
berhubungan dengan kematian akibat penyakit jantung koroner. Tanda dan gejala
penyakit jantung koroner banyak dijumpai pada individu-individu dengan usia yang
lebih tua. Faktor usia juga berhubungan dengan kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol
total akan meningkat dengan bertambahnya umur. Kandungan lemak berlebihan dalam
darah pada hiperkolesterolemia dapat menyebabkan penimbunan kolesterol pada
dinding pembuluh darah sehingga pembuluh darah akan menyempit dan akibatnya
tekanan darah akan meningkat dan terjadilah penyakit jantung koroner.
Klasifikasi
Klasifikasi PJK didasarkan pada proses patofisiologi dan derajat keparahan iskemik miokard
yang terjadi, antara lain :
30
diseimbangkan dengan beristirahat.30
Patofisiologi
1. Pembentukan Lesi
Mekanisme patofisiologis yang mendasari PJK dimulai dengan proses aterosklerosis
yang berkembang secara progresif selama beberapa tahun sebelum munculnya sindrom
koroner akut. Proses perkembangan aterosklerosis koroner yang lambat ini berawal dari
paparan endotel dengan produk bakteri atau faktor risiko lain yang beragam seperti
dislipidemia, hormon vasokonstriktor pada hipertensi, produk glikoksidasi akibat
hiperglikemia, atau sitokin proinflamasi yang berasal dari jaringan adiposa yang berlebih,
sel-sel tersebut meningkatkan ekspresi molekul adhesi yang mengawali perlekatann leukosit
pada permukaan dalam dinding arteri. Transmigrasi leukosit yang melekat sebagian besar
tergantung pada ekspresi sitokin kemoattractan yang diatur oleh sinyal yang terkait dengan
faktor risiko yang muncul pada aterosklerosis. Setelah menempel pada intima arteri, leukosit
darah (terutama monosit dan limfosit T) berkomunikasi dengan endotel dan sel otot polos
yang merupakan sel endogen dari dinding arteri. Pesan utama yang dipertukarkan di antara
jenis sel yang terlibat dalam atherogenesis tergantung pada mediator inflamasi dan imunitas,
termasuk molekul kecil yang termasuk mediator lipid seperti prostanoid dan turunan lain
dari asam arakidonat, misalnya leukotrien. Autacoids lain, seperti histamin, mengatur tonus
pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang selanjutnya
mengarah ke penebalan lapisan dalam arteri koroner secara bertahap, dengan hasil akhir
berupa penyempitan lumen arteri.
Sel otot polos bermigrasi dari tunika media ke intima akibat inflamasi yang sedang
berlangsung pada awal pembentukan atheroma,. Sel-sel ini berproliferasi dan menguraikan
matriks ekstraseluler yang kaya dan kompleks. Bersama dengan sel endotel dan monosit,
mereka mengeluarkan matrix metalloproteinases (MMPs) sebagai respons terhadap berbagai
32
sinyal oksidatif, hemodinamik, inflamasi, dan autoimun. MMP memodulasi berbagai fungsi
sel vaskular, termasuk aktivasi, proliferasi, migrasi, dan kematian sel, serta pembentukan
pembuluh darah baru, remodeling geometris, penyembuhan, atau penghancuran matriks
ekstraseluler arteri dan miokardium. Konstituen tertentu dari matriks ekstraseluler (terutama
proteoglikan) mengikat lipoprotein sehingga memperluas area perlekatannya pada intima,
dan menjadikannya lebih rentan terhadap modifikasi oksidatif dan glikasi (konjugasi
nonenzimatik dengan gula).32 Produk-produk dari modifikasi lipoprotein ini, termasuk
fosfolipid yang teroksidasi dan produk akhir glikasi, mempertahankan dan menyebarkan
respon inflamasi. Ketika lesi berlanjut, kalsifikasi kemudian terjadi melalui mekanisme yang
mirip dengan pembentukan tulang. Selain proliferasi, kematian sel (termasuk apoptosis)
umumnya terjadi pada lesi aterosklerotik yang ada. Kematian makrofag menyebabkan
pengendapan ekstraseluler faktor jaringan (TF), sebagian dalam bentuk partikulat. Lipid
ekstraseluler yang terakumulasi dalam intima dapat menyatu dan membentuk inti nekrotik
yang kaya lipid pada plak aterosklerotik.
Sel-sel inflamasi yang berasal dari sel foam yang berasal dari monosit yang
bersirkulasi bermigrasi ke dinding arteri dan dapat melemahkan dan menipiskan lapisan
fibrosa. Proses ini dapat dengan mudah menimbulkan robekan pada lapisan tersebut, sehingga
33
mengekspos inti lipid trombogenik di bawah lapisan penutup dengan darah yang mengalir dan
pada akhirnya mengarah pada pembentukan thrombus intraluminal. Berdasarkan beberapa
faktor, termasuk komposisi plak, volume plak dan derajat penyempitan lumen, ukuran robekan
lapisan penutup, trombus yang terbentuk dapat lisis secara spontan, tetap, dan kemudian
masuk ke dalam dinding arteri (mempersempit lumen lebih lanjut) atau tumbuh dan
berkembang menjadi oklusi koroner total hingga menimbulkan kejadian sindroma koroner
akut (SKA).32
2. Remodeling Arteri
Beberapa aspek biologis aterogenesis memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan
konsep remodeling arteri jika dilihat dari perspektif klinis praktis. Pertimbangan tersebut
didorong oleh kemajuan angiografi dan keberhasilan revaskularisasi yang menargetkan
stenosis arteri, tingkat penyempitan arteri mendominasi konsep patofisiologi PJK selama
beberapa dekade, dimana risiko kejadian tergantung pada tingkat stenosis dan pemikiran
bahwa aterosklerosis merupakan penyakit fokus atau segmental.
Sudut pandang tersebut telah mengalami perubahan yang memberikan perspektif baru
untuk meningkatkan kualitas pada pasien. Telah diketahui bahwa sebagian besar riwayat
hidup lesi aterosklerotik tumbuh ke luar, atau abluminally, dibandingkan ke dalam. Sehingga
beban substansial aterosklerosis bisa muncul tanpa menghasilkan stenosis. Penelitian
34
ultrasound intravascular in vivo telah mengkonfirmasi hal tersebut melalui autopsi: Stenosis
mewakili "puncak gunung es" dari aterosklerosis. Pada saat lesi telah berkembang ke titik
yang menghasilkan stenosis, aterosklerosis intimal jumlahnya banyak dalam distribusi yang
tersebar luas. Penelitian dengan ultrasound intravaskular menggarisbawahi prevalensi yang
meresahkan dari lesi aterosklerotik bahkan pada remaja dan dewasa muda Amerika.
Identifikasi lesi aterosklerotik substansial yang tidak membatasi aliran darah, memiliki
dampak yang cukup besar pada pemahaman mengenai sindrom koroner akut (SKA).
Sebagai akibat dari menebalnya intima arteri, diperlukan suplai darah yang lebih
adekuat. Suplai darah baru atau vasa vasorum ini biasanya tumbuh dari adventitia ke dalam
media dan intima untuk memasok nutrisi yang dibutuhkan. Pembuluh darah ini berdinding
tipis, dan integritas endotelnya tidak selalu utuh sepenuhnya. Pecahnya pembuluh-pembuluh
ini ke dalam intima dapat secara cepat memperbesar ukuran plak akibat penumpukan darah.
Selain itu, selaput sel darah merah kaya akan lipid, dan perdarahan juga dapat meningkatkan
kadar sel lipid dan inflamasi di dalam plak 32
Sehingga, progresivitas lambat yang bercampur dengan siklus progresi cepat
menyebabkan pertumbuhan plak. Namun, seiring dengan pertumbuhan plak, lumen arteri
tidak selalu menyempit. Dinding arteri mengalami remodeling, dan lumen tidak menyempit
sampai volume plak mencapai 40%. Fenomena ini, yang disebut remodeling positif yang
bertanggung jawab atas temuan angiografik yang menunjukkan plak tersebut akhirnya
menyebabkan sindroma koroner akut yang non-obstruktif (diameter stenosis <50%) pada
beberapa minggu hingga bulan sebelum muncul gejala. Angiogram memvisualisasikan bagian
dalam arteri tetapi tidak dapat mengevaluasi dinding arteri. Sedangkan plak yang bertanggung
jawab atas kejadian akut (biasanya disebut plak rentan atau berisiko tinggi) mungkin besar
dan tebal, lumen mungkin terlihat normal atau hanya sedikit menyempit pada angiogram
karena proses remodeling ini.
35
Gambar. Berbagai lesi pada aterosklerosis koroner. Skema ini menggambarkan 2 morfologis ekstrem dari plak
aterosklerotik koroner. Lesi stenotik cenderung memiliki inti lipid yang lebih kecil, lebih banyak fibrosis, dan
kalsifikasi; berserat tebal; dan pembesaran yang kurang terkompensasi (remodeling positif). Plak jenis ini biasanya
menyebabkan iskemia yang dapat dikelola dengan tepat melalui kombinasi terapi medis dan revaskularisasi untuk
menghilangkan gejala. Lesi non-stenotik biasanya lebih banyak dibandingkan plak stenotik dan cenderung memiliki
inti lipid besar dan tipis, tutup fibrosa lebih rentan pecah dan menyebabkan trombosis. Plak ini sering membesar
sebagai kompensasi substansial yang mengarah pada terlalu kecil ukuran lesi pada angiografi. Plak non-stenotik
mungkin tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun tetapi ketika terganggu dapat memicu episode angina
tidak stabil atau infark miokard. Penatalaksanaan lesi non-stenotik harus mencakup modifikasi gaya hidup (dan
farmakoterapi pada individu berisiko tinggi). Segmen skematis yang diperbesar menunjukkan bagian memanjang
(kiri) dan bagian melintang (kanan). Banyak lesi aterosklerotik koroner dapat terletak di antara 2 ekstrem ini,
menghasilkan manifestasi klinis campuran, dan memerlukan penatalaksanaan multiprogram. Karena kedua jenis
lesi biasanya hidup berdampingan pada individu yang berisiko tinggi, penatalaksanaan yang optimal sering
membutuhkan revaskularisasi dan terapi sistemik. PTCA, percutaneous transluminal coronary angioplasty;
CABG, coronary artery bypass graft.
Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien sering datang dengan keluhan nyeri dada. Nyeri digambarkan berupa rasa
tertekan yang menjalar ke leher, rahang, lengan dengan durasi <20-30 menit yang terkadang
disertai dengan dispnea, diaphoresis, palpitasi, mual, muntah, atau nyeri kepala; nyeri
diperberat dengan aktivitas, dan berkurang dengan istirahat atau nitrat. Jika telah terjadi infark,
intensitas nyeri meningkat dengan durasi angina > 30 menit. Namun, 25% pasien dengan
infark miokard tidak mengalami gejala klinis tersebut. Proporsi STEMI tanpa rasa sakit lebih
banyak pada pasien dengan diabetes mellitus dan meningkat dengan bertambahnya usia.
Anamnesis secara cermat untuk membedakan apakah nyeri dada berasal dari jantung atau luar
jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya
berasal dari koroner atau bukan. Riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor risiko lain
yang perlu ditanyakan antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stress
serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor
37
pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis
maupun bedah. Walaupun SKA dengan STEMI bisa terjadi sepanjang hari, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.6
Saat dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat
apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dapat
menyebabkan konsekuensi yang berat dalam jangka panjang. Nyeri dada tipikal (angina)
merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada
angina dan mampu membedakan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda
awal dalam pengelolaan pasien IMA.35
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan denyut nadi dan tekanan darah dapat bervariasi. Pada sebagian besar
infark transmural, tekanan sistolik menurun sekitar 10–15 mmHg dari keadaan pre-infark. Pada
sebagian besar pasien, denyut nadi dan tekanan darah normal dalam satu jam pertama STEMI.
Selanjutnya, pasien dengan infark luas akan mengalami hipotensi (tekanan darah sistolik <100
mmHg dan/atau sinus takikardia> 100x/menit). Sekitar seperempat pasien yang terbukti infark
anterior mengalami manifestasi hiperaktif sistem saraf simpatis (takikardia dan / atau
hipertensi). Sementara itu, pasien dengan infark inferior menunjukkan tanda-tanda hiperaktif
parasimpatis (bradikardia dan / atau hipotensi). Pada infark ventrikel kanan sering terjadi
distensi vena jugularis. Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksial bunyi jantung kedua. Murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara juga sering dijumpai sebagai akibat
dari disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 380
C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.30
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai IMA (± RV3, RV4 untuk kecurigaan IMA ventrikel kanan) harus
diperoleh segera pada pasien dengan nyeri dada. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam
10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan dasar yang kuat dalam
menentukan keputusan terapi karena terdapat bukti yang menunjukkan gambaran elevasi
segmen ST sehingga dapat mengidentifikasi pasien untuk segera dilakukan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak terdiagnosis sebagai STEMI tetapi teradapat gejala yang kuat dan
38
terdapat kecurigaan diagnosis ke sana, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan
EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan
elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi
awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi tidak total, obsrtuksi bersifat sementara atau ditemukan
banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya
mengalami angina pectoris unstabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST
berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
39
Waktu Timbulnya Biomarker Jantung saat Infark Miokard
Pemeriksaan radiologis berupa foto sinar X dada sebaiknya diperiksa, terutama pada
pasien dengan dugaan gagal jantung, penyakit katup jantung atau gangguan paru. Adanya
kardiomegali, dan kongesti paru dapat digunakan untuk menentukan prognosis.
40
Terapi
Saat ini terjadinya iskemi miokard akibat stenosis lumen berperan dalam menentukan terapi
PJK. Terapi yang ditujukan untuk menurunkan kebutuhan oksigen miokard dan/atau meningkatkan
aliran darah miokard (mis., Nitrogliserin, nitrat, agen penghambat β, dan calcium channel blockers)
bekerja dengan mempengaruhi faktor-faktor seperti denyut jantung, inotropik dan beban jantung.
Gambar di bawah menunjukkan obat-obatan yang meningkatkan efisiensi produksi energi dengan
menghambat oksidasi asam lemak bebas. Penilaian gaya hidup harus tetap menjadi dasar untuk
pencegahan utama penyakit kardiovaskular. Namun, individu yang memiliki risiko kejadian
kardiovaskular lebih dari 2%/tahun dan pasien dengan PJK atau yang setara juga sering memerlukan
terapi obat. Pemberian statin pada individu berusia 40 hingga 80 tahun dengan kolesterol total> 135
mg/dL menunjukkan manfaat yang nyata terkai dengan riwayat IMA sebelumnya atau penyakit oklusi
arteri koroner atau non-koroner lainnya, diabetes melitus, atau hipertensi terkontrol. Penelitian juga
menunjukkan bahwa aspirin secara signifikan menurunkan kejadian IMA pada pria berusia 40 hingga
80 tahun. Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) mendata pasien berusia 55 tahun atau
lebih yang terbukti mngalami penyakit vaskular atau diabetes ditambah 1 faktor risiko kardiovaskular
lainnya, diacak menggunakan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor ramipril atau
plasebo,36 dan European Trial on Reduction of Cardiac Events with Perindopril in Stable Coronary
Artery Disease (EUROPA) melakukan penelitian yang mempelajari efek perindopril pada pasien
dengan PJK stabil dengan risiko rendah. Kedua penelitian menunjukkan bahwa pemberian ACE
Manajemen aterosklerosis: Skema menunjukkan terapi PJK sesuai dengan patofisiologi, fase
penyakit, dan intensitas risiko (digambarkan oleh gradien kuning ke merah dari kanan ke kiri).
Langkah-langkah pencegahan berlaku untuk seluruh populasi. Individu yang berisiko lebih tinggi dan
orang-orang dengan penyakit terkait juga sering memerlukan terapi medikamentosa. Terapi anti
angina diberikan saat penyakit menimbulkan gejala, dan terapi antitrombotik penuh ditambahkan
dalam IMA. ASA, aspirin; NTG, nitroglycerin; βB, β-adrenergic blocking agents; CCB, calcium
channel blockers; PCI, percutaneous coronary intervention; CABG, coronary artery bypass graft;
UFH, unfractionated heparin; and LMWH, low-molecular-weight heparin.
41
inhibitor menurunkan kejadian kardiovaskular secara signifikan. Sebuah uji coba terbaru pada
populasi risiko rendah tidak menunjukkan keuntungan dari terapi inhibitor ACE dibandingkan
manajemen konvensional kontemporer yang fokus pada modifikasi gaya hidup pada individu
tersebut.
Banyak percobaan terkait pencegahan primer dan sekunder pada faktor risiko yang dapat
dimodifikasi menunjukkan bahwa manajemen agresif menurunkan tingkat kematian, infark miokard
(MI), stroke, dan kejadian kardiovaskular lainnya, termasuk kebutuhan untuk revaskularisasi.
Penurunan tekanan darah 1-mm Hg menurunkan risiko jangka panjang MI sebesar 2% hingga 3%,
sedangkan penurunan 10% kolesterol LDL mengurangi kematian kardiovaskular sebesar 10% dan
kejadian kardiovaskular sebesar 25%. Demikian pula, penghentian merokok dengan cepat
mengurangi risiko kardiovaskular yang menyertai. Diabetes melitus dan sindrom metabolik
meningkatkan risiko kematian akibat kardiovaskular 2 hingga 4 kali lipat dan menurunkan angka
harapan hidup 5 hingga 10 tahun. Prosedur revaskularisasi seperti PCI dan CABG secara efektif
mengembalikan aliran darah arteri koroner pada sebagian besar pasien. Kemajuan pada terapi bedah
dan revaskularisasi perkutan mewakili beberapa kemajuan terapi besar pada beberapa tahun terakhir.
Modalitas revaskularisasi yang muncul termasuk stimulasi arteriogenesis oleh gen, protein, atau
terapi sel.
42
III. Penyakit ginjal kronik (PGK)
Definisi
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau gagal ginjal kronik adalah abnormalitas struktur atau
fungsi ginjal, minimal 3 bulan dengan salah satu tanda di bawah.49
Etiologi
Diagnosa definitif sering membutuhkan biopsi, namun karena keterbatasan sarana dan
komplikasi yang dapat timbul, maka biopsi merupakan tindakan terakhir untuk mengetahui
diagnosa pasien. Pada sebagian besar pasien, diagnosa didasarkan pada gambaran klinis yang
sudah dikenal baik dan dari evaluasi klinis. Berdasar penyebabnya NKF-KDOQI membagi PGK
menjadi 3 kelompok besar.
43
Di Indonesia sendiri, menurut penyakit penyebabnya, yang terbanyak adalah akibat penyakit
ginjal hipertensi dan nefropati diabetika. Namun belum dapat dipastikan apakah memang hipertensi
merupakan penyebab PGK atau hipertensi akibat penyakit ginjal tahap akhir, karena data IRR
didapatkan dari pasien hemodialisis yang sebagian merupakan pasien dengan penyakit ginjal tahap
akhir.53
Patofisiologi
Patofisiologi PGK melibatkan mekanisme awal yang spesifik, yang terkait dengan penyebab dasar
yang mendasari, selanjutnya proses berjalan secara kronis progresif yang dalam jangka panjang akan
menyebabkan penurunan masa ginjal. Sebagai mekanisme kompensasi maka nefron yang masih baik
akan mengalami hiperfiltrasi oleh karena peningkatan tekanan dan aliran kapiler glomelurus, dan
44
selanjutnya terjadi hipertrofi. Hipertrofi struktural dan fungsional dari sisa-sisa nefron yang masih
baik tersebut terjadi akibat pengaruh molekul-molekul vasoaktif, sitokin, serta growth factor, hingga
pada akhirnya akan terjadi proses sklerosis. Aktifitas Renin-Angiotensin internal juga ikut berperan
dalam terjadinya hiperfiltrasi-hipertrofi dan sklerosis. Proses adaptif berupa hiperfiltrasi dan
hipertrofi tersebut pada akhirnya mengalami perubahan maladaptive seperti terjadinya proteinuria.
Adanya proteinuria akan menyebabkan kerusakan tubulus, inflamasi interstisial, dan akhirnya
nefrosklerosis. Selanjutnya jumlah nefron akan terus semakin berkurang dan akhirnya timbul
uremia.50
Diagnosis
Manifestasi klinis
Pasien sering asimtomatis dalam perjalanan penyakit, namun saat sebagian besar fungsi ginjal
telah hilang mulai muncul gejala terkait uremia yang terjadi. Uremia menyebabkan gangguan fungsi
hampir setiap sistem organ. Pada fase awal biasa didapatkan, hipertensi, proteinuria; (BUN atau SCr
yang tinggi), sindrom nefrotik, sindrom nefritis berulang, hematuria. Pada fase akhir (GFR <15 mL /
menit, BUN> 60 mg / dL dapat terjadi gagal jantung, anemia, serositis, delirium, koma, anorexia,
neuropati perifer, hiperkalemia, dan juga asidosis metabolik.53
Keluhan dan gejala klinis yang timbul pada PGK hampir mengenai seluruh sistem. Namun
pasien sering datang dengan kegawatdaruratan yakni anemia, hipertensi, edema, mual, muntah, sesak,
dan penurunan kesadaran.53
1. Keseimbangan natrium-air
Dengan fungsi ginjal normal, reabsorpsi tubulus natrium dan air yang disaring disesuaikan
sehingga ekskresi urin sesuai dengan asupan. Berbagai penyakit ginjal (misalnya
glomerulonefritis) mengganggu keseimbangan ini sehingga asupan makanan natrium melebihi
ekskresi urinnya, yang menyebabkan peningkatan volume cairan pengatur natrium dan ekspansi
ekstraselular. Ekspansi ini dapat menyebabkan hipertensi, yang dapat mempercepat cedera nefron.
Selama asupan air tidak melebihi kapasitas untuk pembersihan air, ekspansi akan menjadi isotonik
dan pasien akan memiliki konsentrasi natrium plasma normal.
2. Homeostasis Kalium
Pada kasus dengan penyakit ginjal kronis, terjadi gangguan juga dalam ekskresi kalium.
Sehingga sering pada pasien terdapat manifestasi berupa Hiperkalemia.
45
3. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik adalah gangguan yang sering terjadi pada PGK stadium lanjut. Mayoritas
pasien masih dapat mengasamkan urin, tapi urin yang dihasilkan lebih sedikit jumlah amonianya dan
oleh karena itu tidak dapat mengeluarkan jumlah proton yang sesuai untuk menyeimbangkan pH urin.
Kombinasi hiperkalemia dan asidosis metabolik hiperkloremik sering terjadi, dan kondisi
hiperkalemia ini selanjutnya menekan produksi amonia.
4. Metabolisme kalsium-fosfat
Penurunan GFR menyebabkan berkurangnya ekskresi fosfat dan dengan demikian terjadilah
retensi fosfat. Fosfat yang tetap akan merangsang peningkatan sintesis FGF-23 oleh osteosit dan PTH
dan merangsang pertumbuhan massa kelenjar paratiroid. Penurunan kadar kalsium terionisasi, yang
dihasilkan dari penekanan produksi calcitriol oleh FGF-23 dan oleh ginjal gagal, serta retensi fosfat,
juga merangsang produksi PTH. Kadar calcitriol rendah berkontribusi terhadap hiperparatiroidisme,
baik dengan menyebabkan hipokalsemia dan juga dengan efek langsung pada transkripsi gen PTH.
Perubahan ini mulai terjadi bila GFR turun di bawah 60 mL / menit.
Bukti epidemiologi terbaru telah menunjukkan hubungan yang kuat antara hyperphosfatemia
dan peningkatan angka kematian kardiovaskular pada pasien dengan PGK tahap 5 dan bahkan pada
pasien dengan PGK tahap awal. Hyperfosfatemia dan hiperkalsemia dikaitkan dengan peningkatan
kalsifikasi vaskular, namun tidak jelas apakah tingkat kematian yang berlebihan dimediasi oleh
mekanisme ini. Hyperphosphatemia dapat menyebabkan perubahan ekspresi gen pada sel vaskular ke
profil mirip osteoblas, yang menyebabkan kalsifikasi pada vascular dan bahkan ossification. Xray
dan ultrasonografi dapat digunakan untuk mengidentifikasi kalsifikasi makroskopik aorta dan arteri
perifer, ekokardiografi sangat membantu untuk penilaian kalsifikasi valvular, dan teknologi CT
merupakan standar emas untuk kuantifikasi kalsifikasi kardiovaskular (Raggi, 2007).
5. Gangguan Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien pada
setiap tahap PGK. Stadium PGK manapun merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskular
iskemik, termasuk penyakit vaskular koroner, serebrovaskular, dan perifer.
Fungsi jantung abnormal dapat terjadi akibat iskemia miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan
frank kardiomiopati. Dikombinasikan dengan retensi garam dan air yang dapat terjadi pada PGK,
sering kali mengakibatkan gagal jantung atau bahkan edema paru. Gagal jantung bisa menjadi
46
konsekuensi dari disfungsi diastolik atau sistolik, atau keduanya. Bentuk edema paru "tekanan
rendah" juga dapat terjadi pada PGK stadium lanjut, yang bermanifestasi sebagai sesak napas dan
distribusi cairan alveolar pada rontgen dada. Faktor risiko terkait PGK lainnya, termasuk anemia dan
sleep apnea, dapat menyebabkan risiko gagal jantung.
Hipertensi adalah salah satu komplikasi PGK yang paling umum. Ini biasanya berkembang
lebih awal selama masa PGK dan dikaitkan dengan hasil yang buruk, termasuk pengembangan
hipertrofi ventrikel dan hilangnya fungsi ginjal yang lebih cepat.
6. Gangguan Hematologi
Defisiensi relatif eritropoietin, berkurangnya masa hidup sel darah merah, Pendarahan
diathesis, Kekurangan zat besi, Hiperparatiroidisme / fibrosis sumsum tulang, Peradangan kronis,
Defisiensi folat atau vitamin B12, Hemoglobinopati, Kondisi komorbid: hipo- / hipertiroidisme,
kehamilan, penyakit terkait HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif merupakan penyebab
anemia pada pasien PGK. Namun, penyebab utama pada pasien PGK adalah produksi eritropoietin
(EPO) yang tidak mencukupi oleh ginjal yang berpenyakit.
Pasien mungkin memiliki pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas faktor platelet III,
dan abnormalitas dari agregasi dan adesi dari trombosit.
7. Gangguan Neuromuskular
Manifestasi klinis penyakit uremik uremik mulai terlihat pada PGK stadium 3. Manifestasi
awal komplikasi SSP meliputi gangguan ringan dalam memori, konsentrasi dan gangguan tidur.
Iritabilitas neuromuskular, termasuk cegukan, kram, dan kedutan, menjadi lebih tampak pada
stadium berikutnya. Bahkan pada gagal ginjal yang tidak diobati, dapat bermanifestasi flapping
tremor, mioklas, kejang, dan koma.
47
berkontribusi terhadap penghilangan insulin dari peredaran, kadar insulin plasma sedikit meningkat
pada kebanyakan pasien uremik, baik dalam keadaan puasa dan postprandial. Karena degradasi
ginjal yang berkurang ini, pasien yang memakai terapi insulin mungkin memerlukan pengurangan
dosis secara progresif karena fungsi ginjal mereka memburuk. Banyak agen hipoglikemik, termasuk
gliptins, memerlukan pengurangan dosis pada gagal ginjal, dan beberapa obat seperti metformin,
dikontraindikasikan saat GFR kurang dari setengah normal.
Pada wanita dengan PGK terjadi kadar estrogen yang rendah, kelainan menstruasi, dan
infertilitas. Sedangkan pada pria,berkurangnya kadar testosteron plasma, disfungsi seksual, dan
oligospermia.
Berdasarkan guideline KDOQI tahun 2002, didapatkan beberapa presentasi klinis yang dapat
timbul pada PGK dengan stadium tertentu. 51
PGK umumnya asimtomatik, sehingga asesmen klinis sangat tergantung pada pemerikasaan
laboratoris dan imajing, dari guideline KDOQI tahun 2002 didapat petunjuk-petunjuk yang dapat
mengarahkan ke diagnosis yang tepat.
48
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium, harus mencakup pengukuran elektrolit serum, kalsium, fosfor,
alkali fosfatase, dan albumin. Dengan adanya glomerulonefritis, penyakit autoimun seperti
lupus yang mendasari seperti harus diuji. pemeriksaan serologis untuk hepatitis B dan C
penting karena masing-masing berhubungan dengan glomerulonefritis membran.
Glomerulopati yang terkait dengan human immunodeficiency virus adalah penyebab penting
glomerulosklerosis fokal. Sehingga pemeriksaan HIV disarankan kepada pasien yang diduga
etiologinya oleh HIV. Pengukuran serial fungsi ginjal harus diperoleh untuk menentukan laju
kerusakan ginjal.
2. Pemeriksaan urin. Pemeriksaan urinalisis dan mikroskop urin harus dilakukan, serta
pengukuran ekskresi protein urin 24 jam. Koleksi urin 24 jam mungkin sangat membantu,
karena ekskresi protein> 300 mg mungkin merupakan indikasi terapi dengan ACE inhibitor
atau ARBs. Piuria yang dominan terjadi pada analgesik induce nefropati, penyakit ginjal
polikistik, dan tuberkulosis ginjal, bahkan walau tanpa infeksi saluran kemih.
49
3. Tes pencitraan. Studi pencitraan yang paling berguna adalah ultrasound ginjal, yang dapat
memverifikasi adanya dua ginjal, menentukan kesimetrisan, memberikan perkiraan ukuran
ginjal, dan menyingkirkan massa ginjal dan bukti obstruksi. Ginjal mengecil bilateral
mendukung diagnosis PGK karena butuh waktu bagi ginjal untuk menyusut akibat penyakit
kronis. Jika ukuran ginjal normal, ada kemungkinan penyakit ginjal akut atau subakut.
Pengecualiannya adalah nefropati diabetik (dimana ukuran ginjal meningkat pada saat
timbulnya nefropati diabetes sebelum munculnya PGK - pada fase awal diabetes, sebelum
komplikasi terjadi, tingkat filtrasi glomerulus (GFR) meningkat pada sebagian besar pasien.
Ukuran ginjal juga meningkat. Kedua fenomena ini diakibatkan oleh peningkatan single-
nephron GFR dan hipertrofi ukuran dari nefron.), Penyakit ginjal polikistik yang telah
mencapai beberapa tingkat gagal ginjal hampir selalu hadir dengan ginjal yang membesar
dengan banyak kista.
4. Biopsi. Pada pasien dengan ginjal bilateral kecil, biopsi ginjal tidak disarankan karena secara
teknis sulit dan memiliki kemungkinan lebih besar menyebabkan pendarahan, ada banyak
jaringan parut sehingga penyakit yang mendasarinya tidak diketahui, dan kesempatan untuk
membuat terapi khusus untuk pencegahan penyakit telah berlalu. Kontraindikasi lainnya
terhadap biopsi ginjal termasuk hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi saluran kemih yang
aktif, diatesis pendarahan (termasuk antikoagsulan yang sedang berlangsung), dan obesitas
berat. Namun, jika diagnosis tetap tidak jelas dan ukuran ginjal normal atau hanya sedikit
berkurang, biopsi ginjal harus dipertimbangkan setelah tekanan darah terkontrol.
Terapi
50
Secara umum, untuk memperkirakan progresifitas dan memperlamabat penurunan GFR harus
dievaluasi serum kreatinin minimal satu tahun sekali pada pasien PGK, tapi lebih sering pada pasien
dengan GFR kurang dari 60, penurunan GFR yang cepat (≥4 mL/min/tahun), faktor resiko lain, terapi
lain yang sedang dijalani. Penanganan intervensi antara lain.51
51
3. Pengendalian keseimbangan elektrolit dan asam basa
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine, berupa urine 24 jam ditambah 500 ml.
Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit. Furosemide dosis tinggi masih dapat dipakai pada awal
PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi bermanfaat dan merupakan kontra indikasi pada obstruksi.
Penimbangan, pemantauan urine dan keseimbangan cairan harus dilakukan. 50
Gangguan utama yang sering terjadi adalah hiperkalemia dan asidosis. Hiperkalemia dapat
tetap asimtomatis walau sudah mengancam. Pencegahan meliputi diet rendah kalium (menghindari
buah dan sayuran berlebih), menghindari diuretika K-sparring (spironolakton). Pada hiperkalemia
yang gawat dapat diberikan 10-20ml Ca Glukonas 10% intravena, di ikuti 25-50ml glukosa 50%
intravena dengan 2-4 iu insulin aktrapid tiap 10 gram glukosa, dan 25-100ml natrium bikarbonat
intravena, dan dapat diulangi bila terjadi hiperkalemia refrakter. Pada kasus non gawat, dapat
diekskresikan dengan furosemid, K-exchange resin dan dialysis. 50
6. Penanganan anemia
Pada pasien PGK anemia dapat disebabkan defisiensi eritropoietin, besi, kehilangan darah,
hiperparatiroid berat, inflamasi akut kronik, toksisitas aluminium, defisiensi asam folat, masa hidup
eritrosit yang pendek, hipertiroid dan hemoglobinopati.52
Saat Hb pasien kurang dari 10 dan/atau hematokrit kurang dari 30, dilakukan diagnosis
laboratorium berupa Hb, Hct, MCV, MCH, hitung retikulosit, status besi (SI/TIBC, SF) dan evaluasi
klinis penyebab lain, dan kardiovaskuler. 52
Pada PGK anemia dibagi menjadi anemia dengan status besi cukup, defisiensi besi absolut
(SF <100 , ST<20), defisiensi besi fungsional (SF>100, ST<20) tapi pada pasien PGK dengan HD
reguler nilai ambang SF adalah 200. Pada defisiensi besi absolut maupun fungsional merupakan
52
indikasi terapi besi. Terapi besi di kontra indikasikan pada hipersensitifitas Fe, gangguan liver berat,
iron overload. Sediaan besi yang dapat digunakan intravena berupa Iron dextran, Iron sucrose, Iron
gluconate, Iron dextrin. Sediaan oral kurang efektif terutama bila pasien mendapat EPO, kecuali bila
preparat suntikan tidak tersedia.52
Pada pasien anemia dengan status besi cukup, dapat memulai terapi eritropoietin untuk
mengoreksi anemia renal sampai target Hb tercapai, dengan diawali fase koreksi dilanjukan
pemeliharaan. Karena berat badan rata-rata pasien HD di Indonesia 50-60 kg, maka dosis 80-150
IU/kgBB/minggu setara dengan 2000-4000 IU/HD.52
53
Respon EPO dianggap tidak adekuat apabila pasien gagal mencapai kenaikan Hb yang
dikehendaki setelah pemberian 4-8 minggu, penyebabnya antara lain defisiensi besi absolut maupun
fungsional, infeksi, kehilangan darah kronik, malnutrisi, dialisis inadekuat, obat-obatan (ACE-
Inhibitor dosis tinggi, AT1 receptor antagonis), defisiensi asam folat, intoksikasi aluminium dan lain-
lain. Setelah ditemukan penyebabnya terapi EPO ditunda sampai teratasi, jika tidak ditemukan
lakukan evaluasi lebih lanjut dengan hematologi. Kadar CRP yang tinggi merupakan prediktor
terjadinya resistensi EPO. 52
54
12. Persiapan dialisis dan transplantasi
Penderita PGK dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa suatu saat akan
memerlukan HD atau transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan
sebelum GFR < 15, dan dianjurkan ketika <20. 50
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic pulmonary edema.
Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.
2. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5). Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2009; p. 1651-3.
3. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005;353:2788- 96.
4. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S, Tavazzi L, et al. Respiratory fatigue
in patients with acute cardiogenic pulmonary edema. Eur Heart J. 2004;6: F74-80.
5. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc Lung Dis.
2011;15(2):155-160
6. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5). Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; p. 1651-
3.
7. Salman A, Milbrandt EB, Pinsky MR. The role of noninvasive ventilation in acute
cardiogenic pulmonary edema. Critical Care. 2010;14(303):1-3.
8. Harjola VP, Costa S, Sund R, Ylikangas S, SiiriläWaris K, Melin J, et al. The type of acute
heart failure and the costs of hospitalization. Int J Cardiol. 2010;145(1):103-5.
9. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Böhm M, Dickstein K, et al. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the
European Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart Failure
Association (HFA) of the ESC. Eur J Heart Fail. 2012;14(8):803-69.
10. Messerli FH, Bangalore S, Makani H, Rimoldi SF, Allemann Y, White CJ, et al. Flash
pulmonary oedema and bilateral renal artery stenosis: The Pickering Syndrome. Eur Heart J.
2011;32(18):2231-5
11. Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit
Dalam 2011. FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo, 2011. p.113-9.
12. MND da Silveira, VWB de Sousa, IAB de Lima, et al. Acute Pulmonary Edema And Elevated
Troponin. Brazilian J of Medicine and Human Health. 2016 Jun4(2):72-79
56
13. Rampengan SH. Edema Paru Kardiogenik Akut. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor
3, November 2014, hlm. 149-156
14. Rana R, Vlahakis NE, Daniels CE, Jaffe AS, Klee GG, Hubmayr RD, et al. B type
natriuretic peptide in the assessment of acute lung injury and cardiogenic pulmonary
edema. [Abstract]. Crit Care Med. 2006;34(7):1941-6.
15. Januzzi JL Jr, Camargo CA, Anwaruddin S, Baggish AL, Chen AA, Krauser DG, et al.
The N-terminal Pro-BNP investigation of dyspnea in the emergency department (PRIDE)
study. Am J Cardiol. 2005;95(8):948-54
16. Binanay C, Califf RM, Hasselblad V, et al. Evaluation study of congestive heart failure and
pulmonary artery catheterization effectiveness: the ESCAPE trial. JAMA 2005;294:1625-33.
17. Harvey S, Harrison DA, Singer M, et al. Assessment of the clinical effectiveness of pulmonary
artery catheters in management of patients in intensive care (PAC-Man): a randomised
controlled trial. Lancet 2005;366:472-7.
18. Purvey M, Allen G. Managing acute pulmonary oedema. Aust Prescr 2017;40:59–63
19. Masip J, Roque M, Sanchez B, Fernandez R, Subirana M, Exposito JA. Noninvasive
ventilation in cardiogenic pulmonary edema: systematic review and meta-analysis. JAMA.
2005;294:3124-32.
20. Gray A, Goodacre S, Newby DE, Masson M, Sampson F, Nicholl J: Noninvasive
ventilation in acute cardiogenic. pulmonary edema. Engl J Med. 2008;359:142-151.
21. Agarwal R, Aggarwal AN, Gupta D. Is noninvasive pressure support ventilation as effective
and safe as continuous positive airway pressure in cardiogenic pulmonary oedema? Singapore
Med J. 2009;50(6):595-603.
22. Coons JC, McGraw M, Murali S. Pharmacotherapy for acute heart failure syndromes. Am J
Health Syst Pharm 2011;68:21-35.http://dx.doi.org/10.2146/ajhp100202
23. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JG, Coats AJ, et al.; Authors/Task
Force Members. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure: The Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
of the European Society of Cardiology (ESC) Developed with the special contribution of the
Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J 2016;37:2129-200. http://dx.doi.org/
10.1093/eurheartj/ehw128
24. Colucci WS. Treatment of acute decompensated heart failure: components of therapy.
UpToDate. Wolters Kluwer. Updated 5 December 2016. www.uptodate.com/contents/
treatment-of-acute-decompensated-heart-failurecomponents-of-therapy [cited 2019 Sept 28]
57
25. National Institute of Health( NIH). About health topics [cited 2016 Sept 30]. Available from:
http://www.nhbli.nih.gov//health-topics/topics/ cad
26. Cardiovascular Disease [cited 2019 Sep 30]. Available from:
http://www.who.int/cardiovascular_ diseases/en/.
27. Citrakesumasari. Model Prediksi Suspek Penyakit Jantung Koroner pada individu dan
Masyarakat di Indonesia [disertasi]. Makassar: Hasanuddin Univ.;2009
28. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia
tahun 2013. Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes; 2014
29. Ghani L, Susilawati MD, Novriani H. Faktor Risiko Dominan Penyakit Jantung Koroner di
Indonesia. 2016. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 44, No. 3, September 2016 : 153 – 164
30. Panduan praktis klinis penyakit jantung dan pembuluh darah. Perhimpunan dokter spesialis
kardiovaskular Indonesia. 2016.
31. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. 2015
32. Pathophysiology of coronary artery disease leading to acute coronary syndromes John A
Ambrose* and Manmeet Singh Address: Department of Medicine, Division of Cardiology,
UCSF Fresno Medical Education Program, Fresno, CA, USA *Corresponding author: John A
Ambrose (jamambrose@yahoo.com) F1000Prime Reports 2015, 7:08 (doi:10.12703/P7-08).
33. Falk E, Nakano M, Bentzon JF, Finn AV, Virmani R: Update on acute coronary syndromes:
the pathologists’ view. Eur Heart J 2013, 34:719-28..
34. Jia H, Abtahian F, Aguirre AD, Lee S, Chia S, Lowe H, Kato K, Yonetsu T, Vergallo R, Hu
S, Tian J, Lee H, Park SJ, Jang YS, Raffel OC, Mizuno K, Uemura S, Itoh T, Kakuta T, Choi
SY, Dauerman HL, Prasad A, Toma C, McNulty I, Zhang S, Yu B, Fuster V, Narula J,
Virmani R, Jang IK: In vivo diagnosis of plaque erosion and calcified nodule in patients with
acute coronary syndrome by intravascular optical coherence tomography. J Am Coll Cardiol
2013, 62:1748-58.
35. Madder RD, Goldstein JA, Madden SP, Puri R, Wolski K, Hendricks M, Sum ST, Kini A,
Sharma S, Rizik D, Brilakis ES, Shunk KA, Petersen J, Weisz G, Virmani R, Nicholls SJ,
Maehara A, Mintz GS, Stone GW, Muller JE: Detection by near-infrared spectroscopy of large
lipid core plaques at culprit sites in patients with acute STsegment elevation myocardial
infarction. J Am Coll Cardiol Intv 2013, 6:838-46
36. Yusuf S, Sleight P, Pogue J, Bosch J, Davies R, Dagenais G. Effects of an angiotensin-
converting-enzyme inhibitor, ramipril, on cardiovascular events in high-risk patients: the
58
Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. N Engl J Med. 2000; 342: 145–
153.CrossrefMedlineGoogle Scholar
37. Rampengan SH. Edema Paru Kardiogenik Akut. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor
3, November 2014, hlm. 149-156
38. Rana R, Vlahakis NE, Daniels CE, Jaffe AS, Klee GG, Hubmayr RD, et al. B type
natriuretic peptide in the assessment of acute lung injury and cardiogenic pulmonary
edema. [Abstract]. Crit Care Med. 2006;34(7):1941-6.
39. Januzzi JL Jr, Camargo CA, Anwaruddin S, Baggish AL, Chen AA, Krauser DG, et al.
The N-terminal Pro-BNP investigation of dyspnea in the emergency department (PRIDE)
study. Am J Cardiol. 2005;95(8):948-54
40. Binanay C, Califf RM, Hasselblad V, et al. Evaluation study of congestive heart failure and
pulmonary artery catheterization effectiveness: the ESCAPE trial. JAMA 2005;294:1625-33.
41. Harvey S, Harrison DA, Singer M, et al. Assessment of the clinical effectiveness of pulmonary
artery catheters in management of patients in intensive care (PAC-Man): a randomised
controlled trial. Lancet 2005;366:472-7.
42. Purvey M, Allen G. Managing acute pulmonary oedema. Aust Prescr 2017;40:59–63
43. Masip J, Roque M, Sanchez B, Fernandez R, Subirana M, Exposito JA. Noninvasive
ventilation in cardiogenic pulmonary edema: systematic review and meta-analysis. JAMA.
2005;294:3124-32.
44. Gray A, Goodacre S, Newby DE, Masson M, Sampson F, Nicholl J: Noninvasive
ventilation in acute cardiogenic. pulmonary edema. Engl J Med. 2008;359:142-151.
45. Agarwal R, Aggarwal AN, Gupta D. Is noninvasive pressure support ventilation as effective
and safe as continuous positive airway pressure in cardiogenic pulmonary oedema? Singapore
Med J. 2009;50(6):595-603.
46. Coons JC, McGraw M, Murali S. Pharmacotherapy for acute heart failure syndromes. Am J
Health Syst Pharm 2011;68:21-35.http://dx.doi.org/10.2146/ajhp100202
47. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JG, Coats AJ, et al.; Authors/Task
Force Members. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure: The Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
of the European Society of Cardiology (ESC) Developed with the special contribution of the
Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J 2016;37:2129-200. http://dx.doi.org/
10.1093/eurheartj/ehw128
59
48. Colucci WS. Treatment of acute decompensated heart failure: components of therapy.
UpToDate. Wolters Kluwer. Updated 5 December 2016. www.uptodate.com/contents/
treatment-of-acute-decompensated-heart-failurecomponents-of-therapy [cited 2019 Sept 28]
49. KDIGO. 2012. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease
50. Tjokroprawiro, Askandar, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press
51. NKF-KDOQI. 2002. Clinical Pratice Guideline for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification
52. PERNEFRI. 2011. Konsensus Manajemen Anemia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
53. Luke R. 2000. Chronic Renal Failure in Goldman: Cecil Textbook of Medicine, 21st ed., W.
B. Saunders Company.
60