Anda di halaman 1dari 31

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

PERTUSIS DAN SIFILIS KONGENITAL

Pembimbing:
dr. Qodri Santosa, Msi.Med, Sp.A

Disusun oleh:
S. Liyaturrihanna Putri G4A015125

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul :

PERTUSIS DAN SIFILIS KONGENITAL

Pada tanggal, Oktober 2016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:
S. Liyaturrihanna Putri G4A015125

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Qodri Santosa, Msi.Med, Sp.A

2
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para pengikut setianya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Kesehatan Anak, terutama dr. Qodri Santosa,Msi.Med,
Sp.A selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat
dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Oktober 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................................... 5
B. Tujuan ....................................................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertusis
1. Definisi ................................................................................................ 7
2. Etiologi ................................................................................................ 7
3. Patogenesis .......................................................................................... 7
4. Patofisiologi ........................................................................................ 10
5. Manifestasi klinis ................................................................................ 10
6. Penegakan Diagnosis .......................................................................... 12
7. Komplikasi .......................................................................................... 13
8. Penatalaksanaan .................................................................................. 13
9. Pencegahan .......................................................................................... 16
10. Prognosis ............................................................................................. 17
B. Sifilis Kongenital
1. Definisi ................................................................................................ 17
2. Etiologi ................................................................................................ 18
3. Patogenesis .......................................................................................... 18
4. Manifestasi Klinis ............................................................................... 19
5. Penegakan Diagnosis .......................................................................... 21
6. Penatalaksanaan .................................................................................. 23
III. KESIMPULAN ............................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30

4
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Pertusis
Pertusis atau batuk rejan adalah infeksi menular pada saluran
pernafasan atas yang disebabkan oleh bakteri gram negatif yaitu
Bordertella pertusis. Pertusis dapat menyerang semua kelompok umur,
terutama anak-anak. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dan individu
yang tidak divaksinasi memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi pertusis.
Penyakit ini ditularkan secara langsung melalui droplet yang dikeluarkan
oleh seseorang ketika batuk (Kilgore et al., 2016).
Pertusis tetap merupakan penyebab penting kematian bayi di seluruh
dunia dan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat bahkan di negara-
negara dengan cakupan vaksinasi yang tinggi. Antibodi ibu tidak muncul
untuk melindungi neonatus dari pertusis yang berat dan bahkan bagi
individu dengan kekebalan yang diinduksi oleh vaksin. Setelah pengenalan
vaksinasi pertusis selama tahun 1950 - 1960, penurunan dramatis (> 90%)
dalam insiden pertusis dan mortalitas diamati di dunia industri. Vaksin
pertusis telah demikian menjadi bagian dari Program Perluasan Imunisasi
WHO sejak awal tahun 1974 (WHO, 2015).
2. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital terjadi jika tidak diobati dengan baik, infeksi dapat
mengenai berbagai organ janin dan dapat mengakibatkan kematian. Sifilis
kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari ibunya
yang menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap
stadium sifilis dan setiap masa kehamilan (Rinawati, 2003).
Sejak tahun 1980, di Amerika Serikat terdapat peningkatan yang pesat
jumlah kasus sifilis primer dan sekunder dan mencapai puncaknya pada
tahun 1990 yaitu 20,3 kasus per 100 000 populasi. Namun kemudian terjadi
penurunan jumlah kasus sifilis primer dan sekunder mencapai 3,2 kasus per
100.000 populasi pada tahun 1997. Faktor risiko yang berhubungan dengan
sifilis maternal adalah usia muda, sosial ekonomi rendah, kurangnya

5
pemeriksaan selama kehamilan yang adekuat, pernah menderita penyakit
menular seksual, perilaku seksual tinggi, dan pemakai obat narkotika.
Transmisi transplasental lebih sering terjadi pada ibu hamil yang menderita
sifillis primer atau sekunder dibandingkan dengan yang menderita sifilis
laten (Rinawati, 2003).
Berdasarkan hal diatas, penulis tertarik untuk membahas tentang
penyakit pertusis dan sifilis kongenital.

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi pertusis.
2. Mengetahui etiologi pertusis
3. Mengetahui patogenesis pertusis
4. Mengetahui patofisiologi pertusis
5. Mengetahui manifestasi klinis pertusis.
6. Mengetahui penegakan diagnosis pertusis.
7. Mengetahui komplikasi pertusis.
8. Mengetahui tatalaksana pertusis.
9. Mengetahui pencegahan pertusis.
10. Mengetahui prognosis pertusis.
11. Mengetahui definisi sifilis kongenital.
12. Mengetahui etiologi sifilis kongenital.
13. Mengetahui patogenesis sifilis kongenital.
14. Mengetahui manifestasi klinis sifilis kongenital.
15. Mengetahui penegakan diagnosis sifilis kongenital.
16. Mengetahui tatalaksana sifilis kongenital

6
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pertusis
Pertusis adalah infeksi berat saluran napas yang disebabkan oleh
Bordetella pertussis. Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis
atau individu yang belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack
rate mencapai angka 100% (Kilgore et al., 2016).
Masa inkubasi berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Gejala klasik
pertusis adalah batuk rejan (whooping cough) yang ditandai dengan batuk yang
cepat dan ekspulsi udara paru yang cepat dimana pasien kemudian dipaksa
untuk menghirup udara dengan suara keras (whooping). Pada bayi dan anak-
anak perjalanan penyakit dibagi menjadi 3 fase berturut-turut setelah infeksi
dan masa inkubasi yaitu fase kataral, paroksismal dan konvalesen. Masing-
masing fase berlangsung selama 1-2 minggu dan biasanya tidak sepenuhnya
pulih selama 2-3 bulan (Kilgore et al., 2016).

B. Etiologi Pertusis
B. pertussis adalah bakteri gram-negatif, kokobasil aerobik pleomorfik
yang tumbuh secara optimal pada kedua media agar Bordet-Gengou atau
Regan-Lowe antara 35°C dan 37°C. B. pertussis adalah bakteri fastidious,
nonmotile, catalase- and oxidative positive spesies. B. pertussis adalah kuman
yang spesifik menginfeksi manusia. Organisme ini menghasilkan toksin yang
merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa
sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada
mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir
batuk disertai bunyi yang khas (Kilgore et al., 2016).

C. Patogenesis Pertusis
Pertusis dihasilkan dari interaksi yang terkoordinasi dari beberapa faktor
virulensi (Kilgore et al., 2016):
1. Toksin B. pertussis seperti pertussis toxin (PT), adenylate cyclase toxin
(AC), dermonecrotic toxin (DNT), dan tracheal cytotoxin (TCT).

7
2. Struktur permukaan B. pertussis seperti filamentous hemagglutinin (FHA),
fimbriae (FIM), pertactin (PRN), the type III secretion system, and
lipopolysaccharide (LPS), and metabolic proteins (e.g., BrkA, BapC, and
BatB).
3. Pada B. pertussis gen bvgAS positif mengontrol ekspresi beberapa faktor
virulensi termasuk PT, AC, DNT, FHA, TcfA, pertactin,
FIM, BrkA, BipA, BcfA, and Vag8. Dua komponen sistem transduksi sinyal
BvgAS pada B. pertussis memainkan peranan penting dalam patogenesis
pertusis.

Gambar 2.1. Faktor Virulensi B. Pertussis

Tabel 2.1. Peran Aktivitas Biologik Komponen Toksin Bordetella pertussis


(Juliana, 2012)
Komponen toksin Aktifitas biologik
Pertusis toxin (IPT) Memproduksi eksotoksin,
sensitisasi histamin, limfositosis,
merangsang sistem imun
Filamentaous hemaglutinin Memegang peran untuk melekatnya
(IFHA) B.pertussis pada sel epitel saluran
nafas
Pertactine 69-kDa OMP Nonfibrial agglutinogen,
berhubungan dengan kerja adenyl
cyclase
Aglutinogen Surface antigen berhubungan
dengan fimbriae untuk melekatnya
B.pertussis pada sel epitel
Adenyl cyclase Menghambat fungsi fagositosis
Tracheal cytotoxin Menyebabkan ciliary stasis dan
cytopathic pada mukosa trakea

8
Patogenesis B. pertusis dipengaruhi oleh perubahan lingkungan seperti
perubahan suhu yang menentukan ekspresi faktor virulensi didalam tubuh
manusia (host). Selama transmisi dari orang ke orang, B. pertussis berpindah
dari suhu lingkungan lokal/sekitar ke suhu tubuh yang lebih tinggi yang
muncul untuk mempengaruhi regulasi gen bvgA dan bvgS. Sistem regulasinya
dikodekan oleh bvgA dan bvgS yang dapat diaktifkan oleh suhu (seperti sulfat
SO4 dan nikotinat) dan kemudian meregulasi ekspresi faktor virulensi B.
pertussis dan E. coli. Mekanisme virulensi B. pertusis terdiri dari kaskade
kejadian yang diinisiasi oleh adheren/perlekatan bakteri melalui FHA dan
fimbriae ke epitel trakea dan paru-paru sebagai langkah utama yang penting.
Setelah terjadi perlekatan, sel B. Pertusis bermultiplikasi secara lokal,
mengeluarkan toksin, melawan mekanisme pertahanan tubuh host (misalnya,
mukosiliar clearance, peptida antimikroba, dan sel-sel inflamasi), dan
menyebabkan kerusakan lokal pada saluran pernapasan bagian atas dan bawah
dengan manifestasi sistemik. Kerusakan pada saluran napas dapat berupa
menurunnya pergerakan silia dan nekrosis epitel sehingga terjadi penumpukan
mukus yang menyebabkan obstruksi jalan napas (Kilgore et al., 2016).

Gambar 2.2. Patogenesis Pertusis

9
D. Patofisologi Pertusis
Percikan droplet infeksius dari penderita pertusis dapat menularkan
penyakit kepada orang disekitarnya terutama pada bayi yang belum
mendapatkan imunisasi pertusis. Pada orang yang terinfeksi, masa inkubasi
berlangsung 6-12 hari sampai munculnya gejala. Bakteri yang masuk melalui
saluran pernapasan bagian atas akan menempel pada sel-sel epitel bersilia yang
diperantarai oleh FHA dan fimbriae bakteri. Setelah terjadi perlekatan, sel B.
Pertusis bermultiplikasi secara lokal dan menyebar ke seluruh permukaan sel
epitel saluran napas disertai dengan pengeluaran toksin. Adenylate cyclase
toxic dapat menyebabkan kerusakan epitel saluran napas dan hiperplasia
jaringan limfoid sehingga terjadi pengeluaran mukus. Sitokin trakea dapat
menyebabkan stasis silia sehingga terjadi gangguan pengeluaran benda asing
termasuk mukus, sehingga merangsang refleks batuk dan terjadi batuk yang
terus-menerus. Ketika batuk, posisi diafragma akan turun menyebabkan
penekanan pada abdomen dan dapat terjadi muntah ketika batuk. Selain itu,
kurangnya oksigen ketika batuk dapat menyebabkan hipoksia sehingga timbul
sianosis. Toksin pertusis yang dikeluarkan dapat merangsang pengeluaran
histamin yang dapat merangsang pusat batuk dan menginduksi leukosit
sehingga terjadi leukositosis (Bocka, 2016).

E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis
penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis
(prodromal), stadium paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens.
1. Stadium kataral
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu yang ditandai dengan gejala yang
menyerupai infeksi saluran napas bagian atas seperti rinore dengan lendir
yang cair dan jernih, demam ringan, malaise, batuk ringan, lakrimasi dan
injeksi konjungtiva. Pada stadium ini diagnosis pertusis belum bisa
ditegakan karena sulit dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar

10
organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini
kuman mudah diisolasi (IDAI, 2011; Kilgore et al., 2016)
2. Stadium paroksismal
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10
kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Beberapa
serangan paroksismal dapat terjadi pada waktu malam hari dan
frekuensinya meningkat pada minggu ke 1-2 pada fase ini sampai minggu
ke 2-3. Selain adanya episode batuk paroksismal, stadium ini juga ditandai
dengan adanya muntah setelah batuk (post-tussive vomiting), sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher
selama serangan. Episode batuk paroksismal dapat dipicu oleh pemberian
makan (bayi), menangis dan tertawa serta dapat terjadi lagi sampai mucous
plug pada saluran napas menghilang (IDAI, 2011; Kilgore et al., 2016)
3. Stadium konvalesens
Fase penyembuhan lamanya kira-kira 1-2 minggu. Pada fase ini
derajat dan keparahan batuk paroksismal berkurang, meskipun dapat
bertahan hingga 6 minggu. Selain itu, fase ini ditandai pula dengan
berhentinya whoop dan muntah serta nafsu makan timbul kembali (IDAI,
2011; Kilgore et al., 2016)

Gambar 2.3. Perjalanan Penyakit Pertusis

11
F. Penegakan Diagnosis Pertusis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan penderita pertusis, adanya serangan khas yaitu batuk
paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi dan sering disertai muntah. Pada
bayi muda (<6 bulan) mungkin tidak disertai adanya whoop, akan tetapi batuk
yang diikuti oleh berhentinya nafas atau sianosis, atau nafas berhenti tanpa
batuk. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat imunisasi (belum
diimunisasi/imunisasi tidak adekuat). Gejala klinis yang didapat pada
pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa (CDC, 2006;
IDAI, 2011).
Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada
stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut
pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal (CDC, 2006; IDAI,
2011).
Pemeriksaan ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA
serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan
respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin
pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui
infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lainnya
yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau
empisema (CDC, 2006; IDAI, 2011).

12
Tabel 2.1. Tanda dan gejala pertusis berdasarkan fasenya (IDAI, 2011)
VARIASI FASE FASE FASE
KATARALIS PAROKSISMAL KONVALESENS
Gejala
Batuk ++ +++ ++
Batuk paroksismal -/+ +++ -/+
Batuk rejan - +++ -/+
Muntah - +++ -/+
Sianosis - +++ -
Apnea - +++ -
Tes sensitivitas
Kultur ++ -/+ -
PCR ++ ++ -
Serologi -/+ ++ ++
Pengaruh terhadap antibiotik
Gejala berkurang ++ -/+ -

G. Komplikasi Pertusis
Komplikasi utama yang sering ditemukan adalah pneumonia bakterial,
gangguan neurologis berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia.
Komplikasi ringan yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia,
dehidrasi, dan juga akibat tekanan intra abdominal yang meningkat saat batuk
antara lain epistaksis, hernia, perdarahan konjungtiva, pneumothorax dan
lainnya (Juliana, 2012).

H. Tatalaksana Pertusis
1. Antibiotik
Antibiotik golongan makrolid (misalnya, azithromycin,
clarithromycin, atau azitromisin) terbukti efektif dan merupakan andalan
pengobatan untuk pasien dengan pertusis. Efektivitas terapi antibiotik
tergantung pada fase pertusis di mana terapi dimulai. Pada 3 minggu
pertama (fase kataral) adalah waktu yang optimal untuk pemberian
antibiotik untuk memperbaiki gejala pertusis dan membasmi B. pertusis.
Namun, pengobatan jarang diberikan cukup awal untuk mempengaruhi
perjalanan penyakit. Untuk alasan ini, CDC AS mendorong dokter untuk
memulai pengobatan antibiotik berdasarkan penilaian klinis dan bahkan
sebelum hasil laboratorium diketahui (Kilgore et al., 2016).

13
Di antara tiga makrolid yang paling banyak diresepkan, azitromisin
adalah satu-satunya antimikroba direkomendasikan untuk neonatus (<1
bulan). Trimetropim-sulfametoksazol (TMP-SMZ/Kotrimoksazol)
digunakan sebagai alternatif pengganti makrolid tetapi hanya boleh
digunakan pada anak usia lebih dari 1 bulan dan pada dewasa jika makrolid
tidak dapat ditoleransi. Karena berpotensi menyebabkan kernikterus pada
bayi, kotrimokaszol tidak boleh diberikan kepada wanita hamil, ibu
menyusui dan bayi usia <2 bulan (Kilgore et al., 2016).
Ampisilin, sefalosporin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
fluoroquinolones belum menunjukkan efektivitasnya dalam mengobati
pertusis pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa. Selanjutnya, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan fluoroquinolones memiliki efek samping yang
berbahaya pada anak-anak. Oleh karena itu, tidak satu pun dari agen-agen
antimikroba tersebut direkomendasikan untuk pengobatan pertusis (Kilgore
et al., 2016).
Pengobatan gejala pertusis menggunakan kortikosteroid,
bronkodilator, antitusif, antitoksin (pertusis immunoglobulin), atau
antihistamin belum dievaluasi secara memadai. Dengan demikian, terapi ini
umumnya tidak dianjurkan (Kilgore et al., 2016).
Tabel 2.2. Rekomendasi Pemberian Antimikroba dan Profiaksis
Pascapajanan Pertusis (Kilgore et al., 2016)
Yang Usia Dosis
direkomendasikan
Eritromisin >1 bulan 40-60 mg/kg/hari dibagi 3-4
dosis selama 7-14 hari
Dewasa 500 mg setiap 6-8 jam selama
7-14 hari
Azitromisin <6 bulan 10 mg/kg/hari selama 5 hari
≥6 bulan 10 mg/kg pada hari ke 1,
selanjutnya 5 mg/kg pada hari
ke 2-5
Dewasa 500 mg pada hari ke 1,
selanjutnya 250 mg pada hari
ke 2-5
Klaritromisin >1 bulan 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis
selama 7 hari
Dewasa 500 mg setiap 12 jam selama 7
hari
TMP-SMZ >2 bulan TMP 8 mg/kg/hari ditambah

14
SMZ 40 mg/kg/hari setiap 12
jam selama 14 hari
Dewasa TMP 320 mg/hari ditambah
SMZ 1600 mg/hari setiap 12
jam selama 14 hari

2. Suportif umum
Berikan oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti
nafas atau batuk paroksismal berat atau yang saturasi oksigennya rendah
<90% pada oksimetri. Gunakan nasal prongs (tidak menggunakan kateter
nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk). Letakan nasal
prongs pada lubang hidung, atur aliran oksigen 1-2 liter per menit (0.5 liter
per menit untuk bayi muda). Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang
disebutkan diatas tidak ada lagi. Periksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa
nasal prongs berada pada posisi yang benar dan tidak tertutup mukus dan
bahwa sambungan aman (WHO, 2013).
Selama batuk paroksismal, letakan anak dengan posisi kepala lebih
rendah dalam posisi telungkup atau miring untuk mencegah aspirasi
muntahan dan membantu pengeluaran sekret. Bila anak mengalami episode
sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-
hati. Bila apnea, segera bersihkan jalan nafas, beri bantuan pernafasan
manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen (WHO, 2013).
Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang
terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan
tenggorokan dan penggunaan NGT. Jangan memberi penekan batuk, obat
sedatif, mukolitik atau antihistamin. Obat antitusif dapat diberikan bila
batuk sangat menganggu. Jika anak demam (> 390C) yang dapat diberikan
parasetamol. Beri ASI atau cairan peroral. Jika anak tidak bisa minum,
pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering
untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernafasan,
berikan cairan rumatan IV untuk menghindari resiko terjadinya aspirasi dan
mengurangi rangsang batuk (WHO, 2013).

15
I. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif (CDC,
2006) :
1. Imunisasi pasif yaitu diberikan human hyperimmune globulin.
2. Imunisasi aktif yaitu dengan vaksinasi. Ada dua vaksin yang digunakan saat
ini yaitu acelllular pertusis vaksin (aP) dikombinasikan dan whole cell
pertusis vaksin (wP) dengan difteri dan tetanus toksoid menjadi DTaP dan
DTwP. DTwP merupakan vaksin DPT yang berisi sel bakteri pertusis utuh
yang tersedia sejak tahun 1940, namun terkait dengan alasan keamanan,
maka dilakukan pengembangan vaksin pertusis asellular (aP). Remaja usia
11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Tdap
0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat
reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang
lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis (Klein et al., 2013).
Berikut jadwal Imunisasi khususnya imunisasi DPT yang
direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia tahun 2014.

Gambar 2.1. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun (IDAI, 2014)

Beberapa hal yang menyebabkan anak tidak mendapatkan vaksin DPT


yaitu anak dengan penyakit ringan seperti flu, dapat memperoleh vaksin DPT
tapi anak dengan penyakit sedang sampai berat harus menunggu sembuh
terlebih dahulu sebelum mendapatakan vaksin DPT. Setiap anak yang

16
mengalami reaksi alergi setelah mendapatkan vaksin DPT sebelumnya. Setiap
anak yang menderita penyakit otak atau sistem saraf (CDC, 2007).
Beberapa resiko setelah vaksin DPT yaitu resiko ringan seperti demam,
kemerahan atau bengkak di daerah bekas suntikan, rasa nyeri setelah suntikan
diberikan, anak rewel, mual, muntah, diare, dan sakit perut, kurang nafsu
makan, sakit kepala, rasa lelah, menggigil dan nyeri sendi serta ruam. Resiko
sedang seperti kejang, tidak berhenti menangis selama 3 jam atau lebih.,
demam tinggi lebih dari 1050F, reaksi alergi yang serius. Resiko berat seperti
kejang jangka panjang, koma dan penurunan kesadaran serta kerusakan otak
permanen (CDC, 2007).
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara (CDC,
2007) :
1. Isolasi : pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan
sampai 5-7 hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal
setelah terapi antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan
transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5. Atau 3 minggu setelah batuk
paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
2. Karantina : kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak
diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat
publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotik selama 5 hari
dari 14 hari pemberian secara lengkap.
3. Disinfeksi : direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan
yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis.

J. Prognosis
Prognosis tergantung usia, remaja memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan bayi yang memiliki risiko kematian (0,5-1%) akibat
ensefalopati (Bocka, 2016).

17
K. Definisi Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus
dari ibu yang menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada
setiap stadium sifilis dan setiap masa kehamilan (Turbadkar et al., 2003).
Sifilis didefinisikan adalah penyakit sifilis yang diderita bayi dengan
manifestasi klinis sifilis kongenital; atau ditemukannya Treponema pallidum
pada lesi, plasenta, tali pusat atau otopsi jaringan; atau bayi yang dilahirkan
oleh ibu penderita sifilis yang belum mendapat pengobatan atau telah mendapat
pengobatan namun tidak adekuat sebelum atau selama kehamilan, atau ibu
yang telah mendapat terapi penisilin tetapi tidak menunjukkan respons
serologi; atau ditemukannya salah satu dari hal berikut, yaitu pemeriksaan
radiologi tulang panjang dan/atau cairan serebrospinal yang
sesuai gambaran sifilis kongenital (Rinawati, 2003).

L. Etiologi Sifilis Kongenital


Penyebab sifilis adalah bakteri Treponema pallidum. Treponema berasal
dari bahasa Yunani yang berarti benang yang terpuntir. Panjang mikro-
organisme ini 5-20 mm dan diameternya 0,092-0,5 mm (Rinawati, 2003).

M. Patogenesis Sifilis Kongenital


Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu persalinan, namun sebagian
besar kasus sifilis kongenital merupakan akibat penularan didalam rahim.
Resiko sifilis kongenital berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang
diderita ibu semasa kehamilan. Lesi sifilis kongenital biasanya timbul setelah
4 bulan dalam rahim pada saat janin sudah dalam keadaan imunokompeten.
Penularan in-utero terjadi transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema
pallidum pada plasenta, tali pusat, serta cairan amnion (Turbadkar et al.,
2003).

18
Gambar 2.4. Penularan Sifilis Kongenital

Treponema pallidum melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah


janin dan menyebar ke seluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan
menyebabkan respons peradangan selular yang akan merusak janin. Kelainan
yang timbul dapat bersifat fatal sehingga terjadi abortus atau lahir mati atau
terjadi gangguan pertumbuhan pada berbagai tingkat kehidupan intrauterin
maupun ekstrauterin (Turbadkar et al., 2003).

N. Manifestasi Klinis Sifilis Kongenital


Berdasarkan gambaran klinisnya, sifilis kongenital dibagi menjadi 2
stadium yaitu stadium dini dan stadium lanjut.
1. Stadium dini terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan (early congenital
syphilis). Kebanyakan bayi yang terinfeksi bersifat asimptomatik pada saat
lahir dan biasanya gejala berkembang dalam kurun waktu 3 bulan (Gray et
al., 2015).
a. Kelainan membran mukosa : Mucous patch dapat ditemukan di bibir,
mulut, faring, laring dan mukosa genital.
b. Rinitis sifilitika (snuffles), hidung menjadi tersumbat sehingga
menyulitkan pemberian makanan.
c. Kelainan kulit : eritema makulopapular, lesi bula diikuti oleh deskuamasi
pada telapak tangan dan kaki secara simetris.

19
d. Kelainan rambut : rambut jarang dan kaku, alopesia areata terutama pada
sisi dan belakang kepala.
e. Kelainan kuku : onikosifilitika yaitu kuku menjadi terlepas. Kuku baru
tumbuh berwarna suram, tidak teratur dan menyempit pada bagian
dasarnya.
f. Kelaianan tulang : osteokondritis, akan terasa nyeri yang dapat
menyebabkan bayi menjadi sensitif dan tidak mau menggerakkan
tungkainya (pseudoparalisis Parrot) serta periostitis dan osteitis pada
tulang-tulang panjang merupakan gambaran yang khas.
g. Kelainan kelenjar getah bening : limfadenopati generalisata
h. Kelainan organ-organ dalam : hepatomegali, splenomegali,
glomerulonefritis, sindrom nefrotik dan pankreatitis
i. Kelainan pada pemeriksaan darah : anemia, leukositosis, leukopenia,
trombositopenia
j. Kelainan mata : korioretinits, uveitis dan glaukoma

Gambar 2.5. Kelainan kulit pada sifilis kongenital

2. Stadium lanjut terjadi setelah usia dua tahun tidak diobati atau tidak adekuat
pengobatan. Pada sifilis stadium lanjut dapat berkembang menjadi late
congenital syphilis, yang setara dengan sifilis tersier pada dewasa. Stadium
lanjut sifilis kongenital biasanya terdiagnosis pada akhir masa anak-anak
atau awal remaja. Dapat dibagi menjadi 2 tipe (Gray et al., 2015) :

20
a. Inflamasi sifilis kongenital lanjut : pada keadaan ini ditemukan adanya
lesi kornea, tulang dan sistem saraf pusat.
b. Stigmata sifilis kongenital : adanya trias Hutchinson yaitu perubahan
pada gigi incicivus menjadi datar seperti gergaji, opasitas kornea (kornea
ditutupi kabut berwarna putih) tanpa ulserasi permukaan kornea, ketulian
karena gangguan nervus akustikus (N.VIII)

Gambar 2.6. Opasitas pada kornea dan gigi Hutchinson

O. Penegakan Diagnosis Sifilis Kongenital


Gejala klinis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium
berupa (Gray et al., 2015) :
1. Preparat basah yang diambil dari cairan tubuh (sekret hidung, serum dari
lesi kulit, cairan ketuban) dengan pemeriksaan lapangan gelap (dark field
microscope), akan tampak bakteri Treponema pallidum.
2. Pemeriksaan serologi (Gray et al., 2015; Rinawati, 2003) :
a. Non-treponemal antibody test : Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR) dapat digunakan untuk uji
skrining yang dilakukan pada umur kehamilan 28-32 minggu. Semua uji
ini akan positif 3-6 minggu setelah adanya infeksi. Bila uji positif harus
dilanjutkan dengan uji antibodi spesifik. Kenaikan titer 2 atau 4 kali lipat
dari hasil sebelumnya (misal 1:2 meningkat menjadi 1:8) menunjukkan
infeksi baru. Penurunan titer 2 atau 4 kali lipat setelah pengobatan (misal
1:32 menjad 1:8) menunjukkan respon yang memadai terhadap
pengobatan. Hasil positif dilaporkan sebagai titer antibodi (mis 1: 1, 1: 2,
1: 4 dll). Tes tersebut memiliki tingkat positif palsu moderat dan perlu
dikonfirmasi dengan tes serologi treponema yang spesifik. Titer tes non

21
treponemal biasanya menurun setelah pengobatan dan mungkin kembali
menjadi non reaktif seiring berjalannya waktu.
a. Treponemal antibody test : Treponema pallidum Particle Agglutination
(TPPA), Treponema pallidum Haemaglutination (TPHA), Fluorescent
Treponemal Antibody absorption (FTA-Abs) digunakan untuk uji
serologi konfirmasi. Pada orang dewasa, tes serologi treponemal yang
reaktif biasanya akan tetap reaktif selama hidupnya bahkan jika orang
tersebut telah mendapatkan terapi yang adekuat. Tes ini menunjukkan
bahwa seseorang sudah pernah mengalami sifilis dalam hidupnya dan
tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pada bayi baru lahir dari ibu
yang terinfeksi akan memiliki tes serologi treponemal yang reaktif karena
antibodi maternal diperoleh melalui plasenta.
3. Pada pemeriksaan histologi jaringan plasenta didapatkan funisitis dan
vaskulitis. Selain itu terdapat juga gambaran plasentitis berupa fibrosis villi
korionik dan infiltrat plasmolimfositik pada stroma (Rinawati, 2003).
4. Pada pemeriksaan radiologi dapat dijumpai perubahan metafisis tulang
panjang yaitu gambaran radio lusen pada metafisis tulang disertai penebalan
korteks di tulang panjang (Rinawati, 2003).
Tabel 2.3. Hasil Uji Serologi Treponemal
Tes non treponemal Tes treponemal Interpretasi
Ibu Bayi Ibu Bayi
- - - - Ibu dan bayi tidak terinfeksi sifilis
Ibu tidak sifilis (tes non-treponema
+ - - - positif palsu dengan transfer pasif
pada bayi)
Ibu sifilis dengan kemungkinan
infeksi pada bayi; atau ibu sudah
_ + atau - + + diobati selama kehamilan; atau ibu
sifilis laten dengan kemungkinan
infeksi pada bayi
Ibu baru saja atau pernah
+ + + + menderita sifilis; kemungkinan
infeksi pada bayi
Ibu dengan sifilis yang sudah
berhasil diobati sebelum atau pada
- - + + awal kehamilan; atau ibu
menderita penyakit Lyne, yows
atau pinta (positif palsu)

22
P. Tatalaksana Sifilis Kongenital
Tata laksana sifilis kongenital dibedakan atas empat keadaan yaitu
(Rinawati, 2003):
1. Pada pemeriksaan fisik tampak tanda sifilis kongenital
2. Pada pemeriksaan fisik normal, dibagi menjadi :
a. Ibu mempunyai titer 4X, namun tidak diobati.
b. Ibu diobati, titer menurun, dan tidak menderita reinfeksi/relaps.
c. Ibu diobati, titer ibu rendah dan stabil.

Gambar 2.7. Tatalaksana Sifilis Kongenital (Rinawati, 2003)

1. Evaluasi dan Pengobatan Neonatus (<30 hari)


Keputusan pengobatan harus didasarkan atas : identifikasi sifilis pada
ibu, kecukupan pengobatan pada ibu, adanya gejala klinis, bukti

23
laboratorium atau radiologi sifilis pada neonatus, perbandingan titer serologi
ibu dan bayi menggunakan tes yang sama, sebaiknya dilakukan oleh
laboratorium yang sama (MDH, 2016).
Semua bayi yang lahir dari ibu yang memiliki hasil tes serologi
treponemal dan non treponemal reaktif harus dievaluasi dengan tes serologi
non treponemal kuantitatif (RPR atau VDRL) diambil dari serum bayi,
karena darah yang diambil dari plasenta dapat terkontaminasi dengan darah
ibu dan menghasilkan hasil positif palsu (MDH, 2016).
Semua bayi yang lahir dari ibu yang memiliki tes serologi reakif untuk
sifilis harus diperiksa secara menyeluruh untuk (MDH, 2016) :
1) Bukti sifilis kongenital misalnya hydrops nonimun, sakit kuning,
hepatosplenomegali, rhinitis, ruam kulit dan pseudoparalysis pada
ekstremitas.
2) Pemeriksaan patologis plasenta atau tali pusat menggunakan
pewarnaan tertentu (misalnya perak) atau tes PCR T. pallidum
menggunakan uji CLIA-divalidasi harus dipertimbangkan. Reagen
DFA-TP tidak tersedia.
3) Pemeriksaan mikroskopis lapang pandang gelap atau pengujian PCR
pada lesi yang mencurigakan atau cairan tubuh (misalnya ruam bulosa
dan sekret hidung) juga harus dilakukan.
4) Untuk bayi lahir mati, survei kerangka menunjukkan adanya lesi
tulang khas yang mungkin membantu dalam diagnosis sifilis
kongenital.

a. Proven or Highly Possible Congenital Syphilis


Semua neonatus dengan (MDH, 2016):
1) Pemeriksaan fisik abnormal yang konsisten dengan sifilis kongenital;
atau
2) Titer serologi nontreponemal kuantitatif empat kali lipat lebih tinggi
dari ibu; atau
3) Pemeriksaan lapang pandang gelap positif atau PCR pada lesi atau
cairan tubuh.

24
Evaluasi (MDH, 2016):
1) Analisis CSS untuk VDLR, jumlah sel dan protein.
2) Pemeriksaan darah lengkap
3) Pemeriksaan lain atas indikasi klinis (misalnya radiografi tulang
panjang, rontgen dada, tes fungsi liver, neuroimaging, pemeriksaan
oftalmologi dan pendengaran).
Pengobatan (MDH, 2016):
1) Penisilin kristalin G akua IV 50.000 unit /kg/12 jam selama 7 hari
pertama kehidupan dan setiap 8 jam setelahnya untuk total 10 hari;
atau
2) Penisilin prokain G 50.000 unit/kg/kali IM dalam dosis tunggal
selama 10 hari.
a) Jika terapi tertinggal lebih dari 1 hari, maka terapi harus diulang
dari awal.
b) Terapi penisilin selama 10 hari penuh lebih disukai, bahkan jika
ampisilin awalnya disediakan untuk kemungkinan sepsis.
c) Penggunaan agen antimikroba selain penisilin dibutuhkan
pemeriksaan serologi lebih lanjut untuk menilai kecukupan terapi.

b. Possible Congenital Syphilis


Semua neonatus yang (MDH, 2016) :
1) Memiliki pemeriksaan fisik normal; dan
2) Titer serologi nontreponemal kuantitatif sama dengan atau kurang dari
empat kali lipat titer ibu; dan salah satu dari berikut :
a) Ibu tidak diobati, pengobatan tidak adekuat, atau tidak memiliki
dokumentasi pengobatan; atau
b) Ibu telah diobati dengan eritromisin atau rejimen selain yang
direkomendasikan pedoman ini (yaitu, nonpenicillin G rejimen)*;
atau
c) Ibu menerima anjuran pengobatan ˂4 minggu sebelum pengiriman.
*Seorang wanita yang diobati dengan rejimen lain selain dari yang
direkomendasikan dalam pedoman ini dianggap tidak diobati.

25
Evaluasi (MDH, 2016):
a) Analisis CSS untuk VDLR, jumlah sel dan protein.
b) Pemeriksaan darah lengkap
c) Pemeriksaan radiografi tulang panjang
Sebuah evaluasi lengkap tidak diperlukan jika 10 hari terapi
parenteral diberikan, meskipun evaluasi tersebut mungkin berguna.
Misalnya, pungsi lumbal mungkin mendokumentasikan CSF
kelainan yang akan mendorong dekat tindak lanjut (MDH, 2016)
Pengobatan (MDH, 2016):
1) Penisilin kristalin G akua IV 50.000 unit /kg/12 jam selama 7 hari
pertama kehidupan dan setiap 8 jam setelahnya untuk total 10 hari;
atau
2) Penisilin prokain G 50.000 unit/kg/kali IM dalam dosis tunggal
selama 10 hari; atau
3) Penisilin benzatin G 50,0000 unit/kg/hari IM dalam dosis tunggal.
a) Sebelum menggunakan dosis tunggal regimen penicillin G,
evaluasi lengkap (yaitu pemeriksaan CSS, radiografi tulang
panjang dan pemeriksaan darah lengkap dengan trombosit)
harus normal dan tindak lanjut harus yakin.
b) Jika ada bagian dari evaluasi bayi tidak normal atau tidak
dilakukan, jika analisis CSS adalah tidak dapat diinterpretasikan
karena kontaminasi dengan darah, atau jika tindak lanjut tidak
pasti, pemberian penisilin G selama 10 hari dianjurkan.
c) Jika tes nontreponemal neonatus adalah reaktif dan klinisi
menentukan bahwa risiko ibu sifilis yang tidak diobati rendah,
pengobatan dengan dosis IM tunggal benzathine penisilin G
50.000 unit / kg untuk kemungkinan inkubasi sifilis dapat
dilakukan tanpa evaluasi.
d) Neonatus yang lahir dari ibu dengan sifilis awal yang tidak
diobati pada saat melahirkan memiliki risiko yang tinggi untuk
terkena sifilis kongenital, 10-hari penisilin G dapat diberikan

26
bahkan jika evaluasi lengkap adalah normal dan tindak lanjut
yang pasti.

c. Less Likely Congenital Syphilis


Semua neonatus yang (MDH, 2016):
1) Memiliki pemeriksaan fisik normal.; dan
2) Titer serologi nontreponemal kuantitatif sama dengan atau kurang dari
empat kali lipat titer ibu; dan dua dari hal-hal berikut:
a) Ibu telah diobati selama kehamilan, pengobatan sesuai untuk tahap
infeksi, dan pengobatan diberikan ˃4 minggu sebelum persalinan;
dan
b) Ibu tidak memiliki bukti infeksi ulang atau kambuh.
Evaluasi (MDH, 2016): Tidak ada evaluasi dianjurkan.
Pengobatan (MDH, 2016): Penisilin benzatin G 50.000 unit / kg / dosis IM
dalam dosis tunggal.

d. Unlikely Congenital Syphilis


Semua neonatus yang (MDH, 2016):
1) Memiliki pemeriksaan fisik normal; dan
2) Titer serologi nontreponemal kuantitatif sama dengan atau kurang dari
empat kali lipat titer ibu; dan dua dari hal-hal berikut:
a) Pengobatan ibu telah adekuat sebelum kehamilan; dan
b) Titer serologis nontreponemal ibu tetap rendah dan stabil (yaitu,
serofast) sebelum dan selama kehamilan dan saat melahirkan
(VDRL ˂1: 2; RPR ˂1:4).
Evaluasi (MDH, 2016): Tidak ada evaluasi dianjurkan.
Pengobatan (MDH, 2016):
1) Tidak ada pengobatan yang diperlukan, tetapi bayi dengan uji
nontreponemal reaktif harus diikuti serologis untuk memastikan tes
nontreponemal kembali ke negatif.

27
2) Benzatin penisilin G 50.000 unit / kg IM tunggal mungkin
diperlukan, terutama jika tindak lanjut tidak pasti dan neonatus
memiliki tes nontreponemal reaktif.

2. Evaluasi dan pengobatan Bayi/Anak-anak ≥1 bulan


Bayi dan anak-anak berusia ≥1 bulan yang diidentifikasi memiliki tes
serologi reaktif untuk sifilis harus diperiksa secara menyeluruh dan
memiliki serologi maternal dan catatan ulasan untuk menilai apakah mereka
memiliki sifilis bawaan atau sifilis yang didapat (MDH, 2016).
a. Evaluasi (MDH, 2016):
1) Analisis CSS untuk VDLR, jumlah sel dan protein.
2) Pemeriksaan darah lengkap
3) Pemeriksaan lain atas indikasi klinis (misalnya radiografi tulang
panjang, rontgen dada, tes fungsi liver, USG abdomen, neuroimaging,
pemeriksaan oftalmologi dan pendengaran).
b. Pengobatan (MDH, 2016):
1) Penisilin kristalin G akua 200.000 - 300.000 unit / kg / hari IV,
diberikan sebagai 50.000 unit / kg setiap 4 - 6 jam selama 10 hari.
2) Jika bayi atau anak tidak memiliki manifestasi klinis sifilis kongenital
dan evaluasi (termasuk pemeriksaan CSS) adalah normal, pengobatan
dengan 3 dosis mingguan Penisilin benzatin G 50.000 unit / kg IM
dapat dipertimbangkan.
3) Dosis tunggal penicillin benzatin G 50.000 unit / kg IM hingga
mencapai dosis dewasa yaitu 2,4 juta unit dalam dosis tunggal dapat
dipertimbangkan setelah 10-hari menggunakan penisilin akua untuk
memberikan durasi lebih dibandingkan pengobatan pada mereka yang
tidak memiliki manifestasi klinis dan CSF normal.
4) Semua regimen pengobatan di atas juga akan cukup untuk anak-anak
yang mungkin memiliki infeksi treponema lain.

28
III. KESIMPULAN

1. Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi menular dari saluran pernapasan atas
yang disebabkan oleh gram basil negatif Bordetella pertusis.
2. Infeksi oleh Bordetella pertusis diperoleh melalui droplet.
3. Pertusis terdiri dari tiga fase yaitu fase kataralis, fase paroksismal, fase
konvalensen.
4. Tatalaksana utama pada pertusis yaitu pemberian antibiotik yaitu eritomisin
oral (12,5 mg/kg, 4x sehari) selama 10 hari. Alternatif, jika tersedia, berikan
azitromisin dengan dosis 10 mg/kg (maksimal 500 mg) pada hari pertama,
kemudian dilanjutkan 5 mg/kg (maksimal 250 mg) sekali sehari dalam
empat hari.
5. Sifilis kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari
ibunya yang menderita sifilis.
6. Penyebab sifilis adalah bakteri Treponema pallidum.
7. Penegakan diagnosis sifilis kongenital berdasarkan riwayat ibu yang
menderita sifilis tanpa pengobatan yang adekuat, atau uji serologis positif,
atau pada pemeriksaan mikroskop lapangan pandang gelap ditemukan
bakteri Treponema pallidum dalam cairan tubuh.
8. Tatalaksana pada sifilis kongenital berdasarkan empat keadaan berikut :
pada pemeriksaan fisik tampak tanda sifilis kongenital, pada pemeriksaan
fisik normal namun ibu mempunyai titer 4X dan tidak diobati, pada
pemeriksaan fisik normal namun ibu diobati, titer menurun, dan tidak
menderita reinfeksi/relaps, pada pemeriksaan fisik normal dan ibu diobati,
titer ibu rendah dan stabil.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bocka J.J. 2016. Pertussis. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/967268-overview (diakses 30
September 2016

Centers for Disease Control and Prevention. 2006. Preventing tetanus, diphtheria
and pertussis among adolescents: use of tetanus and diphtheria toxoids and
acellular pertussis vaccines. Recommendations of the Advisory Committee
on Immunization Practices (ACIP). Morbidity and Mortality Weakly Report
55(3):1-34

Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Diphtheria, Tetanus, and
Pertussis (DTaP). Vaccine Information Statements Vol 24 : 1-2

Gray E., Ryder N., Gunathilake M., Francis J. dan O’Brien MM. 2015.
Congenital Syphilis Guidelines For The Northern Territory. Edisi ke 3.
Northern Territory : Center for Disease Control Department of Health.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Jilid II. Jakarta :
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0-18 Tahun.
Available at : http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2014/04/Jadwal-
Imunisasi-2014-lanscape-Final.pdf (diakses tanggal 30 September 2016)

Juliana D. 2012. Pengaruh Pengetahuan, Sikap Dan Norma Ibu Serta Pelayanan
Imunisasi Terhadap Pemberian Imunisasi DPT/HB3 Di Kecamatan Kuta
Baro Dan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Universitas Sumatera Utara :
Medan. Tesis.

Kilgore P.E., Abdulbaset M.S., Marcus J.Z. dan Heinz-Josep S. 2016. Pertussis :
Microbiology, Diasease, Treatment and Prevention. American Society For
Microbiology 29(3) : 449-86

Klein, N.P., Bartlett, J., Areman, B., Rahbar, R., Baxter, R. 2013. “ Comparative
Effectiveness of Acellular Versus Whole Cell Pertussis Vaccines in
Teenagers”. Journal of the American Academy of Pediatrics Vol 131 : 1717
– 1721

Minnetosa Department of Health (MDH). 2016. Clinical Guidelines for Syphilis


during Pregnancy and Congenital Syphilis, including Infants and Children.
Available at : www.helath.state.mn.us/std (diakses 29 September 2016)

Rinawati M.S. 2003. Diagnosis Dan Tatalaksana Sifilis Kongenital. Sari Pediatri
5(2):52-57

30
Turbadkar D., Mathur M., dan Rele M. 2003. Seroprevalence of TORCH
Infection in Obstetric History. Indian Journal of Medical Microbiology
21(2):108-110.

World Health Organization. 2013. Guidlines for The Management of Common


Childhood Illnesses. Geneva : WHO Press

World Health Organization. 2015. Pertussis. Geneva : WHO Press

31

Anda mungkin juga menyukai