Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
Kejang demam adalah kejang yang didahului demam pada anak usia 3 bulan
sampai 5 tahun yang tidak terkait dengan kelainan intracranial1. Penyebab demam
pada pasien kejang demam biasanya adalah gastroenteritis (38,1%), infeksi saluran
nafas atas (20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%)2. Kejang demam merupakan
salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Hal
yang menjadi perhatian pada saat anak kejang demam pertama adalah kesehatan anak
di masa depan, berulangnya kejang demam, terjadinya retardasi mental, paralisis,
kecacatan fisik, dan gangguan belajar3.
Bila pengobatan kejang demam tidak efektif maka dapat terjadi penurunan IQ
anak, berulangnya kejang demam hingga epilepsy. Kematian anak yang mengalami
kejang demam oleh karena injury, aspirasi, atau aritmia1. Di Rumah Sakit PHC
Surabaya, prevalensi kejang demam pada tahun 2011, 2012, 2013 berturut-turut
adalah sebanyak 176 kasus,181 kasus, dan 197 kasus. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penderita kejang demam dari tahun 2011 sampai tahun 2013.
Kejadian kejang demam merupakan hal sangat mengkhawatirkan bagi orang
tua. Kekhawatiran orang tua dapat bertambah jika anak mengalami kejang demam
berulang. Kemungkinan kejang demam berulang perlu diwaspadai pada anak yang
memiliki usia kurang dari 18 bulan, suhu tubuh kurang dari 40oC, memiliki riwayat
kejang demam dalam keluarga, dan durasi demam kurang dari 1 jam4. Sehingga
klinisi harus memiliki kemampuan dalam penatalaksanaan kejang demam dan mampu
mengedukasi orang tua untuk mencegah kejang demam berulang
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana penegakan diagnosa, penatalaksanaan serta prognosis kejang demam?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui penegakan diagnosa penatalaksanaan serta prognosis kejang
demam?
1.4. Manfaat
Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosa dan memberi terapi serta
edukasi keluarga agar tidak terjadi kejang demam berulang
BAB II
LAPORAN KASUS

1. Anamnesa
a. Identitas
Nama Paisen (L/P) : An. AN (L)
TTL/Usia :15 Agustus 2015 (2 tahun 5 bulan)
Nama Ayah : Tn. AW
Usia :30th
Pekerjaan :Swasta
Alamat : Bangkalan
Nama Ibu : Ny. NM
Usia :27 th
Pekerjaan :Guru
Alamat :Bangkalan
No RM :167916
Tanggal Pemeriksaan : 22-1-18
b. Keluhan Utama :Kejang
c. R. Penyakit Sekarang : Kejang dipuskesmas 2x. Kejang pertama 5
menit semua badan kejang setelah kejang nangis. Lalu jarak 1 jam kejang
lagi 10 detik setelah kejang nangis. 1 hari yll sebelum kejang pasien
panas tinggi, batuk (-), muntah(-). Dipuskesmas diberi obat anti kejang
suposituria dan injeksi obat demam, lalu pasien dibawa ke RSUD.
Sesampainya di IGD pasien mencret 2x cair> ampas, warna kuning
kehijauan, lendir (-), darah (-).
d. R. Penyakit Dahulu : tdk ada
e. R. Penyakit Keluarga : tdk ada
f. R. Persalinan :
Kelahiran : SC karena pinggul ibu sempit (CPD), lahir
langsung nangis
UK: 9 bulan ANC: Rutin setiap bulan
BBL :3,5kg PB : tdk tahu LK : tdk tahu LL :tdk tahu
Anak ke- : 1
g. R. Tumbuh Kembang :Usia 1,5 tahun sudah bisa jalan. Sekarang anak
aktif sudah bisa melompat, berlari, menunjuk bagian tubuhnya, dan
mencuci tangan sendiri.
h. R. Imunisasi : Lengkap (ikut posyandu rutin)
i. R. Nutrisi :Pasien diberi ASI dari lahir hingga 7bln
selanjutnya pakai susu formula hingga sekarang. Usia 7 bulan baru di
dulang bubur dan pisang.
j. R. Sosek :Orang tua pasien memperhatikan kesehatan
anak dan memiliki tingkat pendidikan yang baik
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :sedang (kurang aktif)
GCS :456
TTV : BB : 11kg
HR :124x/menit TB/PB : 90cm
RR :28x/ menit
T :37,4
TD :Tdk diukur
Anemis - Ikterik - Cyanosis - Dispneu -
Turgor : Normal Edema :-
Kepala : Normo UUB : Menutup
Muka : Simetris
Rambut : warna: hitam sulit dicabut
Mata : Cekung - Kering- Refleks pupil: + isokor +
Hidung : Rinorea - Pernafasan cuping hidung -
Mulut : Trismus -
Bibir : Kering - Pucat -
Lidah : Kotor - Tremor -
Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening - Pemb Kel Tiroid -
Thorax
Inspeksi : Simetris + Bentuk : Normal
Retraksi: Suprasternal/ICS/Epigastrial/Subcostal (-)
Palpasi : Gerakan Dada Simetris + Thrill -
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis -
Palpasi : Ictus Cordis Kuat Angkat +
Auskultasi : S1 S2 tunggal Murmur (-) Friction Rub (-)
Paru
Inspeksi : Pengembangan Dada Simetris +
Palpasi : Taktil Vremitus normal, sama antara kanan dan kiri
Auskultasi : Stridor (-) Rhonci -/-Wheezing -/-
Perkusi : Sonor
Abdomen
Inspeksi :Datar Ikut gerak nafas +
Palpasi : Soufel + Distended - Nyeri Tekan -
Perkusi : Timpani + Meteorismus - Shifting Dullness -
Undulasi -
Auskultasi :Bising Usus Normal
Hepar : Pembesaran -
Limpa : Teraba -
Tumor :-
Ginjal : Teraba - Nyeri Ketok -
Ektremitas : Hangat Edema (-) Polidaktil (-) CRT: <2 dtk
Neurologi
Reflek Fisiologi : BPR : normal TPR : normal KPR : normal APR normal
Reflek Patologis: Houffmen -,Tromner -, Chaddok - ,Babinzki - ,Openhem -
Meningeal Sign: Kaku Kuduk -, Brudzinski I - ,Brudzinski II - , Laseque -
Status Gizi : 84,6% Gizi Kurang
3. Pemeriksaan Penujang :
Hasil Laboratorium
Tanggal : 22 januari 2018

Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan NILAI
HASIL SATUAN Keterangan
NORMAL
Hematologi
Hb 12.3 g/dL 10,7-14
Hematokrit 35,3 % 34-47
Eritrosit 4,46 10^6/cmm 3,4-5,1
Leukosit 8.600 cell/cmm 6000 – 14.000
Trombosit 345.000 cell/cmm 150.000 -450.000

Differential
Basofil 2,2 0-1
Eusinofil 0,1 1-6
Limfosit 36,1 30-64
Monosit 5,3 0-7
Netrofil 56,3 17-42

Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Darah lengkap

4. Diagnosis Banding :Kejang demam komplek


Epilepsi
Tetanus

5. Diagnosa Kerja : Kejang Demam Komplek


6. SOAP
No Tgl S O A P
1 23/01/1  Mencret 3x  KU Sedang Obs -Infus kaen 3B 73 tpm
selama 3 jam 
8 cair > ampas, (kurang KDK +
maintenance D5 1/2
lendir (-), aktif) GE NS 14tpm
darah (-),  GCS 456 DRS
-Zink 20 mg selama
panas(-)  Nadi:124x/m 10 hari
 Kejang (-), nt -Paracetamol syr
110mg, 4dd 1 cth bila
 Anak rewel Rr :32x/mnt
panas
sering minta T : 36oC
-Diazepam 6mg bila
minum  Mata kejang IV
 Muntah (-) cowong (-)
 Anak susah Mukosa bibir
makan kering
 BU 15x/mnt
(1-3detik)
 Meteorismus
(-)
2 24/01/1  Mencret 1x  KU Sedang Obs -Infus maintenance D5
1/2 NS 14tpm
8 ampas > cair, (kurang KDK +
lendir (-), darah aktif) GE -Zink20 mg selama 10
hari
(-),  GCS 456 DRS
 panas (-)  Nadi:116x/m -Paracetamol syr
110mg, 4dd 1 cth bila
 kejang (-) nt panas
 anak sudah tdk Rr :28x/mnt
-Diazepam 6mg bila
sering minta T : 36,7oC kejang IV
minum  Mukosa bibir
 anak mau basah
makan dan  BU 15x/mnt
minum susu (1-3detik)
Meteorismus
(+)
3 25/01/1  Mencret (-)  KU kurang Obs -Infus maintenance D5
1/2 NS 14tpm
8  panas (-) aktif, GCS 456 KDK +
 kejang (-)  Nadi GE -Zink10 mg selama 20
hari
 anak mau ;128x/menit DRS
makan dan Rr ; 32x/ menit -Paracetamol syr
110mg, 4dd 1 cth bila
minum susu Suhu ; 36,4 oC
panas
 Mukosa bibir
-Diazepam 6mg bila
basah kejang IV
 BU 12x/mnt
(1-3detik)
Meteorismus (-
)

7. Terapi
-Infus maintenance D5 1/2 NS 14tpm hari kedua di rumah sakit pasien
dehidrasi ringan sedang sehingga diberikan kaen 3B 73 tpm selama 3 jam
-Paracetamol syr 120mg , 4dd 1 cth bila panas
-Diazepam 6 mg IV bila kejang
-Zink 20 mg selama 10hari

8. Prognosis :Kejang berulang, epilepsi, gangguan tumbuh kembang


9. Komplikasi :Sianosis
10. KIE :
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Untuk menghindari aspirasi
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut saat kejang.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat per rectal untuk mencegah rekurensi kejang
5. Bila anak demam segera berikan antipiretik untuk menghindari kejang
demam berulang.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala (trauma
capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai
kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan
selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis dan gangguan fungsi kognitif 1. Secara global insiden cedera kepala
meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan
bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia 2.

3.2 Etiologi Cedera Kepala


Penyebab cedera kepala dibagi menjadi 2:
1. Cedera akibat traumatic yaitu cedera yang terjadi akibat benturan
langsung maupun tidak langsung, dan cedera non trauma yaitu cedera
yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik 3.
2. Cedera non-traumatic merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan
otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi 3.
3.3 Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi
berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka
tembak 4.

3.3 Klasifikasi Cedera Kepala


Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale
pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat
kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai
yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan
reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada
CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di
rumah sakit setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma,
score GCS < 9 1

Gambar 1. Glasgow Coma Scale untuk menentukan derajat cedera kepala


3.4 Patogenesis Cedera Kepala
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup.
Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak
dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya
berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala
bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan 5.
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan
rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan
tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan
regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi.
Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury 6.

2.1.7 Manifestasi Klinis Cedera Kepala


Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas
os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran 11
timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung),
rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal
keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien tertidur
atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala
yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu
makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala
klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria),
trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstremitas (Reisner, 2009).
2.1.8 Pemeriksaan Fisik Cedera Kepala
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai berikut:
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom
pada mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva
tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke
depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak
berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk12
melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami


gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik
eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda
neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien
yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan
oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau
jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda
neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi,
dan kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom
subdural (Pierce & Neil, 2014).
2.1.10 Diagnosis Cedera Kepala

Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk mengetahui
adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan
adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan sistem organ
(Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis,
selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf13
kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek (Sjamsuhidayat, 2010).
2.1.11 Tatalaksana Cedera Kepala

Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur
kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya
dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit
kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan
setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.

b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada


laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera dengan
debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada
meningen dan otak.
2. Medikamentosa

a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.

b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.

c. Antikonvulsan untuk kejang.


14
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk
penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).
2.1.12 Komplikasi dan Akibat Cedera Kepala

Komplikasi akibat cedera kepala:


1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat
mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil
pasien akan tetap dalam status vegetatif.

2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan


telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup
jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi
kebocoran cairan serebrospinal persisten.

3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal
(pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur
depresi kranium dan hematom intrakranial.

4. Hematom subdural kronik.

5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000)

1 Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. Perbandingan Glasgow coma scale


dan revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala
di rumah sakit Atma Jaya. Maj Kedokt Indon. 2010; 60: 437-42.
2 Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic brain
injury in adults. Lancet Neurol. 2008; 7: 728-41.
3 Chandra SO. HUBUNGAN DERAJAT TRAUMA KEPALA TERHADAP
PENURUNAN KADAR TROMBOSIT PADA PASIEN BERUSIA 15-44
TAHUN DI RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK PERIODE 2012-2103.
2013; 7(2): 1-15.
4 Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. (2004). Edisi 7. Jakarta
: IKABI
5 Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). Penegakan Diagnosis Pada Pasien
Epilepsi. 2013 Jakarta : PERDOSSI
6 Japardi I. Patofisiologi Stroke Infark Akibat Tromboemboli. USU digital Library
journal. 2002.

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam terjadi pada anak berumur 3 bulan – 5 tahun ada juga yang mengatakan usia 6
bulan-5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada
bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam1.
Kejang demam dibedakan menjadi 2 macam yakni5 ;
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini
 Kejang lama > 15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial.
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
3.2 Patofisiologi Kejang Demam
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Oksigen disediakan dengan perantara fungsi paru dan diteruskan ke
otak melalui system kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang
melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air6
Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membrane sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (NA+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan yang disebut potensial membrane dari sel
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membrane ini dapat dirubah oleh adanya : 1. perubahan konsentrasi ion di
ruang ekstraseluler. 2. rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. perubahan patofisiologi dari membran
sendiri karena penyakit atau keturunan3.
Penyebab demam pada pasien kejang demam biasanya adalah gastroenteritis
(38,1%), infeksi saluran nafas atas (20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%)
(Aliabad, et al., 2013). Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, akibatnya terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang3.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada
tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang
yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia. Asidosis laktat juga dapat terjadi akibat metabolisme
anaerob. Suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat3.
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kerusakan pada daerah lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat terjadi di kemudian hari, sehingga terjadi
serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy3.
3.3 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium7
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah lengkap, elektrolit
dan gula darah
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal7
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan resiko
terjadinya meningitis. Pada bayi seringkali sulit untuk menegakkan atau meny-
ingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena
itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
 Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
 Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
 Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
3. Pencitraan7
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti:
 Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
 Papiledema
3.4 Penatalaksanaan
Antikonvulsi8
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 0,5-1
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah
usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Bila masih
kejang berikan diazepam lagi dan evaluasi 5 menit. Bila masih kejang ulangi
diazepam atau ganti dengan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20
mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif.
Gambar 2 Algoritma Penatalaksanaan Kejang Demam (FK UNHAS, 2015)

Indikasi pemberian obat rumat pada pasien kejang demam hanya diberikan bila
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu)9:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
5. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
6. kejang demam > 4 kali per tahun
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat adalah fenobarbital atau asam
valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap
kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar . Obat pilihan saat ini adalah
asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat
15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2
dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan.
Antipiretik8
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
diberikan . Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4
kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
3.5 Prognosis
Kecacatan atau Kelainan Neurologis7
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Kejang Demam Berulang 7
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
pada tahun pertama.
Risiko terjadinya epilepsi7
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
BAB IV
PENMBAHASAN
4.1 Penegakan Diagnosa
Berdasarkan hasil anamnesa pasien datang dengan keluhan kejang. Kejang
dipuskesmas 2x. Kejang pertama 5 menit semua badan kejang setelah kejang nangis.
Lalu jarak 1 jam kejang lagi 10 detik setelah kejang nangis. 1 hari yll sebelum kejang
pasien panas tinggi, batuk (-), muntah(-).Dipuskesmas diberi obat anti kejang
suposituria dan injeksi obat demam, lalu pasien dibawa ke RSUD. Sesampainya di
IGD pasien mencret 2x cair> ampas, warna kuning kehijauan, lendir (-), darah (-).
Pada pemeriksaan fisik nya tidak didapatkan kelainan neurologis hal ini ditandai
dengan reflek patologi (-), reflek fisiologi normal. Selain itu maupun meningeal sign
juga negatif.
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien pasien mengalami
kejang demam. Kejang demam sendiri merupkan bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh 38oC yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam terjadi pada anak berumur 3 bulan – 5 tahun ada juga yang mengatakan usia 6
bulan-5 tahun. Hal ini sesuai dengan keadaan pasien dimana pasien berusia 2,5 tahun
mengalami kejang yang didahului oleh demam yang tinggi. Pasien juga tidak
mengalami gangguan proses intrakarnium yang ditandai dengan penurunan
kesadaran, maupun gangguan defisit neurologis sehingga epilepsy dapat disingkirkan.
Selain itu pasien juga tidak ada riwayat luka dan tanda-tanda tetanus seperti trismus,
spasme dan epistotonus sehingga diagnose tetanus dapat disingkirkan.
Kejang demam sendiri dibagi menjadi kejang demam simplek dan kejang
demam komplek. Pada pasien ini tergolong kejang demam komplek karena ada dua
bangkitan kejang dalam waktu 24 jam. Hal ini sudah memenuhi kriteria kejang
demam komplek dimana harus ada miniml satu dari kriteria berikut10
 Kejang lama > 15 menit.
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang demam sendiri bukan merupakan proses intracranial seperti ensefalitis
dan meningitis, sehingga tidak ada penurunan kesadaran saat kejang demam.
Penyebab kejang demam sendiri adalah demam. Demam merupakan salah satu tanda
adanya infeksi. Pada penelitian sebelumnya penyebab tersering demam pada kasus
kejang demam biasanya adalah gastroenteritis (38,1%), infeksi saluran nafas atas
(20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%)2. Pada kasus ini kemungkinan besar
penyebab demamnya ialah gastroenteritis. Gastroenteritis merupakan infeksi saluran
cerna yang ditandai dengan peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi
lunak hingga cair. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi buang air
besar pada pasien dengan konsistensi cair setelah terjadi demam.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, akibatnya terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.
4.2 Penatalaksanaan
1. Infus D5 1/2 NS 14 tpm
Pemilihan cairan maintenance menggunakan D5 ½ NS karena usia pasien >
2th. Ada sumber lain yang menyebutkan batasan usia penggunaan D5 ½ NS > 3th.
Pemilihan jenis infuse menggunakan makro sehingga 1 tetes mengandung 20ml
Kebutuhan cairan pasien saat datang hanya memerlukan cairan maintenance.
Sehingga jumlah kebutuhan cairan dengan berat badan 11kg adalah 1050ml/24 jam.
Bila infuse set menggunakan tetesan makro maka pemberiannya 14 tpm.
2. Infus kaen 3b Untuk rehidrasi
Kaen 3b merupakan cairan elektrolit yang digunakan untuk rehidrasi karena
3b mengandung elektrolit seperti Na+, K+,Ca++, Cl- yang dapat menyeimbangkan
kekuranga elektrolit pada pasien akibat diare dan muntah. Pemilihan kaen 3B pada
kasus ini karena anak berusia diatas 2 tahun.
Pada hari kedua pasien dirumah sakit pasien mengalami dehidrasi ringan
sedang hal ini karena pasien mengalami diare sejak 2 hari terakhir. Tanda-tanda
pasien mengalami dehidrasi pada kasus ini adalah pasien tampak rewel, mukos bibir
kering, mata sedikit cowong dan anak sering kali minta minum. Sehingga dihari
kedua pasien memerlukan rehidrasi dengan derajat dehidrasi ringan sedang Rehidrasi
pada anak usia lebih dari 2 tahun menggunakan kaen 3B dengan rumus dehidrasi 50-
70ml/3jam. Apabila rehidrasinya menggunakan 60ml/3jam maka kebutuhan cairan
pasien dengan berat badan 11kg adalah 660ml/3jam. Sehingga pemberian cairannya
73tpm selama 3 jam.
3. Diazepam 0,5mg/kgBB IV bila kejang
Sesuai algoritma penatalaksanaan kejang demam diberikan diazepam dengan
dosis 0,5mg/kgBB IV pemberiannya dengan kecepatan 0,5-1mg/kgBB/menit. Pada
pasien ini bila terjadi kejang maka perlu diberikan diazepam sebagai anti konvulsi
dengan dosis 6mg dan dievaluasi selama 5 menit apakah ada bangkitan kejang lagi
atau tidak. Apabila ada bangkitan kejang lagi maka diazepam perlu diulang dengan
dosis yang sama. Pemberian diazepam memiliki resiko depresi nafas sehingga
pemberiannya perlu dipantau. Apabila masih kejang perlu diberikan fenitoin dengan
dosis 10-20mg/kgBB bolus pemberiannya dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit
4. Paracetamol syrup 110mg (4dd 1 cth) bila demam
Paracetamol diberikan untuk mengurangi demam karena sebagai antipiretik.
Antipiretik dapat menghambat sintesis prostaglandin di hipotalamus sehingga dapat
mengurangi aktivitas pirogen endogen yang dapat mrngakibatkan demam. Untuk
dosis paracetamol 10-15mg/KgBB 3-4x sehari. Sehingga pada pasien ini dengan
berat badan 11kg didapatkan dosis 110mg dan diberikan 4x sehari. Sediaan
paracetamol syrup per 1 sendok (5ml) mnengandung 120mg. Sehingga pemberiannya
1 sendok dan diulang 4x sehari.
5. Zink syrup 20mg (1dd 2 cth)
Zink diberikan berdasarkan guideline WHO karena anak mengalami diare.
Dari penelitian terdahulu menyebutkan bahwa zink berguna untuk mencegah
pengulangan diare.Zink diberikan selama 10 hari berturut-turut.
4.3 Prognosis kejang demam
Kejang memiliki komplikasi berupa hipoksia otak bila tidak cepat ditangani.
Hal ini terjadi karena saat kejang terjadi kekurangan perfusi oksigen di otak. Selain
itu kejang demam juga memiliki prognosis diantaranya terjadinya kejang demam
berulang, gangguan neurologis hingga epilepsy11. Sehingga diperlukan edukasi
kepada keluarga agar tidak terjadi kejang berulang. Selain itu juga perlu mengedukasi
keluarga mengenai apa yang harus dilakukan bila terjadi kejang berulang,
diantaranya12:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Untuk menghindari aspirasi
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut saat kejang.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat per rectal untuk mencegah rekurensi kejang
5. Bila anak demam segera berikan antipiretik untuk menghindari kejang demam
berulang.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kasus kejang demam masih sering terjadi sehingga dibutuhkan penanganan

yang tepat untuk menghindari prognosa buruk dari kejang demam. Penanganan kasus

kejang demam berupa pemberian obat anti kejang, dan menurunkan demam serta

memberi edukasi kepada keluarga agar tidak terjadi demam berulang.

5.2 Saran

1. Dibutuhkan penanganan yang tepat untuk kasus kejang demam

2. Selain memberi terapi, seorang klinisi sebaiknya mampu mengedukasi

keluarga mengenai bahaya kejang dan memberi edukasi mengenai apa yang

harus dilakukan keluarga saat terjadi kejang demam berulang

3. Diperlukan keluarga yang kooperatif untuk mencegah kasus kejang demam

berulang

4. Pemberian ASI hingga usia 2 tahun dibutuhkan agar bayi memiliki sistem

kekebalan tubuh agar terhindar dari infeksi yang akan mencetuskan demam

dan berlanjut pada kejanng


Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics Steering Committese on Quality Imprrovement


And Management, Subcommitte on Febrile Seizure. Febrile seizures: clinical
practice guideline for the long-term management of child with simple febrile
seizure. Pediatrics. 2008;121(6) :1281-6.
2. Aliabad, G.M. et al. 2013, June. Clinical, epidemiological and laboratory
characteristics of patients with febrile convulsion, J. Compr Ped, 3(4), 134-137.
3. Lumbantobing. SM. 2007. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
4. SyndiSeineld DO, Pellock JM Recent research on febrile seizure A review. J
NeuroNeurophysiol 4. 2013:165.
5. Buku Pedoman Pelayanan Medis. 2009. Jakarta :Badan Penerbit IDAI.
6. Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi
6. Jakarta; EGC
7. Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam. 2006. Jakarta Badan Penerbit IDAI
8. Buku Standart Pelayanan Medis kesehatan Anak. 2015.Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FK Unhas
9. Gunawan, W., Kari, Komang., Soetjiningsih. 2008. Knowledge, attitude, and
practices of presents with children of first time and recurrent febrile seizure.
Pediatrica Indonesia. 48. 193-198
10. Mohammadi, M. 2010. Febrile Seizure Four Step Algorithmic Clinical
Approach. Iranian Journal of Pediatric, 20; (1) 5-15
11. Fida & Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jogjakarta; D-Medika
12. Chung B, wat LCY, Wong V. Febrile seizure in Soutern Chinese children;
incidence recurrence. Pediatric Neurology 2006; 34; 121-6.

Anda mungkin juga menyukai