Anda di halaman 1dari 18

Dinamika Sektor Informal di Indonesia

DINAMIKA SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA


Prospek, Perkembangan, dan Kedudukannya
dalam Sistem Ekonomi Makro

Agus Joko Pitoyo1

Abstract
Informal economy at long standing cannot be denied from thourough economic development
in Indonesia. The informal sector has established since at the beginning of national development.
Unideal structural transformation that was happened also becoming a triggering factor for
mushrooming this sector. The existence of informal sector indeed has provided abundant
employment opportunity. For most urban and rural job seekers, informal sector has become
main job alternatives. This fact has globally emerging at macro economic development.
Unsurprisingly, the economical prospect of this sector has enabled people to acheieve better
standard of living. Based on Susenas data, this article focuses on the dynamic of informal sector
related to its prospect, progress over time, and position in economic development.
Keywords: employment, informal sector, structural transformation

Pendahuluan aktivitas ekonomi skala kecil tersebut akan


tetap tumbuh subur, bahkan berkembang
Gambaran umum sektor informal saat ini
seiring dengan pembangunan ekonomi global
masih identik dengan aktivitas ekonomi skala
dan modernisasi (Hugo, 1978; Breman, 1980;
kecil, kurang produktif, dan tidak mempunyai
Todaro,1991).
prospek yang menjanjikan. Predikat tersebut
bermula dari sifat usaha sektor informal yang Bagi kelompok “masyarakat kecil”, sektor
cenderung sebagai usaha mandiri, teknologi informal laksana pahlawan karena dapat
sederhana, modal kecil, relatif tidak dijadikan sebagai sumber utama dan/atau
terorganisasi, dan ilegal. Argumentasi pun terus alternatif pendapatan. Sejak akumulasi
bervariasi manakala sifat usaha, prospek, dan penduduk di kota-kota, baik besar maupun
kedudukannya dalam sistem ekonomi global kecil, tidak dapat tercakup dalam peluang kerja
diperdebatkan. Kondisinya semakin tidak formal yang ada, penduduk yang tidak mampu
menentu jika pemerintah lamban memberikan berkompetisi di sektor formal cenderung masuk
respons, yang diperburuk lagi dengan ke sektor informal. Termasuk di dalam
ketidakpastian upaya pemberdayaan dan kelompok ini adalah penduduk dengan tingkat
intervensi kebijakan yang hendak diterapkan. pendidikan dan keterampilan yang rendah,
Sementara itu, di sisi lain, bentuk-bentuk korban penggusuran, kaum perempuan, dan

1
Staf pengajar Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 129


Agus Joko Pitoyo

lain-lain. Mereka bekerja seadanya, pada mulai membangun dan bangkit dari
lapangan usaha kecil apa saja yang tidak “keterbelakangan”. Seirama dengan proses
membutuhkan keterampilan manajerial dan pemulihan ekonomi tersebut, maraklah
pendidikan tinggi (McGee, 1971; Hart, 1973; diskursus seputar model pembangunan di
Sethuraman, 1981; Mazumdar, 1984; Adams, dunia ketiga. Sayangnya, hampir semua model
1995). Ini berarti sektor informal telah pembangunan lebih bersifat materialis dengan
memberikan ruang (baca: alternatif) bagi mengedepankan pertumbuhan ekonomi
mereka untuk dapat tetap bertahan hidup sebagai basis pembangunan. Beberapa
daripada menjadi predikat penganggur. indikator keberhasilan pembangunan
Dinamika sektor informal di Indonesia tidak bermunculan, seperti model center-periphery
dapat dilepaskan dari proses dan paradigma dari Raul Prebisch (1949), model unlimited
pembangunan yang selama ini dilaksanakan. supplies of labour dari Arthur Lewis (1954), dan
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang semula model stages of economic growth dari W.W.
diunggulkan sebagai indikator makro Rostow (1960) (ILO, 2002). Kelemahan
tercapainya tujuan pembangunan ternyata mendasar dari beberapa model di atas adalah
justru berdampak pada kesenjangan sosial. perspektifnya yang cenderung positivist
Model pembangunan yang lebih berbasis pada daripada normativist. Perspektif positivis
sektor modern, industrialisasi, mekanisasi menganggap kebenaran adalah tunggal, dalam
pertanian (baca: revolusi hijau), dan arti model pembangunan dianggap sama untuk
pembangunan bias perkotaan cenderung semua negara. Pada praktiknya,
melahirkan ketidakmerataan. Sejak itulah, pembangunan ekonomi berporos pertumbuhan
babak baru dikotomi antara masyarakat desa itu diterapkan secara universal di negara-
dengan kota, tradisional dengan modern, negara berkembang tanpa memperhitungkan
kelompok marginal dengan inti, dan formal aspek sejarah, budaya, dan sumber daya alam
dengan informal menjadi marak sebagai buah yang tersedia. Dengan lain perkataan,
lain dari pembangunan. Seiring dengan perubahan kultural dan politik yang terjadi pada
perjalanan waktu, dikotomi antara sektor formal masa transisi, dan ini seharusnya
dan informal dalam roda perekonomian diperhitungkan, agaknya luput dari perspektif
Indonesia cenderung eksis seakan tidak para ekonom Barat. Betapa terkejutnya ketika
berakhir; ketika ada sektor formal, di situ pun model ekonomi kapitalis yang diharapkan
ada sektor informal, sebagaimana perbedaan mampu menciptakan banyak peluang kerja
antara orang kaya dan miskin. terencana justru berbuah pengangguran dan
pekerja tidak produktif.
Sungguhpun eksistensi sektor informal
pada percaturan ekonomi baru dirasakan Tulisan ini bermaksud mendiskusikan
sekitar tahun 1970, akar jati diri sektor tersebut gambaran sektor informal secara umum di
telah ada sejak dimulainya pemulihan Indonesia, baik secara teoretis maupun
pascaperang dunia II pada dekade 1950 dan empiris. Analisis difokuskan pada empat hal
1960. Waktu itu adalah masa kepercayaan pokok: pertama, sejarah dan proses terjadinya;
kembali ekonomi dunia, ketika negara-negara kedua, kedudukan dan prospeknya dalam
Eropa, Jepang, dan negara bekas kolonisasi pembangunan ekonomi makro; ketiga,

130 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

urbanisasi dan perkembangan sektor informal; pada sektor formal akan mencari usaha
dan keempat, intervensi pemerintah. Demi alternatif yang lebih mudah, yaitu di sektor
memperoleh gambaran yang menyeluruh, data informal.
disajikan menurut koherensi waktu dengan Berbeda halnya dengan teori kelebihan
disertai contoh studi empiris sektor informal tenaga kerja, pendekatan Neo-Marxist lebih
yang dilakukan di Provinsi D.I. Yogyakarta. memandang sistem kapitalis dengan ditandai
padat modal dan buta akan distribusi hasil
Asal Usul dan Kedudukan Sektor produksi sebagai biang keladi dari tumbuh
Informal suburnya sektor informal. Secara gamblang
Sebagai upaya memahami konteks dan dijelaskan dominansi sistem ekonomi kapitalis
esensi dari sektor informal, telaah asal usul dan akan melahirkan dua kutub yang
perkembangan sektor informal secara historis berseberangan, yaitu sistem ekonomi inti dan
mutlak diperlukan. Sejak menjadi akademik sistem ekonomi pinggiran. Ketimpangan
discourse pertama kali di Ghana sekitar tahun hubungan di antara dua sistem ekonomi
1973, tumbuh kembang sektor informal tersebut berimbas pada ketergantungan
berjalan dengan pesat, baik di negara maju ekonomi pinggiran terhadap ekonomi inti.
maupun di negara sedang berkembang (Hart, Wujud dari mekanisme tersebut adalah muncul
1973; Portes, et.al., 1989). Beragam teori pun sistem ekonomi kapitalis (baca: formal) dan
bermunculan membahas seputar asal usul dan sistem ekonomi tradisional (baca: informal).
pertumbuhannya. Berger & Buvinic (1989) Menurut underground approach, sektor
secara komprehensif menjelaskan informal tumbuh sebagai akibat kompetisi
perkembangan sektor informal secara internasional di antara industri-industri besar
multiperspektif. Ada empat teori yang secara dunia. Industri berskala besar tersebut lebih
konseptual mampu menjelaskan lahirnya menguasai pasar dan selanjutnya dikenal
sektor informal, yakni excess of labor supply dengan sektor formal. Keberadaan industri
approach, neo-marxist approach, underground berskala besar secara alamiah akan
approach, dan neo-liberal approach. menumbuhkan banyak industri kecil sehingga
Teori kelebihan tenaga kerja menjelaskan memunculkan berbagai bentuk persaingan.
perkembangan sektor informal berdasarkan Persaingan ini akan memaksa industri-industri
konsep supply dan demand. Menurut teori ini, kecil melakukan berbagai kegiatan informal
berkembangnya sektor informal adalah agar tetap bertahan. Pada tahap berikutnya
respons terhadap keterbatasan sektor formal akan muncul banyak aktivitas informal, baik
dalam menyerap excess tenaga kerja. Hal ini institusi maupun industri berskala menengah,
terjadi karena ketidaksempurnaan pasar yang mendukung industri besar dalam
tenaga kerja formal. Disebutkan sektor formal kompetisi ekonomi dunia.
cenderung menggunakan tenaga kerja terdidik Pendekatan keempat dalam menjelaskan
disertai dengan persyaratan keahlian tertentu, pertumbuhan sektor informal adalah neo-liberal
padahal tenaga kerja yang ada tidak semuanya approach. Sektor informal muncul sebagai
memenuhi persyaratan tersebut. Sebagai akibat berbagai persyaratan birokratis dan
akibatnya, tenaga kerja yang tidak terserap administrasi yang harus dipenuhi untuk

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 131


Agus Joko Pitoyo

menjadi sektor formal (Maldonado, 1995). sebagai reaksi dari adanya krisis ekonomi.
Akibatnya, banyak unit produksi skala Krisis ekonomi menyebabkan unit-unit ekonomi
menengah dan kecil tidak dapat memenuhi yang tidak dapat bertahan pecah menjadi
persyaratan birokratis dan administrasi yang bagian-bagian kecil yang bersifat informal.
ditentukan. Ketidakmampuan unit produksi di Apabila dikaji menurut keterkaitan
dalam memenuhi berbagai persyaratan dan antarsektor, keberadaan sektor formal dan
aturan-aturan untuk menjadi sektor formal informal dalam suatu sistem ekonomi akan
mengondisikannya menggunakan cara-cara selalu berdampingan satu sama lain, di mana
tersendiri yang tidak sesuai dengan cara-cara ada sektor formal di situ ada sektor informal.
di sektor formal. Sektor baru dengan Keberadaan sektor formal di kota, misalnya
mekanisme usaha tidak beraturan ini perkantoran atau industri, tidak urung akan
selanjutnya disebut sebagai sektor informal. diikuti dengan maraknya berbagai sektor
Senada dengan apa yang diungkapkan informal, seperti pedagang kaki lima dan
oleh Berger & Buvinic (1989), Castells & Portes pelayanan jasa-jasa kecil. Secara umum
(1989) menjelaskan lima sebab munculnya keterkaitan di antara sektor formal dan informal
sektor informal. Pertama, sektor informal itu bersifat hierarkis, biasanya sektor informal
merupakan kegiatan ekonomi individu yang berada pada posisi subordinat (Gerry, 1978;
muncul sebagai reaksi dari kegiatan ekonomi Portes & Walton, 1981; Portes, et.al., 1989).
skala besar dan terorganisasi. Kedua, sektor Sektor informal sering dipandang sebagai
informal merupakan usaha ekonomi bebas sistem ekonomi bayangan yang mempunyai
sebagai reaksi dari kegiatan ekonomi posisi tawar-menawar rendah. Schmitz (1982)
pemerintah yang telah dikenai pajak dan menambahkan subordinasi sektor informal
memiliki jaminan hukum dalam usaha. Ketiga, merupakan imbas dari kelemahan sektor
sektor informal merupakan usaha lokal yang informal sendiri, baik secara internal maupun
tidak mampu berkompetisi secara nasional eksternal. Secara internal, sektor informal
sebagai reaksi dari adanya intervensi ekonomi mempunyai kelemahan dalam kualitas sumber
skala internasional. Unit-unit produksi dalam daya pekerja, manajemen, usaha, dan
suatu negara yang mempunyai tingkat koordinasi. Secara eksternal, sektor informal
kompetisi rendah akan melakukan usaha berhadapan dengan hambatan struktural, baik
sendiri tanpa menggunakan cara-cara atau dalam bentuk persaingan oleh sektor formal/
mekanisme usaha yang dilakukan oleh sektor sektor pemerintah maupun penilaian dari
formal. Keempat, sektor informal merupakan berbagai institusi yang cenderung
unit usaha bayangan (shadow of production) menyubordinasikan posisi sektor informal.
sebagai reaksi dari modernisasi dan Secara teoretis kompleksitas keterkaitan
industrialisasi. Mereka adalah unit-unit antarsektor di dalam sektor informal
ekonomi kecil yang tidak termasuk dalam dikategorikan oleh El Shaks (1984) menjadi
industri-industri yang telah terorganisasi. dua tipologi, yaitu pertama, sektor informal
Kelima, sektor informal merupakan kegiatan yang aktivitas ekonominya memberikan
ekonomi alternatif yang berskala kecil, layanan penting kepada masyarakat kota,
manajemen individu, dan tidak terorganisasi berfungsi melengkapi (substitusi) sektor formal,

132 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

seperti pengusaha transportasi, pedagang berikutnya, adanya mekanisme substitusi dan


makanan, warung koboi, dan jasa kecil-kecilan. fleksibilitas yang diperankan oleh sektor
Kedua, tipologi sektor informal dengan kegiatan informal menjadikan sektor ini mempunyai
ekonomi yang bersifat marginal, ilegal, dan tingkat bertahan hidup yang tinggi dan dapat
cenderung bersifat personal. Aktivitas ekonomi menjadi sektor penyangga bagi tenaga kerja
dari tipologi ini biasanya tanpa modal dan lebih yang tidak dapat memasuki sektor formal
menekankan pada kekuatan fisik, seperti (Portes & Walton, 1981).
pembantu rumah tangga, pengamen, Berangkat dari sejarah munculnya yang
pengemis, dan pemulung. Selain dua tipologi tidak dikehendaki, sebagai dampak dari model
yang dikembangkan oleh El Shaks (1984), ekonomi kapitalis, sektor informal cenderung
keterkaitan antarsektor pada sektor informal dipandang sebagai aktivitas ekonomi
dapat dijelaskan dengan menggunakan tambahan (tertier), berskala kecil (small-scale
paradigma harmoni (normative order) dan economic activities), kurang produktif, dan tidak
paradigma konflik (Cuff & Payne, 1979; mempunyai prospek yang menjanjikan.
Bottomore & Nisbet, 1978). Predikat ini didasarkan pada sifat usahanya
Inti dari paradigma harmoni adalah yang banyak menggunakan cara-cara
keseimbangan sosial dari dua sistem yang tradisional, seperti usaha mandiri, teknologi
nilainya berbeda. Model ini juga sering disebut sederhana, modal kecil, relatif tidak
model dualistik sosial, di dalam masyarakat terorganisasi, bahkan ilegal. Faktanya,
transisi akan terbentuk dua sistem sosial yang setidaknya ada tiga hal utama yang penting
bersifat paradoks. Sistem sosial yang pertama diperhatikan terkait dengan keberadaan sektor
menggambarkan kondisi tradisional, informal: pertama, sektor informal bersifat
sedangkan sistem sosial yang kedua universal, selalu ada di negara maju maupun
merupakan sistem modern. Mekanisme negara berkembang; kedua, sektor informal
dualistik antara sifat tradisional dan modern bersifat heterogen dalam hal jenis usaha, skala
tersebut selalu termanifestasi dalam berbagai usaha dan distribusinya; dan ketiga, adanya
aspek kehidupan masyarakat, baik dalam hal kecenderungan peningkatan jumlah dan variasi
ekonomi, teknologi, sosial, maupun politik. usaha sektor informal. Melihat kondisi tersebut,
Kesemuanya berada di dalam suatu hubungan argumentasi tentang prospek dan
simbiosis mutualisme, saling menunjang, dan kedudukannya dalam sistem ekonomi global
keduanya saling memberikan keuntungan, baik pun bervariasi, apakah sektor ini mampu eksis
secara sosial maupun ekonomi. dan berkembang atau justru menjadi benalu
Berseberangan dengan paradigma dalam sistem ekonomi makro (Hugo, 1978;
harmoni, paradigma konflik menjelaskan Breman, 1980; Portes, et.al., 1989; Todaro,
keberadaan sektor informal melalui model 1991).
dependensia. Sektor informal merupakan Seiring dengan perkembangan zaman,
sektor yang selalu tergantung pada sektor debat tentang posisi dan kemungkinan
formal. Dalam hal ini, kadang-kadang terjadi perkembangan sektor informal dalam
eksploitasi yang dilakukan oleh sektor formal pembangunan ekonomi global pun terus
terhadap sektor informal. Pada perkembangan berlanjut. Dalam hal ini, ada dua kubu yang

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 133


Agus Joko Pitoyo

saling berseberangan: pertama adalah penyangga dalam penyerapan sejumlah besar


pendapat pesimis yang melihat sektor informal tenaga kerja secara umum, terlebih lagi ketika
sebagai penghambat pembangunan dan kedua kondisi ekonomi sulit, seperti krisis moneter
adalah paham optimis yang masih (Maldonado, 1995). Ini cukup beralasan karena
mempertahankan keberadaan sektor informal sektor informal biasanya menggunakan
(ILO, 2002). Pendapat pertama disampaikan teknologi sederhana, bahan baku lokal, pekerja
oleh kaum marginalis yang memandang sektor mandiri, dan modal yang relatif kecil. Artinya,
informal sebagai sektor yang bukan saja sektor informal mampu menjadi bagian dari
menghambat pembangunan ekonomi makro, sistem ekonomi rakyat, tidak saja memiliki
tetapi juga tidak dapat berkembang sebagai kapasitas untuk berkembang sebagaimana
akibat sifat usahanya yang tidak terorganisasi, dengan sektor formal, tetapi juga prospektifnya
lokasi usaha tidak teratur, bahkan mengganggu dalam meningkatkan pendapatan (Souza &
ketertiban dan kenyamanan kota (Benefield, Tokman, 1976; Hosier, 1987).
1975). Dengan adanya berbagai karakteristik Fakta tentang kemampuan berkembang
subordinat dan marginal tersebut, sampai sektor informal dapat dilihat ketika Indonesia
kapan pun sifat usaha tidak terorganisasi, tidak mengalami krisis ekonomi yang puncaknya
teratur, modal kecil, dan manajemen rendah terjadi sekitar tahun 1998. Pada tahun tersebut
akan selalu melekat dan bersifat langgeng. perekonomian Indonesia betul-betul carut-
Mempertahankan sektor informal sama artinya marut. Tingkat inflasi sangat tinggi, angkanya
dengan mempertahankan kebudayaan mendekati 88 persen dengan nilai rata-rata
kemiskinan. Suatu negara tidak akan pernah tukar rupiah terhadap dolar mencapai 10.000.
maju jika bertumpu pada sektor informal karena Hal ini diperparah dengan tingkat pertumbuhan
adanya berbagai kelemahan mendasar di ekonomi mendekati angka minus 15 persen
dalamnya. (Tabel 1). Satu hal yang sangat menarik
Secara konseptual, pendapat kedua yang kaitannya dengan aspek ketenagakerjaan
disampaikan oleh kaum developmentalis lebih pada waktu itu adalah terjadinya informalisasi
memandang sektor informal sebagai sektor tenaga kerja (informalisation of labour) dan
Tabel 1
Indikator Ekonomi Indonesia Menjelang dan Setelah Puncak Krisis

Tahun
Indikator
1996 1997 1998 1999 2000 2001
Inflasi (%) 6,47 11,05 77,63 2,01 9,33 12,55

Rerata nilai tukar (US$) 2.342 2.909 10.014 7.855 8.422 10.261

Tingkat suku bunga 17 16 22 27 15 14


(%/tahun)
Pertumbuhan PDR 6,2 3,0 -14,7 -0,5 3,3 1,9

Sumber: ADB dan CIRCLE, 2002

134 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

Gambar 1
Proses Informalisasi Sektor Formal

Krisis Ekonomi

Sektor Formal Sektor Informal

Hancur Eksis

Proses Informalisasi Pekerja

Sektor Pertanian
(Desa)

Sektor Industri

Sektor Jasa
(Kota)

Penganggur

Pekerja

Setengah
Penganggur

“homisasi pekerja” karena pemutusan industri besar yang begitu tergantung pada
hubungan kerja (PHK) (Gambar 1). barang-barang impor berhenti beroperasi. Di
Informalisasi dan homisasi (baca: kembali sisi lain, sektor informal yang memiliki karakter
ke rumah) tenaga kerja saat Indonesia teknologi sederhana, berbahan baku lokal,
diguncang krisis adalah wujud nyata modal relatif kecil, dan kemudahan dalam
fleksibilitas sektor informal. Terpaan krisis beroperasi menjadi tumbuh subur. Sektor
ekonomi dengan diikuti berbagai krisis informal eksis sebagai komplementer (baca:
multidimensi telah menyebabkan banyak melengkapi) sistem ekonomi nasional dan

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 135


Agus Joko Pitoyo

substitusi (baca: pengganti) kebuntuan sektor upaya mendistribusikan hasil-hasil


formal ketika diguncang badai krisis. Terbukti pembangunan kepada seluruh lapisan
jatuhnya sektor formal kala itu diikuti dengan masyarakat. Disadari atau tidak, model
pemutusan hubungan kerja (PHK) besar- pembangunan yang lebih mengedepankan
besaran sehingga banyak pekerja yang pertumbuhan ekonomi berimbas pada
menjadi setengah penganggur, bahkan kemunculan beberapa permasalahan sosial,
menganggur sama sekali. Hal ini telah seperti kesenjangan ekonomi, pengangguran,
membuat sektor pertanian di perdesaan dan rendahnya kesempatan kerja.
kembali mencuat dan sektor jasa di perkotaan Dalam konteks ekonomi makro, sektor
berkembang pesat. Perkembangan sektor jasa informal yang bentuk usahanya berawal dari
secara umum cukup beralasan seiring dengan tata perekonomian tradisional, seperti kegiatan
gulung tikarnya sektor formal jika ditilik dari sifat perdagangan, industri rumah tangga, dan
usahanya. Ini dapat dimengerti karena cukup penyediaan jasa-jasa kecil, telah mewarnai dan
besar lapangan usaha di sektor jasa yang ada menjadi komplementer kegiatan ekonomi
di Indonesia adalah usaha informal (Sukamdi, nasional. Keberadaan dan perkembangannya
2001). pada level nasional telah membantu
memecahkan permasalahan terbatasnya
Urgensi Sektor Informal dalam peluang kerja yang diciptakan oleh pemerintah.
Sistem Ekonomi Makro Secara makro sektor informal mampu
Pembangunan nasional Indonesia yang menopang sistem ekonomi nasional melalui
secara operasional dituangkan dalam GBHN beberapa spesifikasi yang dimilikinya.
melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama, sektor informal merupakan
(Repelita) merupakan amanat konstitusi yang penampung kelebihan tenaga kerja pada saat
telah diimplementasikan lebih dari tiga program pembangunan tidak dapat
dasawarsa pembangunan. Sejak dicanangkan menyediakan peluang kerja bagi seluruh
pada tahun 1968 (Repelita I, 1968-1973) pencari kerja, terutama bagi pencari kerja
Indonesia membangun demi terwujudnya berpendidikan rendah, keterampilan terbatas,
kemakmuran rakyat dengan ditandai perbaikan dan kaum marginal. Kedua, dalam situasi
taraf kehidupan, peningkatan tingkat ekonomi yang tidak stabil, misalnya saat terjadi
penghasilan, peningkatan kualitas SDM, dan krisis dan ledakan penganggur, keberpihakan
pemerataan hasil-hasil pembangunan pada pemerintah terhadap sektor informal dapat
semua lapisan masyarakat. Muaranya yang dijadikan strategi ampuh meredam gelombang
diimpikan adalah akan terhapusnya pencari kerja tersebut. Ketiga, pada saat sistem
kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan ekonomi yang menguntungkan usaha skala
di Indonesia. Terlepas gagal atau berhasilnya besar, sektor informal mampu menyediakan
cita-cita nasional tersebut, berbagai kebijakan barang dan jasa yang dipergunakan oleh
ekonomi pada tingkat makro pun dilaksanakan, pekerja usaha skala besar. Selain itu, saat
seperti trilogi pembangunan. Namun sayang, Indonesia mengalami krisis ekonomi, sektor
konsep pembangunan tersebut cenderung informal tetap eksis, tetap melangsungkan
menonjolkan pertumbuhan ekonomi ketimbang kegiatannya, dan yang terpenting

136 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

kemampuannya berusaha mandiri tanpa perubahan sistem ekonomi di negara-negara


membebani ekonomi nasional. Eropa Timur dari sistem ekonomi pertanian
Sumbangan penting sektor informal dalam menjadi sistem ekonomi kapitalis yang
merespons “kegagalan” pemerataan ekonomi berorientasi pada pertumbuhan ekonomi di
akibat pembangunan kapitalistik adalah sektor industri (Stadelbauer, 2006). Istilah
penyerapan tenaga kerja yang luas, baik transformasi tersebut juga dipakai oleh negara-
sebelum maupun setelah krisis ekonomi. Tabel negara berpaham sosialis untuk menunjukkan
2 menunjukkan tingginya kemampuan daya perubahan sistem ekonomi produksi dari
serap sektor informal terhadap kelebihan pembangunan ekonomi sentralistik menuju
pencari kerja di Indonesia. Sektor ini telah sistem ekonomi pasar.
menjadi tumpuan bagi lebih dari sepertiga Berdasarkan hasil studi dari desa-desa di
pencari kerja. Angkanya dari waktu ke waktu Asia, Koppel, et.al. (1994) mempertanyakan
cenderung naik, secara keseluruhan terjadi proses pembangunan di Asia, apakah betul-
peningkatan pekerja di sektor informal yang betul dapat dikatakan sebagai pembangunan
cukup signifikan sejak tahun 1993. (development) atau justru pemburukan
Urgensi sektor informal dalam sistem (deterioration). Koppel, et.al. (1994) memaknai
ekonomi makro, selain dilihat dari perannya transformasi dalam tiga hal, yaitu perubahan
ketika ekonomi nasional sulit, juga dapat pemanfaatan hasil produksi pertanian dari
dianalisis melalui transformasi struktural berorientasi kebutuhan sendiri, dalam arti tidak
kesempatan kerja. Transformasi atau juga untuk dijual menjadi produksi pertanian yang
dikenal dengan istilah transisi dalam berorientasi pada pasar. Kedua, transformasi
pembangunan ekonomi adalah istilah yang yang dimaknai sebagai perubahan sistem
digunakan untuk melihat perubahan sektor produksi pertanian ke industri. Ketiga,
ekonomi dari sektor pertanian menuju industri transformasi adalah transisi atau peralihan dari
dan akhirnya bermuara di sektor jasa. Istilah perdesaan menjadi perkotaan. Dalam hal ini
ini pertama kali muncul untuk menjelaskan transformasi tidak saja terkait dengan

Tabel 2
Penyerapan Kerja Sektor Informal di Jawa

Tahun
Provinsi
1993 1997 2000 2003
Jawa Barat 39,71 44,06 47,21 51,89

Jawa Tengah 31,55 35,62 37,25 69,38

Yogyakarta 36,14 41,21 37,35 60,34

Jawa Timur 35,69 40,01 42,53 59,33

Jawa 35,7 40,05 42,37 60,21

Sumber: BPS 1993, 1997, 2000, 2004.

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 137


Agus Joko Pitoyo

kenampakan fisik wilayah, tetapi juga sosial Transformasi ekonomi di Indonesia


ekonomi penduduk. Lebih lanjut disebutkan dimaknai sebagai perubahan struktur
transformasi adalah proses perkembangan perekonomian dari sektor pertanian ke sektor
ekonomi informal, yaitu proses kompleks terkait industri atau jasa. Selama periode 1971-2006
dengan berbagai dimensi seperti urbanisasi, telah terjadi pergeseran kegiatan ekonomi
industrialisasi, penetrasi pasar internasional penduduk dari sektor pertanian ke
sampai di perdesaan, dan perubahan teknologi nonpertanian. Pertumbuhan sektor industri di
di bidang pertanian (Koppel, et.al. (1994); Indonesia secara cepat terjadi seiring dengan
Koppel, 1988; Rondinelli, 1986; Jones, 1984) membubungnya harga minyak bumi sekitar
(Gambar 2). tahun 1973 sampai 1979 (Booth, 1990). Waktu

Gambar 2
Transformasi Struktural dan Perkembangan Sektor Informal

Pertumbuhan Ekonomi Kapitalis,


Modernisasi, Industrialisasi, Urbanisasi

Sektor Pertanian Industrialisasi Urbanisasi

Perubahan Teknologi Mekanisme Alih Fungsi


Pertanian Produksi Lahan

Pasar dan Orientasi Perubahan Ekonomi Interaksi


Produksi Produksi Desa-Kota

Transformasi Sosial
dan Ekonomi

Perkembangan
Sektor Informal

138 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

itu pertumbuhan sektor pertanian pun pertanian ke sektor industri. Penurunan


mendapat angin segar dengan adanya kegiatan ekonomi sektor pertanian di Indonesia
keinginan pemerintah menciptakan justru diikuti dengan meningkatnya persentase
swasembada pangan, utamanya beras. Karena penduduk secara signifikan di sektor jasa. Ini
sektor pertanian berada di perdesaan, berarti kegiatan ekonomi tradisional
pembangunan infrastruktur perdesaan, seperti nonpertanian menjadi marak di perdesaan,
pembangunan sarana irigasi, jalan, gedung begitu juga sektor informal di perkotaan tumbuh
sekolah, dan fasilitas kesehatan, marak dengan cepat.
dilakukan. Di sisi lain, pertumbuhan sektor Sebagaimana telah diungkap, transformasi
industri padat modal terutama di kota juga ekonomi yang terjadi di Indonesia bukanlah
berjalan pesat. Perbaikan aksesibilitas antara transformasi ideal. Ini berdampak pada sistem
perdesaan dengan perkotaan ini selanjutnya ekonomi yang dihasilkan. Transformasi ideal
memungkinkan mobilitas sirkuler berlangsung akan mengarah pada sistem ekonomi formal
secara intensif (Hugo, 1984). Lambat laun (baca: industri), sedangkan transformasi tidak
proses interaksi perdesaan dengan perkotaan ideal cenderung menuju ke sistem ekonomi
tersebut membawa perubahan kesempatan informal (baca: jasa). Pergeseran sektor ideal,
kerja; sektor pertanian mengalami penurunan, yakni dari pertanian menuju industri dan
sementara sektor nonpertanian meningkat. akhirnya menuju sektor jasa setelah terjadinya
Sektor pertanian yang pada awal deindustrialisasi, tidak sepenuhnya terjadi di
pembangunan nasional dijadikan sebagai Indonesia. Meskipun berbagai strategi
lapangan usaha utama penduduk berangsur- pembangunan telah diterapkan, ada
angsur menurun dengan digantikannya oleh kecenderungan proses transformasi tidak
sektor manufaktur dan jasa. Inilah yang disebut mengikuti pola yang telah dialami oleh negara-
dengan transformasi kesempatan kerja dari negara maju. Proporsi pekerja yang bekerja di
sektor primer (baca: pertanian) ke sektor sektor pertanian cenderung menurun, tetapi
sekunder (baca: industri) dan tersier (baca: secara absolut sektor ini menyerap lebih dari
jasa). Namun demikian, transformasi ini separuh pekerja. Sektor industri yang
belumlah ideal seperti yang terjadi di banyak seharusnya menyerap sebagian besar pekerja,
negara maju, yaitu pergeseran dari sektor hanya mampu menyerap sebagian kecil saja.

Tabel 3
Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral di Indonesia, 1961-2006

Tahun
Sektor
1961 1971 1980 1990 1993 1996 1997 2000 2003 2006
Pertanian 71,9 64,2 55,93 53,56 50,68 44,02 41,18 45,3 47,67 44,47

Manufaktur 7,9 8,4 13,17 14,66 15,72 18,1 13,91 16,9 13,85 17,1

Jasa 20,2 22,9 30,29 31,45 33,3 37,88 44,91 37,9 35,48 37,56

Sumber: BPS

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 139


Agus Joko Pitoyo

Tabel 4
Persentase Distribusi PDB menurut Sektor di Indonesia
Berdasarkan Harga Konstan 2000, 1993-2006

Tahun
Sektor
1993 1996 1997 1998 1999 2002 2004 2006
Pertanian 17,74 15,42 14,81 16,90 17,13 15,49 14,61 14,15

Manufaktur 42,95 42,97 43,26 42,75 43,24 42,88 43,44 43,74

Jasa 39,31 41,61 41,93 40,35 39,63 41,63 41,95 42,1

Sumber: BPS, data diolah dari PDB Indonesia menurut sektor.

Sektor jasa yang seharusnya berkembang Kenyataan ini menyebabkan proses


setelah sektor industri, justru meningkat lebih transformasi ekonomi di Indonesia menjadi
awal, bahkan menyerap banyak tenaga kerja rapuh dan timpang (Khusaini, 2001).
(Tabel 3). Prospektif di sektor jasa ini semakin
meneguhkan betapa sektor informal secara Urbanisasi dan Perkembangan Sektor
makro sangat berperan dalam pembangunan Informal
ekonomi di Indonesia. Urbanisasi secara umum diidentikkan
Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 terlihat dengan perpindahan penduduk dari desa ke
pergeseran kesempatan kerja dari pertanian kota. Pengertian ini tidak sepenuhnya salah,
ke industri di Indonesia sebenarnya masih dalam arti makna urbanisasi sesungguhnya
semu. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan tidak sebatas pada perpindahan penduduk dari
beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, desa ke kota, tetapi lebih ke arah proses
penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap pengotaan. Urbanisasi dalam konteks
Produk Domestik Bruto (PDB) tidak diikuti pengotaan dimaknai sebagai persentase
penurunan penyerapan tenaga kerja secara penduduk yang tinggal di daerah perkotaan.
proporsional, bahkan sampai tahun 2006 sektor Sementara itu, bagi yang awam dengan ilmu
pertanian masih menyerap 44,47 persen kependudukan sering kali mendefinisikan
tenaga kerja. Sementara itu, sektor industri urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari
yang diharapkan dapat menyerap banyak desa ke kota. Padahal perpindahan penduduk
tenaga kerja, ternyata sampai tahun 2006 dari desa ke kota hanya salah satu penyebab
hanya mampu menyerap 17,1 persen. Hal proses urbanisasi di samping penyebab-
menarik terjadi pada sektor jasa, peningkatan penyebab lain, seperti pertumbuhan alamiah
sektor ini dalam menyerap tenaga kerja cukup penduduk perkotaan, perluasan wilayah, dan
signifikan. Kedua, proses industrialisasi di perubahan status wilayah dari perdesaan
Indonesia ditandai dengan lemahnya menjadi perkotaan (Evers & Korff, 2002).
keterkaitan antarsektor. Pembangunan sektor Proses urbanisasi di Indonesia sangat
industri tidak berorientasi pada pembangunan terkait dengan mobilitas penduduk dari desa
industri dengan mengolah hasil-hasil pertanian. ke kota. Perkiraan ini didasarkan pada makin

140 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

rendahnya pertumbuhan alamiah penduduk di biasanya dikembangkan: pertama,


perkotaan dan relatif lambannya reklasifikasi mengembangkan perdesaan agar memiliki ciri-
daerah. Di sisi lain, perpindahan penduduk dari ciri perkotaan dengan konsep “urbanisasi
desa ke kota semakin kuat seirama dengan pedesaan” (insitu urbanisation) (McGee, 2004).
kuatnya kebijaksanaan ekonomi dan Kedua, mengembangkan pusat-pusat
pembangunan bias kota (McGee, 1971; pertumbuhan ekonomi baru yang dikenal
Todaro, 1996). Berdasarkan data survei dengan istilah “daerah penyangga pusat
penduduk antarsensus (Supas) 1995, tingkat pertumbuhan”.
urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 Sejalan dengan pertumbuhan kota-kota
adalah 35,91 persen. Ini berarti sekitar 35,91 besar di Asia, secara regional Indonesia juga
persen penduduk Indonesia tinggal di mengalami pertumbuhan kota metropolitan
perkotaan. Terdapat peningkatan sekitar 13 secara pesat, seperti di Jakarta, Surabaya,
persen dalam kurun waktu 15 tahun dari sekitar Bandung, dan Semarang (Tabel 5). Terjadi
22,4 persen pada 1980. Sebaliknya, proporsi peningkatan jumlah penduduk kota secara
penduduk yang tinggal di perdesaan menurun pesat antara 1960 sampai 2000. Pada 1940
dari 77,6 persen pada 1980 menjadi 64,09 tidak ada kota besar di Indonesia dengan
persen pada 1995 (Herijanto, 2000). penduduk lebih dari satu juta. Cukup
Ada kecenderungan semakin tinggi tingkat mengagumkan, setelah 60 tahun jumlah
urbanisasi suatu kota, maka akan semakin penduduk di Jakarta, Bandung, dan Surabaya
tinggi tingkat perekonomiannya. Negara- telah jauh dari angka tiga juta. Pertambahan
negara industri pada umumnya memiliki tingkat penduduk paling dahsyat terjadi di Jakarta,
urbanisasi di atas 75 persen, sementara untuk yaitu 300 persen antara 1960 sampai 2000.
negara berkembang hanya berkisar 35 persen Fenomena menonjol dari urbanisasi secara
sampai dengan 40 persen (Herijanto, 2000). keseluruhan adalah maraknya aktivitas
Tingginya tingkat urbanisasi ini disebut dengan ekonomi, baik formal maupun informal.
istilah primacy rate, diartikan sebagai kekuatan Terutama sektor informal, perkotaan adalah
daya tarik kota terbesar pada suatu wilayah ladang luas bagi tumbuh kembangnya sektor
terhadap kota-kota di sekitarnya. Terkait ini. Tabel 6 dan Tabel 7 menunjukkan terjadinya
dengan primacy rate, ada dua hal yang peningkatan tajam jumlah pekerja sektor
Tabel 5
Pertumbuhan Penduduk Kota Metropolis di Indonesia, 1940-2000

Metropolis Penduduk (juta) Persentase


peningkatan
1940 1960 1980 2000
1960-2000
Jakarta 0,8 4,3 6,5 12,0 300

Bandung 0,3 1,0 1,8 3,4 240

Surabaya 0,5 1,0 1,7 3,2 220

Sumber: BPS.

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 141


Agus Joko Pitoyo

informal di perkotaan. Selama kurun waktu 20 1993-1994 menjadi 22,93 persen pada 199-
tahun, proporsi sektor informal terhadap total 2000. Lagi-lagi krisis ekonomi menjadi penjelas
pekerja di perkotaan hampir dua kali lipat, dari semua fakta tersebut. Sektor informal adalah
sekitar 22,8 persen pada 1971 menjadi 42,4 pahlawan ekonomi pada saat krisis.
persen pada 1990. Secara umum terjadi Menelisik fenomena pertumbuhan sektor
peningkatan pekerja sektor informal di kota dari informal di kota, terdapat satu pertanyaan
tahun ke tahun. Berdasarkan pulau-pulau besar mendasar, faktor apa yang menyebabkan
di Indonesia, sektor informal di kota terjadi terjadinya peningkatan jumlah pekerja secara
peningkatan pertumbuhan secara signifikan tajam. Setidaknya ada dua kemungkinan
pada 1997-1998, kecuali di Sumatera. jawaban rasional, pertama, sektor informal
Pertumbuhan secara mengejutkan terjadi di mampu mengatasi masalah terbatasnya
Kalimantan, dari sekitar 4,04 persen pada peluang kerja perkotaan akibat dominansi

Tabel 6
Penyerapan Pekerja Sektor Informal di Kota 1971, 1980, 1990, 2000

Persentase sektor informal


1971 1980 1990 2000 2003
Total pekerja sektor 61,3 69,57 63,42 64,20 67,47
informal
Pekerja sektor informal di 24,8 35,7 42,4 42,8 46,67
Kota
Sumber: Effendi, 2000; BPS 2000, 2003.

Tabel 7
Pertumbuhan Sektor Informal di Kota
menurut Pulau Besar di Indonesia 1993-2000

Pulau 1993- 1995- 1996- 1997- 1999-


1994 1996 1997 1998 2000
Sumatera 9,82 10,28 16,51 2,39 1,27

Jawa 6,05 11,63 7,60 8,81 5,33

Kalimantan 4,04 15,34 -3,63 19,36 22,93

Sulawesi 9,42 19,82 3,81 13,68 -4,03

Lainnya 9,08 25,54 -4,52 19,30 8,03

Total 6,91 12,72 7,60 8,93 5,04

Sumber: BPS.

142 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

sektor modern. Keterbatasan peluang kerja di sebagai pihak yang paling bertanggung jawab
sektor modern memberikan inspirasi bagi karena tidak mampu menciptakan peluang
pencari kerja dan pekerja di kota yang tidak kerja yang luas kepada khalayak publik. Model
dapat bersaing pada sektor inti beralih pada pembangunan yang cenderung bias ke kota,
kegiatan informal, seperti perdagangan, berikut industrialisasi dan modernisasi yang
penyedia jasa-jasa kecil, dan kegiatan industri tidak menciptakan peluang kerja secara
kecil. Kedua, derasnya arus mobilitas berlimpah dianggap sebagai kesalahan fatal
penduduk berasal dari desa dan kota-kota dan seharusnya dikaji kembali. Sebuah studi
pinggiran sekitar. empiris menyebutkan kegagalan urbanisasi
Sebagai ilustrasi, ketangguhan prospek, dalam penciptaan peluang kerja karena lebih
kedudukan, dan peran sektor informal di kota mementingkan industri besar dan padat modal
secara empiris telah dibuktikan dari hasil studi patut diperhitungkan sebagai sebab
yang dilakukan oleh Pusat Studi berkembangnya sektor informal di Indonesia
Kependudukan dan Kebijakan UGM pada (Manning, 1985).
periode 1998-2001. Hasil penelitian Pemerintah sudah seharusnya
menunjukkan sektor informal terus mempertimbangkan kembali keberadaan
berkembang dari waktu ke waktu. Sektor sektor informal sebagai salah satu sektor usaha
informal telah menjadi tumpuan hidup pekerja, penting dalam pembangunan ekonomi
baik laki-laki maupun perempuan. Sektor nasional. Terlepas dari sifat usaha dan skala
informal tidak hanya dilakukan oleh pekerja usaha yang relatif kecil, sektor informal ternyata
dengan tingkat pendidikan rendah, tetapi juga tangguh baik ketika menghadapi badai krisis
oleh pekerja dengan tingkat pendidikan tinggi. maupun dalam kondisi normal. Keberpihakan
Peningkatan jumlah pekerja dengan tingkat pemerintah terhadap sektor ini tentu saja akan
pendidikan SMU dan perguruan tinggi dua kali memberikan iklim bekerja yang lebih kondusif
lebih besar daripada jumlah pekerja sehingga upaya optimalisasi dan akselerasi
berpendidikan SLTP. Pada tingkat rumah fungsinya dalam perbaikan ekonomi makro
tangga, sektor informal telah menjadi sumber menjadi lebih cepat. Sudah bukan zamannya
utama pendapatan bagi lebih dari 70 persen lagi pemerintah memandang sektor informal
pekerja. dengan sebelah mata, apalagi diikuti dengan
tindakan penggusuran membabi buta dengan
Intervensi Pemerintah dalih mengganggu ketertiban
Ketika suburnya sektor informal di Sebagai contoh adalah kebijakan
perkotaan dipermasalahkan oleh pemerintah pemerintah terhadap keberadaan pedagang
dengan dalih mengganggu ketertiban dan kaki lima di Indonesia. Pemerintah terkesan
keindahan kota, justru banyak dukungan masih memandang remeh terhadap peran dan
kepada kegiatan usaha tersebut, terutama fungsinya dalam pembangunan ekonomi.
seputar prospek dan kemampuan resistennya Salah satu kebijakan yang diterapkan, misalnya
terhadap gangguan ekonomi makro (Sukamdi, penertiban lokasi usaha sesuai dengan
2001). Para pendukung keberadaan sektor Undang-Undang No. 14 Tahun 1992,
informal balik menuduh pihak pemerintah pemerintah melarang penggunaan kaki lima

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 143


Agus Joko Pitoyo

(trotoar) untuk berdagang karena mengganggu menunjukkan perannya secara signifikan.


ketertiban, kebersihan, dan keamanan. Secara Selain ketangguhan, sifat kemudahan dalam
“normatif-legalitas” usaha pedagang kaki lima hal substitusi dan fleksibilitas usaha, sektor
yang menghabiskan bagian trotoar jalan informal juga mempunyai prospek secara
dipandang mengganggu aktivitas pejalan kaki ekonomi yang cukup menjanjikan. Seiring
dan menyimpang dari peraturan. Perundangan dengan pembangunan ekonomi, transformasi
ini menyiratkan sektor informal harus ditumpas sektor usaha dari sektor pertanian ke sektor
habis sampai ke akar-akarnya. jasa pada jangka panjang akan menyuburkan
Perlu diakui secara jujur, keberadaan keberadaan sektor informal di Indonesia. Hal
pedagang kaki lima mempunyai kontribusi yang ini menjadi bukti betapa sektor informal laksana
riil terhadap peningkatan kondisi sosial pahlawan pembangunan ekonomi. Sudah
ekonomi rumah tangga dan daerah. Sebagai selayaknya jika sektor ini dibinakembangkan
contoh, dalam era otonomi daerah, aktivitas secara serius, harmonis, dan santun.
usaha pedagang kaki lima merupakan alternatif Wujud sektor informal perkotaan yang
pengembangan ekonomi rakyat yang akan penting untuk dibina adalah pedagang kaki
mempertinggi pendapatan asli daerah. Hal ini lima. Seirama dengan pertumbuhan banyak
dapat dilihat dari sumbangan pedagang kaki kota metropolis di Indonesia, usaha pedagang
lima melalui retribusi luar pasar yang kaki lima menjadi dinamis dan terus
cenderung meningkat dari waktu ke waktu. berkembang. Secara empiris terbukti aktivitas
Selain dari retribusi luar pasar, pedagang kaki usaha pedagang kaki lima mempunyai prospek
lima yang tertata rapi ternyata mempunyai yang menjanjikan. Pemerintah pun seyogianya
beberapa implikasi positif terhadap pemerintah memberikan beberapa bentuk peraturan dalam
daerah. Pertama, menciptakan peluang kerja rangka pembinaan dan pengembangan.
sebagai akibat fleksibilitas dan substitusi yang Fleksibilitas usaha pedagang kaki lima sangat
diperankan. Kedua, menumbuhkembangkan memungkinkan berkembangnya usaha ini dari
jiwa kewirausahaan. Ketiga, meningkatkan waktu ke waktu. Pemerintah diharapkan dapat
kesejahteraan masyarakat, terutama bagi mengangkat mereka sebagai mitra kerja
pengusaha dan konsumen. Keempat, pembangunan sekaligus memberikan
mendukung pariwisata, sebagai contoh keleluasaan untuk berusaha. Secara legal
pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, Blok diperlukan pula jaminan hukum bagi usaha
M di Jakarta, Simpang lima di Semarang, dan mereka agar tidak disewenang-wenangkan
sebagainya. Kelima, pedagang kaki lima oleh banyak pihak.
mempunyai keterkaitan input dan output dari
unit usaha yang lebih besar, termasuk di Daftar Pustaka
dalamnya sebagai media pemasaran produksi Berger, M., and M. Buvinic (eds.) 1989.
dari industri-industri lain. Women’s venture assistance to the informal
sector in Latin America. West Hartfort,
Penutup Connecticut: Kumarin Press.
Keberadaan sektor informal dalam sistem Bienefield, M. 1975. “The informal sector and
pembangunan ekonomi nasional telah peripheral capitalism: the case of Tanzania”,

144 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262


Dinamika Sektor Informal di Indonesia

Bulletin of the Institute of Development Ghana”, Journal of Modern African Studies,


Studies, 6(3): 53-75. 11(1): 61-69.
Booth, Ane dan Peter McCawley. 1982. Hidayat. 1978. Pengembangan sektor informal
Ekonomi orde baru. Jakarta: Lembaga dalam pembangunan nasional: masalah
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan dan prospek. Bandung: PPESM, Fakultas
Ekonomi dan Sosial. Ekonomi, Universitas Padjadjaran.
Bottomore, Tom and Robert Nisbet. 1978. A Hosier, R.H. 1987. “The informal sector in
history of sociological analysis. New York: Kenya: spatial variation and development
Basic Book. alternatives”, Journal of Developing Areas,
Breman, Jan. 1980. The informal sector in (24) :338-402.
research: theory and practice. Rotterdam: International Labour Organization. 1972.
The Comparative Asian Studies Employment, income and equality: a
Programme (CASP), University of strategy for increa-sing productive
Rotterdam. employment in Kenya. Geneva.
Bromley, Ray and Chris Gerry (eds.). 1979. Kerner, D.O. 1988. “Hard work and informal
Casual work and poverty in third world sector trade in Tanzania”, in Garcia Clark,
cities. Chicester: John Wiley and Sons. ed. Traders versus the state:
Cuff, E.C., and G.C.F. Payne. 1979. anthropological approaches to unofficial
Perspective in sociology. London: George economics. s.l.: Westview Press.
Allen & Ulwin. Kompas. 1998. “Kafe artis menjamur, kaki lima
Effendi, Tadjuddin Noer. 2000. Pembangunan, menjerit”, 24 Agustus, hlm. 17.
Krisis dan Arah Reformasi, Surakarta: Manning, Chris; Tadjuddin Noer Effendi dan
Muhammadiyah University Press. Tukiran, 1996. Struktur pekerjaan, sektor
Effendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumber daya informal dan kemiskinan di kota.
manusia, peluang kerja dan kemiskinan. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Yogyakarta: Tiara Wacana. Kependudukan, Universitas Gadjah Mada.

El Shaks, Salah. 1984. “On city size and the Mazumdar, Dipak. 1984. “The urban informal
contribution of the informal sector: some sector”, World Development, 4(8): 655-679.
hypotheses and research questions”, McGee, T.U. 1971. “Catalyst or concer? the role
Regional Development Dialogue, 5(2): 67- of cities in Asean society”, in Jacobson and
81. Prakash, (eds.), Urbanization and national
Evers, Hans Dieter and Tadjuddin Noer Effendi. development. s.l.: s.n..
1992. Trade and informal sector policy in Moir, Hazel dan Soetjipto Wirosardjono. 1977.
Central Java. Yogyakarta: Population “Sektor informal di Jakarta”, Widyapura,
Studies Center, Gadjah Mada University. 1(9-10): 49-70.
Hart, Keith.1973. “Informal income Portes, A., and J. Walton. 1981. Labor, class
opportunities and urban employment in and the international system. New York:
Academic Press.

Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262 145


Agus Joko Pitoyo

Portes, A., and Manuel Castells.1989. “World Sethuraman, S.V. 1981. The urban informal
underneath: origins, dynamics, and effects sector in developing countries,
of the informal economy”, in Alejandro employment, poverty and environment.
Portes; Manuel Castells and Lauren A. Geneva: International Labour Organization.
Benton, (eds.), The informal economy: Sigit, Hananto. 1989. “Transformasi Tenaga
studies in advanced and less developed Kerja di Indonesia selama Pelita”, Prisma,
countries. Baltimore: The John Hopkins 5(18): 3-14.
University Press.
Sinclair, W. 1978. Urbanization and labor
Portes, A.; Manuel Castells and Lauren A. markets in developing countries. New York:
Benton.1989. The informal economy: St. Martin’s.
studies in advanced and less developed
Souza, P.R., and V.E. Tokman. 1976. “The
countries. Baltimore: The John Hopkins
urban informal sector in Latin America”,
University Press.
International Labor Review, (114): 138-148.
Roberts, Bryan R. 1989. “Employment
Sukamdi, 2001. Laporan Penelitian RUT Studi
structure, life cycle, and life chances: formal
Tentang Pengembangan Sektor Informal di
and informal sectors in Guadalajara”, in
Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Studi
Alejandro Portes; Manuel Castells and
Kependudukan dan Kebijakan UGM
Lauren A. Benton, (eds.), The informal
economy: studies in advanced and less Swasono, Sri-Edi. 1986. Studi kebijakan
developed countries. Baltimore: The John pengembangan sektor informal. Jakarta:
Hopkins University Press. LSP dan IDS.
Sagir, Soeharso. 1986. “Sumbangan sektor Turnham, David, Bernard Salome, and Antoine
informal dalam penyebaran tenaga kerja”, Schwarz, 1990. The Informal Sector
makalah Seminar Fakultas Ekonomi, Revisited. Paris : Development Centre of
Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. The Organisation for Economic
Cooperation and Development.

146 Populasi, 18(2), 2007, ISSN: 0853 - 0262

Anda mungkin juga menyukai