Catatan Harian Maya
Catatan Harian Maya
1
Ia Dipanggil Maya Pramuria
MASUK Diskotek Antique, aku disambut aroma alkohol, asap rokok, dan
hentakan irama musik. Meski batinku terusik, aku memutuskan untuk
memasuki sebuah dunia yang menarik untuk dijadikan feature dalam
edisi sebuah penerbitan surat kabar--tempat aku mencurahkan bakat
menulis. Dan atas restu Pimpinan Redaksi, secara khusus aku ditugasi
untuk menyibak dunia maya secara lengkap, dari keremang-remangan
pojok diskotek hingga berbagai persoalan bisnis ilegal yang biasa
marak di sebuah diskotek.
Beberapa saat setelah aku duduk di pojok sebuah cafetaria, seorang
wanita berambut panjang mendekatiku. Wajah wanita setengah baya
itu sederhana tetapi manis. Penampilannya terkesan kalem dan
tenang. Dari pancaran matanya yang agak redup, aku melihat ada
bongkahan beban yang tak tertanggungkan oleh perem-puan itu. Aku
memang bukan seorang psikolog. Namun, dari sekian pengalaman
bergaul dengan banyak orang dan karena ditunjang oleh pekerjaanku
sebagai penulis aku memang memiliki bakat untuk cepat memahami
karakter orang yang baru kukenal sekalipun. Wanita itu
memperkenalkan namanya, Maya. Lengkapnya Maya Gita. Namun,
rekan-rekannya sering memanggilnya Maya Pramuria.
“Minum apa, Mas?” sapanya ramah dengan raut yang agak sumringah
dan sedikit desah.
“Soft drink saja.”
“Sebentar, ya Mas...”
Maya melangkah meninggalkan bangku, meninggalkan aku,
meninggalkan suatu pesona dan aroma parfum Italiana. Aku mengikuti
lenggak-lenggoknya dengan ekor mata. Tak berapa lama kemudian
Maya muncul dengan dua minuman ringan, sebungkus rokok, dan
beberapa bungkus penganan kecil. Sekali lagi Maya menebarkan
senyum manis seraya meletakkan minuman ringan, rokok, dan
penganan ringan di depanku. Bersamaan dengan itu dari music box
menyeruak desah Shanice Wilson menyenandungkan I Love Your Smile.
2
Lukisan Maya
M
ALAM LARUT. Aku dan Maya berjalan menyusuri sudut-sudut kota
metropolis yang berkabut. Beberapa gelan-dangan, anak jalanan, dan
kuli bangunan tampak tidur dalam keresahan. Mereka tidur di trotoar
berbantal penderitaan, berselimut keresahan, beralaskan penderitaan.
Mereka mendengkur-kan ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Mereka, para gelandangan, anak-anak jalanan, dan buruh bangunan
itu, adalah korban pemba-ngunan. Dalam tidur atau jaga, mereka
mendekap impian hitam tentang kehidupan. Satu dua waria dan
pekerja seks wanita sesekali tampak di keremangan gang. Tampak juga
seekor anjing kurus penuh luka sedang mengais-ngais tong sampah.
Sampah-sampah itu menebarkan aroma yang tidak sedap. Sesekali
dari arah kejauhan terdengar pula raung sirene mobil patroli polisi.
Kami memasuki sebuah gang yang lorongnya dicor dengan semen. Di
kanan-kiri gang ini berdiri berderet rumah, atau lebih tepatnya gubuk-
gubuk kumuh seperti lukisan realis tentang pedihnya hidup di kota
metropolis. Di setiap gubuk itu, anehnya, berdiri antene TV seperti
tangan yang menggapai-gapai ke udara hampa. Ini identik dengan
lukisan absurd, pikirku. Pada satu sisi, dari bentuk rumah kumuh
mengabarkan kemiskinan, tetapi dengan tangan yang menggapai,
antene TV itu, seakan mengabarkan bahwa mereka juga perlu
mendapatkan hiburan. Itu adalah ironi kehidupan. Di satu sisi, setiap
hari penghuni rumah-rumah kumuh itu mendapatkan kesulitan
memenuhi standar hidup layak sebagai manusia normal, namun, pada
sisi lain mereka rupanya telah digilas budaya konsumerisme yang luar
biasa gilanya. Inikah ironi dari pembangunan ekonomi yang
menghalalkan segala cara, yang menempatkan indikator ekonomi
sebagai panglima? Inikah warisan Orde Baru itu? Aku tak sempat
menjawab berbagai pertanyaan kritis itu ketika tiba-tiba terdengar
desahan suara Maya.
“Masuk dulu, Mas,” ajak Maya sesampai di depan sebuah rumah.
Rumah kontrakan Maya mirip gerbong kereta api yang memiliki
sepuluh pintu. Pintu-pintu rumah kontrakan itu telah tertutup rapat.
Namun, beberapa saat kemudian kulihat beberapa kain kordin
tersingkap dan bersamaan dengan itu muncul wajah-wajah sinis
memandang kami berdua. Sorot mata mereka, para penghuni rumah-
gerbong itu, telah menyileti hati ini. Maya cepat menyeret tanganku
memasuki rumah kontrakannya.
“Mas bisa melihat sendiri bagaimana sikap dan perilaku para tetangga
itu. Di mata mereka aku ini tidak ada bedanya dengan seorang pelacur.
Mereka sengaja mengucilkan aku dari pergaulan karena mereka takut
anak-anaknya menjadi bejat moralnya.”
“Ya, mereka agaknya begitu jijik memandang kita. Aku pun bisa
merasakannya.”
“Duduk dulu, Mas. Aku akan menyeduh kopi jahe untuk mengusir angin
jahat dari tubuh kita. Jangan sungkan-sungkan, di sini tidak ada orang
lain, kok. Sambil menunggu, itu ada bacaan terpajang di rak.”
Aku menghempaskan diri ke sebuah sofa tua yang di berbagai
bagiannya telah dijahit. Kuedarkan pandanganku ke segenap ruangan.
Di dinding sebelah kiri kulihat sebuah lukisan sepasang kuda yang
secara ekspresif dan impresionis menggambarkan pergolakan dua
nafsu: nafsu jahat berperang melawan kemauan baik. Seekor kuda
berwarna merah dan kuda yang lain berwarna biru sedang bergulat
pada latar kelabu yang berdebu. Sebuah lukisan yang lumayan,
pikirku. Pandanganku bergeser ke arah kanan. Tepat di sudut ruangan
aku lihat koleksi benda-benda bernilai seni tinggi. Selain lukisan kuda
itu, ada lukisan Matahari karya Affandi yang ekspresif, lukisan potret
Perempuan karya S. Sudjojono yang naturalis, lukisan batik dan
kaligrafi Amri Yahya yang mempesona. Beberapa topeng karya Danarto
terpajang simetris bersanding dengan beberapa patung Asmat lengkap
berbagai aksesori dari berbagai daerah Jogja, Bali, Aceh, Papua,
pedalaman Kalimantan. Semuanya tertata dengan harmonis.
Di sebelah kanan tempat aku duduk terdapat rak buku. Aku melangkah
memeriksa koleksi yang ada. Aku kaget ketika ternyata di sana ada
Albert Camus, Bertrand Russell, Naquib Mahfouz, Edwar Said, George
Orwell, Michael Faucault, Williams Shakespeare, Virginia Wolf, bahkan
Salman Rusdie. Berjajar di sebelahnya buku-buku filsafat, berselang-
seling dengan buku psikologi dan sosiologi. Ada juga Khahlil Gibran
bersanding dengan Chairil Anwar, dan Iwan Sima-tupang. Sementara
itu, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono
terjepit di antaranya. Aku tak tahu, apakah di rak ini juga ada Suminto
A. Sayuti, Ahmadun Y. Herfanda, atau Afrizal Malna. Kulihat sebuah
buku bersampul hijau tua, ternyata Al-Qur’an Bacaan Mulia yang
disusun oleh H.B. Jassin yang kontroversial itu. Di rak paling atas
kulihat Alffin Tofler, Max Weber, dan beberapa buku tentang ekonomi.
Pada rak paling bawah, kulihat buku kumpulan puisi Renungan Closet-
nya Rieke Dyah Pitaloka, dan Supernova. Komik Crayon Sinchan dan
Doraemon berbaur dengan aneka majalah dan tabloit wanita.
Aku berdecak kagum memeriksa koleksi yang ada. Koleksi Maya
sungguh luar biasa. Semua koleksi itu melukiskan siapa sesungguhnya
Maya Gita. Aku lebih kaget ketika kutemukan kumpulan tulisan Maya
Gita berjudul Catatan Harian. Gila! Ini gila, pikirku, setelah sekilas
membaca beberapa goresan tangan Maya Gita. Ini sebuah catatan
berisi masalah-masalah kontekstual yang memotret peristiwa aktual
dengan pengungkapan yang kental dan kenyal. Sebuah dokumen yang
memiliki bobot persoalan penting dan diungkapkan dengan teknik
yang luar biasa indahnya. Maya Gita sungguh punya talenta untuk
menulis. Aku membacalah sebuah goresan bertitimangsa 3 Juli 2001.
Aku menghela nafas. Dada ini terasa penuh sesak. Sejenak aku
berhenti membaca hasil goresan Maya Gita. Gila! Ini sebuah kegilaan
yang luar biasa, pikirku. Bagaimana mungkin seorang Maya Gita yang
profesinya sebagai pramuria bisa merekam peristiwa aktual ke dalam
Catatan Harian yang begitu mempesona? Aku yakin, Maya Gita
bukanlah wanita biasa. Kerja pramuria, mungkin, dilakukannya pada
malam hari. Dan siangnya, ia manfaatkan untuk larut dalam kemelut
hidup di hiruk-pikuk Jakarta. Tak heran jika Maya Gita dapat leluasa
menuliskan pengalaman kesehariannya dan mengemas realitas secara
tandas. Aku memutuskan untuk meneruskan membaca Catatan Harian
Maya Gita.
TRAGEDI TRISAKTI-SEMANGGI
Aksi damai yang digelar oleh mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi itu terkurung di Kampus Trisakti. Di dalam kampus, mahasiswa
terus meneriakkan dan mengobarkan api reformasi. Tapi polisi, dari
jembatan Semanggi memberondongkan tembakan secara membabi-
buta ke arah mahasiswa yang sedang berorasi. Mayat-mayat
bergelimpangan. Kekacauan tak dapat dihindarkan. Mahasiswa pun
berhamburan, tumpah seperti kaca-kaca yang pecah.
Aku melangkah menuju ke suatu tempat yang kuanggap aman. Di
tempat itu, kudengar aneka jeritan, tangisan, dan ketakutan yang luar
biasa. Penjual rokok menangisi kios dagangannya yang terbakar.
Mahasiswa mandi keringat dan berusaha menyembunyikan ketakutan
dengan berteriak mengutuk peristiwa pembantaian itu. Seorang anak
kecil kulihat pingsan di tengah jalan. Ia telah kehilangan kedua orang
tuanya.
Puing-puing gedung, aneka kertas, dan ban-ban bekas tampak
berserakan di sepanjang jalan. Kupungut sebuah brosur yang
tergeletak di dekat kaki. Kuperiksa dan kubaca isi brosur itu:
SOEHARTO TIDAK UBAHNYA SEPERTI SULTAN AGUNG. SOEHARTO
ADALAH RAJA YANG SECARA NISBI DINAUNGI OLEH PAYUNG
DEMOKRASI, HAK-HAK ASASI MANUSIA, DAN PROGRAM PEMBANGUNAN
PENGENTASAN KEMISKINAN. PAYUNG YANG MELINDUNGI ITU SEJATINYA
CUMA IMITASI.
IA, SOEHARTO, JENDERAL YANG SELALU TERSENYUM ITU SEJATINYA
MENGGENGGAM KEKUASAAN UNTUK KEPENTINGAN DIRI SENDIRI DAN
KRONINYA. KONGLOMERAT DAN PENGUSAHA DIJADIKAN
BEGUNDALNYA. BIROKRAT, APARAT, DAN ORANG BERJIWA BANGSAT
DIJADIKAN ALAT UNTUK MELANGGENGKAN KEKUASAANNYA.
PRIBADI ATAU MASSA YANG BERSEBERANGAN DISIKAT. DPR/MPR DAN
LEMBAGA TINGGI NEGARA DIMANDULKAN. ABRI DIJADIKAN ANJING
YANG DENGAN SETIA MENJAGA MAJIKANNYA. KORUPSI, KOLUSI, DAN
NEPOTISME TELAH DIJADIKAN IDOLA DALAM PENYELENGGARAAN
NEGARA. KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME TELAH MENJADI WABAH DI
SETIAP SENDI-SENDI KEHIDUPAN BANGSA INI. INILAH WARISAN UTAMA
SOEHARTO PADA BANGSA DAN NEGARA INI.
PARA MENTERI TAK LEBIH SEBAGAI PION-PION YANG HARUS
MELINDUNGI SANG RAJA. KONFERENSI TINGKAT TINGGI HANYA
DIGUNAKAN UNTUK MENUMPUK UTANG. MEREKA SEMUA SEJATINYA
TELAH MEWARISKAN KEMISKINAN TUJUH TURUNAN. KINI TIBA SAATNYA
MEMBONGKAR ITU SEMUA.
HIDUP MAHASISWA! HIDUP REFORMASI! SEKALI REFORMASI,
SELAMANYA REFORMASI!
TERTANDA: AKTIVIS PROREFORMASI.
Aku berhenti sejenak membaca Catatan Harian goresan Maya. Hem, ini
sebuah kesaksian yang lumayan cerdas dan keras dalam upaya
menguak borok-borok demokrasi di negeri ini. Sebuah catatan
peristiwa yang panas dan keras, pikirku. Aku tidak menduga bahwa di
balik sosok Maya Gita yang begitu lembut dan anggun itu bergolak dan
bergejolak sebuah perhatian tentang iklim demokrasi di negeri ini. Aku
sama sekali tidak menduga bahwa dari sebuah kelembutan dan
keanggunan wanita dapat dibuahkan goresan sebuah kesaksian yang
begitu mengesankan.
Aku malu. Mestinya, profesiku sebagai wartawanlah yang menulis dan
mewartakan semua itu. Tetapi, bukankah iklim media massa di negeri
ini tidak cukup memberikan ruang untuk menulis berita secara apa
adanya? Pemberangusan sebuah media masih menjadi momok bagi
insan yang bergerak dalam bisnis media. Media mana yang rela
diberangus gara-gara sebuah kelugasan pemberitaan yang dibuat oleh
wartawan? Aku berusaha mencari sebuah pembelaan dan pembenaran
atas sikapku dalam menjalankan profesi sebagai wartawan. Tetapi,
bukankah aku juga seorang sastrawan? Sebagai sastrawan, mestinya
aku bisa turut berpartisipasi mengungkapkan carut-marutnya iklim
demokrasi di negeri ini. Ah, aku kalah selangkah dibanding apa yang
telah digoreskan oleh Maya Gita dalam Catatan Harian. Maya Gita
dengan kejujurannya telah menggoreskan sebuah kebenaran dalam
cerita yang digubahnya. Ia dengan lugas dan tandas telah memberikan
kesaksian tentang persoalan fundamental yang dihadapi bangsa ini:
masalah demokrasi!
Aku tercenung sejenak. Kembali aku teringat akan tawaranku kepada
Maya Gita untuk mengantarkan Catatan Harian ini ke penerbit.
Penerbit mana yang mau menerbitkan Catatan Harian yang keras dan
lugas? Aku tiba-tiba dilanda sebuah keraguan. Keraguan itu berusaha
kusingkirkan jauh-jauh. Pikiranku kini menerawang jauh
membayangkan peristiwa berdarah itu. Aku kembali teringat, waktu
itu, aku bersama-sama rekan wartawan bergegas menuju markas
kepolisian. Aku ingin tahu apa reaksi para jenderal atas peristiwa
berdarah itu.
Waktu itu, di Markas Besar Kepolisian RI kulihat telah banyak rekan-
rekan wartawan dari media cetak dan elektronika berseliweran. Mereka
tampaknya akan menggali informasi aktual tentang peristiwa yang
terjadi di Kampus Trisakti dan Jembatan Semanggi. Namun, aku dan
kawan-kawan yang berprofesi sebagai kuli disket itu dengan berbagai
dalih tidak diberi kesempatan untuk melakukan konfirmasi, cek dan
ricek, serta memperoleh bahan pemberitaan. Aku dan kawan-kawan
waktu itu, telah diusir seperti anjing-anjing kurap oleh petugas jaga.
Entah, itu atas perintah siapa, atau barangkali para petugas jaga itu
telah berimprivisasi dalam melaksanakan tugas? Aku tidak tahu. Aku
lebih memilih menyisih dari “markas penyiksaan dan pengusiran” itu.
Aku pun pulang ke rumah. Sesampai di rumah, kugoreskan sebuah
puisi yang mengungkapkan kejadian itu:
4
Aku, Maya, dan Satu Dunia
S
EDAPNYA kopi pagi hari yang diseduh oleh tangan-tangan kasih.
Kureguk kopi sekali lagi. Maya dan aku duduk di sofa cokelat tua yang
di beberapa bagiannya telah dijahit. Seperti telah kuceritakan pada
bagian yang lalu, kali ini aku kembali mengedarkan pandanganku ke
segenap ruangan rumah kontrakan Maya Gita. Di dinding sebelah kiri
kulihat sebuah lukisan sepasang kuda yang secara ekspresif dan
impresionis menggambarkan pergolakan dua nafsu yang oleh budaya
China disebut Yin dan Yang: nafsu jahat berperang melawan kemauan
baik. Dua nafsuyang saling berlawanan itu disimbolisasikan dengan
seekor kuda berwarna merah dan kuda yang lain berwarna biru.
Seperti pernah kuceritakan, kedua kuda itu sedang bergulat pada latar
kelabu yang berdebu.
Pandanganku bergeser ke arah kanan. Tepat di sudut ruangan, seperti
beberapa hari yang lalu, aku lihat koleksi benda-benda bernilai seni
tinggi. Selain lukisan kuda itu, masih berada pada posisi semula
lukisan Matahari karya Affandi yang ekspresif, lukisan potret
Perempuan karya S. Sudjojono yang naturalis, lukisan batik dan
kaligrafi Amri Yahya yang mempesona. Beberapa koleksi baru berupa
keramik China, poster Harry Porter, dan Meteor Garden, kulihat
bersanding dengan topeng karya Danarto terpajang simetris
bersanding dengan beberapa patung Asmat lengkap berbagai aksesori
dari berbagai daerah Jogja, Bali, Aceh, Papua, pedalaman Kalimantan.
Semuanya tertata dengan harmonis.
Di sebelah kanan tempat aku duduk, seperti dulu, kulihat rak buku.
Maya melangkah menuju rak buku dan membawa koleksi terbaru:
Malam Tamansari (Buku Kumpulan Puisi, terbitan Yayasan untuk
Indonesia, 2000), Mengenal Sosok Amri Yahya sebagai Seniman (Pidato
Promotor pada Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris
Causa kepada Amri Yahya di Universitas Negeri Yogyakarta, 2001), dan
Berkenalan dengan Puisi (Diterbitkan oleh Gama Media, 2002)
semuanya ditulis oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti; Sekilas kubaca Cara
Menulis Kreatif yang disusun oleh Jabrohim, Chairul Anwar, dan
Suminto A. Sayuti. Aku memeriksa koleksi terbaru itu. Aku dan Maya
lantas mendiskusikan Malam Tamansari hingga larut malam. Aku
memilih sebuah puisi berjudul “Larut Malam di Sebuah Persinggahan”
pada halaman 25. Puisi itu kubacakan di hadapan Maya. Maya dengan
penuh kesabaran dan antusias menyimak larik-larik puisi goresan
Empu Sastra dari Jogja:
Usai pembacaan puisi itu, Maya dan aku sama-sama merasa hidup
dalam satu dunia. Dunia maya, dunia ilusi, dunia fatamorgana. Isi,
nuansa, dan bobot persoalan yang diungkapkan oleh penyair terasa
pas dengan beban masalah yang kini harus kami pecahkan. Aku dan
Maya tidak lain adalah Adam dan Hawa yang sia-sia mendapatkan
suaka pengampunan. Sebagai manusia, aku dan Maya sama-sama
merasa kecil dan tidak berdaya menghadapi luasnya kehidupan. Kami
berdua sejatinya merindukan “sepotong bulan”, “Rindu dedaunan”,
“menyala harapan”. Aku dan Maya saat ini serupa “petualang yang
terbanting ditelan kehidupan”. Karena hidup dalam satu dunia, aku dan
Maya sedang terobsesi untuk menulis Biografi Ayah Maya yang
berdarah-darah. Ayah Maya yang menjadi buron pengedar narkoba
adalah “sosok bayang dibalik kabut” atau “sepotong ampak yang
menggenggam rahasia”. Dalam bayangan gelap malam yang larut ini,
aku dan Maya seakan berada di sebuah persinggahan. Aku dan Maya
merasa sama-sama kelelahan seperti Adam dan Hawa yang terbanting
ke dunia yang begitu ganasnya. Sebuah dunia yang dihuni oleh
berbagai macam sifat dan karakter manusia.
Malam telah larut, bahkan terlalu larut, tak terasa aku telah larut
dalam diskusi panjang sehari-semalam. Aku dan Maya makin larut ke
dalam perbincangan yang berlarat-larat, dari soal politik, ekonomi,
masalah HAM, gerakan feminimisme, terorisme kreasi Amerika, hingga
soal-soal yang kini sedang kukumpulkan bahan-bahannya: peredaran
narkoba, lengkap dengan pernik-perniknya. Ketika Maya menyiapkan
kopi susu ke belakang, kembali kubuka Catatan Harian Maya.