Anda di halaman 1dari 19

CATATAN HARIAN MAYA --- Novelet: Dimas Arika Mihardja

1
Ia Dipanggil Maya Pramuria

MASUK Diskotek Antique, aku disambut aroma alkohol, asap rokok, dan
hentakan irama musik. Meski batinku terusik, aku memutuskan untuk
memasuki sebuah dunia yang menarik untuk dijadikan feature dalam
edisi sebuah penerbitan surat kabar--tempat aku mencurahkan bakat
menulis. Dan atas restu Pimpinan Redaksi, secara khusus aku ditugasi
untuk menyibak dunia maya secara lengkap, dari keremang-remangan
pojok diskotek hingga berbagai persoalan bisnis ilegal yang biasa
marak di sebuah diskotek.
Beberapa saat setelah aku duduk di pojok sebuah cafetaria, seorang
wanita berambut panjang mendekatiku. Wajah wanita setengah baya
itu sederhana tetapi manis. Penampilannya terkesan kalem dan
tenang. Dari pancaran matanya yang agak redup, aku melihat ada
bongkahan beban yang tak tertanggungkan oleh perem-puan itu. Aku
memang bukan seorang psikolog. Namun, dari sekian pengalaman
bergaul dengan banyak orang dan karena ditunjang oleh pekerjaanku
sebagai penulis aku memang memiliki bakat untuk cepat memahami
karakter orang yang baru kukenal sekalipun. Wanita itu
memperkenalkan namanya, Maya. Lengkapnya Maya Gita. Namun,
rekan-rekannya sering memanggilnya Maya Pramuria.
“Minum apa, Mas?” sapanya ramah dengan raut yang agak sumringah
dan sedikit desah.
“Soft drink saja.”
“Sebentar, ya Mas...”
Maya melangkah meninggalkan bangku, meninggalkan aku,
meninggalkan suatu pesona dan aroma parfum Italiana. Aku mengikuti
lenggak-lenggoknya dengan ekor mata. Tak berapa lama kemudian
Maya muncul dengan dua minuman ringan, sebungkus rokok, dan
beberapa bungkus penganan kecil. Sekali lagi Maya menebarkan
senyum manis seraya meletakkan minuman ringan, rokok, dan
penganan ringan di depanku. Bersamaan dengan itu dari music box
menyeruak desah Shanice Wilson menyenandungkan I Love Your Smile.

“Aku suka senyummu,” aku berbasa-basi.


“Ah, bisa aja.” Maya tersipu sambil mencubit lenganku.
Suasana pun terasa hangat. Entah mengapa aku dan Maya cepat
akrab. Cepat terjalin hubungan manusiawi, yang untuk kali ini susah
didefinisikan. Pengunjung Diskotek Antique rata-rata berpasangan
duduk diaduk oleh keasyikan masing-masing. Beberapa tempat duduk
masih kosong. Tempat duduk lainnya diisi oleh beberapa orang. Di
tangan mereka rata-rata terselip sebatang rokok, segelas minuman,
atau camilan. Setelah berbasa-basi ke sana ke mari, aku mulai
pekerjaanku: menjalankan misi untuk mencari materi feature, cerpen,
novelet, skenario sinetron atau puisi yang biasa kutulis. Dari raut wajah
Maya dapat segera kubaca bahwa dalam dirinya tergambar sebuah
lanskap perjalanan hidup yang tampaknya melelahkan.
“Kenapa?” tanyaku ketika tiba-tiba Maya mendesah seakan
melepaskan kekalutan yang membalut hidupnya.
“Susah, Mas,” Maya menjawab pendek.
Ia mengeluh dan mendesah lirih. Guratan wajahnya tidak bisa
menyembunyikan rasa sedih.
“Maya, ceritakan sesuatu padaku,” bujukku seraya menatapnya lekat-
lekat.
“Ceritanya panjang, Mas.”
“Sepanjang apapun, aku siap menjadi pendengar setia.”
Maya sekali lagi mendesah. Setelah menghela nafas dalam-dalam, dari
kedua bibirnya meluncur kata-kata yang cukup mengangetkanku.
“Aku sesungguhnya tidak betah kerja di sini.” Maya mulai berkisah.
“Orang sering keliru menilai aku dan pekerjaanku sebagai pramuria.”
“Maksud Maya?”
Lagi-lagi Maya menghela nafas yang cukup dalam. Lewat desah yang
menggambarkan keresahan, Maya melanjutkan penuturannya.
“Setiap aku habis menyanyi, Mas, ada-ada saja lelaki yang mengajak
kencan. Tiap malam selalu ada lelaki yang berusaha mendekati aku
dan mengajak ngamar. Beberapa lelaki lain sering mengajak shoping,
nonton, atau sekadar jalan-jalan di mall atau plaza.”
“Itu kan biasa? Wajar. Bukankah tugas Maya di diskotek ini
memberikan servis yang memuaskan kepada setiap tamu?”
“Benar, Mas. Tugasku memang melayani tamu. Tepatnya aku menyanyi
di diskotek ini untuk menghibur para tamu. Tetapi mereka sering
kelewatan dalam menilai keberadaanku. Aku sering diperlaku-kan
sebagai wanita yang dengan gampang diajak berkencan. Batin ini
tersiksa, Mas. Tapi, ah....”
“Setiap profesi pasti ada risikonya,” kataku menghibur.
“Meskipun risiko itu menghancurkan masa depan dan reputasiku?
Masa depanku masih panjang, Mas. Aku tidak ingin menjerumuskan diri
dan larut menceburkan diri dalam dunia yang menyiksa batin. Dalam
diriku kini berkecamuk berbagai masalah pelik yang sulit kuurai. Dulu,
aku cukup bangga bisa menyanyi di tempat ini. Tapi akhir-akhir ini, aku
sulit menghindar dari suatu bahaya. Setiap saat aku merasa ada
semacam ancaman yang dari hari ke hari tumbuh menyiksa batin ini.
Mas tahu kan persoalan narkoba?”
Aku pura-pura diam. Kuteguk soft drink. Kunyalakan sigaret dengan
Zippo. Asap pun mengepul dari cerobong mulutku. Wajah Maya kutatap
lekat-lekat. Wajah Maya terselimuti kabut tebal. Maya diam. Maya
sama sekali belum menyentuh minuman ringan, rokok, dan penganan
kecil. Kulihat Maya mulai gelisah. Di luar sadar, tangan Maya yang
berjemari lentik itu memainkan anak rambut yang berjuntai di
keningnya. Kami berdua diserang wabah gelisah. Kegelisahan kami
semakin sempurna dan memuncak manakala dari music box
menggema lagu berturut-turut: Dust in the Wind, lalu Somewhere,
Idon’t Like to Sleep Alone. Bersamaan lagu Feeling kuberanikan
menyentuh tangan Maya.
“Kenapa tidak kausentuh minumanmu, Maya?”
“Dingin. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa kedinginan, tidak
punya keinginan apa pun. Aku serasa diserang oleh penyakit aneh.
Rasanya, aku kehilangan selera untuk bekerja.”
“Kenapa?”
“Ah,...” Lagi-lagi Maya mendesah, mendesah, dan mendesah.
“Maya, kukira lebih baik kauceritakan masalahmu kepadaku. Siapa
tahu, beban masalah yang kautanggung menjadi berkurang?”
Maya tidak dapat menyembunyikan kegelisahan dan beban berat yang
menimpanya. Setelah menghela nafas, dengan suara tertahan Maya
berujar.
“Masalah klasik, Mas. Uang, uang, uang, dan uang.” Maya memberi
sedikit penekanan ketika menyebut kata “uang”. Lalu Maya
menambahkan, “Ibu dan adik-adikku adalah beban terberat yang
kusandang saat ini. Ibu diopname di sebuah rumah sakit di Jogja
lantaran komplikasi stroke, darah tinggi, dan lever. Adik-adik saat ini
sedang banyak memerlukan biaya kuliah di perguruan tinggi swasta.”
“Bagaimana dengan ayah Maya?”
“Ayah, ah, ayah.” Raut wajah Maya semakin resah dan terbebani oleh
masalah yang tidak tertanggungkan. Aku sabar menunggu cerita Maya
selanjutnya. Setelah sekali lagi menghela nafas, dengan berat Maya
berkata seakan menumpahkan kekesalan, “Apakah yang dapat
diharapkan dari seorang ayah yang berselingkuh dengan wanita lain,
menjadi buron akibat bandar narkoba, dan telah lama tidak mengurusi
keluarga?”
Aku kaget. Trenyuh. Haru. Sebagai orang yang biasa bergumul dengan
aneka permasalahan manusia, aku mudah sekali terharu. Penuturan
Maya yang polos dan apa adanya telah menusuk dan menikam-nikam
ulu hatiku. Tergambar dalam benakku betapa Maya menjadi korban
broken home. Apakah itu semua yang membuat Maya harus merelakan
diri bekerja sebagai pramuria dan terdampar di kota Metropolis Jakarta
yang hiruk-pikuk ini? Aku tak bisa membayangkan betapa Maya sering
dihinakan oleh lelaki pengunjung diskotek ini yang memperlakukannya
sebagai wanita penghibur, sebagai kupu-kupu malam, atau bahkan
pelacur murahan. Wanita selembut dan seanggun Maya pantaskah
menerima itu semua? Pikiran dan batinku terus berkecamuk.
Gambaran batin dan pikiran itu semakin lengkap manakala seorang
pramuria di atas stage menjeritkan lagu Kupu-kupu Malam. Dengan
jerit lagu itu, Titiek Puspa melukiskan sebuah derita seorang wanita
penghibur di tengah-tengah lelaki yang takabur.
“Maya, aku mengerti dan merasakan persoalan yang membelitmu.
Menurutku....”
“Itulah yang terkadang membuatku sering putus asa. Sering aku
digoda oleh pikiran yang sesat: jadi pelacur sekalian, jual narkoba,
memeras lelaki hidung belang, atau tidur bersama koruptor dan
melarikan uangnya. Pikiran-pikiran seperti itu selalu berkecamuk di
benak. Pikiran-pikiran seperti itu lalu berperang dengan suara hatiku
yang paling dalam. Nuraniku. Dari waktu ke waktu hal itu menjadi
beban yang tak tertanggungkan. Itu semua mengusik batin dan jiwa
ini.” Ketika menuturkan itu semua, Maya tampak menahan dan
meredam gejolak emosinya. Akibatnya, Maya terlihat tersengal-sengal.

“Maya, tenanglah. Kendor. Bukannya aku sok jadi pahlawan. Bukannya


aku seorang yang murah hati. Bukannya aku seorang yang suka dipuji.
Kemarin aku baru menerima honor dari novelet, cerita bersambung,
dan beberapa hasil riset. Besok pagi aku bisa mencairkan cek dari
skenario sinetron yang ditayangkan oleh stasiun TV swasta. Kukira, kau
bisa menggunakannya, Maya.”
“Tidak, Mas. Aku tidak bisa menerima uang itu. Uang itu...”
“Alah, pakai sajalah. Tak usah banyak pertimbangan. Anggap saja itu
rezeki buat ibu dan adik-adikmu.”
“ Tapi bagaimana aku mesti mengembalikannya nanti?”
“Maya, engkau tidak usah berpikiran untuk mengembalikan uang itu.
Itu adalah bagianmu. Ketahuilah bahwa orang-orang sepertimu justru
telah membantu profesiku?”
“Em, apa maksudmu, Mas?”
“Maaf, orang-orang sepertimu sering menjadi inspirasi bagi karya-
karya berupa cerita, puisi, atau skenario sinetron yang kugubah.
Penuturanmu itu juga dapat dijadikan referensi dalam penulisan berita.
Maaf, terus terang aku sesungguhnya seorang pengarang. Orang
menyebutku sastrawan, wartawan, penulis skenario, atau penyair.
Selama ini orang sepertiku dianggap hidup di awan, di awang-awang,
tidak realistik, miskin, dan terlantar. Maaf, aku tidak berusaha
menyombongkan diri. Tetapi jujur saja kuakui bahwa aku tidak mungkin
berkarya tanpa orang-orang menderita seperti yang engkau alami saat
ini. Langsung atau tidak langsung dari penuturanmu aku memiliki
bahan bagi karya-karya selanjutnya. Yang kuperlukan saat ini hanyalah
mendapatkan bahan untuk tulisan-tulisan dengan cara pengamatan,
pengakraban, dan pengolahan. Jika Maya mau, misalnya menuturkan
liku-liku kehidupan diskotek beserta serangkaian masalah peredaran
narkoba, perselingkuhan, atau perjudian kepadaku, itu sudah lebih dari
cukup. Dan sebagai gantinya, Maya bisa menggu-nakan uang itu.”
“Aku tidak bisa menerimanya, Mas. Uang itu adalah jerih payahmu.
Cucuran keringatmu. Engkau mati-matian mengolah gagasan ke dalam
karya yang mengungkapkan rasa. Kukira, semua itu untuk....”
“Untukmu! Sudahlah, Maya, tidak perlu diributkan benar. Engkau lebih
baik menerima tawaranku.”
Maya merunduk mendengar penuturanku. Aku tahu, di dalam pikiran
dan batin Maya berkecamuk sebuah keputusan. Keputusan yang cukup
memerlukan pertimbangan. Sejenak Maya menatapku tak berkedip.
Dari balik tatapan Maya itu, aku melihat seberkas keharuan terpancar
dari matanya yang berkaca-kaca. Diam-diam, saat itu, aku
menjatuhkan penilaian bahwa Maya adalah sosok wanita yang anggun,
tabah, dan terdidik. Semua itu dengan cepat kusimpulkan dari perilaku
dan tutur kata Maya yang lembut, tertata, terjaga, dan dewasa. Aku
yakin bahwa Maya mengenyam pendidikan tinggi, atau setidak-
tidaknya pernah kuliah. Aku berfikir bahwa kesempatan bersama Maya
ini tidak boleh dilewatkan. Dengan ngobrol bersama Maya kukira akan
terkumpul bahan yang kuperlukan untuk menunjang profesi sebagai
pengarang. Aku tak sempat berfikir panjang ketika dengan tiba-tiba
Maya menyampaikan sebuah keputusan.
“Baiklah, Mas. Aku setuju dengan tawaran itu.” Maya menatapku
dengan pandangan yang menjanjikan. “Jika Mas mau mengorek
keterangan tentang masalah peredaran narkoba, perselingkuhan, dan
perjudian, mungkin aku bisa membantu.”
“Baiklah, kapan kita bisa ketemu lagi?”
“Apakah Mas berkeberatan jika malam ini mengantar aku pulang? Di
rumah kukira kita bisa leluasa berbincang dan menggambar peta
peredaran narkoba, perselingkuhan, perjudian, dan berbagai borok-
borok moral lainnya.”
Tanpa berfikir panjang aku segera menyetujui pendapat Maya. Aku
harus menyempatkan diri mengantar Maya pulang ke rumah.

2
Lukisan Maya

M
ALAM LARUT. Aku dan Maya berjalan menyusuri sudut-sudut kota
metropolis yang berkabut. Beberapa gelan-dangan, anak jalanan, dan
kuli bangunan tampak tidur dalam keresahan. Mereka tidur di trotoar
berbantal penderitaan, berselimut keresahan, beralaskan penderitaan.
Mereka mendengkur-kan ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Mereka, para gelandangan, anak-anak jalanan, dan buruh bangunan
itu, adalah korban pemba-ngunan. Dalam tidur atau jaga, mereka
mendekap impian hitam tentang kehidupan. Satu dua waria dan
pekerja seks wanita sesekali tampak di keremangan gang. Tampak juga
seekor anjing kurus penuh luka sedang mengais-ngais tong sampah.
Sampah-sampah itu menebarkan aroma yang tidak sedap. Sesekali
dari arah kejauhan terdengar pula raung sirene mobil patroli polisi.
Kami memasuki sebuah gang yang lorongnya dicor dengan semen. Di
kanan-kiri gang ini berdiri berderet rumah, atau lebih tepatnya gubuk-
gubuk kumuh seperti lukisan realis tentang pedihnya hidup di kota
metropolis. Di setiap gubuk itu, anehnya, berdiri antene TV seperti
tangan yang menggapai-gapai ke udara hampa. Ini identik dengan
lukisan absurd, pikirku. Pada satu sisi, dari bentuk rumah kumuh
mengabarkan kemiskinan, tetapi dengan tangan yang menggapai,
antene TV itu, seakan mengabarkan bahwa mereka juga perlu
mendapatkan hiburan. Itu adalah ironi kehidupan. Di satu sisi, setiap
hari penghuni rumah-rumah kumuh itu mendapatkan kesulitan
memenuhi standar hidup layak sebagai manusia normal, namun, pada
sisi lain mereka rupanya telah digilas budaya konsumerisme yang luar
biasa gilanya. Inikah ironi dari pembangunan ekonomi yang
menghalalkan segala cara, yang menempatkan indikator ekonomi
sebagai panglima? Inikah warisan Orde Baru itu? Aku tak sempat
menjawab berbagai pertanyaan kritis itu ketika tiba-tiba terdengar
desahan suara Maya.
“Masuk dulu, Mas,” ajak Maya sesampai di depan sebuah rumah.
Rumah kontrakan Maya mirip gerbong kereta api yang memiliki
sepuluh pintu. Pintu-pintu rumah kontrakan itu telah tertutup rapat.
Namun, beberapa saat kemudian kulihat beberapa kain kordin
tersingkap dan bersamaan dengan itu muncul wajah-wajah sinis
memandang kami berdua. Sorot mata mereka, para penghuni rumah-
gerbong itu, telah menyileti hati ini. Maya cepat menyeret tanganku
memasuki rumah kontrakannya.
“Mas bisa melihat sendiri bagaimana sikap dan perilaku para tetangga
itu. Di mata mereka aku ini tidak ada bedanya dengan seorang pelacur.
Mereka sengaja mengucilkan aku dari pergaulan karena mereka takut
anak-anaknya menjadi bejat moralnya.”
“Ya, mereka agaknya begitu jijik memandang kita. Aku pun bisa
merasakannya.”
“Duduk dulu, Mas. Aku akan menyeduh kopi jahe untuk mengusir angin
jahat dari tubuh kita. Jangan sungkan-sungkan, di sini tidak ada orang
lain, kok. Sambil menunggu, itu ada bacaan terpajang di rak.”
Aku menghempaskan diri ke sebuah sofa tua yang di berbagai
bagiannya telah dijahit. Kuedarkan pandanganku ke segenap ruangan.
Di dinding sebelah kiri kulihat sebuah lukisan sepasang kuda yang
secara ekspresif dan impresionis menggambarkan pergolakan dua
nafsu: nafsu jahat berperang melawan kemauan baik. Seekor kuda
berwarna merah dan kuda yang lain berwarna biru sedang bergulat
pada latar kelabu yang berdebu. Sebuah lukisan yang lumayan,
pikirku. Pandanganku bergeser ke arah kanan. Tepat di sudut ruangan
aku lihat koleksi benda-benda bernilai seni tinggi. Selain lukisan kuda
itu, ada lukisan Matahari karya Affandi yang ekspresif, lukisan potret
Perempuan karya S. Sudjojono yang naturalis, lukisan batik dan
kaligrafi Amri Yahya yang mempesona. Beberapa topeng karya Danarto
terpajang simetris bersanding dengan beberapa patung Asmat lengkap
berbagai aksesori dari berbagai daerah Jogja, Bali, Aceh, Papua,
pedalaman Kalimantan. Semuanya tertata dengan harmonis.
Di sebelah kanan tempat aku duduk terdapat rak buku. Aku melangkah
memeriksa koleksi yang ada. Aku kaget ketika ternyata di sana ada
Albert Camus, Bertrand Russell, Naquib Mahfouz, Edwar Said, George
Orwell, Michael Faucault, Williams Shakespeare, Virginia Wolf, bahkan
Salman Rusdie. Berjajar di sebelahnya buku-buku filsafat, berselang-
seling dengan buku psikologi dan sosiologi. Ada juga Khahlil Gibran
bersanding dengan Chairil Anwar, dan Iwan Sima-tupang. Sementara
itu, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono
terjepit di antaranya. Aku tak tahu, apakah di rak ini juga ada Suminto
A. Sayuti, Ahmadun Y. Herfanda, atau Afrizal Malna. Kulihat sebuah
buku bersampul hijau tua, ternyata Al-Qur’an Bacaan Mulia yang
disusun oleh H.B. Jassin yang kontroversial itu. Di rak paling atas
kulihat Alffin Tofler, Max Weber, dan beberapa buku tentang ekonomi.
Pada rak paling bawah, kulihat buku kumpulan puisi Renungan Closet-
nya Rieke Dyah Pitaloka, dan Supernova. Komik Crayon Sinchan dan
Doraemon berbaur dengan aneka majalah dan tabloit wanita.
Aku berdecak kagum memeriksa koleksi yang ada. Koleksi Maya
sungguh luar biasa. Semua koleksi itu melukiskan siapa sesungguhnya
Maya Gita. Aku lebih kaget ketika kutemukan kumpulan tulisan Maya
Gita berjudul Catatan Harian. Gila! Ini gila, pikirku, setelah sekilas
membaca beberapa goresan tangan Maya Gita. Ini sebuah catatan
berisi masalah-masalah kontekstual yang memotret peristiwa aktual
dengan pengungkapan yang kental dan kenyal. Sebuah dokumen yang
memiliki bobot persoalan penting dan diungkapkan dengan teknik
yang luar biasa indahnya. Maya Gita sungguh punya talenta untuk
menulis. Aku membacalah sebuah goresan bertitimangsa 3 Juli 2001.

Kamar Pribadi, 3 Juli 2001.


DUNIA INI MAYA SEMATA
Dunia ini tergelar bagai layar monitor personal komputer. Aneka
peristiwa, karakter manusia, dan berbagai ragam masalah layaknya
dapat dipantau hanya dengan memandang monitor. Tetapi nyatanya
ketidakadilan, ketimpangan, kemunafikan, dan kejahatan meraja-lela.
Akibatnya, pohon-pohon kehilangan hijaunya. Burung kehilangan
kepaknya. Sungai kehilangan muara sejatinya. Awan di langit
menggelantung memberi isyarat bahwa hujan dan badai segera
menerpa dunia ini. Namun, anehnya, manusia telah kehilangan
kemampuan membaca isyarat alam. Manusia setiap hari bergulat
dengan aneka sampah yang kotor. Mesjid, vihara, dan gereja
kehilangan daun jendela. Kehidupan terasa hampa. Maya.
Lihatlah sekelompok orang yang bergegas itu. Apakah sejatinya yang
mereka kejar? Prestasi? Rezeki? Peluang? Uang? Kesibukan telah
membawa mereka ke jurang kehampaan. Keserakahan! Tidak ada
dunia nyata bagi mereka. Semua impian mereka semu semata. Semua
hidup dalam bayangan materi, dalam perangkap materialistis dan
hedonistis. Kehidupan mereka sesungguhnya cuma sebatas metaforis
atau metamorfosis. Sungguh, sejatinya sepak terjang mereka tidak
ubahnya sebagai binatang dengan segala kebuasannya, dengan segala
racun dan kelicikannya.
Kulihat beberapa orang telah menggadaikan hidupnya demi asap
ganja, kristal-kristal setan merah, ineks, atau jarum-jarum neraka.
Kutahu, ayah telah salah memilih jalan. Kutahu, ibu telah jadi korban
keserakahan ayah. Sementara adik-adikku menjelma menjadi benalu-
benalu sebagai korban ayah di masa lalu. Aku tidak mengeluh atau
menuduh. Semua itu telah menjadi sebuah garis yang harus kulukis
dengan tinta merah. Sebuah garis yang begitu nyata dan tegas
mengiris-iris perasaanku.

Ketika aku sedang asyik membolak-balik Catatan Harian itu, tiba-tiba


suara Maya mengagetkanku.
“Hasil iseng-iseng, kok, Mas” Maya memberi penjelasan, “sekadar
catatan harian.”
“Tidak. Ini adalah maha karya,” kilahku. “Jika beruntung, kau bisa
menerbitkannya menjadi buku. Aku yakin dunia sastra Indonesia akan
gempar setelah membaca hasil goresan masterpiece ini. Jika
diterbitkan ini akan menjadi best seller.”
“Sudahlah, mas jangan terlalu melambungkan aku. Aku menulis itu
semua sekadar sebagai kesaksian bahwa dunia ini tidak adil, di huni
oleh orang-orang sakit, bandit, perampok, begundal, koruptor, dan....”
“Boleh aku bawa ke penerbit?”
“Terserah. Kalau Mas mau, bawa saja. Aku masih memiliki beberapa
lagi kopinya. Ini mas, kopi jahenya diminum.”
Aku mereguk kopi jahe yang disodorkan oleh Maya. Kehangatan terasa
menjalar di urat darahku. Kesegaran merambat di kedua mataku. Maya
duduk persis di depanku. Kesegaran pada wajah Maya juga menyergap
ketika kutahu bahwa Maya baru saja melaksanakan sholat malam.
Kutahu, dalam pikiran Maya berkecamuk berbagai masalah pelik
tentang hidup dan kehidupan. Beban itu tampaknya sedikit berkurang
setelah Maya pasrah ke haribaan Allah.
“Aku yakin, wanita setegar kau segera dapat mengatasi kemelut
persoalan keluargamu. Aku yakin kau akan dapat mengatasi semua itu.
Dasar ajaran agama yang kau miliki, pengetahuan yang tercermin
dalam koleksi di rak itu, koleksi benda-benda seni yang terpajang di
rumah ini, dan terutama Catatan Harian ini telah mewartakan siapa
kamu sejatinya. Percayalah, asal kau teguh pada keyakinan maka
segala kesulitan dan belitan masalah akan dapat diuraikan.”
“Terima kasih, Mas. Engkau telah mau memahami keadaanku. Terima
kasih.”
“Aku yakin, penerbit akan menerbitkan Catatan Harian ini. Dengan itu,
kau akan bisa membayar beaya pengobatan ibu dan keperluan studi
adik-adikmu. Atas izinmu, besok, aku akan membawa Catatan Harian
ini ke penerbit.”
Maya melangkah mendekatiku. Berkali-kali ia mengguncang-guncang
tanganku sembari mengucapkan terima kasih.
“Malam telah larut, Maya, terlalu larut bahkan. Sebaiknya aku segera
pulang.”
“Apakah tidak lebih baik Mas menginap di sini saja?”
“Bahaya, Maya. Itu berbahaya. Aku tak ingin menambah masalah
dengan menginap malam ini. Sebaiknya aku pulang saja.”
Aku pamit. Sekilas Maya kulihat kecewa. Ia kemudian mengantarku
menuju pintu. Sebelum membuka pintu, Maya meme-gang lengan
tanganku, menatapku lekat-lekat, dan sekali lagi mengucapkan terima
kasih. Dalam pandanganku saat itu, mata Maya malam itu serupa
telaga. Telaga itu begitu beningnya sehingga siapa saja ingin berenang
di dalamnya. Aku merasakan sebuah kesejukan dan kedamaian
mengalir dari telaga bening itu. Rasanya aku ingin berlama-lama
memandang telaga itu. Memandang sorot mata Maya yang begitu
indah memancarkan bejuta pesona. Sekilas terbit hasrat dalam hatiku
untuk terjun dan berenang di kedalaman telaga itu. Tetapi akal sehatku
melarang perbuatan yang asusila itu.

Setiba di rumah, kurebahkan diriku di atas ranjang. Mataku


menerawang memandang plafon kamar yang bercat putih. Perke-
nalanku dengan Maya Gita dengan masalah-masalahnya mengusik
batinku. Kenapa dengan mudah aku menjanjikan sesuatu yang
sesungguhnya di luar jangkauanku? Kenapa aku begitu royal
memberikan uang kepada orang yang baru saja kukenal? Bukankah
Maya Gita seorang pramuria dan pramusaji di sebuah diskotek?
Bukankah bukan rahasia lagi bahwa wanita yang bekerja di sebuah
diskotek selalu identik dengan wanita yang kurang bisa dipercaya?
Maya Gita adalah sosok wanita yang lain. Begitu menurut taksiranku.
Bukankah di rumah kontrakan Maya bertebaran benda-benda budaya
yang begitu berharga? Koleksi lukisan dan cenderamata yang ada di
rumah kontrakan beserta buku-buku koleksinya merupakan pertanda
luasnya pergaulan dan pengetahuan tentang dunia. Maya Gita telah
menyodorkan pesona yang begitu menggoda. Terus terang aku telah
jatuh ke dalam perangkapnya yang begitu mempesona. Sorot mata itu,
telaga bening yang memancarkan kesejukan lembah itu, telah
memberikan sebuah kedamaian dan kehangatan yang tak terbilang
nikmatnya. Maya, ah, Maya. Ia telah menggoda dan mengusik diriku.
Aku kembali teringat pada Catatan Harian Maya. Kenapa aku dengan
mudah dan gegabah menjanjikan akan mengantarkan ke penerbit? Aku
penasaran dan diaduk oleh berbagai pikiran tentang Catatan Harian
Maya. Tanganku tiba-tiba meraih Catatan Harian Maya Gita dan segera
membacanya.

Jakarta, 12—15 Mei 1998.


HURU-HARA MELANDA IBU KOTA
Jakarta porak-poranda. Aku mencatat aneka tanda semiotika. Orang-
orang kehilangan alamat, tempat singgah, dan arah yang dituju. Yang
ada cuma rasa gerah dan amarah yang membuncah. Lihatlah, berjuta
pengunjuk rasa memadati jalan-jalan utama di Jakarta. Iring-iringan
mahasiswa seperti armada semut, merangkak menuju gedung
DPR/MPR Senayan. Penjaga keamanan dengan gas air mata atau
senapan di tangan berusaha keras menghalangi mereka. Penjaga
keamanan itu bergerak seperti robot membentuk barikade pertahanan
berlapis-lapis.
Ketika para pengunjuk rasa terus merangsek maju, aparat dengan
sigap menyemprotkan gas air mata. Kerusuhan pun tidak bisa
dihindarkan.Bentrok antara para pengunjuk rasa dengan aparat
keamanan tak bisa dihindarkan. Korban-korban mulai berjatuhan. Di
beberapa tempat, pembakaran ban bekas mengepulkan asap hitam.
Suasana makin membara ketika mobil-mobil digulingkan lantas dibakar
oleh massa tak berkepala. Entah, siapa dan darimana berjuta massa
tak berkepala itu. Sepak terjang mereka seperti kesetanan. Gedung-
gedung pertokoan ludes dibakaroleh massa tak berkepala itu.
Penjarahan terjadi di mana-mana. Korban bergelimpangan akibat
pentungan, lemparan batu, atau karena tembakan aparat keamanan.
Yang menyedihkan, pemerkosaan pada etnis tertentu terjadi di tengah
kerusuhan itu.
Jakarta membara! Manusia telah kehilangan fitrahnya. Kehilangan akal
sehatnya. Mereka telah berubah menjadi binatang berbisa di tengah-
tengah rimba plaza. Anehnya, para wakil rakyat sibuk berkutat dengan
masalah uang rapat komisi, harga dasi, dan mobil dinas. Di layar TV
kulihat para wakil rakyat dengan semangat membara menggigit dan
mengunyah apel, jeruk, atau meneguk minuman mineral dengan
ekspresi tenang. Memang di raut wajah Harmoko terbaca sebuah
kekalutan, namun ia dengan cerdik menyembunyikan perasaan
gundah itu di balik senyumannya yang khas. Sebuah senyuman yang
menyimpan kesombongan, kepahitan, dan kelicikan.
Di Istana Merdeka, Presiden Soeharto sedang mengumpulkan para
cendekiawan, budayawan, ulama, dan beberapa orang lagi. Aku
mencatat ada Cak Nur, Cak Nun, ulama NU, petinggi Muhammadiyah,
dan beberapa intel yang tingkah lakunya seperti siluman: “sluman-
slumun-slamet!” Entah apa yang ada di benak Soeharto saat itu.
Mungkin ia sedang mengumpulkan pendapat dari berbagai kalangan
untuk membuat sebuah serangkaian siasat terhadap situasi terakhir
yang menggambarkan kekacauan itu. Mungkin juga Soeharto sedang
mencari kosa kata yang paling pas mewadahi siasat atau keputusan
yang akan diambil di tengah huru-hara itu.
Seperti diduga banyak orang, benar, atas desakan para mahasiswa
yang dengan penuh semangat mengusung api reformasi, Soeharto
pada akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai presiden
RI. Keputusan ini memang terlihat briliant, tetapi juga terkesan
menyedihkan. Sedihnya, dengan pengunduran diri itu tentunya
sebentuk tanggung jawab dilepaskan. Itulah kecerdikan dan sekaligus
kelicikan Soeharto dalam percaturan dunia politik. Dengan
mengumpulkan cendekiawan, budayawan, dan alim-ulama, ternyata
Soeharto cuma menemukan satu ungkapan khas, “Tidak jadi presiden,
tidak patheken”. Kutahu, kosa kata patheken telah lama diusung oleh
Cak Nun di atas berbagai panggung dan wacana kemanusiaan. Itulah
barangkali sumbangsih Cak Nun dalam panggung politik, kebudayaan,
dan dunia “cengegesan”. Soeharto mestinya berterima kasih pada Cak
Nun yang sepak terjangnya seperti siluman itu. Ya, tampaknya
Soeharto tidak mau terusik oleh berbagai persoalan bangsa dan
negara yang akibat krisis ekonomi berkepanjangan telah
meluluhlantakkan segala sendi-sendi kehidupan bangsa dan negeri ini.
Dan ungkapan yang paling tegas, lugas, dan dapat menyembunyikan
realitas adalah ungkapan “tidak patheken” itu.

Aku menghela nafas. Dada ini terasa penuh sesak. Sejenak aku
berhenti membaca hasil goresan Maya Gita. Gila! Ini sebuah kegilaan
yang luar biasa, pikirku. Bagaimana mungkin seorang Maya Gita yang
profesinya sebagai pramuria bisa merekam peristiwa aktual ke dalam
Catatan Harian yang begitu mempesona? Aku yakin, Maya Gita
bukanlah wanita biasa. Kerja pramuria, mungkin, dilakukannya pada
malam hari. Dan siangnya, ia manfaatkan untuk larut dalam kemelut
hidup di hiruk-pikuk Jakarta. Tak heran jika Maya Gita dapat leluasa
menuliskan pengalaman kesehariannya dan mengemas realitas secara
tandas. Aku memutuskan untuk meneruskan membaca Catatan Harian
Maya Gita.

TRAGEDI TRISAKTI-SEMANGGI
Aksi damai yang digelar oleh mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi itu terkurung di Kampus Trisakti. Di dalam kampus, mahasiswa
terus meneriakkan dan mengobarkan api reformasi. Tapi polisi, dari
jembatan Semanggi memberondongkan tembakan secara membabi-
buta ke arah mahasiswa yang sedang berorasi. Mayat-mayat
bergelimpangan. Kekacauan tak dapat dihindarkan. Mahasiswa pun
berhamburan, tumpah seperti kaca-kaca yang pecah.
Aku melangkah menuju ke suatu tempat yang kuanggap aman. Di
tempat itu, kudengar aneka jeritan, tangisan, dan ketakutan yang luar
biasa. Penjual rokok menangisi kios dagangannya yang terbakar.
Mahasiswa mandi keringat dan berusaha menyembunyikan ketakutan
dengan berteriak mengutuk peristiwa pembantaian itu. Seorang anak
kecil kulihat pingsan di tengah jalan. Ia telah kehilangan kedua orang
tuanya.
Puing-puing gedung, aneka kertas, dan ban-ban bekas tampak
berserakan di sepanjang jalan. Kupungut sebuah brosur yang
tergeletak di dekat kaki. Kuperiksa dan kubaca isi brosur itu:
SOEHARTO TIDAK UBAHNYA SEPERTI SULTAN AGUNG. SOEHARTO
ADALAH RAJA YANG SECARA NISBI DINAUNGI OLEH PAYUNG
DEMOKRASI, HAK-HAK ASASI MANUSIA, DAN PROGRAM PEMBANGUNAN
PENGENTASAN KEMISKINAN. PAYUNG YANG MELINDUNGI ITU SEJATINYA
CUMA IMITASI.
IA, SOEHARTO, JENDERAL YANG SELALU TERSENYUM ITU SEJATINYA
MENGGENGGAM KEKUASAAN UNTUK KEPENTINGAN DIRI SENDIRI DAN
KRONINYA. KONGLOMERAT DAN PENGUSAHA DIJADIKAN
BEGUNDALNYA. BIROKRAT, APARAT, DAN ORANG BERJIWA BANGSAT
DIJADIKAN ALAT UNTUK MELANGGENGKAN KEKUASAANNYA.
PRIBADI ATAU MASSA YANG BERSEBERANGAN DISIKAT. DPR/MPR DAN
LEMBAGA TINGGI NEGARA DIMANDULKAN. ABRI DIJADIKAN ANJING
YANG DENGAN SETIA MENJAGA MAJIKANNYA. KORUPSI, KOLUSI, DAN
NEPOTISME TELAH DIJADIKAN IDOLA DALAM PENYELENGGARAAN
NEGARA. KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME TELAH MENJADI WABAH DI
SETIAP SENDI-SENDI KEHIDUPAN BANGSA INI. INILAH WARISAN UTAMA
SOEHARTO PADA BANGSA DAN NEGARA INI.
PARA MENTERI TAK LEBIH SEBAGAI PION-PION YANG HARUS
MELINDUNGI SANG RAJA. KONFERENSI TINGKAT TINGGI HANYA
DIGUNAKAN UNTUK MENUMPUK UTANG. MEREKA SEMUA SEJATINYA
TELAH MEWARISKAN KEMISKINAN TUJUH TURUNAN. KINI TIBA SAATNYA
MEMBONGKAR ITU SEMUA.
HIDUP MAHASISWA! HIDUP REFORMASI! SEKALI REFORMASI,
SELAMANYA REFORMASI!
TERTANDA: AKTIVIS PROREFORMASI.

Aku berhenti sejenak membaca Catatan Harian goresan Maya. Hem, ini
sebuah kesaksian yang lumayan cerdas dan keras dalam upaya
menguak borok-borok demokrasi di negeri ini. Sebuah catatan
peristiwa yang panas dan keras, pikirku. Aku tidak menduga bahwa di
balik sosok Maya Gita yang begitu lembut dan anggun itu bergolak dan
bergejolak sebuah perhatian tentang iklim demokrasi di negeri ini. Aku
sama sekali tidak menduga bahwa dari sebuah kelembutan dan
keanggunan wanita dapat dibuahkan goresan sebuah kesaksian yang
begitu mengesankan.
Aku malu. Mestinya, profesiku sebagai wartawanlah yang menulis dan
mewartakan semua itu. Tetapi, bukankah iklim media massa di negeri
ini tidak cukup memberikan ruang untuk menulis berita secara apa
adanya? Pemberangusan sebuah media masih menjadi momok bagi
insan yang bergerak dalam bisnis media. Media mana yang rela
diberangus gara-gara sebuah kelugasan pemberitaan yang dibuat oleh
wartawan? Aku berusaha mencari sebuah pembelaan dan pembenaran
atas sikapku dalam menjalankan profesi sebagai wartawan. Tetapi,
bukankah aku juga seorang sastrawan? Sebagai sastrawan, mestinya
aku bisa turut berpartisipasi mengungkapkan carut-marutnya iklim
demokrasi di negeri ini. Ah, aku kalah selangkah dibanding apa yang
telah digoreskan oleh Maya Gita dalam Catatan Harian. Maya Gita
dengan kejujurannya telah menggoreskan sebuah kebenaran dalam
cerita yang digubahnya. Ia dengan lugas dan tandas telah memberikan
kesaksian tentang persoalan fundamental yang dihadapi bangsa ini:
masalah demokrasi!
Aku tercenung sejenak. Kembali aku teringat akan tawaranku kepada
Maya Gita untuk mengantarkan Catatan Harian ini ke penerbit.
Penerbit mana yang mau menerbitkan Catatan Harian yang keras dan
lugas? Aku tiba-tiba dilanda sebuah keraguan. Keraguan itu berusaha
kusingkirkan jauh-jauh. Pikiranku kini menerawang jauh
membayangkan peristiwa berdarah itu. Aku kembali teringat, waktu
itu, aku bersama-sama rekan wartawan bergegas menuju markas
kepolisian. Aku ingin tahu apa reaksi para jenderal atas peristiwa
berdarah itu.
Waktu itu, di Markas Besar Kepolisian RI kulihat telah banyak rekan-
rekan wartawan dari media cetak dan elektronika berseliweran. Mereka
tampaknya akan menggali informasi aktual tentang peristiwa yang
terjadi di Kampus Trisakti dan Jembatan Semanggi. Namun, aku dan
kawan-kawan yang berprofesi sebagai kuli disket itu dengan berbagai
dalih tidak diberi kesempatan untuk melakukan konfirmasi, cek dan
ricek, serta memperoleh bahan pemberitaan. Aku dan kawan-kawan
waktu itu, telah diusir seperti anjing-anjing kurap oleh petugas jaga.
Entah, itu atas perintah siapa, atau barangkali para petugas jaga itu
telah berimprivisasi dalam melaksanakan tugas? Aku tidak tahu. Aku
lebih memilih menyisih dari “markas penyiksaan dan pengusiran” itu.
Aku pun pulang ke rumah. Sesampai di rumah, kugoreskan sebuah
puisi yang mengungkapkan kejadian itu:

Aku pulang ke rumah melabuhkan resah


Resahku. Resah bangsaku. Resah yang tumbuh seperti kecambah.
Resah itu semakin lama kian membuncah
Resah itu lalu menjelma gelombang lautan
Lautan penderitaan!

O, alangkah terpuruk orang-orang yang digilas oleh gelombang


penderitaan, disapu oleh ombak ketidakadilan, di landa badai
kesewenang-wenangan!
Aku saksikan sampah-sampah berserakan:
sampah pejabat dan sampah birokrat membuat mampat selokan
sampah politisi dan sampah polisi mengalir di sungai-sungai.
Aku cari Nurani
O, di manakah Nurani bangsa ini bersembunyi ?
Pejuang demokrasi dicegat oleh aparat, lalu diusir
seperti anjing-anjing kurap
O, kiamat terasa semakin dekat

Api reformasi tak mampu membakar angkara. Tak kuasa


Membongkar semua. Semua semu semata.
Api reformasi cuma meluluhlantakkan bangunan yang kasat mata
Angkara murka tetap bertahta di singgasana
Ambisi masih duduk di kursi dijaga oleh berjuta perisai
O, reformasi! Kembalikan Nurani bagi pertiwi
O, tirani, enyahlah dari negeri ini!
3
Kukira, Ini Juga Sebuah Dunia Tanda
D
ISKOTEK ANTIQUE kembali menunjukkan aktivitasnya. Para pramusaji
seperti Bella, Sinta, Malla, dan Bellina telihat sibuk melayani tamu
yang hadir. Apapun yang diinginkan pengunjung yang sebagai raja itu
dilayani dengan baik oleh Bella, Sinta, Malla, dan Bellina. Kulihat Bella
sedang melayani dua lelaki muda pada sebuah meja yang penuh
dengan minuman whisky, bir, dan anggur Kolesom. Sinta terlihat asyik
ngobrol dengan lelaki tua berkepala botak. Malla terlihat ceria penuh
gelak tawa bersama seorang berdasi merah. Bellina kulihat gelisah
sendiri di Cafe. Malam ini, sesuai dengan janji, aku kembali duduk di
pojok cafetaria. Aku menunggu dan menunggu isyarat yang diberikan
oleh Maya Gita. Kulihat Maya Gita berada di stage mengumandangkan
lagu-lagu dari irama jazz, blues, hingga bosanova. Sebagai penghibur,
desah suara Maya lumayan bagus untuk seorang penyanyi di sebuah
diskotek. Sesekali Maya melirik ke arahku dan memberi isyarat dengan
tangannya bahwa orang yang kami tunggu telah menampakkan
kehadirannya.
Tepuk tangan menggemuruh ketika Maya mengakhiri lagu terakhir
berjudul Power of Love-nya Celine Dion. Seorang lelaki, entah siapa,
datang menggandeng tangan Maya menuju ke sebuah bangku yang
telah terisi seorang lelaki lain. Maya duduk di antara kedua lelaki itu.
Dari jauh, kulihat Maya menunjukkan rasa tidak senangnya kepada dua
lelaki itu. Maya kulihat resah dan tidak berdaya diapit oleh dua lelaki
itu. Aku melangkah mendekat dan duduk di sebuah bangku yang
kosong. Aku diam-diam bermaksud merekam isi pembicaraan Maya
dengan kedua lelaki itu. Kusadari bahwa perbutan merekam
pembicaraan orang tanpa izin bagi seorang yang berprofesi sebagai
wartawan merupakan aib yang tidak dapat diterima. Akan tetapi, untuk
melacak dan membongkar sebuah sindikat bisnis ilegal, apakah ada
ukuran norma yang perlu dijunjung tinggi? Ah, biarlah aku akan tetap
diam-diam merekam pembicaraan mereka. Sekali lagi, Maya
memberikan isyarat mata agar aku memulai beraksi dengan tape
recorder kecil yang kusembunyikan di balik baju. Klik, kupencet tombol
rekaman. Aku berharap Maya bisa memainkan sandiwaranya dengan
baik, sehingga data-data yang kuperlukan dapat kuperoleh.
“Sudah kubilang, Antony, aku tidak memiliki banyak waktu.”
Lelaki yang dipanggil Antony oleh Maya adalah lelaki yang cukup
tegap. Rambut lelaki itu ikal tak beraturan. Sorot pandangan lelaki
yang disebut Antony itu tampak liar. Sebuah kacamata hitam
bertengger di rambut ikal itu. Pakaian yang dikenakannya tampak
perlente. Logat bicaranya khas logat Betawi.
“Gue cuman ingin nyampein salam dari bokap ente. Bokap ente kini
lagi sekarat. Bokap ente mau bunuh diri dengan menyilet nadinye.
Untung, gue-gue ini bisa memberinya sedikit ‘asap kenikmatan’,
akhirnye bokap ente selamat, kagak jadi modar, cuman sekarat
doang.”
“Apa maksud kalian menceritakan semua itu?”
“Gini, Maya. Hutang bokap ente udah numpuk. Selama ‘di rantau’,
bokap ente kerjaannya cuman ngerepotin orang doang. Kini bisnis rada
seret lantaran bokap ente terus diuber-uber. Ke manapun lari dan
bersembunyi, bokap ente, selalu diuber-uber oleh si Buser brengsek
itu. Jadi...”
“Sekali lagi kunyatakan, aku tidak mau membantu bisnis itu. Urusan
ayah sakit dan banyak hutangnya, itu bukan urusanku. Ayah bagiku
adalah masa lalu. Secara biologis memang ia ayahku. Namun, secara
psikologis ia telah mengoyak hubungan kekeluargaan. Ayah telah
menggoreskan kenangan pahit yang begitu dalam. Tak terlupakan.”
“Ih, dasar anak kagak tau diuntung. Anak kagak tahu diri. Gue kagak
peduli”, ujar lelaki yang satu lagi.
Lelaki yang baru bersuara, tampaknya merupakan orang yang lebih
menunjukkan pengaruhnya daripada orang yang disebut Maya dengan
sebutan Antony itu.
“Pokoknya, ente harus nurut. Paling kagak ente bisa masarin itu
produk,” ancam lelaki berkumis tebal itu.
“Aku capek, Tommy. Dari dulu aku sudah bilang bahwa aku tidak mau
berurusan dengan bisnis itu. Jadi,...”
“Ente kagak usah banyak dalih. Pokoknye ente kudu ngebantu. Ente
telah lama kerja di ini diskotek. Ente bisa pake itu relasi buat nampung
barang-barang.”
“Hem, gimana ya? Aku perlu berpikir dulu, Tommy.”
“Mikir apaan lagi? Bokap ente sekarat. Die perlu obat. E, masih
berpikir. Udahlah, ente kagak usah ragu.”
Maya kulihat semakin gelisah. Dengan berbagai cara halus Maya
berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun tampaknya Tommy
kurang sabar menghadapi Maya yang selalu menolak ajakannya.
“Ton, ajak dia ke belakang!” ujar Tommy menunjukkan satu
pengaruhnya.
Tanpa menunggu perintah lagi, Antony berdiri kemudian menarik
tangan Maya menuju ke belakang diskotek. Tommy berjalan mengiringi
dari belakang. Gawat, pikirklu. Apakah yang harus kulakukan?
Menghubungi sekurity diskotek? Ah, ini konyol, pikirku. Apa yang dapat
diandalkan dari penjaga keamanan diskotek yang biasanya telah
menjalin ‘kerja sama’ dengan para pengunjung diskotek ini?
Apakah sebaiknya aku menelefon polisi? Ah, kukira belum cukup bukti
untuk mengontak polisi. Rekaman ini tidak cukup dijadikan alat bukti
bahwa Tommy dan Antony telah melakukan bisnis ilegal. Aku baru
memiliki beberapa kosa kata seperti ‘di rantau’, ‘Si Buser’, ‘Asap
kenikmatan’, dan ‘bisnis’. Kosa kata itu terlalu miskin dijadikan alat
bukti. Ah, apakah sebaiknya yang mesti kulakukan agar Maya tidak
terlalu jauh terlibat ke dalam jurang kesesatan itu? Kepalaku tiba-tiba
pusing memikirkan itu semua. Kepalaku tambah puyeng ketika
hentakan irama musik rock mengaduk-aduk diskotek ini. Berpasang-
pasang remaja kulihat berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik
cadas itu. Aku bertambah pusing ketika lampu diskotek silih berganti
mengikuti hentakan musik rock itu.
Arloji yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul
12.35 WIB. Kuputuskan untuk melangkah menuju belakang diskotek.
“Mau ke mana, Bung?” penjaga keamanan bertanya penuh selidik.
“Aku ada janji di belakang, “ kataku berbohong.
“Janji? Janji dengan siapa?” sergah penjaga keamanan.
“Bella,” jawabku asal menyebut nama yang pernah disebut oleh Maya.
“Bella atau Bellina?” tanyanya lagi penuh selidik.
“Bella!” jawabku tegas dan tandas.
“Oh ....”
Bibir penjaga keamanan itu pun membentuk lingkaran ketika
mengucapkan ‘oh’ itu. Aku melangkah menuju bagian belakang
diskotek. Aku kaget, ternyata di belakang diskotek ini terdapat
beberapa kamar berderet dengan pintu tertutup. Di setiap pintu kamar
itu terdapat nomor kamar terbuat dari kayu. Hem, persis seperti hotel,
pikirku. Suasana di belakang diskotek tampak sepi dan remang-
remang. Pandanganku beralih pada sebuah taman bunga yang di
tengah-tengahnya terbentang sebuah kolam. Kulihat beberapa bangku
tertata apik mengelilingi kolam itu dengan cita rasa estetika tinggi.
Beberapa lampu hias warna-warni berdiri di kesunyian taman. Tapi
kesan temaram tidak dapat hilang dengan aneka lampu warna-warni
itu.
Aku menuju ke salah satu bangku di dekat kolam itu. Aku duduk diaduk
oleh aneka pikiran kalut. Kukeluarkan sigaret dari kantong dan
kunyalakan. Baru beberapa hisap, mulutku terasa pahit. Kepalaku
bertambah pusing. Kubuang batang rokok itu persis di tempat sampah
tak jauh dari tempat duduk. Aku kembali diaduk oleh kecamuk pikiran
tentang Maya, narkoba, berita yang harus segera kurampungkan, dan
mengantarkan Catatan Harian Maya ke penerbit.
“Boleh, aku duduk?” seorang wanita setengah baya menyapaku.
“Hem, silakan,” aku agak geragapan dengan kehadiran wanita
berambut pendek dengan make up yang lumayan norak itu. Wanita itu
kukenal bernama Bellina.
“Nuggu siapa nih?” ujar Bellina seraya duduk dengan menyi-langkan
kaki kanannya di atas paha kaki kirinya.
“Ah, enggak, aku sedang ...”
“Kenapa Bung menyendiri?”
“Kalut”, jawabku sekenanya.
“Aku bisa membuat bung fresh kembali. Percayalah, aku pernah dilatih
dan diberikan dasar-dasar pijat untuk kebugaran. Kalau bung mau, ayo
kita coba.”
“Kepalaku pusing, “ aku berusaha mengelak.
“Itu soal kecil. Aku bisa menghilangkan pusing dengan beberapa kali
urut saja. Ayolah, kita coba.”
“Tapi....”
“Ayolah, dengan sedikit pijatan dan beberapa urut saja bung bisa
merasakan kebugarannya. Ayolah.”
Bellina memegang tanganku dan aku kemudian seperti sapi yang
diseret memasuki sebuah kandang. Sedikit pun aku tidak berontak
atau melepaskan tangan Bellina. Kami memasuki kamar nomor 2.
“Bung berbaring saja di situ.”
Bellina menunjuk pada ranjang yang dibalut dengan sprei bermotif
bunga. Ketika aku merebahkan diri di atas ranjang itu, hidung ini
disergap oleh bau parfum lembut. Parfum itu tampaknya sengaja
disemprotkan di atas sprei agar memberikan kesan tersendiri bagi
yang berbaring di atasnya.
“Siap, bung?” tanya Bellina sembari memegang punggungku.
Ketika tangan Bellina mulai beroperasi, memijat, dan mengurut,
kudengar suara dari arah kamar nomor 1. Suara itu adalah suara Maya,
Antony, dan Tommy.
“Ah, geli. Aku tidak tahan,” bisikku kepada Bellina. “Aku tidak sanggup
diurut!”
“Kalau gitu, apa yang mesti kulakukan bung?”
“Begini Bellina. Aku amat ngantuk dan ingin istirahat. Esok malam aku
janji akan bersamamu. Maaf, malam ini aku benar-benar ngantuk,“
bisiku agar suaraku tidak mengganggu kamar nomor 1.
Meskipun kecewa, Bellina dapat menerima pendapatku. Bellina
meninggalkan kamar setelah menerima uang pemberianku. Sepening-
gal Bellina, aku mulai menyiapkan tape recorder untuk merekam
pembicaraan di kamar nomor 1. Klik! Tape recorder siap merekam.
“Maya, boss bilang dan titip pesan, ente sesegera mungkin diminta
mengunjunginya.”
“Apakah maksud ayah dengan permintaannya itu?” suara Maya
terdengar jelas dan tegas.
“Gue kagak tahu. Kapan ente akan ke sana?”
“Begini, Tommy. Aku masih sibuk melayani para relasi di diskotek ini.
Beberapa hari lagi kupastikan aku akan mengunjungi ayah.”
“Okay. Kalau gitu, ente bisa manfaatin relasi buat bisnis ini. Ini stok
yang bisa ente bawa.”
“Begini saja, Tommy. Sabtu malam diskotek ini akan ramai dikunjungi
relasi. Kau bisa datang malam itu dengan membawa stok yang cukup.
Aku tidak berani membawa-bawa barang itu. Kau tahu, aku perempuan
yang selalu dicurigai. Beberapa waktu lalu saja ada beberapa aparat
yang mengadakan penggeledahan. Aku tidak mau ditangkap dan
dituduh sebagai pengedar barang-barang ilegal itu.”
“Okay. Trims atas bantuan ente. Tapi awas, ente jangan mangkir lagi.”
Lalu “Ton, ayo kita cabut dari sini. “
Klik, kumatikan rekaman. Sekali lagi kulihat arloji yang melingkar di
pergelangan tangan. Ah, hari sudah pagi. Aku menuju ke personal
komputer, Laptop, untuk menulis sebuah feature. Feature itu kuberi
judul “Sebuah Sindikat Pengedar Narkoba Siap Menjalankan Aksinya”.
Ah, judul ini terlalu eksplisit dan bombastis. Aku ubah judul itu menjadi
“Gerilya di Bawah Tanah, Strategi Setan Merah”. Di layar monitor
kubaca berulang-ulang konsep feature itu.

GERILYA DI BAWAH TANAH, STRATEGI SETAN MERAH


Orang-orang yang biasa hidup di dunia maya, yang biasa menghirup
asap kenikmatan, mereguk pil koplo, menghisap sabu-sabu dan
menyuntikkan cairan setan ke pangkal lengan adalah setan-setan
merah yang siap bergentayangan. Seperti setan, aksi dan sepak
terjang mereka sulit dilacak dan dikuak. Sebuah sindikat pengedar
narkoba yang disinyalir menjadi boron aparat kepolisian masih terus
menjalankan bisnisnya. Bisnis itu dikemas dan diatur dengan rapih.
Teknik dan strategi yang mereka lakukan memang cukup profesional.
Begitu prefesionalnya, mereka berhasil menyusupkan kader-kadernya
ke berbagai lapisan yang dianggap strategis: Bea Cukai, Kehakiman,
Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kepolisian Republik
Indonesia. Mereka menyisihkan dana untuk menyekolahkan anggota
sindikatnya dan setelah lulus mereka susupkan di berbagai instansi itu.
Di berbagai instansi strategis itu, anggota sindikat dapat memainkan
peranan dalam memperlancar peredaran narkoba. Dalam bisnis ini,
tampaknya uang menjadi raja. Raja yang mampu membeli apa saja:
jabatan, kedudukan, atau menyulap kemiskinan menjadi jutawan.Dari
berbagai sumber yang bisa dipercaya, mereka, para sindikat itu,
merencanakan pesta besar-besaran di sebuah diskotek terkenal di
kawasan ibu kota Sabtu pekan depan.
Aparat kepolisian yang selama ini berusaha memburu aksi para setan
itu, selalu menangkap ruang hampa. Setiap tempat yang dicurigai tiba-
tiba berubah menjadi ajang pertengkaran tanpa ada ujung dan
pangkalnya. Sebabnya cuma satu: aparat kepolisian selalu kehilangan
barang bukti untuk memberangus mereka. Mereka, para setan itu,
dengan leluasa lenyap di keremangan malam. Atau mereka dengan
pintar menyembunyikan barang bukti di sembarang tempat. Ketika
setan pengedar narkoba itu berjenis kelamin wanita, ia tak segan-
segan memasukkan barang haram itu ke dalam celana dalam, BH, atau
di sela-sela pantatnya. Polisi mana yang tega mengobok-obok celana,
BH, atau pantat wanita? Sungguh keterlaluan.
Di suatu tempat, pada kawasan yang tersembunyi, para pengedar
narkoba sedang melakukan siasat melakukan bisnis. Sang Boss, yang
dinyatakan sebagai buron, menyampaikan strategi pemasaran di
bawah tanah. Mereka menamakan strategi itu sebagai gerilya di bawah
tanah. Di tangan sang Boss, seperti biasanya tergenggam sebuah peta,
intruksi, dan rambu-rambu yang harus dilakukan oleh anak buahnya.
Di dalam peta itu tergambar dengan jelas aliran peredaran narkoba,
lengkap dengan denah lokasi, pengedar, dan sasaran yang dijadikan
bisnis. Untuk Rawa Badak, penanggung jawabnya adalah Tommy dan
dibantu oleh Antony. Barang yang harus mereka siapkan adalah
ekstasi, putauw, dan ganja. Untuk daerah Rawa Bangkai penanggung
jawabnya ialah Pingkai yang dibantu oleh Binjai. Untuk daerah Rawa
Belong penanggung jawabnya adalah Dieche dan dibantu oleh Riechi.
Begitu seterusnya. Setiap kawasan ada penanggung jawab dan
pembantu dalam melakukan gerilya.
“Tommy dan Antony kudu ekstra hati-hati. Selain Rawa Badak, yang
jadi tempat utama bisnis kita adalah Diskotek Antique. Di sana ada
Maya, anakku yang barangkali siap membantu.” begitu antara lain
instruksi sang Boss.
“Gerilya di Rawa Bangkai masih realtif aman dilakukan. Namun, kalian
berdua Pingkai dan Binjai, kewaspadaan adalah jaminan keselamatan.
Tetap waspada dan berhati-hatilah, sebab sekarang ini telah banyak
polisi berambut gondrong yang menyamar sebagai pembeli. Selain itu,
GRANAT siap melibatkan warga masyarakat. Jadi, berhati-hatilah.”
“Dan kau berdua, Dieche dan Reichi. Kalian harus lebih hati-hati lagi.
Kecerobohan yang kalian lakukan beberapa hari lalu jangan lagi
terulang. Kecerobohan tidak hanya akan mendatangkan petaka bagi
kalian berdua, tetapi juga merupakan alamat kiamat bagi bisnis kita.
Pendeknya, dengan berbagai cara kalian harus bisa mengecoh sepak
terjang aparat kepolisian dan GRANAT itu.”
Sepak terjang sindikat setan merah yang lincah perlu dikenal luas oleh
warga masyarakat ibu kota....
Sampai di sini aku berhenti menulis feature tentang sindikat peredaran
narkoba. Mataku terasa berat dan kelelahan terasa tak
tertanggungkan. Kuminum segelas kopi yang kuseduh sendiri. Mataku
sedikit terbuka, namun terasa aku kurang bergairah meneruskan
feature yang belum kurampungkan. Kubiarkan Laptop tetap menyala.
Perhatianku beralih pada Catatan Harian Maya. Catatan Harian Maya
itu benar-benar telah mengusik pikiranku. Aku kembali membuka dan
membacanya.

Kamar Pribadi, 25 Desember 2001.


HIDUP SEMAKIN KUYUP
Natal telah tiba. Di hari kelahiran Kristus yang dikeramatkan oleh kaum
kristiani ini, bagi keluargaku merupakan hari kelahiran berbagai
kesedihan. Ayah dinyatakan sebagai buron. Ayah lari dari kejaran polisi,
lari dari tanggung jawab keluarga, lari dari kenyataan dengan aneka
narkotika dan obat-obat terlarang. Gambar ayah yang disinyalir
sebagai bandar narkoba, hampir setiap hari terpampang di berbagai
penerbitan seperti koran, majalah, atau bahkan di tabloit dan di brosur-
brosur yang sengaja diperbanyak oleh aparat kepolisian dengan tulisan
yang dicetak tebal dan besar: DICARI! PENGEDAR NARKOBA KELAS
KAKAP. SIAPA SAJA MENGETAHUI KEBERADAAN BANDAR NARKOBA
YANG GAMBARNYA TERPAJANG INI, DIMINTA SEGERA MENGHUBUNGI
APARAT KEPOLISIAN SETEMPAT.
Hidup terasa kiamat. Aneka tulisan dan gambar ayah di berbagai
penerbitan itu telah meneror ketenangan kami. Meneror hatiku yang
kian membiru. Kedamaian di rumah ini lenyap bersama kaburnya ayah.
Ibu sering terusik setiap membaca koran atau menyaksikan
pemberitaan TV. Tekanan darah ibu naik, naik, dan naik hingga
puncaknya ibu memanen stroke. Beruntung, pihak kepolisian tidak
sempat melacak alamat rumah kami di Jogja. Seandainya pihak aparat
berhasil mencium alamat rumah ini kukira kiamat berada di ambang
pintu. Brosur-brosur dan pemberitaan itu telah meneror keluarga ini.
Hatiku terasa diiris-iris menghadapi kenyataan bahwa ayah yang
selama ini merupakan tumpuan harapan keluarga ternyata dinyatakan
sebagai seorang buron. Ah, alangkah pedih dan perih menerima
kenyataan itu. Sungguh, di mataku sosok ayah selama ini adalah
seorang yang penuh perhatian kepada keluarga, mencukupi setiap
kebutuhan, dan bertanggung jawab. Tetapi, kenyataan bahwa ayah
dinyatakan sebagai buron kelas kakap meruntuhkan rasa simpati dan
kepercayaanku selama ini. Batinku sungguh tersiksa menghadapi
kenyataan pahit ini. Tetapi yang lebih tersiksa adalah ibu. Setiap
menghadapi teror media massa dan brosur itu, ibu tampak gemetaran
menahan emosi yang meluap-luap. Akibat dari semua itu fatal bagi ibu.
Ibu jatuh sakit. Ibu tak lama setelah itu terpaksa harus opname di
rumah sakit lantaran komplikasi stroke, darah tinggi, dan penyakit hati.
Adik-adikku yang sedang studi di kota Jogjakarta terpaksa harus
bekerja untuk menambah keperluan studi dan beaya hidupnya.
Aku sebagai anak tertua terpaksa mencari pekerjaan. Kutinggalkan
kota Jogja. Aku menuju Jakarta untuk mencari pekerjaan. Mencari
pekerjaan di kota besar seperti Jakarta ternyata tidaklah gampang.
Pencari kerja sedikitnya harus punya pengalaman atau keterampilan
khusus. Jakarta ternyata adalah raksasa yang dengan keangkuhannya
mempermainkan aku. Dibantingnya aku di bumi yang keras.
Dilambungkannya aku ke angkasa dan setelah itu dicampakkannya
nasibku di sepanjang jalan, gang, dan lorong-lorong gelap kehidupan.
Beruntung aku punya sedikit bakat menyanyi. Itulah sebabnya aku jadi
pramuria di diskotek Antique merangkap sebagai pramusaji bagi para
tamu yang mengunjungi diskotek. Pimpinan diskotek mewanti-wanti
agar penampilanku tidak mengecewakan. Aku diminta menjunjung
prinsip yang dijadikan motto diskotek Antique, bahwa “TAMU ADALAH
RAJA”.
Hari pertama bekerja di diskotek Antique adalah hari yang menyiksa.
Entah apa sebabnya, setiap lelaki yang mengunjungi diskotek ini
memiliki mata liar setiap memandang aku. Aku di hadapan mereka
seperti kelinci yang sulit menghindarkan diri dari terkaman serigala.
Serba salah. Salah tingkah. Perjuanganku saat itu ialah bagaimana
sekeras mungkin menghindarkan diri dari setiap ajakan tamu yang
oleh pimpinan diskotek harus dipandang sebagai RAJA. Ah, ternyata
jadi permaisuri itu tidak selalu menyenangkan. Padahal sewaktu kecil
sering kubayangkan betapa enaknya menjadi permaisuri yang duduk di
samping raja.
Pernah kuimpikan bisa hidup penuh kedamaian, kenyamanan, dan
ketenangan. Semua impian itu harus terkubur dalam-dalam ketika
serangkaian peristiwa pahit harus menimpa keluarga ini. Pernah
kubayangkan bahwa bekerja sebagai pramuria dapat menjanjikan
masa depan, mencukupi kebutuhan pengobatan ibu, dan membantu
beaya kuliah adik-adikku. Tetapi, ah, semua itu cuma fatamorgana
semata. Maya! Kecuali jika aku mau melayani keinginan para tamu
seperti Bella, Sinta, Malla, atau Bellina, maka taburan uang memang
lumayan mudah diperoleh. Tetapi, aku lebih memilih hidup bersih,
tanpa noda-noda gelora nafsu yang menggebu dari para tamu yang
mengunjungi diskotek ini. Aku lebih memilih menjauhkan diri dari asap
rokok, gulungan ganja, kristal-kristal merah, dan jarum-jarum neraka
itu. Tentang narkoba, biarlah ayah yang tergoda. Bagiku, cukuplah bila
ada orang lain mau menghormatiku.
Beruntung beberapa hari yang lalu aku berkenalan dengan Mas Busyet
Kertadjaja, seorang wartawan dan sekaligus seorang sastrawan. Di
hadapan Busyet Kertadjaja aku merasa menjadi orang. Setidak-
tidaknya aku merasa punya harga diri. Lebih-lebih ketika Busyet
Kertadjaja menawarkan jasanya untuk membawa goresanku ke
penerbit. Tawarannya itu bagiku sungguh melegakan. Dengan royalty
buku cerita itu, harapanku cuma satu: bisa membiayai operasi ibu dan
membantu beaya kuliah adik-adikku. Tetapi, entah kenapa, telah
setahun tidak ada kabar tentang penerbitan buku cerita itu. Busyet
Kertadjaja pun tidak kuketahui di mana rimbanya.

Aku kaget membaca goresan Maya Gita. Ia menyebut sebuah nama:


Busyet Kertadjaja. Busyet Kertadjaja adalah sahabat karib yang
profesinya seperti aku, yakni sama-sama tertarik hidup di dunia
penulisan. Aku jadi teringat pada janjiku untuk mengantarkan Catatan
Harian ke penerbit. Sebelum ini Busyet Kertadjaja juga telah
menjanjikan penerbitannya. Tetapi, tampaknya usaha Busyet
Kertadjaja itu kandas lantaran cerita Maya Gita ini tergolong keras.
Kukira, tidak ada satu pun penerbit yang mau menerbitkan cerita
sekeras ini. Era reformasi yang tengah bergulir tidak menjamin setiap
penerbit mau menerbitkan cerita realita yang pahit. Kulihat weker di
atas meja menunjukkan waktu pukul 12.15. Ah, malam telah larut. Aku
harus tidur. Tapi mata ini tak mau dipejamkan. Janjiku untuk
mengantarkan Catatan Harian ke penerbit merupakan siksaan
tersendiri bagiku. Catatan Harian hasil goresan Maya Gita benar-benar
telah mengacau-kan pikiranku.

4
Aku, Maya, dan Satu Dunia

S
EDAPNYA kopi pagi hari yang diseduh oleh tangan-tangan kasih.
Kureguk kopi sekali lagi. Maya dan aku duduk di sofa cokelat tua yang
di beberapa bagiannya telah dijahit. Seperti telah kuceritakan pada
bagian yang lalu, kali ini aku kembali mengedarkan pandanganku ke
segenap ruangan rumah kontrakan Maya Gita. Di dinding sebelah kiri
kulihat sebuah lukisan sepasang kuda yang secara ekspresif dan
impresionis menggambarkan pergolakan dua nafsu yang oleh budaya
China disebut Yin dan Yang: nafsu jahat berperang melawan kemauan
baik. Dua nafsuyang saling berlawanan itu disimbolisasikan dengan
seekor kuda berwarna merah dan kuda yang lain berwarna biru.
Seperti pernah kuceritakan, kedua kuda itu sedang bergulat pada latar
kelabu yang berdebu.
Pandanganku bergeser ke arah kanan. Tepat di sudut ruangan, seperti
beberapa hari yang lalu, aku lihat koleksi benda-benda bernilai seni
tinggi. Selain lukisan kuda itu, masih berada pada posisi semula
lukisan Matahari karya Affandi yang ekspresif, lukisan potret
Perempuan karya S. Sudjojono yang naturalis, lukisan batik dan
kaligrafi Amri Yahya yang mempesona. Beberapa koleksi baru berupa
keramik China, poster Harry Porter, dan Meteor Garden, kulihat
bersanding dengan topeng karya Danarto terpajang simetris
bersanding dengan beberapa patung Asmat lengkap berbagai aksesori
dari berbagai daerah Jogja, Bali, Aceh, Papua, pedalaman Kalimantan.
Semuanya tertata dengan harmonis.
Di sebelah kanan tempat aku duduk, seperti dulu, kulihat rak buku.
Maya melangkah menuju rak buku dan membawa koleksi terbaru:
Malam Tamansari (Buku Kumpulan Puisi, terbitan Yayasan untuk
Indonesia, 2000), Mengenal Sosok Amri Yahya sebagai Seniman (Pidato
Promotor pada Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris
Causa kepada Amri Yahya di Universitas Negeri Yogyakarta, 2001), dan
Berkenalan dengan Puisi (Diterbitkan oleh Gama Media, 2002)
semuanya ditulis oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti; Sekilas kubaca Cara
Menulis Kreatif yang disusun oleh Jabrohim, Chairul Anwar, dan
Suminto A. Sayuti. Aku memeriksa koleksi terbaru itu. Aku dan Maya
lantas mendiskusikan Malam Tamansari hingga larut malam. Aku
memilih sebuah puisi berjudul “Larut Malam di Sebuah Persinggahan”
pada halaman 25. Puisi itu kubacakan di hadapan Maya. Maya dengan
penuh kesabaran dan antusias menyimak larik-larik puisi goresan
Empu Sastra dari Jogja:

sepotong bulan. Rimbun dedaunan


menyala harapan. Entah sejak kapan
swara kutut kerasukan
dan desah petualang terbanting ditelan kehidupan

ada sosok bayang dibalik kabut


sepotong ampak yang menggenggam rahasia
larut malam di sebuah persinggahan
betapa aku merasa tua dan kelelahan
sebagai Adam tempo hari telanjang dan tersia
sia-sia mencari suaka dan pengampunan
Balong, 1980

Usai pembacaan puisi itu, Maya dan aku sama-sama merasa hidup
dalam satu dunia. Dunia maya, dunia ilusi, dunia fatamorgana. Isi,
nuansa, dan bobot persoalan yang diungkapkan oleh penyair terasa
pas dengan beban masalah yang kini harus kami pecahkan. Aku dan
Maya tidak lain adalah Adam dan Hawa yang sia-sia mendapatkan
suaka pengampunan. Sebagai manusia, aku dan Maya sama-sama
merasa kecil dan tidak berdaya menghadapi luasnya kehidupan. Kami
berdua sejatinya merindukan “sepotong bulan”, “Rindu dedaunan”,
“menyala harapan”. Aku dan Maya saat ini serupa “petualang yang
terbanting ditelan kehidupan”. Karena hidup dalam satu dunia, aku dan
Maya sedang terobsesi untuk menulis Biografi Ayah Maya yang
berdarah-darah. Ayah Maya yang menjadi buron pengedar narkoba
adalah “sosok bayang dibalik kabut” atau “sepotong ampak yang
menggenggam rahasia”. Dalam bayangan gelap malam yang larut ini,
aku dan Maya seakan berada di sebuah persinggahan. Aku dan Maya
merasa sama-sama kelelahan seperti Adam dan Hawa yang terbanting
ke dunia yang begitu ganasnya. Sebuah dunia yang dihuni oleh
berbagai macam sifat dan karakter manusia.
Malam telah larut, bahkan terlalu larut, tak terasa aku telah larut
dalam diskusi panjang sehari-semalam. Aku dan Maya makin larut ke
dalam perbincangan yang berlarat-larat, dari soal politik, ekonomi,
masalah HAM, gerakan feminimisme, terorisme kreasi Amerika, hingga
soal-soal yang kini sedang kukumpulkan bahan-bahannya: peredaran
narkoba, lengkap dengan pernik-perniknya. Ketika Maya menyiapkan
kopi susu ke belakang, kembali kubuka Catatan Harian Maya.

Jakarta, 15—21 Mei 2002.


REFLEKSI 4 TAHUN REFORMASI
JALAN MACET. Ribuan pengunjuk rasa dari berbagai LSM, BEM
MAHASISWA, SPSI, KONTRAS, LBH, LASKAR JIHAT, GRANAT dan lain-lain
lengkap dengan aksesori dan spanduk melakukan orasi di sepanjang
jalan. AKSI DAMAI, begitu tulisan pada ikat kepala para pengunjuk rasa.
Apa yang mereka tuntut kali ini? Mataku mulai membaca aneka tulisan
pada spanduk, kertas karton, dan kardus bekas. Pada kain spanduk
yang dikerjakan dengan rapih tercetak dengan tegas aspirasi: USUT &
TUNTASKAN TRAGEDI TRISAKTI-SEMANGGI. JANGAN BIARKAN
REFORMASI MATI. SERET PARA JENDERAL KE MAHKAMAH
INTERNASIONAL. RAKYAT TIDAK BUTUH KEKERASAN. RAKYAT BUTUH
KEDAMAIAN. GANYANG NARKOBA.
Tulisan-tulisan itu dengan tegas dan keras terpahat di spanduk-
spanduk yang dilihat dari cara penggarapannya tampak mewah dan
profesional. Tampaknya penyandang dana, entah siapa mereka, rela
menyisihkan hartanya untuk membiayai sebuah aksi. Spanduk-
spanduk itu dipajang di badan mobil mewah, truk, dan sebagian
diusung oleh para pengunjuk rasa. Dari arak-arakan kendaraan,
kualitas spanduk, dan berbagai kelengkapan yang dibawa oleh para
pengunjuk rasa, secara langsung mengabarkan bahwa dana dan beaya
sebuah perjuangan tidaklah murah, begitu pikirku.
Pada sebuah keranda yang diusung pengunjuk rasa terbaca: NURANI
TELAH MATI. INNA LILAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN. Di belakang keranda
yang diusung itu para pengunjuk rasa membentangkan spanduk yang
bertuliskan: WAKIL RAKYAT BUKAN PADUAN SU

Anda mungkin juga menyukai