Catatan Kuliah
Catatan Kuliah
penduduk pedesaan di Indonesia. Jika potensi dahsyat ini bisa kita manfaatkan tidaklah sulit
untuk menjadikan komoditi ini menjadi andalan di sektor perkebunan. Hanya butuh sedikit
sentuhan teknis budidaya yang tepat, niscaya harapan kita optimis menjadi kenyataan.
pusat budidaya kopi ada di Amerika Latin, Amerika Tengah, Asia-pasifik dan Afrika.
Sedangkan konsumen kopi terbesar ada di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Wajar
Kopi merupakan tanaman tahunan yang bisa mencapai umur produktif selama 20
tahun. Untuk memulai usaha budidaya kopi, pilihlah jenis tanaman kopi dengan
tanaman, teknik budidaya, penanganan pasca panen dan Pemasaran produk akhir.
Kopi yang dijual di dunia biasanya adalah kombinasi dari biji yang dipanggang dari
dua varietas pohon kopi: arabika dan robusta. Perbedaan di antara kedua varietas ini terutama
terletak pada rasa dan tingkat kafeinnya. Biji arabika, lebih mahal di pasar dunia, memiliki
rasa yang lebih mild dan memiliki kandungan kafein 70% lebih rendah dibandingkan dengan
biji robusta.
Kopi Indonesia saat ini menempati peringkat ketiga terbesar di dunia dari segi hasil
produksi. Kopi di Indonesia memiliki sejarah panjang dan memiliki peranan penting bagi
sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi.
Hama penggerak buah kopi atau disebut dengan PBKO disebabkan oleh
Hypothenernus hampei ferr . hama yang dikenal dengan hama bubuk kopi (BBK) menyerang
berbagai jenis kopi mulai dari ujung buah atau biji baik masih berada di pohon maupun sudah
jatuh di tanah. Hama yang masih menjadi family Scolytdae dan berodo Coleoptera bisa
stepiana deri dan bisa menggunakan jamur Beaveria basaiana. Sanitasi dapat dilakukan
dengan petik buah (mengambil semua buah yang rusak di pohon), rampasan (pengambilan
semua buah yang di panen) dan lelesan (Mengambil buah yang ada di tanah). Untuk
pencegahan terjadinya hama ini maka buat atau atur naungan tidak menjadikan kondisi lahad
gelap.
disarankan melakukan pengaturan naungan agar pertanaman tidak terlalu gelap, atau
masak serentak seperti USDA 762 untuk arabika dan BP 234 dan BP 409.
Kutu dompolan atau kutu putih Planococcus citri, yang disarankan dikendalikan
dengan pengaturan naungan, maupun cara kimia dengan insectisida propoksur (poxindo 50
WP).
Kutu hijau (Coccus viridis) atau kutu coklat (Saesetia coffeae), pengendalian yang
disarankan dengan pemeliharaan dan pemupukan yang berimbang atau cara kimia
menggunakan tepung Sividol atau Karbaril maupun penyemprotan insektisida (Anthio 330n
EC).
PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK KOPI TERHADAP
TANAMAN KOPI (hypothenemus hampei).
Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian
hama yang dihasilkan melalui pertemuan panel ahli FAO di Roma tahun 1965. Di Indonesia,
konsep PHT mulai dimasukkan dalam GBHN III, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden
No. 3 tahun 1986 dan undang-undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, dan
dijabarkan dalam paket Supra Insus, PHT menjadi jurus yang dianjurkan (Arifin 2003).
Adapun tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktifitas
pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak merugikan tanaman,
dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian. Dari segi substansial, PHT adalah suatu
sistem pengendalian hama dalam konteks hubungan antara dinamika populasi dan
lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai teknik yang kompatibel untuk menjaga
agar populasi hama tetap berada di bawah ambang kerusakan ekonomi. Dalam konsep PHT,
pengendalian hama berorientasi kepada stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi serta
sosial. Dengan demikian, pengendalian hama dan penyakit harus memperhatikan keadaan
populasi hama atau patogen dalam keadaan dinamik fluktuasi disekitar kedudukan
kesimbangan umum dan semua biaya pengendalian harus mendatangkan keuntungan
ekonomi yang maksimal.
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas
kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian.
Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi
hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat
menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat
berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi
(AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada
biaya pengendalian. Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring
populasi hama dan penyakit perlu dilaksanakan (Atman Roja 2009).