Anda di halaman 1dari 16

PRESENTASI KASUS

ANAK LELAKI 7 HARI DENGAN ATRESIA ESOFAGUS


DENGAN FISTULA ESOFAGEAL DISTAL

Disusun Oleh:
Karla Monica Praenta (G991905031)
Periode: 21 Oktober 2019 - 25 Oktober 2019

Pembimbing:
dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik

Ilmu Bedah Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.

Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

ANAK LELAKI 7 HARI DENGAN ATRESIA ESOFAGUS DENGAN


FISTULA ESOFAGEAL DISTAL

Hari, tanggal : Rabu, 23 Oktober 2019

Oleh:

Karla Monica Praenta (G991905031)

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Chief Residen

dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA dr. Megasiwi

2
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : By.Ny. S
Umur : 7 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur kehamilan : 39 minggu
BB Lahir : 3200 gram
BB Sekarang : 2800 gram
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sidoasih Barat No. 44, RT/RW 05/05,
Laweyan, Surakarta
Nomor RM : 0147XXXX
Tanggal Masuk : 26 September 2019
Tanggal Periksa : 17 Oktober 2019

2. Keluhan Utama
Muntah saat diberi ASI

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke RSDM karena muntah setiap diberi ASI.
awalnya, pasien dibawa ke dokter spesialis anak karena kejang pada 6
bulan yang lalu. Oleh dokter anak tersebut pasien didiagnosa dengan kejang
demam plus dan rutin berobat setiap bulan. Dari dokter anak tersebut
kemudian dikonsulkan ke poli endokrinolo gi anak RSUD Dr. Moewardi
karena ditemukan testis kanan pasien tidak turun. Dari bagian endokrinologi
anak kemudian dikonsulkan ke bagian bedah anak untuk tindakan.
Pasien juga memiliki riwayat operasi tulang leher 6 bulan yang lalu
karena trauma leher setelah jatuh dari sepeda 1 bulan sebelum operasi.

3
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat trauma kepala : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

6. Riwayat Persalinan
Usia Kehamilan : 39 minggu
Jenis persalinan : Sectio Caesarea
Penyulit : Polihidramnion
BB Bayi Lahir : 3200 gram

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat dengan pembiayaa BPJS kelas III.

B. PEMERIKSAAN FISIK
St. CNS
Membuka mata : +
Menangis kuat : +
Gerak aktif :+
Ass : S5
4
St. Cardiovaskular
Laju nadi : 140 x/menit
Bising :-
ADP : Kuat
CRT : <3 detik
Akral hangat :+
Inotropik : Dobutamin
Ass : dbn on dobutamine

St. Respirasi
Laju napas : 45 x/menit
SpO2 : 99% dengan NK 3 lpm
NCH :-
Retraksi :-
Merintih :-
Sianosis :-
Ass : Gangguan napas ringan ok nasal kanul

St. GIT
BAB : 15 ml
BU :+
OGT :+
Muntah : 5 ml
Residu : 4 ml
Ikterik :-
Ass : Feeding intolerance

St. GU
BAK : 340 ml
BC : + 55,46 ml
D : 4,34 ml/kg/jam
Ass : dbn

5
St. Infeksi
Demam :-
Suhu : 37,2° C
St. CNS :-
St. CV :+
St. Respirasi :+
St.GIT :+
St. GU :+
St. Hematologi :-
St. Hemodinamik :-
Ass : sepsis

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah Rutin (17 Oktober 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

HEMATOLOGI RUTIN
Hb 13,2 g/dl 11.5 –
15.5
Hct 41 % 35 – 45

AL 28,1 103 / L 4.5 – 11.0

AT 300 103 / L 150 – 450

AE 4.48 106/ L 4.50 –


5.90
KIMIA KLINIK
GD 63 mg/ 60 – 140
S dl
Creatinine 0.4 mg/ 0.9 – 1.3
dl
Ureum 13 mg/ <50
dl
ELEKTROLIT
Natrium darah 135 mmol/L 136 – 145

6
Kalium darah 4.2 mmol/L 3.3 – 5.1

Calsium Ion 1.25 mmol/L 1.17 –


1.29
HEPATITIS
HbsAg Rapid Nonreacti Nonreacti
ve ve

2. Pemeriksaan Radiologi (26 September 2019)


Pemeriksaan OMD dan Baby Gram

Ekspertise OMD : menyokong gambaran atresia esofagus tipe B dengan


fistula di bagian distal
Ekspertise Baby Gram : gambaran atresia esofagus tipe B, pneumonia,
terpasang gastric tube dengan tip setinggi VTh 3D

D. ASSESMENT
Atresia esofagus dengan fistula tracheoesofageal distal
Post gastrostomy ai atresia esofagus

E. PLANNING
Tracehotomy dextra extrapleura
Tutup fistel trakheoesofageal
Anastomose esofagus end to end.

7
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Atresia esofagus (AE) merupakan kelainan kongenital yang ditandai
dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus
bagian distal. AE dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus (FTE), yaitu
kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus
dengan trakea. Kelainan ini sering disertai dengan kelainan bawaan penyerta
seperti kelainan system kardiovaskular, saluran cerna, salurann kemih,
system saraf pusat, dan musculoskeletal.
AE merupakan kelaianan kongenital yang cukup sering dengan
insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup.
Insidensi AE di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di
dunia, insidensi bervariasi dari 0,4 – 3,6 per 10.000 kelahiran hidup. Insidensi
tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500 kelahiran hidup.
Masalah pada atresia esofagus adalah ketidakmampuan untuk
menelan, makan secara normal, bahaya aspirasi termasuk karena saliva
sendiri dan sekresi dari lambung (Blair, 2019).

B. Embriologi
Secara umum telah diterima bahwa primordial respirasi merupakan
evaginasi ventral dari lantai foregut postfaringeal pada awal gestasi minggu
ke empat dan apeks paru primitif terletak pada bagian caudal evaginasi ini.
Pada masa pertumbuhan cepat, trakea yang terletak di ventral berpisah dari
esofagus yang terletak di dorsal. Menurut sebuah teori, trakea berpisah akibat
pertumbuhan cepat longitudinal dari primordial respirasi yang menjauh dari
foregut. Teori lain menyatakan bahwa trakea pada awalnya merupakan
bagian dari foregut yang belum berpisah kemudian berpisah karena proses
pembentukan apeks paru kearah kranial. Proses ini berhubugan dengan pola
temporospatial dari gen Sonic hedgehog (Shh) dan pembelahan selanjutnya.
Proses pemisahan foregut berlangsung ke arah kranial yang akan
menyebabkan perpisahan trakeoesofageal. Lebih lanjut pemisahan epitel
foregut ini ditandai dengan peningkatan apoptosis. Belum jelas bagaimana
8
ekspresi gen ini menyebabkan apoptosis
Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa defek primer diakibatkan
tidak membelahnya foregut akibat kegagalan pertumbuhan trakea ataupun
kegagalan trakea untuk berpisah dari esofagus. Menurut kedua teori ini
atresia esofagus proksimal bukan merupakan malformasi primer tetapi
sebagai hasil pengaturan kembali foregut proksimal. Teori kegagalan
pemisahan ini menghubungkan keberadaan celah trakeoesofageal pada aresia
esofagus dengan FTE. Teori lain menyatakan bahwa atresia esofagus
proksimal merupakan malformasi sebagai akibat dari persambungan antara
trakea dengan esofagus distal. Teori kegagalan pemisahan menyatakan
bahwa FTE merupakan persambungan foregut dorsal sedangkan teori atresia
primer menyatakan bahwa fistula tumbuh dari trakea menuju esophagus
(Kronemer K, 2018).

C. Etiologi
Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum
diketahui. Terdapat laporan yang menghubungkan atresia esofagus dalam
keluarga. Terdapat 2% resiko apabila saudara telah terkena kelainan ini.
Kelainan ini juga dihubungkan dengan trisomi 21, 13 dan 18. angka kejadian
pada anak kembar dinyatakan 6x lebih banyak dibanding bukan kembar.
Saat ini, banyak yang percaya bahwa perkembangan terjadinya
atresia esofagus tidak berhubungan dengan genetik. Debat mengenai proses
embriopatologi ini terus berlangsung, akan tetapi hanya sedikit
perkembangan yan didapat. Teori His lama menyatakan lateral infolding
membagi foregut menjadi esofagus dan trakea, tetapi penemuan di bidang
embriologi manusia tidak mendukung teori ini.
Pada tahun 1984, O’Rahily menyatakan bahwa terdapat fix cephalad
point dari pemisahan trakeoesofageal, dengan elemen dari trakeobronkial dan
esofageal memanjang menuju kaudal. Teori ini kurang cocok untuk atresia
esofagus, tetapi menjelaskan TEF sebagai defisiensi aau kegagalan mukosa
esofagus, sebagai pertumbuhan linear organ pada pembelahan selular dari
epitel esofagus.
Pada tahun 1987, Kluth menyatakan septal trakeoesofageal
memegang peranan penting dalam perkembangan atresia esofagus. Berdasar
9
proses embriopatologik dalam perkembangan meskipun masih tahap awal,
tetapi telah terjadi diferensiasi antara trakea dan esofagus, dimana jarak
diantara keduanya terlalu dekat sehingga tidak terjadi pemisahan. Ia juga
menyatakan bahwa gangguan vaskularisasi juga dapat berperan dalam
terjadinya aresia esofagus ataupun fistula.
Pada tahun 2001 Oxford dan lainnya menyatakan bahwa kesalahan
posisi ventral ektopik dari notochord pada embrio berusia 21 hari gestasi
dapat menyebabkan gangguan lokus gen, gangguan apoptosis pada foregut
dan jenis jenis atresia esofagus. Kondisi ini dapat terjadi karena variasi
pengaruh teratogen pada masa gestasi awal seperti kembar, paparan racun,
atau kemungkinan aborsi (Blair, 2019).

D. Patogenesis dan Patofisiologi


Motilitas dari esophagus selalu dipengaruhi pada atresia esophagus.
Gangguanperistaltic esophagus biasanya paling sering dialami pada bagian
esophagus distal. Janin dengan atresia tidak dapat dengan efektif menelan
cairan amnion. Sedangkan pada atresia esophagus dengan fistula
trkeoesofageal distal, cairan amnion masuk melaalui trakea kedalam usus.
Polihydramnion bisa terjadi akibat perubahan dari sirkulasi amnion pada
janin.
Neonates dengan atresia tidak dapat menelan dan akan mengeluarkan
banyak sekali air liur atau saliva. Aspirasi dari saliva atau air susu dapat
menyebabkan aspirasi pneumonia. Pada atresia dengan distal TEF, sekresi
dengan gaster dapat masuk keparu-paru dan sebaliknya, udara juga dapat
bebas masuk dalam saluran pencernaan saat bayi menangis ataupun
mendapat ventilasi bantuan. Keadaan-keadaan ini bisa menyebabkan
perforasi akut gaster yang fatal. Diketahui bahwa bagian esophagus distal
tidak menghasilkan peristaltic dan ini bisa menyebabkan disfagia setelah
perbaikan esophagus dan dapat menimbulkan reflux gastroesofageal.
Trakea juga dipengaruhi akibat gangguan terbentuknya atresia
esophagus. Trakea abnormal, terdiri dari berkurangnya tulang rawan trakea
dan bertambahnya ukuran otot tranversal pada posterior trakea. Dinding
trakea lemah sehingga mengganggu kemampuan bayi untuk batuk yang akan
mengarah pada munculnya pneumonia yang bisa berulang-ulang. Trakea
10
juga dapat kolaps bila diberikan makanana atupun air susu dan ini akan
menyebabkan pernapasan yang tidak efektif, hipoksia atau bahkan bisa
menjadi apneu.

E. Variasi Atresia Esofagus


Terdapat variasi dalam atresia esofagus berdasar klasifikasi anatomi.
Menurut Gross of Boston, variasi atresia esofagus beserta frekuensinya
adalah sebagai berikut:
a. Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%)
b. Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%)
c. Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%)
d. Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%)
e. Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%)
f. Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%)

Gambar 1. Variasi Atresia Esofagus

F. Diagnosis
Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atersia esophagus,
antara lain:
a. Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut)
b. Sianosis
c. Batuk dan sesak napas
d. Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esophagus yang
buntu dan regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke dalam jalan
napas
e. Perut kembung, karena udara melalui fistel masuk ke dalam lambung
dan usus
11
f. Oligouria, karena tidak ada cairan yang masuk
g. Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti
kelainan jantung, atresia rectum atau anus.

G. Penatalaksanaan
Pada anak yang telah dicurigai menderita atresia esophagus, bayi
tersebut harus segera segera dipindahkan ke bagian neonatal atau pediatrik
yang memiliki fasilitas medis. Tindakan bedah harus segera dijadwalkan
sesegera mungkin.
Sebagai penatalaksanaan preoperasi, perlu diberi tindakan pada bayi
dengan AE. Posisi tidur anak tergantung kepada ada tidaknya fistula, karena
aspirasi cairan lambung lebih berbahaya dari saliva. Anak dengan fistula
trakeo-esofagus ditidurkan setengah duduk. Anak tanpa fistel diletakkan
dengan kepala lebih rendah (posisi Trendelenberg). Suction 10F double
lumen di gunakan untuk mengeluarkan sekret dan mencegah aspirasi selama
pemindahan. Bayi diletakan pada incubator dan tanda vital terus di pantau.
Akses vena harus tersedia untuk memberi nutrisi, cairan dan elektrolit, dan
sebagai persiapan. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis.
Bayi dengan distress pernafasan memerlukan perhatian khusus,
seperti intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Tekanan intra abdomen
yang meningkat akibat udara juga perlu di pantau. Seluruh bayi dengan AE
haus dilakukan echocardiogram untuk mencari kelainan jantung.
Tidak dilakukan tindakan merupakan pilihan pada bayi dengan
sindroma Potter (agenesis renal bilateral) dan trisomi 18 karena angka
kematian tahun pertama pada bayi ini lebih dari 90%. Bayi dengan kelainan
jantung yang tidak bisa dikoreksi atau perdarahan intra ventrikel grade 4 juga
sebaiknya tidak di operasi.Anak dipersiapkan untuk operasi sesegera
mungkin. Pembedahan dapat dilakukan dalam satu tahap atau dua tahap
tergantung pada tipe atresia dan penyulit yang ada. Biasanya dilakukan
dengan membuat stoma pada esophagus proksimal dari gastrostomi.
Penutupan fistel, anastomosis esophagus, atau interposisi kolon dilakukan
kemudian hari setelah janin berusia satu tahun.
Atresia esophagus ditangani dengan tindakan bedah. Persiapan
12
operasi untuk bayi baru lahir mulai umur 1 hari antara lain :
a. Cairan intravena mengandung glukosa untuk kebutuhan nutrisi bayi.
b.Pemberian antibiotic broad-spectrum secara intra vena.
c. Suhu bayi dijaga agar selalu hangat dengan menggunakan incubator,
spine dengan posisi fowler, kepala diangkat sekitar 45o.
d.NGT dimasukkan secara oral dan dilakukan suction rutin.
e. Monitor vital signs.
Pada bayi premature dengan kesulitan benapas, diperlukan perhatian
khusus. Jelas diperlukan pemasangan endotracheal tube dan ventilator
mekanik. Sebagai tambahan, ada resiko terjadinya distensi berlebihan
ataupun rupture lambung apabila udara respirasi masuk kedalam lambung
melalui fistula karena adanya resistensi pulmonal. Keadaan ini dapat
diminimalisasi dengan memasukkan ujung endotracheal tube sampai kepintu
masuk fistula dan dengan memberikan ventilasi dengan tekanan rendah.
Echochardiography atau pemerikksaan EKG pada bayi dengan
atresia esophagus penting untuk dilakukan agar segera dapat mengetahui
apabila terdapat adanya kelainan kardiovaskular yang memerlukan
penanganan segera.
Pada umumnya operasi perbaikan atresia esophagus tidak dianggap
sebagai hal yang darurat. Tetapi satu pengecualian ialah bila bayi premature
dengan gangguan respiratorik yang memerlukan dukungan ventilatorik.
Udara pernapasan yang keluar melalui distal fistula akan menimbulkan
distensi lambung yang akan mengganggu fungsi pernapasan. Distensi
lambung yang terus-menerus kemudian bisa menyebabkan rupture dari
lambung sehingga mengakibatkan tension pneumoperitoneum yang akan
lebih lagi memperberat fungsi pernapasan.
Pada keadaan diatas, maka tindakan pilihan yang dianjurkan ialah
dengan melakukan ligasi terhadap fistula trakeaesofageal dan menunda
tindakan thoratocomi sampai masalah ganggua respiratorik pada bayi benr-
benar teratasi. Targetnya ialah operasi dilakukan 8-10 hari kemuudian untuk
memisahkan fistula dari memperbaiki esophagus.
Pada prinsipnya tindakan operasi dilakukan untuk memperbaiki
abnormalitas anatomi. Tindakan operasi dari atresia esophagus mencakup
antara lain : 1.) Operasi dilaksanakan dalam general endotracheal anesthesia
13
dengan akses vaskuler yang baik dan menggunakan ventilator dengan
tekanan yang cukup sehingga tidak menybabkan distensi lambung. 2.)
Bronkoskopi pra-operatif berguuna untuk mengidentifikasi dan mengetahui
lokasi fistula. 3.) Posisi bayi ditidurkan pada sisi kiri dengan tangan kanan
diangkat di depan dada untuk dilaksanakan right posterolateral thoracotomy.
Pada H-fistula, operasi dilakukan melalui leher karena hanya memisahkan
fistula tanpa memperbaiiki esophagus. 4.) Operasi dilaksanakan
thoracotomy, dimana fistula ditutup dengan cara diikat dan dijahit kemudian
dibuat anastomisis esophageal antara kedua ujung proximal dan distal dan
esophagus. 5.) Pada atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal, hampir
selalu jarak antara esofagus proksimal dan distal dapat disambung langsung
ini disebut dengan primary repair yaitu apabila jarak kedua ujung esofagus
dibawah 2 ruas vertebra. Bila jaraknya 3,6 ruas vertebra, dilakukan delaved
primary repair. Operasi ditunda paling lama 12 minggu, sambil dilakukan
cuction rutin dan pemberian makanan melalui gastrostomy, maka jarak kedua
ujung esofagus akan menyempit kemudian dilakukan primary repair. Apabila
jarak kedua ujung esofagus lebih dari 6 ruas vertebra, maka dicoba dilakukan
tindakan diatas, apabila tidak bisa juga maka esofagus disambung dengan
menggunakan sebagai kolon.
Pasca Operasi pasien diventilasi selama 5 hari. Suction harus
dilakukan secara rutin. Selang kateter untuk suction harus ditandai agar tidak
masuk terlalu dalam dan mengenai bekas operasi tempat anastomisis agar
tidak menimbulkan kerusakan. Setelah hari ke-3 bisa dimasukkan NGT untuk
pemberian makanan.

H. Komplikasi
Resiko yang ditimbulkan pasca pembedahan adalah akibat dari
pembedahan itu sendiri, akibat obat anestesi yang digunakan, perdarahan,
cedera saraf dan pneumotoraks.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah pembedahan, meliputi:
a. Dismotilitas esophagus, yang terjadi akibat kelemahan otot-otot dinding
esophagus. Pada keadaan ini membutuhkan tindakan khusus saat bayi akan
makan atau minum.

14
b. Hampir 50% dari pasien akan mengalami gastroesophageal refluks disease
(GERD) pada masa kanak-kanak atau dewasa. GERD merupakan suatu
keadaan dimana terjadinya aliran balik isi lambung ke dalam esophagus.
Keadaan ini memerluka pengobatan khusus.
c. Trakeoesofageal fistula yang berulang.
d. Kesulitan menelan (disfagia) yang dapat disebabkan oleh tersangkutnya
makanan pada bekas pembedahan. Kesulitan bernafas dan batuk. Hal ini
berhubungan dengan lambatnya pengosongan makanan di esophagus oleh
karena tersangkutnya makanan oleh bekas pembedahan atau aspirasi makanan
ke dalam trakea.

I. Prognosis
Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat
penyulit pada paru. Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa
faktor resiko, antara lain berat badan lahir bayi, ada atau tidaknya komplikasi
pneumonia dan kelainan congenital lainnya yang menyertai. Prognosis
jangka panjang tergantung pada ada tidaknya kelainan bawaan lain yang
mungkin multiple (Sjamsuhidayat, 2014).

15
DAFTAR PUSTAKA

Blair G. 2019. Esophageal Atresia With Or Without Trakheoesophageal Fistula.


Hassan Rusepno, Alatas Husein. Atresia Esofagus. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta.
Infomedika Jakarta, 1998; 199-201.
Kronemer K. 2018. Esophageal Atresia/Tracheoesophageal Fistula. Infomedika
Jakarta
Sjamsuhidayat R, De Jong Wim. 2014. Fistel dan Atresia. Buku Ajar Ilmu Bedah,
Edisi ke-2. Jakarta, EGC. Penerbit Buku Kedokteran; 502-3.
Spitz L. 2015. Esophageal Atresia And Tracheoesophageal Malformation in Pediatric
Surgery. USA, Elsevier Saunders; 352-370

16

Anda mungkin juga menyukai