Disusun oleh:
Akhlis Mufid Auliya G99172028
Karla Monica Praenta G991905031
Maulidi Izzati G991903034
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE(K)
0
BAB I
PENDAHULUAN
Respon stres baik akibat trauma fisik atau sepsis akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada sistem metabolik dan hormonal dalam rangka mempertahankan
homeostasis tubuh. Respon stres yang berlangsung intensif dan lama akan berhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Pada pasien dalam kondisi kritis,
sulit untuk melakukan mekanisme pertahanan, sehingga dapat dengan mudah mengalami
ketidakseimbangan yang dapat mengancam homeostasis tubuh. Respon metabolik diawali
ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan penurunan aktivitas metabolik secara
keseluruhan dan berlangsung selama 12-24 jam, dan berlanjut pada fase flow dengan
puncak fase ini adalah sekitar 3-5 hari. Selain itu terjadi hipermetabolisme protein dan
glukosa, serta perubahan pada cairan dan elektrolit. Respon hormonal akan diaktivasi
aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang salah satu dampaknya adalah
mencetuskan sinyal anti inflamasi sistemik, ditandai dengan penurunan kadar beberapa
mediator proinflamasi. Mediator inflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) mengeluarkan
substrat dari jaringan host untuk membantu aktivitas limfosit T dan B. Mediator inflamasi
berperan dalam terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS), dan dapat
berkembang menjadi multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Penyembuhan luka merupakan proses dinamis yang kompleks yang ditandai
dengan adanya serangkaian peristiwa yang terjadi pada hampir semua jenis kerusakan
jaringan mulai dari goresan kulit sampai infark miokard yang pada awalnya menimbulkan
peradangan sampai nantinya terjadi perbaikan dari jaringan yang mengalami kerusakan
akibat cedera tersebut. Pada fase awal reaksi inflamasi, neutrofil dan makrofag akan
masuk ke dalam jaringan yang mengalami cedera atau luka akibat adanya berbagai faktor
kemotaktik (Bryan, 2012; Bylund, 2014). Sel-sel ini akan meproduksi Reactive Oxygen
Spesies (ROS) yang dapat memberikan efek menguntungkan maupun merugikan pada
jaringan sekitarnya. Selain diproduksi oleh neutrofil, ROS yang dapat memberikan efek
bakterisidal ini juga diproduksi oleh sel yang sedang mengalami proliferasi serta
mempunyai peranan yang penting dalam intraseluler signaling sebagai tanggapan adanya
berbagai rangsangan ekstraseluler, sebagai contoh Hidrogen peroksida akan terlihat
dalam jumlah terbatas dan menginduksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
pada proses penyembuhan luka yang akan terekspresi dalam keratinosit serta mendukung
1
juga peningkatan angiogenesisnya. Sebaliknya produksi ROS yang berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan mengganggu proses penyembuhan luka. Enzim
phosphotyrosine fosfatase dan antioksidan dengan berat molekul rendah seperti
glutathione memegang peranan penting dalam regulasi redoks selular terhadap
homeostasis seluler yang terjadi karena produksi ROS yang berlebihan dapat
mengganggu fungsi komunikasi antar sel dan akhirnya mempengaruhi proses
penyembuhan luka (Luchi, 2010; Vermeij and Backendorf, 2010).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Tipe ROS
ROS terdiri dari dua kelompok. Kelompok radikal bebas antara lain superoxide
anion (O2-), hydroxyl radicals (OH-), dan peroxyl radicals (RO2-). Sedangkan
golongan nonradikal misalnya hydrogen peroxide (H2O2), dan organic peroxides
(ROOH). Golongan non radikal selanjutnya akan mengambil bagian dalam
kaskade reaksi yang menghasilkan radikal bebas (Hahn et al., 2018).
Tabel 1. Berbagai tipe ROS beserta perbedaannya
3
3. Sumber Pembentukan
Berbagai macam ROS dapat bersumber dari dalam tubuh (intrinsic) atau dari luar
tubuh (ekstrinsik). Radiasi sinar rontgent atau sinar UV merupakan sumber
pembentukan ROS dari luar tubuh karena sinar tersebut dapat melisikan air
menjadi radikal OH. Selain itu ion logam seperti Fe2+, Co2+, Cu+ juga dapat
bereaksi dengan oksigen atau hydrogen peroksida (H2O2), menghasilkan OH.
Nitric Oksida, suatu senyawa penting untuk realsasi pembuluh darah selain
merupakan senyawa radikal bebas, juga dapat beraksi dengan superoksida
menghasilkan peroksinitrit yang kemudian membentuk radikal OH. Sumber ROS
yang lain adalah berasal dari respiratory burst dari macrofag yang teraktifkan.
Aktivasi makrofag ini menyebabkan peningkatan penggunaan glukosa melalui
lintasan penrose fosfat yang dipakai untuk mereduksi NADP menjadi NADPH,
dan peningkatan penggunaan oksigen yang dipakai untuk mengoksidasi NADPH
guna menghasilkan superoksida dan halogen radikal sebagai agen yang sitotoksik
untuk membunuh mikroorganisme yang telah difagosit (Abdal Dayem et al.,
2017).
4
4. Target ROS
ROS dikenal dapat memberikan kerusakan pada beberapa biomolekul, seperti
lemak, protein dan DNA (Das and Roychoudhury, 2014)
5. Peran ROS
Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif yang diproduksi dalam jumlah yang
normal, penting untuk fungsi biologis, seperti sel darah putih yang menghasilkan
H2O2 untuk membunuh beberapa jenis bakteri dan jamur serta pengaturan
pertumbuhan sel, namun ia tidak menyerang sasaran spesifik, sehingga ia juga
akan menyerang asam lemak tidak jenuh ganda dari membran sel, organel sel,
atau DNA, sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi sel
(Winarsi, 2007). Namun tubuh diperlengkapi oleh seperangkat sistem pertahanan
5
untuk menangkal serangan radikal bebas atau oksidan sehingga dapat membatasi
kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sistem pertahanan antioksidan ini
antara lain adalah enzim Superoxide Dismutase (SOD) yang erdapat di
mitokondria dan sitosol, Glutathione Peroxidase (GPX), Glutathione reductase,
dan catalase (Jackson, 2005, Singh, 1992). Selain itu terdapat juga sistem
pertahanan atau antioksidan yang berupa mikronutrien yaitu β-karoten, vitamin C
dan vitamin E (Hariyatmi, 2004). Sistem pertahanan ini bekerja dengan beberapa
cara antara lain berinteraksi langsung dengan radikal bebas, oksidan, atau oksigen
tunggal, mencegah pembentukan senyawa oksigen reaktif, atau mengubah
senyawa reaktif menjadi kurang reaktif (Winarsi, 2007). Namun dalam keadaan
tertentu, produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif melebihi sistem
pertahanan tubuh, kondisi yang disebut sebagai stres oksidatif (Agarwal et al.,
2005). Pada kondisi stres oksidatif, imbangan normal antara produksi radikal
bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan antioksidan alami tubuh
untuk mengeliminasinya mengalami gangguan sehingga menggoyahkan rantai
reduksi-oksidasi normal, sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif jaringan.
Kerusakan jaringan ini juga tergantung pada beberapa faktor, antara lain: target
molekuler, tingkat stres yang terjadi, mekanisme yang terlibat, serta waktu dan
sifat alami dari sistem yang diserang (Winarsi, 2007).
B. LUKA
1. Definisi
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
Luka memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya:
a. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi
dan proliferasi)
6
b. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling
c. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam
beberapa minggu setelahnya
d. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
e. Kekuatan maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007)
Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa
bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Akan
tetapi, penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor, baik yang
bersifat lokal maupun sistemik (Monaco and Lawrence, 2003).
2. Jenis Luka
Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
a. Luka Akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan
dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria
luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan
waktu yang diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
b. Luka Kronik
Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka
gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap
terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus
tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus
dekubitus, neuropati perifer ulkus decubitus.
3. Fase penyembuhan luka
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling
terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka.
Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka
terdiri dari (Enoch and Leaper, 2005):
a. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler
yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya adalah
7
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-
sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler
yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriktor yang
mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi
penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya
berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena
stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan
adanya substansi vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi edema
jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga
mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler.
Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di
daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag
yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses
penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah (MacKay
and Miller, 2003):
1) Sintesa kolagen
2) Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
3) Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
4) Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta
terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai
pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya eritema,
hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3
atau hari ke-4.
8
Gambar 1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)
b. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia)
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam
aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan
mempertautkan tepi luka (Diegelmann and Evans, 2004).
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki
dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast
sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi)
serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat,
fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan
baru (Mallefet and Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat
oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan
9
juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru
tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi
fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia. Respons yang
dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah (MacKay and Miller,
2003):
1) Proliferasi
2) Migrasi
3) Deposit jaringan matriks
4) Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam
luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan
luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau
obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena
terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi
kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi
yang cukup di daerah luka, karena biasanya pada daerah luka terdapat
keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan
angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi
yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors).
10
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen
oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan
kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis.
Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan
merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas
melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol
pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal
(David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).
11
akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang
berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan
parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi
kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak
mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses
penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil
yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu,
lokasi, serta luasnya luka (Enoch and Leaper, 2005; Mallefet and Dweck,
2008; Schwartz and Neumeister, 2006).
12
Gambar 4. Tahapan penyembuhan luka (Guo, 2010).
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari referat ini adalah :
1. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal yang sangat reaktif atau
molekul yang diproduksi secara intraseluler seperti mitokondria, retikulum
endoplasma, peroksisom yang mempunyai efek yang menguntungkan dan efek
merugikan bila berlebihan serta berperan pada proses penyembuhan luka melalui
mekanisme inflamasi, angiogenesis dan pembentukan matrik pada proses
penyembuhan luka.
2. ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang sangat
penting dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara
meningkatkan produksi platelet dan kolagen
B. SARAN
Saran
19
BAB IV
DAFTAR PUSTAKAAbdal Dayem, A., Hossain, M., Lee, S., Kim, K., Saha, S., Yang, G.-
M., Choi, H., Cho, S.-G., 2017. The Role of Reactive Oxygen Species (ROS) in
the Biological Activities of Metallic Nanoparticles. Int. J. Mol. Sci. 18, 120.
https://doi.org/10.3390/ijms18010120
Das, K., Roychoudhury, A., 2014. Reactive oxygen species (ROS) and response of
antioxidants as ROS-scavengers during environmental stress in plants. Front.
Environ. Sci. 2. https://doi.org/10.3389/fenvs.2014.00053
Hahn, J., Kienhöfer, D., Stoof, J., Csepregi, J.Z., Reinwald, C., Maueröder, C.,
Urbonaviciute, V., Munoz, L.E., Hultqvist, M., Podolska, M.J., Biermann, M.H.,
Leppkes, M., Herrmann, M., Harrer, T., Mocsai, A., Holmdahl, R., Schett, G.,
Hoffmann, M., 2018. ROS is the boss. Free Radic. Biol. Med. 120, S64–S65.
https://doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2018.04.213
Mittler, R., 2017. ROS Are Good. Trends Plant Sci. 22, 11–19.
https://doi.org/10.1016/j.tplants.2016.08.002
20