Anda di halaman 1dari 21

REFERAT BEDAH PLASTIK

PENGARUH REACTIVE OXYGEN SPECIES (ROS)


PADA LUKA AKUT

Disusun oleh:
Akhlis Mufid Auliya G99172028
Karla Monica Praenta G991905031
Maulidi Izzati G991903034

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE(K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


SUB BAGIAN BEDAH PLASTIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

Respon stres baik akibat trauma fisik atau sepsis akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada sistem metabolik dan hormonal dalam rangka mempertahankan
homeostasis tubuh. Respon stres yang berlangsung intensif dan lama akan berhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Pada pasien dalam kondisi kritis,
sulit untuk melakukan mekanisme pertahanan, sehingga dapat dengan mudah mengalami
ketidakseimbangan yang dapat mengancam homeostasis tubuh. Respon metabolik diawali
ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan penurunan aktivitas metabolik secara
keseluruhan dan berlangsung selama 12-24 jam, dan berlanjut pada fase flow dengan
puncak fase ini adalah sekitar 3-5 hari. Selain itu terjadi hipermetabolisme protein dan
glukosa, serta perubahan pada cairan dan elektrolit. Respon hormonal akan diaktivasi
aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang salah satu dampaknya adalah
mencetuskan sinyal anti inflamasi sistemik, ditandai dengan penurunan kadar beberapa
mediator proinflamasi. Mediator inflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) mengeluarkan
substrat dari jaringan host untuk membantu aktivitas limfosit T dan B. Mediator inflamasi
berperan dalam terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS), dan dapat
berkembang menjadi multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Penyembuhan luka merupakan proses dinamis yang kompleks yang ditandai
dengan adanya serangkaian peristiwa yang terjadi pada hampir semua jenis kerusakan
jaringan mulai dari goresan kulit sampai infark miokard yang pada awalnya menimbulkan
peradangan sampai nantinya terjadi perbaikan dari jaringan yang mengalami kerusakan
akibat cedera tersebut. Pada fase awal reaksi inflamasi, neutrofil dan makrofag akan
masuk ke dalam jaringan yang mengalami cedera atau luka akibat adanya berbagai faktor
kemotaktik (Bryan, 2012; Bylund, 2014). Sel-sel ini akan meproduksi Reactive Oxygen
Spesies (ROS) yang dapat memberikan efek menguntungkan maupun merugikan pada
jaringan sekitarnya. Selain diproduksi oleh neutrofil, ROS yang dapat memberikan efek
bakterisidal ini juga diproduksi oleh sel yang sedang mengalami proliferasi serta
mempunyai peranan yang penting dalam intraseluler signaling sebagai tanggapan adanya
berbagai rangsangan ekstraseluler, sebagai contoh Hidrogen peroksida akan terlihat
dalam jumlah terbatas dan menginduksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
pada proses penyembuhan luka yang akan terekspresi dalam keratinosit serta mendukung
1
juga peningkatan angiogenesisnya. Sebaliknya produksi ROS yang berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan mengganggu proses penyembuhan luka. Enzim
phosphotyrosine fosfatase dan antioksidan dengan berat molekul rendah seperti
glutathione memegang peranan penting dalam regulasi redoks selular terhadap
homeostasis seluler yang terjadi karena produksi ROS yang berlebihan dapat
mengganggu fungsi komunikasi antar sel dan akhirnya mempengaruhi proses
penyembuhan luka (Luchi, 2010; Vermeij and Backendorf, 2010).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. REACTIVE OXYGEN SPECIES / ROS


1. Definisi
Reactive oxygen species (ROS) didefinisikan sebagai senyawa kimia yang reaktif
terhadap radikal oksigen dan merupakan turunan dari oksigen. ROS dikenal
sebagai toksik yang dihasilkan dari metabolisme aerob namun dibutuhkan dalam
berbagai reaksi penting pengsinyalan. ROS dibutuhkan dalam proses biologis
dasar termasuk proliferasi dan diferensiasi dari sel. Kisaran reaktivitas yang
bervariasi yang ditunjukkan oleh setiap ROS sangat penting bagi dampaknya di
tingkat molekuler (Mittler, 2017).

2. Tipe ROS
ROS terdiri dari dua kelompok. Kelompok radikal bebas antara lain superoxide
anion (O2-), hydroxyl radicals (OH-), dan peroxyl radicals (RO2-). Sedangkan
golongan nonradikal misalnya hydrogen peroxide (H2O2), dan organic peroxides
(ROOH). Golongan non radikal selanjutnya akan mengambil bagian dalam
kaskade reaksi yang menghasilkan radikal bebas (Hahn et al., 2018).
Tabel 1. Berbagai tipe ROS beserta perbedaannya

3
3. Sumber Pembentukan
Berbagai macam ROS dapat bersumber dari dalam tubuh (intrinsic) atau dari luar
tubuh (ekstrinsik). Radiasi sinar rontgent atau sinar UV merupakan sumber
pembentukan ROS dari luar tubuh karena sinar tersebut dapat melisikan air
menjadi radikal OH. Selain itu ion logam seperti Fe2+, Co2+, Cu+ juga dapat
bereaksi dengan oksigen atau hydrogen peroksida (H2O2), menghasilkan OH.
Nitric Oksida, suatu senyawa penting untuk realsasi pembuluh darah selain
merupakan senyawa radikal bebas, juga dapat beraksi dengan superoksida
menghasilkan peroksinitrit yang kemudian membentuk radikal OH. Sumber ROS
yang lain adalah berasal dari respiratory burst dari macrofag yang teraktifkan.
Aktivasi makrofag ini menyebabkan peningkatan penggunaan glukosa melalui
lintasan penrose fosfat yang dipakai untuk mereduksi NADP menjadi NADPH,
dan peningkatan penggunaan oksigen yang dipakai untuk mengoksidasi NADPH
guna menghasilkan superoksida dan halogen radikal sebagai agen yang sitotoksik
untuk membunuh mikroorganisme yang telah difagosit (Abdal Dayem et al.,
2017).

Gambar 1. Berbagai sumber penyebab terjadinya ROS

4
4. Target ROS
ROS dikenal dapat memberikan kerusakan pada beberapa biomolekul, seperti
lemak, protein dan DNA (Das and Roychoudhury, 2014)

Gambar 2. Berbagai target ROS

5. Peran ROS
Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif yang diproduksi dalam jumlah yang
normal, penting untuk fungsi biologis, seperti sel darah putih yang menghasilkan
H2O2 untuk membunuh beberapa jenis bakteri dan jamur serta pengaturan
pertumbuhan sel, namun ia tidak menyerang sasaran spesifik, sehingga ia juga
akan menyerang asam lemak tidak jenuh ganda dari membran sel, organel sel,
atau DNA, sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi sel
(Winarsi, 2007). Namun tubuh diperlengkapi oleh seperangkat sistem pertahanan

5
untuk menangkal serangan radikal bebas atau oksidan sehingga dapat membatasi
kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sistem pertahanan antioksidan ini
antara lain adalah enzim Superoxide Dismutase (SOD) yang erdapat di
mitokondria dan sitosol, Glutathione Peroxidase (GPX), Glutathione reductase,
dan catalase (Jackson, 2005, Singh, 1992). Selain itu terdapat juga sistem
pertahanan atau antioksidan yang berupa mikronutrien yaitu β-karoten, vitamin C
dan vitamin E (Hariyatmi, 2004). Sistem pertahanan ini bekerja dengan beberapa
cara antara lain berinteraksi langsung dengan radikal bebas, oksidan, atau oksigen
tunggal, mencegah pembentukan senyawa oksigen reaktif, atau mengubah
senyawa reaktif menjadi kurang reaktif (Winarsi, 2007). Namun dalam keadaan
tertentu, produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif melebihi sistem
pertahanan tubuh, kondisi yang disebut sebagai stres oksidatif (Agarwal et al.,
2005). Pada kondisi stres oksidatif, imbangan normal antara produksi radikal
bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan antioksidan alami tubuh
untuk mengeliminasinya mengalami gangguan sehingga menggoyahkan rantai
reduksi-oksidasi normal, sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif jaringan.
Kerusakan jaringan ini juga tergantung pada beberapa faktor, antara lain: target
molekuler, tingkat stres yang terjadi, mekanisme yang terlibat, serta waktu dan
sifat alami dari sistem yang diserang (Winarsi, 2007).

B. LUKA
1. Definisi
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
Luka memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya:
a. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi
dan proliferasi)
6
b. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling
c. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam
beberapa minggu setelahnya
d. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
e. Kekuatan maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007)
Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa
bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Akan
tetapi, penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor, baik yang
bersifat lokal maupun sistemik (Monaco and Lawrence, 2003).

2. Jenis Luka
Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
a. Luka Akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan
dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria
luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan
waktu yang diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
b. Luka Kronik
Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka
gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap
terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus
tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus
dekubitus, neuropati perifer ulkus decubitus.
3. Fase penyembuhan luka
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling
terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka.
Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka
terdiri dari (Enoch and Leaper, 2005):
a. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler
yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya adalah
7
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-
sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler
yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriktor yang
mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi
penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya
berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena
stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan
adanya substansi vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi edema
jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga
mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler.
Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di
daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag
yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses
penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah (MacKay
and Miller, 2003):
1) Sintesa kolagen
2) Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
3) Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
4) Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta
terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai
pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya eritema,
hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3
atau hari ke-4.

8
Gambar 1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)
b. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia)
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam
aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan
mempertautkan tepi luka (Diegelmann and Evans, 2004).
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki
dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast
sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi)
serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat,
fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan
baru (Mallefet and Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat
oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan
9
juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru
tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi
fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia. Respons yang
dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah (MacKay and Miller,
2003):
1) Proliferasi
2) Migrasi
3) Deposit jaringan matriks
4) Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam
luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan
luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau
obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena
terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi
kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi
yang cukup di daerah luka, karena biasanya pada daerah luka terdapat
keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan
angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi
yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors).

10
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen
oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan
kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis.
Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan
merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas
melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol
pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal
(David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).

Gambar 2. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)


c. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan
berkualitas. Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan grunalasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan
serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10
setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi
akan dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga

11
akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang
berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan
parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi
kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak
mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses
penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil
yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu,
lokasi, serta luasnya luka (Enoch and Leaper, 2005; Mallefet and Dweck,
2008; Schwartz and Neumeister, 2006).

Gambar 3. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)

12
Gambar 4. Tahapan penyembuhan luka (Guo, 2010).

Pada individu sehat, penyembuhan berlangsung secara berurutan melalui


tiga fase yang saling tumpang tindih: (1) fase inflamasi, (2) fase proliferatif,
dan (3) fase remodelling. Stress dapat mempengaruhi perkembangan melalui
tahap-tahap melalui jalur kekebalan tubuh dan beberapa neuroendokrin.
Review saat ini berfokus pada peran interaktif glukokortikoid dan sitokin
(misalnya IL-8, IL-1α, IL-1β, IL-6, TNF- α, dan IL-10). Namun, sitokin
tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang penting untuk
penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1 (CXCL1), kemokin CC
ligan 2 (CCL2), granulocyte-macrophage colony- stimulating factor (GM-
CSF), protein chemotactic monosit-1 (MCP-1), makrofag inflamasi protien-1
alpha (MIP -lα), faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), mengubah
faktor pertumbuhan-β (TNF-β), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor
pertumbuhan platelet-derived (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblas
dasar (bFGF)
4. Gangguan Penyembuhan Luka
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terganggunya proses penyembuhan
luka diantaranya (Guo, 2010):
a. Faktor lokal
1) Insufisiensi arteri
a) Iskemia lokal menyebabkan terhambatnya produksi kolagen dan
13
terjadinya infeksi
b) Pemeriksaan ankle-brachial index harus dilakukan pada pasien dengan
luka di tungkai bawah dan pada pasien dengan risiko insufisiensi
vascular
c) Koreksi kelainan yang mendasari iskemi dengan graft pintas atau
penggunaan stent sebelum penyembuhan cedera iskemik dapat
berlangsung
2) Insufisiensi vena
a) Peningkatan tekanan vena menyebabkan ekstravasasi protein dan
mengurangi difusi oksigen
b) Peningkatan tekanan vena dapat menyebabkan edema
3) Edema
a) Menyebabkan iskemi dengan cara meningkatkan volume ekstrasel,
mengurangi difusi dan konsentrasi oksigen
b) Penting untuk melakukan kompresi dan elevasi untuk menghindari
edema
4) Infeksi
Infeksi invasif terjadi apabila kuantitas bakteri lebih dari 105 per gram
jaringan
a) Penyembuhan luka terganggu akibat berbagai mekanisme, termasuk
peningkatan pemecaan kolagen dan berkurangnya epitelisasi
b) Pembentukan parut hipertorfi meningkat
c) Penutupan menggunakan graft atau flap sulit berhasil
d) Luka terinfeksi yang terbuka harus ditangani dengan antibiotic yang
tepat dan dilakukan debridement hingga konsentrasi bakteri kurang
dari 105.
b. Faktor Sistemik
1) Diabetes Mellitus
a) Gangguan mikrovaskular dan makrovaskular yang berhubungan
dnegan diabetes mellitus dapat menyebabkan iskemi lokal
b) Hemoglobin terglikolisasi memiliki afinitas terhadap oksigen lebih
tinggi dari normal, sehingga pengantaran oksigen terganggu
c) Fungsi neutrofil terganggu, sehingga kemungkinan mendapat infeksi
14
meningkat
d) Neuropati perifer menyebabkan peningkatan lama dan kuat tekanan
pada jaringan karena sinyal untuk mengurangi nyeri dan tekanan
berkurang atau tidak ada
e) Apabila luka memiliki vaskularisasi yang memadai dan gula darah
terkendali (<180 mg/dL), luka operasi pada pasien diabetes dapat
sembuh secara baik
2) Malnutrisi
a) Persediaan protein cukup penting pada penyembuhan luka
b) Orang dewasa sehat tanpa luka memerlukan 35 kcal per kg per hari
untuk mempertaankan berat badan dan memerlukan 0,8-2 gram
protein per kg per hari
3) Defisiensi vitamin dan mineral
4) Kemoterapi
a) Menghambat kemampuan sumsum tulang untuk menghasilkan sel-sel
inflamasi, fase inflamasi pada penyembuhan luka terhambat
b) Infeksi luka juga meningkat
5) Merokok
a) Merokok meningkatkan karboksihemoglobin, sehingga mengurangi
pengantaran oksigen ke jaringan perifer
b) Nikotin menyebabkan vasokonstriksi perifer
6) Penuaan
Pada proses penuaan, terjadi berkurangnya fase inflamasi yang
menghambat proses penyembuhan pada luka.
5. Komplikasi Penyembuhan Luka
Keloid dan jaringan parut hipertrofik dapat timbul akibat reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam
teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya
menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu
tahun, sedangkan keloid tidak.
15
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian
sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan
penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep
madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid,
sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan
dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka
(Sjamsuhidajat and Jong, 1997).

C. PENGARUH REACTIVE OXYGEN SPECIES (ROS) TERHADAP LUKA


ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang sangat penting
dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara menginduksi tissue
factor (TF)-mRNA. TF yang dikeluarkan akibat adanya kerusakan jaringan akan
menginisiasi jalur koagulasi ekstrinsik dan pembentukan selanjutnya akan berasal dari
trombin. ROS yang dikeluarkan trombin akan menginduksi TF-mRNA dan meningkatkan
ketergantungan aktivitas permukaan prokoagulasi TF dalam mempotensiasi siklus
trombogenik (pembekuan) pembuluh darah yang rusak. ROS juga terlibat dalam
peningkatan platelet dan kolagen. Aktifasi dan agregasi platelet tersebut merupakan hal
penting dalam proses pembentukan bekuan darah yang dapat merangsang terjadinya
pelepasan berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dalam memulai proses penyembuhan
luka. Platelet yang diaktifkan selanjutnya mempotensiasi pembentukan bekuan dengan
cara pelepasan ROS dan RNS sehingga meningkatkan ekspresi TF (Levigne et al., 2017).
Berbagai faktor pertumbuhan akan dilepaskan oleh platelet, leukosit dan fibroblast
serta bertanggung jawab terhadap penarikan dan aktifasi neutrophil, monosit pada daerah
luka yang akan memulai terjadinya angiogenesis dan reepitelisasi. TGF yang dikeluarkan
oleh fibroblast dan lekosit akan menginduksi sel-sel dengan cara autokrin untuk
menghasilkan sitokin tambahan seperti TNF-α, IL-1b dan PDGF yang selanjutnya akan
mempotensiasi terjadinya respon inflamasi. PDGF akan mengaktifkan faktor transkripsi
Neutrophyl Factor kB (NF-kB) dan macrophage chemoattractant protein-1 dalam
merangsang timbulnya respon inflamasi. H2O2 bertindak sebagai second messenger
untuk growth factors seperti PDGF dan TGF sehingga dikatakan H2O2 sebagai perantara
16
respon inflamasi dari growth factors tersebut. Selain itu, ROS dan RNS dapat secara
langsung menarik neutrofil sebagai hasil penurunan ROS atau RNS karena pemberian
antioksidan seperti thioredoxin dengan cara menekan LPS yang dimediasi oleh adanya
leukosit. Macrophage inflammatory protein-1α (MIP-1α), terbukti mempunyai kontribusi
dalam penarikan, aktifasi monosit atau makrofag dan neutrophil, stres oksidatif yang
terjadi dapat meningkatkan stabilisasi transkripsi, translasi setelah stabilisasi MIP-1α
tersebut. H2O2 juga memfasilitasi melekatnya neutrofil, monosit pada matriks
ekstraseluler dan sel endotel, dengan cara memodulasi ekspresi molekul adhesi leukosit
tersebut. Perlekatan ini juga menginduksi ekspresi colony monocyte stimulating factor-1
(CSF-1) yang mendukung keberadaan monosit dan makrofag pada luka tersebut.
Sehingga dikatakan ROS dan RNS memegang peranan yang bermakna dalam fase
inflamasi suatu penyembuhan luka (Levigne et al., 2017).
ROS juga ternyata membantu dalam proses reepitelisasi dengan cara mengaktifkan
ekspresi kolagenase dan memediasi EGF signaling. H2O2 mengaktifkan Activator
Protein - 1 (AP-1) yang selanjutnya akan menginduksi ekspresi kolagenase (MMP-1)
(Ushio & Nakamura, 2018). Kolagenase membantu degradasi matriks ekstraseluler yang
selanjutnya membantu dalam migrasi sel yang terkait dengan luka. Satu dua hari setelah
cedera, keratinosit akan berproliferasi untuk mendukung kehadirannya pada luka tersebut.
H2O2 juga bertanggung jawab sebagai sinyal terhadap epidermal growth factor (EGF)
dalam meningkatkan proliferasi keratinosit (Levigne et al., 2017)(Ushio & Nakamura,
2018).
Hipoksia akut dan ROS merupakan stimulator yang penting saat terjadinya
angiogenesis, keduanya merangsang makrofag, fibroblas, sel endotel dan keratinosit
untuk mensintesis VEGF tetapi bila hipoksia ini terjadi secara kronis malahan akan
mengganggu mengganggu neovaskularisasi. Hipoksia akan mengaktifkan Hypoxia-
inducible factor -1 α (HIF- 1α) dan mengikat elemen respon hipoksia yang akan
meningkatkan promotor gen dari gen VEGF yang akhirnya akan meningkatkan VEGF
dan VEGF ini merupakan faktor pertumbuhan angiogenik utama yang merangsang sel-sel
endotel untuk bermigrasi, berkembang biak dan membentuk kapiler baru yang tak
terhitung jumlahnya (Sanchez et al., 2018).
Angiogenesis dan deposisi matriks yang terjadinya setelah cedera, terlihat sebagai
jaringan granulasi yang berupa pembentukan kapiler-kapiler baru dan FGF-2 serta
vascular endothelial growth factor (VEGF) yang dikeluarkan pada daerah luka dengan
17
cara merangsang timbulnya angiogenesis dan peningkatan afinitas FGF-2 ke reseptor dan
induksi ekspresinya ini di lakukan oleh ROS. H2O2 dapat menginduksi ekspresi VEGF
pada keratinosit selama terjadinya proses penyembuhan luka tersebut. Matriks akan
dibentuk oleh molekul yang strukturnya dihasilkan oleh fibroblast dan akan memberikan
dukungan dalam pembentukan jaringan granulasi. Matriks ini selanjutnya digantikan oleh
cross-linked kolagen yang disintesis oleh fibroblast yang diaktifkan dan H2O2 akan
menginduksi pembentukan kolagen I, III, IV dan segala kejadian persilangannya. Ketika
fibroblast menghasilkan dan sekaligus merombak matriks yang kaya akan kolagen,
sebagian dari fibroblast ini akan berubah menjadi myofibroblasts yang akan membantu
terjadinya kontraksi luka dan ROS berperan dalam perubahan fibroblast menjadi
myofibroblasts tersebut. Luka yang mengalami kontraksi akan membantu dalam proses
reepitelisasi sehingga lebih cepat membawa tepi luka yang satu ke tepi luka yang lain
(Levigne et al., 2017).

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari referat ini adalah :
1. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal yang sangat reaktif atau
molekul yang diproduksi secara intraseluler seperti mitokondria, retikulum
endoplasma, peroksisom yang mempunyai efek yang menguntungkan dan efek
merugikan bila berlebihan serta berperan pada proses penyembuhan luka melalui
mekanisme inflamasi, angiogenesis dan pembentukan matrik pada proses
penyembuhan luka.
2. ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang sangat
penting dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara
meningkatkan produksi platelet dan kolagen
B. SARAN
Saran

19
BAB IV
DAFTAR PUSTAKAAbdal Dayem, A., Hossain, M., Lee, S., Kim, K., Saha, S., Yang, G.-
M., Choi, H., Cho, S.-G., 2017. The Role of Reactive Oxygen Species (ROS) in
the Biological Activities of Metallic Nanoparticles. Int. J. Mol. Sci. 18, 120.
https://doi.org/10.3390/ijms18010120
Das, K., Roychoudhury, A., 2014. Reactive oxygen species (ROS) and response of
antioxidants as ROS-scavengers during environmental stress in plants. Front.
Environ. Sci. 2. https://doi.org/10.3389/fenvs.2014.00053
Hahn, J., Kienhöfer, D., Stoof, J., Csepregi, J.Z., Reinwald, C., Maueröder, C.,
Urbonaviciute, V., Munoz, L.E., Hultqvist, M., Podolska, M.J., Biermann, M.H.,
Leppkes, M., Herrmann, M., Harrer, T., Mocsai, A., Holmdahl, R., Schett, G.,
Hoffmann, M., 2018. ROS is the boss. Free Radic. Biol. Med. 120, S64–S65.
https://doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2018.04.213
Mittler, R., 2017. ROS Are Good. Trends Plant Sci. 22, 11–19.
https://doi.org/10.1016/j.tplants.2016.08.002

20

Anda mungkin juga menyukai