Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif, hipoproteinemia,
edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar
antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian
besar pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang
dirawat antara tahun 1995-2000.

Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya
albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis
besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit
sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada
tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.

Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik sebagai lesi minimal, sebagian
besar memberikan respons terhadap pengobatan steroid (sensitif steroid). Sedangkan SN lesi
nonminimal sebagian besar tidak memberikan respons terhadap pengobatan steroid (resisten steroid).1-
4 International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan
laboratorium untuk memperkirakan jenis lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran klinis dan
laboratorium tersebut adalah usia saat serangan pertama, jenis kelamin, hipertensi, hematuria, rerata
kadar kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol serum. Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik
memberikan gambaran terhadap respons pengobatan steroid, seperti jenis glomerulonefritis mesangial
proliferatif (GNMP) sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai saat ini, belum terdapat data
gambaran histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) dan
sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan memberikan gambaran klinis yang berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein nonalbumin diikutsertakan pula dalam penelitian ini
karena belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara
berbagai gambaran klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan respons terhadap pengobatan
steroid (SNRS dan SNSS). (Behrman, 2000)

B. Tujuan Penulisan Makalah

1. Tujuan Umum
Mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep dasar medis dan asuhan keperawatan pada klien
dengan penyakit sindroma nefrotik.

2. Tujuan Khusus

Mahasiswa keperawatan dapat :

a. Menjelaskan pengertian dari sindroma nefrotik

b. Menjelaskan etiologi dari sindroma nefrotik

c. Menjelaskan patofisiologi dan pohon masalah (pathways) dari sindroma nefrotik

d. Menjelaskan manifestasi klinik dari sindroma nefrotik

e. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari sindroma nefrotik

f. Menjelaskan penatalaksanaan dari sindroma nefrotik

g. Menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik

h. Menjelaskan asuhan keperawatan dari sindroma nefrotik

BAB II

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi

Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular
yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia,
hyperlipidemia dan edema. (Suriadi, 2006)

Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan
premeabilitas glomerulus. (Hidayat, A.Aziz, 2006)
Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 2005)

Berdasarkan pengertian diatas maka, dapat diambil kesimpulan bahwa sindroma nefrotik adalah
merupakan suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan edema.

B. Etiologi

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi
menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua
pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

Gejala : Edema pada masa neonatus

2. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh :

a. Malaria kuartana (malaria kuartana yang disebabkan plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi
lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara
18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari) atau
parasit lainnya.

b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

c. Glumerulonefritis akut atau kronik,

d. Trombosis vena renalis.

e. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.

f. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif


hipokomplementemik. (Ngastiyah, 2005)

3. Sindrom nefrotik idiopatik

Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang
tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk
membaginya menjadi :

a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi
ternyata tidak terdapat imunoglublin G (IgG) pada dinding kapiler glomerulus.

b. Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis
kurang baik.

c. Glomerulonefritis proliferatif

1. Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.

2. Dengan penebalan batang lobular.

Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.

3. Dengan bulan sabit ( crescent)

Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral. Prognosis
buruk.

4. Glomerulonefritis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di mesangium. Titer
globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.

5. Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.

4. Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.

C. Patofisiologi dan Pohon Masalah (Pathways)

Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama albumin ke dalam urine.
Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus
mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga terjadi
hipoalbuminemia.

Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah
dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan
sistem renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan terjadi
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).

Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang
mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun
sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab sindrom nefrotik mencakup
glomerulonefritis kronis, dibetes mellitus disertai glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal,
penyakit lupus erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal.

Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan berbagai masalah
keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus progresif cepat. (Arif Muttaqin, 2011).

D. Manifestasi Klinik

1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan
sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya
ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas
bawah.

2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa

3. Pucat

4. Hematuri

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan
petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.

5. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.

6. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.

7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 )

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Urin

Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria nefrotik akan
terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick bacaan, atau dengan pengujian semi kuantitatif oleh asam
sulfosalicylic. Sebuah 3 + merupakan 300 mg / dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g / L atau lebih dan
dengan demikian dalam kisaran nefrotik. Pemeriksaan dipsticks kimia albumin adalah protein utama
yang diuji.

a. Protein urin > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari

b. Urinalisa cast hialin dan granular, hematuria

c. Dipstick urin positif untuk protein dan darah

d. Berat jenis urin meningkat (normal : 285 mOsmol)

2. Darah

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:

a. Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)

b. Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100 ml). Hal ini disebut sebagai hipoalbuminemia (nilai kadar
albumin dalam darah < 2,5 gram/100 ml). Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat
katabolisme protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme in merupakan factor tambahan
terjadinya hipoalbuminemia selain dari proteinuria (albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai
anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat
menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2
gram/100 ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar < 1 gram/100 ml. (Betz, 2002)

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.

b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal.

c. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau pembentukkan
jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli. (Betz, 2002)

F. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan
proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:

a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari
secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet
protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b. Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari, dengan garam minimal
bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit.

c. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya
furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema
refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.

d. Dengan antibiotik bila ada infeksi.

e. Diuretikum

f. Kortikosteroid

International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan
sebagai berikut :

1) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan badan (lpb)
dengan maksimum 80 mg/hari.

2) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/lpb,
setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka
pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.

3) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai


akhirnya dihentikan.

g. Lain-lain

Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung, diberikan
digitalis. (Behrman, 2000)

2. Penatalaksanaan Keperawatan

Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan pengawasan dan pengobatan
yang khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko
komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman dan nyaman, dan kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien.

Pasien sindroma nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur, karena dengan keadaan edema
yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih berat
semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.

a. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan
sesak nafas.
b. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan memanjang, karena
jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).

c. Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah
pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan
menjadi penyebab kematian pasien).

Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuannya, tetapi
tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh kelelahan. Untuk
mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, di ukur lingkar perut pasien. Selain
itu perawatan pasien dengan sindroma nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran
cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindroma nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0
gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk
makanan disesuaikan dengan keadaan pasien, bisa makanan biasa atau lunak. (Ngastiyah, 2005)

Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah
terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi
tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan
kering. Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika pasien
diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat anak yang
menderita penyakit sindroma nefrotik. Pasien sendiri perlu juga diterangkan aktivitas apa yang perlu
dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter
mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa penyakit ini sering kambuh atau
berubah menjadi lebih berat jika tidak terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua atau pasien
dianjurkan kontrol sesuai waktu yang ditentukan (biasanya 1 bulan sekali). (Ngastiyah, 2005)

G. Komplikasi

1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.

2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan
hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.

3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian
fibrinogen plasma.

4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal. (Rauf, .2002)

BAB III

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A. Pengkajian

1. Pengkajian Anamnesa

a. Identitas

b. Keluhan utama yang sering dikeluhkan wajah atau kaki.

c. Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal berikut :

1. Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output.

2. Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya keluhan pusing
dan cepat lelah.

3. Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise.

d. Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien pernah menderita
penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi
pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya
riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.

e. Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang bengkak akan
memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien.

f. Riwayat kehamilan dan persalinan

1. Prenatal

Keadaan dimana ibu memeriksakan kandungannya selama mengandung dan asupan nutrisi selama
kehamilan.

2. Natal

Proses persalinan pada saat dilahirkan, serta kondisi bayi saat dilahirkan.

3. Postnatal

Asupan nutrisi yang diperoleh saat dilahirkan hingga dewasa.

4. Imunisasi

BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali

g. Riwayat kesehatan lingkungan

Endemik malaria sering terjadi kasus sindroma nefrotik.


h. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.

Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8. Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.

Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin
beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu, elektra kompleks untuk anak
perempuan lebih dekat dengan ayah.

Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki
inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak akan merasa
bersalah dan menjadi anak peragu.

Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan
bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.

Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala, lengan dan
badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes bila dilarang,
mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru aktivitas orang dewasa.

Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan dalam
bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.

2. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Pada TTV sering tidak didapatkan adanya perubahan.

B1 (Breating). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan napas walau secara
frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya
gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi
pleura.

B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari peningkatan beban
volume.

B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status neurologis
mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.

B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen

B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema tungkai dari
keletihan fisik secara umum.

3. Pengkajian Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin. Keadaan ini juga
terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membaran glomerulus.

4. Pengkajian Penatalaksanaan Medis

Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan risiko
komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut meliputi hal-hal berikut :

a. Tirah baring

Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada bahaya trombosis, apabila relaps.

b. Diuretik

Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari.

c. Adenokortikosteroid, golongan prednison

Induksi : 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80 mg/24 jam). Bila terjadi
remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jam sekali selama 4 minggu. Tapering off dosis
dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2 minggu, selama 2-4 bulan.

d. Diet rendah natrium tinggi protein

Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama pemberian kortikosteroid. Cairan
dibatasi. Pemberian kalsium dan vitamin D.

e. Terapi cairan

Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat dan dicatat. Cairan
diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi cairan dan
natrium.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan


untuk mengabsorpsi nutrien.

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau massa.

4. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

D. Evaluasi
1. Kelebihan volume cairan dapat teratasi

2. Meningkatnya asupan nutrisi

3. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari

4. Penurunan kecemasan

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular
yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia,
hyperlipidemia dan edema. (Suriadi, 2006)

Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan
premeabilitas glomerulus. (Hidayat, A.Aziz, 2006)

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan

2. Sindrom nefrotik sekunder

3. Sindrom nefrotik idiopatik

4. Glomerulosklerosis fokal segmental

B. Saran

1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa keperawatan
2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.

3. Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC

Betz, Cecily Lynn. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC

Rauf, Syarifuddin. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UH : Makassar

Suriadi .2006. Asuhan Keperawatan Anak Edisi 2. Jakarta: CV Sagung

Anda mungkin juga menyukai