Anda di halaman 1dari 9

Analisis Pemilihan Wilayah Terkait dengan TPA Regional di TPST

Bantargebang Menggunakan Metode Topsis

Analysis of Related Area Preference with Regional Sanitary Landfill


in Temporary Bantargebang Sanitary Landfill Using Topsis Method
1) 2) 2) 2)
DOUGLAS MANURUNG , HMH. BINTORO , SETIA HADI , ISKANDAR LUBIS
1)
Program Doktor SPs IPB, 2)Dosen Pascasarjana IPB,
Kampus IPB Darmaga, Bogor 16880
douglasmanurung@yahoo.com,

ABSTRACT
In the year of 2008, Act of The Republic of Indonesia Number 18 Year 2008 regarding Municipal Solid
Waste (MSW) Management has been issued. Some of the objectives of this Act are: (1) all of MSW
Disposal Sites (TPA) in Indonesia must use sanitary landfill type, and (2) a partnership can be formed
between two or more local governments to manage their MSW in a Regional MSW Disposal Site
(TPA Regional) together with investor and local community. Somehow these goals are difficult to
achieve because of limited budget and complexities in selecting which local governments should do
the partnership and what kind of institution they could build to carry all the partnership agreements.
Thus, Technique for Order Preference Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) was employed for this
research to help determine which ones of eight regions in JABODETABEK should become the parts
of the partnership so they can deliver their solid waste to TPST Bantargebang, as a Regional Solid
Waste Disposal Site (TPA Regional). It concludes that Kota Bekasi is the best alternative to use
TPST Bantargebang as TPA Regional with Ci+ value closer to 1. The second and the third best
alternatives are Kabupaten Bekasi and Kabupaten Bogor, respectively. Besides, the TPST
Bantargebang could be developed to be a regional disposal site through extensification programme
up to 25 hectare of additional area, about 30 meter of landfill waste effective height and 3 meter of
waste trap height. It is used waste weight to volume ratio of 1,000 kg per 3 m3, compaction factor of
50 percent and natural reduction factor of 30 percent. With that condition, TPST Bantargebang still
can receive waste up to 2,422 ton per day in 15 years ahead.

Keywords: extensification programme, partnership, regional solid waste disposal site, TOPSIS

ABSTRAK
Implementasi Undang-undang No. 18 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatur Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di Indonesia memiliki kesulitan pencapaian karena bketerbatasan
anggaran, kesulitan pemilihan lokasi , dan pemilihan institusi penanggung jawab. Dengan
menggunakan Technique For Order Preference Similarity To Ideal Solution (TOPSIS), bisa ditentukan
wilayah mana saja dari 8 (delapan) kota dan kabupaten di JABODETABEKyang bekerjasama untuk
membentuk TPA regional di TPST Bantargebang. Hasil TOPSIS menyimpulkan bahwa Kota Bekasi
+
adalah alternatif terbaik untuk memakai TPST Bantargebang dengan nilai Ci mendekati 1. Dua
tempat terbaik setelahnya adalah Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor. TPST Bantargebang
dapat dikembangkan menjadi sebuah TPA regional dengan perluasan lahan sebesar 25 ha,
menaikkan ketinggian landfill menjadi 30 meter, dan ketinggian jaraktrap 3 meter, faktor konversi
3
volume 1000 kg sampah sama dengan 3 m , faktor pemadatan 50 persen dan faktor reduksi alami
sampah sebsar 30 persen. Dengan kondisi tersebut TPST Bantargebang masih dapat menerima
tambahan sampah sebesar 2.422 ton per hari sampai 15 tahun ke depan.

Kata kunci: kerjasama, program ekstensifikasi, TOPSIS, TPA Regional.

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 17, No 2, Juli 2016, 73-81 73


1. PENDAHULUAN untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakatnya.
Pengembangan TPA (Tempat Pemrosesan
Akhir) sampah regional, perlu dilakukan sesegera Dalam pembangunan dan pengembangan
mungkin, sehingga diharapkan pengelolaan TPA, sangatlah penting memperhatikan
sampah di Indonesia dapat dilakukan dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, karena
lebih baik dan tersistem, danpemerintah daerah pengoperasian TPA akan memberikan dampak
(1)
dapat mengatasi persoalan-persoalan dalam hal terhadap lingkungan sekitarnya . Beberapa
mengelola sampahnya.Namun demikian dalam kasus TPA sering kali tidak memperhatikan
melaksanakan hal tersebut masih terdapat masyarakat sekitar.Informasi hanya dilakukan
masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah satu arah serta keterlibatan masyarakat dalam
daerah, seperti keterbatasan anggaran yang organisasi pengelolaan TPA tidak
tersedia untuk pengelolaan sampah serta ada.Masyarakat hanya mendapat keuntungan
ketersediaan lahan yang cukup dan sesuai untuk dari keberadaan TPA melalui warung yang
pengembangan TPA. mereka buka atau menjadi buruh bangunan dan
pemulung.
Salah satu harapan dari pengembangan TPA
sampah regional, antara lain adalah Konsep TPA Pemberian kewenangan melalui otonomi
regional yang tidak terlepas dari konsep dimaknai sebagai upaya mendekatkan pelayanan
kerjasama antardaerah.Dengan diberlakukannya pemerintah kepada masyarakat, dengan asumsi
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang semakin dekat pemerintah pada rakyatnya, maka
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 23 pemerintah akan semakin mengetahui kebutuhan
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, telah rakyatnya. Di samping itu, semakin dekat
membawa implikasi yang luas berupa perubahan pemerintah kepada rakyat, maka akan semakin
sistem pemerintahan daerah di Indonesia. cepat pelayanan yang diberikan. Akan tetapi,
Sebelum diberlakukannya undang-undang kemudian timbul persoalan ekonomi karena
tersebut, sistem pemerintahan lebih bersifat pemberian otonomi untuk mengatur rumah
sentralistik, sehingga setiap keputusan yang tangga sendiri ini, tidak disertai dengan
menyangkut kepentingan daerah lebih banyak kemampuan keuangan secara mandiri untuk
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini membiayai berbagai program pembangunan
mengakibatkan daerah sering kehilangan inisiatif daerah.Rendahnya kemampuan keuangan
membangun, di samping dana yang dimiliki oleh daerah dapat dilihat dari sisi pembiayaan
pemerintah daerah yang juga sangat terbatas. pembangunan.Walaupun kerjasama regional
telah diatur dalam perundangan, namun
Otonomi daerah muncul karena adanya pelaksanaan dan konsekuensinya menjadi
tuntutan pembagian kewenangan yang lebih kewenangan masing-masing daerah, sehingga
besar untuk mengelola pemerintahan daerah tidak ada prosedur yang standar sebagai
dengan lebih baik.Otonomi daerah juga acuan.Terlebih lagi Undang-Undang Otonomi
diharapkan dapat merangsang kemandirian dan Daerah memunculkan keegoan daerah yang
kreativitas dalam mengembangkan wilayah tinggi, sehingga kurang mempertimbangkan efek
masing-masing.Dengan diberikannya otonomi terhadap daerah sekitarnya.Oleh karena itu,
kepada daerah, berarti pemerintah pusat maka sangat diperlukan kerjasama regional yang
memberikan kewenangan kepada pemerintah benar-benar menjadi acuan bagi pelaksanaan
(1)
daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, pembangunan infrastruktur regional .
termasuk dalam hal inisiatif membangun sarana
publik, seperti pembangunan TPA sampah di Proses desentralisasi di Indonesia baru pada
wilayahnya masing-masing. tahap desentralisasi dari sisi pengeluaran
pemerintah dan belum sampai pada tahap
Adanya kewenangan untuk mengatur rumah desentralisasi dari sisi penerimaan, sehingga
tangga sendiri pada eraotonomi daerah ini, sebagian besar pemerintah daerah dalam
sebenarnyamembawa konsekuensi bahwa membiayai pembangunannya, yang tercermin
seharusnya pemerintah daerah tidak lagi dalam besaran Anggaran Pendapatan dan
mengandalkan bantuan keuangan dari Belanja Daerah (APBD), lebih mengandalkan
pemerintah pusat dalam membiayai program- subsidi dari pemerintah pusat, melalui dana
program pembangunannya.Pemerintah daerah perimbangan yang ditransfer dari pusat ke
(2)
dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin daerah dalam beberapa skema . Selain hal
mengelola kemampuan, kemauan, dan tersebut masalah yang belum terpecahkan
sumberdaya yang dimilikinya.Daerah perlu lainnya pada era otonomi daerah adalah masalah
menginventarisir sumber-sumber kekayaan dan politik.Untuk mengatasi dua persoalan tersebut,
menggali potensi sumber pendapatan yang dapat baik masalah politik maupun ekonomi, agar
digunakan untuk membiayai pembangunan,tanpa pelaksanaan otonomi daerah mampu
harus membebani masyarakat.Hal ini perlu meningkatan kesejahteraan masyarakat, maka
ditekankan, karena sesungguhnya tujuan dari kegiatan kerjasama antardaerah dapat dijadikan
(2)
pemberian wewenang yang luas kepada daerah solusi .
dalam bentuk otonomi daerah, dimaksudkan

74 Analisis Pemilihan Wilayah… (Manurung D., et al.)


Kerjasama antarpemerintah daerah di mengidentifikasi dan menganalisis kondisi TPA
lapangan dalam pengembangan TPA regional eksisting di Wilayah Jabodetabek; memilih
belum berjalan seperti yang diharapkan. Kendala prioritas wilayah di sekitar TPST Bantargebang
yang cukup menonjol antara lain: (a) Sulitnya yang dapat bekerjasama dengan Pemprov DKI
membangun kesepakatan antarpemerintah Jakarta dalam pengelolaan TPA regional di TPST
daerah dalam kerjasama pengelolaan TPA Bantargebang, serta untuk menganalisis
Regional; (b) Adanya perbedaan orientasi dan kemungkinan TPST Bantargebang untuk
kepentingan setiap pemerintah daerah dalam dikembangkan menjadi TPA Regional melalui
pengelolaan sampah; (c) Rumitnya pemilihan progam intensifikasi dan ekstensifikasi.
lokasi yang sesuai, persentasi pembebanan
tipping fee terhadap setiap pemerintah daerah;
(d) Sulitnya merumuskan model kerjasama 2. BAHAN DAN METODE
pengelolaanTPA Sampah Regional.
Penelitian ini dilakukan dari April 2014 sampai
(3)
Hasil penelitian mengenai TPA regional September 2014 di TPST Bantargebang,
Bangli di Bali, untuk mendapatkan manfaat Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. Selain
maksimal dan berkelanjutan dari dibangunnya itu juga dilakukan pengamatan dan pengambilan
TPA Regional Bangli perlu dilakukan kegiatan data di TPA kabupaten dan kota yang berada
operasional dan pemeliharaan. Risiko dominan tidak terlalu jauh dari TPST Bantar Gebang,
(major risk) yang dapat menghambat operasional yakni di TPA (Tempat Pengolahan Akhir) di
dan pemeliharanTPA Regional Bangli adalah Jabodetabek seperti TPA Sumurbatu Kota
hambatan untuk membentuk lembaga yang Bekasi, TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi,
bertanggung jawab secara penuh dalam TPA Cipayung Kota Depok, TPA Cipeucang Kota
operasional dan pemeliharaan TPA Regional, Tangerang Selatan, TPA Rawa Kucing Kota
terbatasnya alokasi dana baik dari pemerintah Tangerang, TPA Jatiwaringin Kabupaten
pusat, pemerintah daerah provinsi, dan Tangerang, dan Kota Bogor dan Kabupaten
pemerintah daerah kabupaten yang terintegrasi Bogor TPA Galuga dilakukan pada Februari 2015
dalam TPA Regional, hambatan melakukan – Juni 2015.
kerjasama antara pemerintah dengan pihak
swasta, dan risiko lainnya. Data primer dan data sekunder yang
dikumpulkan pada penelitian ini diantaranya
Pembangunan TPA regional masih adalah data yang langsung berkaitan dengan
merupakan hal yang baru dan manfaat jangka operasional pengelolaan sampah di TPST
(4)
panjangnya masih belum terlihat . Selain itu Bantargebang, Bekasi di antaranya rata-rata
juga masih terdapat permasalahan kelembagaan, volume sampah masuk, karakteristik sampah di
contohnya dalam kesepakatan antara beberapa Bantargebang, luas lahan, teknis dan penerapan
pemerintah daerah, penentuan peran dan pengelolaan sampah di TPST Bantargebang, dan
tanggung jawab, penghitungan kontribusi lain-lain serta dari TPA sekitarnya yakni TPA
keuangan, dan akses yang berkesinambungan Sumurbatu Kota Bekasi, TPA Burangkeng
pada dana anggaran untuk pengoperasian dan Kabupaten Bekasi, TPA Cipayung Kota Depok,
pemeliharaan. Kesulitan dalam memperoleh TPA Cipeucang Kota Tangerang Selatan, TPA
lahan yang memadai masih tetap ada, begitu Rawa Kucing Kota Tangerang, TPA Jatiwaringin
pula halnya dengan TPA regional. Namun Kabupaten Tangerang, dan Kota Bogor dan
kemajuan yang telah dicapai di wilayah seperti Kabupaten Bogor TPA Galuga.Selain data-data
Mamminasata dan Kartamantul, serta rencana yang dibutuhkan mengenai berbagai hal terkait
untuk membangun TPA regional tambahan, dengan TPA, juga dilakukan pengambilan data
mengindikasikan bahwa model ini perlu primer dengan bantuan kuesioner kepada para
diterapkan di Indonesia, tentunya dengan pakar yang menguasai masalah sampah di
penyesuaian-penyesuaian yang memadai,sesuai wilayah tersebut di atas,untuk kebutuhan metoda
dengan kondisi regional di berbagai wilayah di TOPSIS.Oleh karena itu maka penunjukan pakar
negara kita. yang diwawancara pada penelitian ini ditentukan
Apabila model kelembagaan TPA Regional secara purposive sampling.
ditemukan, tentu akan lebih memudahkan
pemerintah daerah dalam mewujudkan sebuah Analisis data yang dilakukan pada penelitian
TPA Regional yang dikelola secara efektif dan terkaitdengan operasional TPST dan TPA
efisien, baik dari aspek kelembagaannya maupun dilakukan secara deskriptif, namun analisis untuk
operasionalnya. Penentuan model pengelolaan pengambilan keputusan multikriteria
TPA regional ini tidak terlepas dari pemilihan menggunakan metoda TOPSIS (Technique For
wilayah yang akan bekerjasama dalam Order Preference By Similarity To Ideal Solution).
pengembangan TPA regional tersebut.Oleh Langkah-langkah dalam metode TOPSIS adalah
karena itu maka perlu dilakukan analisis (5)
sebagai berikut :
pemilihan wilayah terkait dengan TPA regional.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Langkah 1:
Normalisasi matriks keputusan.

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 17, No 2, Juli 2016, 73-81 75


Membuat matriks D yang mengacu pada m Menentukan solusi ideal positif A(+) dan
alternatif yang akan dievaluasi berdasarkan solusi ideal negatif A(-), istilah yang dipakai
kriteria, dalam hal ini elemen xij menyatakan hasil yaitu menentukan poin ideal dan anti-ideal.
perhitungan atau penilaian terhadap alternatif ke-
+
i yang berdasarkan kriteria ke-j, didefinisikan Solusi ideal positif dinotasikan A , sedangkan
-
sebagai berikut: solusi ideal negatif dinotasikan A , dimana secara
+ -
matematik A dan A , dijelaskan sebagai berikut :
 x11 x12 x13  x1n 
A = {(max Vijj € J),(min Vijj € J’), i =1,2,3, ...,
+
x x 22 x 23  x 2 n 
D   21
+ + +
....(1) m} = {V1 , V2 , .. ,Vn } ....(6)
    
A = {(min Vijj € J),(max Vijj € J’), i =1,2,3, ...,
-
  - - -
 x m1 xm2 x m3  x mn  m} = {V1 , V2 , .. , Vn } .....(7)
dengan:
Setiap elemen pada matriks D dinormalisasikan
J = {1,2, ..., n dan j berhubungan dengan positif kriteria}
untuk mendapatkan matriks normalisasi R. J’ = {1,2, ..., n dan j berhubungan dengan negatif kriteria}
Elemen rij hasil dari normalisasi decision matrix Vj+ = solusi ideal positif ke-j
R dengan metode Euclidean length of a vector Vj - = solusi ideal negatif ke-j
adalah: + -
Sehingga A danA adalah untuk mewakili
x ij alternatif yang paling disukai (most preferable) ke
rij  ..............................(2) solusi ideal dan kurang disukai (least preferable)
m

xi 1
2
ij
secara berurutan.
Langkah 4:
keterangan: Menghitung separation measure (Si*).
i = 1, 2, 3, ... , m
j = 1, 2, 3, ... , n Separation measure (Si*) adalah pengukuran
rij = matriks ternormalisasi ke -ij jarak (dalam pandangan Euclidean) dari suatu
xij = matriks keputusan
alternatif ke solusi ideal positif dan solusi ideal
(6)
negatif . Perhitungan matematisnya adalah
Langkah 2:
sebagai berikut:
Pembobotan pada matriks yang telah di
(a) Rumus pengukuran jarak dari suatu
normalisasi.
alternatif ke solusi ideal positif
n

 (v
Dengan bobot W= (w1, w2,.....,wn), maka
normalisasi bobot matriks V adalah:
S i  ij  A j ) 2 , untuk i = 1,2,3, ..., m ..(8)
j 1
keterangan:
Si+ = jarak alternatif Ai dengan solusi ideal positif
 w1r11 w2 r12 w3 r13  wn r1n  Vij = matriks normalisasi terbobot ke-ij
w r w2 r22 w3 r23  wn r2 n  (3) Vj+ = solusi ideal positif ke- j
V   1 21
    
  (b) Rumus pengukuran jarak dari suatu
 w1rm1 w2 rm 2 w3 rm 3  wn rmn 
alternatif ke solusi ideal negative
n
 v1 1
v
v1 2
v2 2
v1 3 
v2 3 
v1n 
v2 n 
(4) S i   (v
j 1
ij  A j ) 2 , untuk i = 1,2,3, ..., m ..(9)
V   21 
     keterangan:
 
v m1 vm 2 vm 3  v mn  Si- = jarak alternatif Ai dengan solusi ideal negatif
Vij = matriks normalisasi terbobot ke-ij
Vj- = solusi ideal negatif ke- j

Nilai v dalam weighted normalized decision


matrix diperoleh dari rumus sebagai berikut: Langkah 5:
Menghitung kedekatan relatif dengan solusi
v ij  wi rij , .................................(5) ideal
keterangan : +
Untuk menghitung kedekatan relatif (Ci ) dari
Vij= matriks normalisasi terbobot ke-ij +
Wi= vektor bobot ke-j
alternatif Ai dengan solusi ideal positif A
i = 1, 2, 3, ... , m direpresentasikan dengan:
S i
j = 1, 2, 3, ... , n
rij = matriks ternormalisasi ke –ij 
C  ....(10)
S i  S i
i
Langkah 3:

76 Analisis Pemilihan Wilayah… (Manurung D., et al.)


keterangan : dari Jakarta lebih dari 6,000 ton perhari.
0 < Ci+< 1 dan i = 1,2,3, ..., m
Ci+= kedekatan tiap alternatif terhadap solusi ideal Pengembangan TPA (Tempat Pemrosesan
positif Akhir) sampah regional, merupakan satu hal
Si+ = jarak alternatif Ai dengan solusi ideal positif yang perlu dilakukan sesegera mungkin dalam
Si- = jarak alternatif Ai dengan solusi ideal negatif hal pengelolaan sampah di Indonesia.Mengingat
Dengan ketentuan bahwa alternatif Ai dikatakan dengan adanya pengembangan TPA (Tempat
dekat dengan solusi ideal positif apabila Ci
+ Pemrosesan Akhir) sampah regional ini,
+ +
mendekati nilai 1. Jadi Ci = 1 , jika Ai = A dan diharapkan pengelolaan sampah di Indonesia
- - dapat dilakukan dengan lebih baik dan tersistem.
Ci = 0, jika Ai = A .
Masalah-masalah yang dihadapi oleh para
pemerintah daerah, seperti: keterbatasan
Langkah 6: anggaran yang tersedia untuk pengelolaan
Mengurut prioritas alternatif sampah, serta ketersediaan lahan yang cukup
Penentuan prioritas alternatif dilihat dari nilai Ci
+ dan sesuai untuk pengembangan TPA, membuat
yang mendekati 1 atau alternatif terbaik kebutuhan pengembangan TPA sampah regional
merupakan salah satu yang berjarak terpendek menjadi teramat penting. Dengan adanya model
terhadap solusi ideal dan berjarak terjauh dengan kelembagaan TPA sampah regional ini,
(7) diharapkan pemerintah daerah memiliki acuan
solusi negatif-ideal .
dalam mengelola sampahnya, termasuk di
dalamnya pengembangan TPST Bantargebang
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
menjadi TPA regional.
Di sekitar TPST Bantargebang, terdapat Kota
Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota
Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor.
Kedelapan wilayah ini selain merupakan
penyangga langsung ibukota, sehingga terjadi
interaksi penduduk antar ke delapan wilayah
tersebut dengan ibukota yang sangat erat,
termasuk dinamika timbulan dan mutasi sampah
yang terjadi antarwilayah tersebut.Masing-
masing wilayah tersebut memiliki TPA sendiri,
tetapi sampai saat ini, TPA-TPA tersebut sudah
dalam kondisi jenuh.Kondisi TPA-TPA tersebut
saat ini malah sudah menjelang pada saat-saat
tidak dapat lagi menerima sampah.
Kota Bekasi juga memiliki TPA Sumur Batu,
Kabupaten Bekasi mempunyai TPA Burangkeng,
Kota Depok mempunyai TPA Cipayung, Kota
Tangerang Selatan memiliki TPA Cipeucang di
Kecamatan Serpong, Kota Tangerang memiliki
TPA Rawa Kucing di Kecamatan Neglasari,
Kabupaten Tangerang memiliki TPA Jatiwaringin
di Kecamatan Mauk, sedangkan Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor memiliki TPA Galuga. Kondisi
masing-masing TPA ini seperti pada Tabel 1
berikut ini.

3.1. Pemilihan Wilayah yang Terkait dengan


TPARegional di TPST Bantargebang.
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
Bantargebang, sudah menerima sampah sejak
tahun 1989 dari lima wilayah yang ada di Jakarta.
Pengelolaan sampah di TPST ini selain dilakukan
secara swakelola oleh Dinas Kebersihan DKI
Jakarta, pernah juga dikelola oleh pihak swasta
yaitu PT. Patriot Bangkit Bekasi.Saat ini,
pengelolaan fasilitas ini dilakukan oleh operasi
bersama dua perusahaan swasta yaitu PT.
Godang Tua Jaya dan PT. Navigat Organic
Energy Indonesia.TPST ini menerima sampah

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 17, No 2, Juli 2016, 73-81 77


Tabel 1. Kondisi Eksisting TPST Bantargebang dan Delapan TPA di Sekitarnya

Nama Luas Mulai Operasi Asal Sampah Mekanisme kontrak


TPST/TPA (ha)
Bantar 120.8 Agustus 1989 Jakarta Utara, Seluas 10,5 hektar merupakan milik pengelola
Gebang Jakarta Timur, saat ini, yang akan diserahkan kepada
Jakarta Selatan, Pemerintah Provinsi Jakarta pada akhir kontrak,
Jakarta Barat, dan yaitu pada tahun 2023, melalui mekanisme
Jakarta Pusat. kontrak BOT (Build-Operate-Transfered) atau
Bangun-Guna-Serah
Sumur Batu 14.2 Dinas 12 Kecamatan di Tahun 2003 telah dipakai sistem controlled lanfill
Bekasi Kebersihan dan Kota Bekasi. untuk menekan pencemaran lingkungan. volume
Pertamanan timbulan sampah di Kota Bekasi mencapai 1,500
ton/hari dan hanya 500 ton dari volume tersebut
yang dikirim ke TPA Sumur Batu,. Pemerintah
Kota Bekasi, tahun 2015 sudah mengirimkan
surat kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
untuk diperbolehkan mengirimkan sampahnya ke
TPST Bantargebang,
Burangkeng, 11 Dinas 14 Kecamatan Pada tahun 2013 volume timbulan sampah warga
Bekasi Kebersihan, Kabupaten Bekasi yang tersebar di 23 kecamatan
Pertamanan mencapai 6,750 m³/hari, namun hanya ± 18% dari
dan Pemadam total volume tersebut atau 1,230 m3 yang dapat
Kebakaran. terangkut ke TPA Burangkeng dengan sistem
open dumping
Cipayung Kota 11.6 Dinas 1/3 dari luas daerah Beroperasi sejak tahun 1984, dengan
Depok Kebersihan dan Kota Depok. menggunakan sistem controlled landfill
Pertamanan
Kota Depok
Cipaucang, 6.8 Dinas Kota Tangsel tingkat kelayakan TPA Cipeucang terendah
Kota Tangsel Kebersihan dibandingkan TPA Rawa Kucing (Kota
Pertamanan Tangerang) dan TPA Jatiwaringin (Kabupaten
dan Tangerang). Selanjutnya dikatakan bahwa TPA
Pemakaman Cipeucang akan memenuhi syarat sebagai TPA
namun harus dilakukan perbaikan yang cukup
berat, sehingga perlu perbaikan pada aspek
manajemen, persepsi masyarakat, dan fisik.
Rawa Kucing 34.8 Dinas 13 Kecamatan di TPA Rawa Kucing diprediksi akan jenuh pada
Tangsel Pekerjaan Kota Tangsel tahun 2016. Pemerintah daerah setempat sudah
Umum Kota bersiap menyediakan lahan cadangan TPA di
Tangerang Jatiwaringin, Kabupaten Tangerang.
Jatiwaringin, 12 Dinas Kabupaten beroperasi sejak tahun 1992 untuk menampung
Kab Kebersihan Tangerang sampah saja, tetapi tahun 2011 fasilitas diubah
Tangerang Pertamanan menjadi tempat pengelolaan sampah.
dan Cakupan pelayanan sampah di Kabupaten
Pemakaman Tangerang sebesar 27% terlayani oleh DKPP, 7%
(DKPP terlayani oleh swasta dan sisanya 66% belum
terlayani
Galuga Kab 31.8 Dinas Kota dan Kab Bogor TPA Galuga menyebabkan air sumur sekitar
Bogor Kebersihan wilayah Galuga tidak layak untuk air baku air
Pertamanan minum peruntukkan air Kelas I. Parameter
kualitas air yang melampaui ambang batas
maksimum yaitu bau (busuk), rasa (agak asam,
dan agak pahit), pH, oksigen terlarut (DO),
kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), kebutuhan
oksigen kimiawi (COD), amonia, nitrit, seng (Zn),
bakteri fecal coli dan coliform.
Pada tahun 2014 volume timbulan sampah Kota
Bogor mencapai 2,484 m3/hari, namun yang
terangkut ke TPA Galuga hanya 1,748 m3/hari.

78 Analisis Pemilihan Wilayah… (Manurung D., et al.)


3.2. Analisis Pemilihan Wilayah untuk TPA penting) adalah nilai yang paling rendah dan 7
Regional di TPST Bantargebang (sangat penting) adalah nilai yang sangat tinggi.
Dengan metode TOPSIS diperoleh alternatif yang
Penentuan alternatif prioritas dalam pemilihan berjarak terpendek terhadap solusi ideal dan
wilayah mana saja yang akan menggunakan TPST berjarak terjauh dengan solusi negatif-ideal yaitu
Bantargebang sebagai TPA Regional, didasarkan wilayah yang terpilih untuk menggunakan TPST
pada beberapa kriteria. Kriteria yang digunakan Bantargebang sebagai TPA Regional.
diperoleh melalui kajian pustaka dan mendapatkan
informasi melalui kuesioner TOPSIS dengan para Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
ahli/ pakar sampah. Kriteria yang diperlukan dalam responden lebih memilih kriteria jarak dari sumber
penentuan alternatif yang paling prioritas untuk wilayah sumber sampah ke TPST Bantargebang,
penentuan wilayah rekomendasi ini ada enam, sebagai kriteria dengan bobot yang paling besar
yang terdiri dari (1) jarak dari wilayah sumber (Tabel 2). Kriteria jarak tersebut akan berkorelasi
sampah ke TPST Bantargebang, (2) besarnya positif dengan kriteria besarnya biaya
biaya yang diperlukan untuk mengangkut sampah pengangkutan sampah ke TPST Bantargebang.
ke TPST Bantargebang, (3) akses dari wilayah Dalam pemilihan alternatif yang paling prioritas
sumber sampah ke TPST Bantargebang, (4) dalam pemilihan wilayah yang ada di sekitar TPST
hubungan birokrasi antarwilayah sumber sampah Bantargebang, yang akan menggunakan TPST
dengan Pemprov DKI Jakarta, (5) kemampuan Bantargebang sebagai TPA Regional ini, diperoleh
wilayah untuk membayar tippingfee, (6)
bahwa Kota Bekasi merupakan alternatif terbaik,
kepemilikan lahan yang sesuai untuk TPST. Untuk nilai Ci+ yang paling mendekati angka 1. Hal ini
alternatif prioritas rekomendasi yang akan dipilih juga berarti bahwa alternatif Kota Bekasi berjarak
ada delapan alternatif prioritas wilayah, yaitu: Kota terpendek terhadap solusi ideal dan berjarak
Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota terjauh dengan solusi negatif-ideal.Hasil analisis
Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang TOPSIS juga mendapatkan alternatif terbaik kedua
Selatan, Kabupaten Tangerang, dan Kota yakni Kabupaten Bekasi, sedangkan alternatif
Tangerang. terbaik ketiga adalah Kabupaten Bogor (Tabel 3).
Tabel 2. Matrik Keputusan dan Bobot Masing-
masing Kriteria +
Tabel 3. Nilai Ci untukAlternatif Wilayah yang
Akan Dipilih
KelompokSasaran Wilayah
Kriteria Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8
Jarak dari wilayah
Ci+
sumber sampah ke 5 4 3 3 4 3 2 2 0.208 No Alternatif Wilayah
TPST BG* Best 1
Besarnya biaya
1 Kota Bekasi 0.960
yang diperlukan
untuk mengang-kut 4 4 3 3 3 3 2 2 0.192 2 Kabupaten Bekasi 0.742
sampah ke TPST Best 2
BG 3 Kota Depok 0.277
Akses dari wila-yah 4 Kota Bogor 0.198
sumber sam-pah ke 5 4 3 3 4 4 3 3 0.158
TPST BG 5 Kabupaten Bogor 0.651
Best 3
Hubungan birokrasi 6 Kota Tangerang Selatan 0.377
antarwilayah sumber
sampah dengan 4 3 3 3 3 4 3 3 0.158 7 Kabupaten Tangerang 0.111
Pemprov DKI 8 Kota Tangerang 0.022
Jakarta
Kemampuan
wilayah untuk
3 3 4 3 4 3 4 3 0.168
Melihat kondisi TPA Sumur Batu Kota Bekasi
membayar tipping dan TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi,
fee sangatlah tepat apabila(sesuai dengan hasil
Kepemilikan lahan
yang sesuai untuk 2 3 3 2 3 4 4 3 0.116
analisis TOPSIS ini), kedua wilayah ini
TPST bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jakarta
dalam hal pengelolaan sampahnya di TPST
Keterangan: Bantargebang. Kriteria jarak dari wilayah sumber
sampah yaitu Kota dan Kabupaten Bekasi ke
1. Kota Bekasi, 2. Kab.Bekasi, 3.Kota Depok, 4.Kota Bogor,
5.Kab.Bogor, 6. Kota Tangerang Selatan, 7. Kab., Tangerang,
TPST Bantargebang, mendapatkan bobot paling
8. Kota Tangerang besar dan diikuti dengan kriteria besarnya biaya
yang diperlukan untuk mengangkut sampah ke
Dalam kasus pemilihan alternatif prioritas TPST Bantargebang (Tabel 3).
dalam pemilihan daerah mana saja yang ada di Ketiga wilayah ini, yaitu Kota Bekasi,
sekitar Bantargebang yang akan menggunakan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor,
TPST Bantargebang, menggunakan 6 kriteria merupakan wilayah yang memiliki jarak terpendek
dengan 8 alternatif. Skala nilai yang digunakan ke TPST Bantargebang, sehingga wilayah-wilayah
dari 1 sampai 7.Dalam hal ini 1 (sangat tidak ini akan mengeluarkan biaya pengangkutan

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 17, No 2, Juli 2016, 73-81 79


sampah yang lebih kecil dibandingkan dengan lahan TPST Bantargebang eksisting, dengan
lima wilayah lainnya. Kabupaten Bogor sendiri lahan baru di sekitar lahan yang sudah ada.
memiliki jarak terpendek ke TPST Bantargebang,
terutama wilayah timur Kabupaten Bogor, seperti Hasil pengumpulan data di lapang,
Kecamatan Gunung Putri, Kecamatan Cileungsi, menunjukkan perluasan lahan TPST ini dapat
Kecamatan Klapa Nunggal dan Kecamatan dilakukan sampai luas 25 – 30 hektar, yang
Jonggol. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan lahan milik pengelola saat ini. Program
sampah untuk ketiga wilayah ini sendiri, sampai ekstensifikasi seluas 25 hektar, dengan ketinggian
saat ini sudah mencapai titik jenuh, baik TPA efektif sampah di landfill 30 meter, ketinggian trap
Sumur Batu milik Kota Bekasi, TPA Burangkeng sampah 3 meter, faktor konversi 1 ton sampah
3
Kabupaten Bekasi dan TPA Galuga Kabupaten adalah 3 meter , faktor pemadatan 50 persen
Bogor. Tentunya TPA Regional Bantargebang serta faktor penyusutan alamiah 3 persen, maka
akan menjadi solusi tepat bagi ketiga wilayah ini diperoleh bahwa TPST Bantargebang masih dapat
untuk menyelesaikan permasalahan hilir menerima sampah sebesar 2,422 ton per hari
pengelolaan sampahnya. selama 15 tahun ke depan.

TPA Regional Nambo, yang ada di Kabupaten Kombinasi program ekstensifikasi dan
Bogor, dalam rencana pengembangannya hanya intensifikasi ini membuat TPST Bantargebang
akan melibatkan tiga wilayah, yaitu: Kota Bogor, memungkinkan untuk dijadikan TPA regional untuk
(8) keempat wilayah tersebut.
Kabupaten Bogor dan Kota Depok . Dengan
demikian, Kota dan Kabupaten Bekasi tidak
termasuk dalam kerjasama TPA Regional Nambo, 4. KESIMPULAN DAN SARAN
sehingga sangat tepat apabila bersama Kondisi TPA eksisting di Wilayah Jabodetabek
Pemerintah Provinsi Jakarta membentuk sudah jenuh dan tidak dimungkinkan lagi untuk
kerjasama dalam pengelolaan TPA Regional di dikembangkan, Dalam pemilihan alternatif yang
TPST Bantargebang. prioritas dalam pemilihan wilayah yang ada di
Kesiapan operasional TPST sekitar TPST Bantargebang, yang akan
Bantargebang untuk menjadi TPA regional perlu menggunakan wilayah ini sebagai TPA Regional
dilakukan analisis situasional deskriptif. Luas lahan ini, diperoleh bahwa Kota Bekasi merupakan
TPST Bantargebang saat ini sebesar 120.8 hektar, alternatif terbaik, selanjutnya adalah Kabupaten
tentunya akan memiliki daya tampung yang Bekasi dan Kabupaten Bogor.
terbatas, dengan melihat pada volume sampah TPST Bantargebang memungkinkan untuk
yang akan diterima. Tahun 2015, sampah dari lima dikembangkan menjadi TPA Regional dengan
wilayah Jakarta yang dikirim ke TPST melakukan progam intensifikasi dan program
Bantargebang saja sudah sebesar 6169.83 ton ekstensifikasi.namun perlu diakukan kajian atau
perhari. Pada tahun 2014 dengan jumlah penelitian lanjutan mengenai model
penduduk mencapai 2.5 juta jiwa, volume timbulan kelembagaannya.
sampah di Kota Bekasi mencapai 1,500 ton/hari
3
atau 6000 m /hari, dan hanya 500 ton dari volume
tersebut yang dikirim ke TPA Sumur Batu. Pada DAFTAR PUSTAKA
tahun 2013 volume timbulan sampah warga
Kabupaten Bekasi yang tersebar di 23 kecamatan 1. Wyndiawaty, R., (2000), Prosedur Kerjasama
mencapai 6.750 m³/hari, namun hanya sekitar Regional dalam Pembangunan dan
3
18% dari total volume tersebut atau 1.230 m atau Pengelolaan Infrastruktur. Jurnal PWK Vol. 11
lebih kurang sebesar 275 ton perhari yang dapat No. 3/September 2000: 125-132.
terangkut ke TPA Burangkeng. Volume sampah
Kabupaten Bogor, tahun 2015 yang terangkut ke 2. Brodjonegoro, (2008), Otonomi Daerah dan
TPS Galuga mencapai 450 ton/hari. Dengan Disentralisasi Ekonomi. FEUI, Jakarta.
asumsi volume sampah Kabupaten Bogor yang 3. Yasa,I.W., Dharma, I.G.B., & Sudipta, I.G.K.,
dikirim ke TPST Bantargebang sebesar 50%, (2013), Manajemen Risiko Operasional Dan
maka total volume sampah yang akan dikir ke TPS Pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir
Bantargebang dari keempat wilayah tersebut (Tpa) Regional Bangli di Kabupaten Bangli.
adalah sebesar 7,169 ton perhari. Jurnal Spektran Bol 1 No.2: 30-38.
Jumlah sampah ini dapat diterima oleh TPST
4. Friedman, J., (2013), Memperkuat
Bantargebang, bila program intensifikasi dan
ekstensifikasi dilakukan.Program intensifikasi Lingkungan Kelembagaan untuk Manajemen
dimaksud adalah, program yang dijalankan Persampahan Perkotaan. Jurnal Prakarsa
dengan menggunakan teknologi yang dapat Infrastruktur IndonesiaEdisi 15/Oktober 2013:
mereduksi sampah, seperti pengomposan untuk 13-18.
sampah organik, daur ulang sampah plastik, dan 5. Hwang,C.L.& Yoon,K., (1981), Multiple
teknologi pengolahan sampah menjadi energi Attribute Decision Making: Methods and
listrik (waste to energy).Program ekstensifikasi Applications. Springer Verlag: Berlin.
adalah program yang dijalankan berupa perluasan

80 Analisis Pemilihan Wilayah… (Manurung D., et al.)


6. Banwet D. K and Majumdar. A., (2014), Apr 18;496(7445):372-6. doi:
"Comparative analysis of AHP-TOPSIS and 10.1038/nature12043. Epub 2013 Mar 17.
GA-TOPSIS methods for selection of raw
8. Unisystem U PT, Asia IRM. Pty. Ltd. Solid
materials in textile industries," pp. 2071–2080,
Waste Management for DKI Jakarta., (2005),
7. Sarraf et al., (2013), Landscape of the Master Plan Review and Program
PARKIN-dependent ubiquitylome in response Development II – 5. WJEMP Loan 4612-
to mitochondrial depolarization. Nature. 2013 INO/Credit 3519-IND (DKI 3-11). Jakarta (ID):
Laporan WJEMP.

Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 17, No 2, Juli 2016, 73-81 81

Anda mungkin juga menyukai