Anda di halaman 1dari 7

Diskusi no.

3: sistem imun non-spesifik & spesifik


Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menahan hampir semua jenis organisme atau racun yang
cenderung merusak jaringan dan organ. Kemampuan ini dinamakan kekebalan atau imunitas. Respons imun terbagi
dalam dua kategori, yakni respon imun bawaan dan respons imun adaptif. Respons imun bawaan atau sistem
pertahanan bawaan tidak membedakan satu jenis ancaman dari ancaman yang lain. Respons yang dihasilkan akan
tetap sama terhadap jenis penyerang yang begitu variatif. Pertahanan ini telah ada sejak lahir (Hall, 2016). Respons
bawaan meliputi hambatan fisik, sel fagosit, pengawasan imunologis, interferon, komplemen, inflamasi dan demam
yang dikenal sebagai resistensi nonspesifik (Martini, 2012). Epitel sebagai penutup kulit memiliki banyak lapisan,
yakni lapisan keratin dan jaringan desmosom yang mengunci sel kulit yang saling berdekatan. Jaringan kunci ini
sangat efektif dalam melindungi jaringan di bawahnya. Struktur dan sekresi aksesori kulit seperti rambut memberikan
perlindungan terhadap abrasi mekanik, terutama pada kulit kepala, dan mencegah kontak bahan berbahaya atau
serangga dengan kulit. Permukaan epidermis kulit pun menerima sekresi kelenjar sebakus dan keringat yang berperan
untuk membasuh permukaan sekaligus membersihkan mikroorganisme dan bahan kimia dari permukaan kulit.
Sekresi tersebut juga mengandung bahan kimia yang dapat membunuh bakteri, seperti lisozim hasil sekresi kelenjar
air mata dan saliva yang dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis ikatan penyusun peptidoglikan pada dinding sel bakteri
Gram positif. Selain itu, lambung pun mengandung asam kuat yang dapat menghancurkan banyak patogen yang
masuk melalui makanan mengingat patogen tidak dapat bertahan hidup dalam suasana asam ekstrim. Sel fagosit
merupakan lini pertama pertahanan sel dalam melawan invasi patogen. Fagosit bekerja dengan cara menghilangkan
debris sel dan menanggapi invasi senyawa asing atau patogen. Terdapat dua tipe sel fagositik umum dalam tubuh,
yaitu mikrofag dan makrofag. Mikrofag adalah neutrofil dan eosinofil yang bersirkulasi normal dalam darah dan
dapat meninggalkan aliran darah untuk masuk ke jaringan perifer yang telah mengalami cedera atau infeksi.
Makrofag adalah sel fagositik aktif yang besar. Sebagian besar berasal dari monosit dalam peredaran darah. Makrofag
yang telah aktif akan menelan patogen atau benda asing lainnya dan menghancurkannya dengan bantuan enzim
lisosom; serta menghancurkan targetnya dengan melepaskan bahan kimia beracun ke dalam cairan interstitial. Sel
natural killer (NK) pada pengawasan imunologis bertugas dalam penghancuran sel abnormal di jaringan perifer.
Membran plasma sel abnormal umumnya mengandung antigen yang tidak ditemukan pada sel membran normal
sehingga sel-sel NK akan mengenali sel abnormal dengan mendeteksi antigen mereka. Interferon merupakan protein
kecil yang dilepaskan oleh limfosit dan makrofag teraktivasi, dan oleh sel-sel jaringan yang terinfeksi dengan virus.
Interferon mengikat reseptor permukaan membran sel normal dan memicu produksi protein antivirus di sitoplasma.
Protein antivirus tidak mencegah virus memasuki sel melainkan mengganggu replikasi virus di dalam sel. Selain
memperlambat penyebaran infeksi virus, interferon turut merangsang aktivitas makrofag dan sel NK. Plasma
mengandung 11 protein komplemen khusus yang membentuk suatu sistem komplemen untuk melengkapi kerja
antibodi. Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua rute: jalur klasik dan jalur alternatif. Jalur klasik
mengaktifkan sistem komplemen secara cepat dan efektif, dimulai dengan pengikatan komplemen protein C1 ke
antibodi yang sudah melekat pada antigen spesifiknya, seperti dinding sel bakteri. Jalur alternatif mengaktivasi sistem
komplemen tanpa adanya molekul antibodi. Aktivasi komplemen menyebabkan pembentukan pori-pori, peningkatan
fagositosis dan pelepasan histamin. Inflamasi adalah respons lokal terhadap cedera. Inflamasi menyebabkan
pembengkakan lokal, kemerahan, panas dan nyeri. Inflamasi memiliki beberapa efek, yaitu memperbaiki cedera
sementara, dan mencegah penambahan patogen yang memasuki luka; memperlambat penyebaran patogen yang jauh
dari cedera; serta sebagai pertahanan lokal, regional, dan sistemik yang dikerahkan untuk mengatasi patogen dan
memfasilitasi perbaikan permanen. Proses perbaikan ini disebut regenerasi. Terakhir, demam adalah pemeliharaan
suhu tubuh melebihi suhu 37.2˚C. Dalam batas tertentu, demam memiliki banyak manfaat. Suhu tubuh yang tinggi
dapat menghambat beberapa virus dan bakteri. Dan untuk setiap 1˚C kenaikan suhu tubuh, laju metabolisme
meningkat 10% sehingga sel pun dapat bergerak lebih cepat, dan mengeksekusi reaksi enzimatik lebih cepat.
Akibatnya, pertahanan jaringan dapat dimobilisasi lebih cepat dan juga mempersingkat proses regenerasi (Abbas,
2018).

Respons imun adaptif berperan dalam perlindungan terhadap suatu ancaman spesifik. Pertahanan spesifik
banyak berkembang setelah lahir sebagai akibat dari kecelakaan, invasi atau paparan yang sengaja terhadap bahaya
lingkungan. Pertahanan adaptif bergantung pada aktivitas spesifik limfosit. Sel B dan sel T merupakan bagian dari
respons imun adaptif yang memberikan perlindungan yang dikenal sebagai resistensi spesifik. Sel T memediasi sel
imunitas, atau imunitas seluler, yang melawan sel abnormal dan patogen di dalam sel. Sel B menyediakan antibodi,
atau kekebalan humoral, yang melindungi tubuh dari antigen dan patogen dalam cairan tubuh. Setelah diaktifkan, sel
T menyerang antigen dan menstimulasi aktivasi sel B. Sel B yang teraktivasi pun menghasilkan antibodi yang
kemudian menyerang antigen dalam aliran darah. Terdapat empat jenis sel T, yaitu 1.) Sel T sitotoksik (TC) yang
bertanggung jawab atas imunitas yang diperantarai sel. Sel-sel ini memasuki jaringan perifer dan langsung
menyerang antigen secara fisik dan kimia. 2.) Sel T memori, merespons antigen yang telah ditemui dengan
mengkloning lebih banyak limfosit untuk mencegah ivasi. 3.) Sel T pembantu (TH), merangsang respons kedua sel T
dan sel B. Sel TH sangat penting untuk respon imun karena mereka harus mengaktifkan sel B sebelum sel B dapat
menghasilkan antibodi. 4.) Sel T supresor (TS), menghambat aktivitas sel T dan sel B dan memediasi respons imun.
Respons imun adaptif terbagi menjadi dua kategori, yaitu adaptif aktif dan pasif. Respons adaptif aktif berkembang
setelah terpapar oleh antigen sehingga tubuh merespons antigen dengan membuat antibodi sendiri. Namun, bentuk
pertahanan ini hanya muncul saat tubuh dimasuki oleh antigen spesifik tersebut. Adaptif aktif dapat terjadi akibat
paparan alami ke antigen di lingkungan (kekebalan aktif yang didapat secara alami) dan adaptif aktif yang diinduksi
secara buatan. Kekebalan aktif yang didapat secara alami biasanya mulai berkembang setelah lahir dan terus
berkembang saat bertemu patogen baru atau antigen asing lain. Imunitas aktif yang diinduksi secara artifisial
merangsang tubuh untuk menghasilkan antibodi dalam kondisi yang terkendali sehingga tubuh akan dapat mengatasi
invasi patogen spesifik di masa depan dan menjadi prinsip dasar untuk imunisasi, atau vaksinasi. Respons imun
adaptif pasif dihasilkan dengan cara mentransfer antibodi dari sumber lain. Dalam respons imun adaptif pasif yang
didapat secara alami, bayi menerima antibodi dari ibu, baik selama kehamilan (melalui plasenta) atau pada masa
pertumbuhan awal bayi (melalui ASI) sedangkan dalam respons imun adaptif pasif yang diinduksi secara buatan,
seseorang menerima antibodi untuk melawan infeksi dan mencegah penyakit (Roitt, 2013).

Imunodifusi Ganda
Imunodifusi ganda, atau dikenal sebagai difusi ganda Ouchterlony, berguna untuk analisis antigen dan
antibodi. Antibodi bereaksi dengan antigen spesifik yang membentuk kompleks antigen-antibodi besar yang dapat
diamati sebagai garis presipitasi. Ketika sampel antigen dan antibodi terlarut ditempatkan di sumur yang berdekatan
dalam gel agar, mereka berdifusi secara radial ke dalam gel agar dan membentuk dua gradien konsentrasi yang
berlawanan antara sumur. Setelah inkubasi lebih dari 18-24 jam, antigen dan antibodi akan berdifusi satu sama lain,
menghasilkan garis presipitin yang terlihat pada kondisi dalam gel di mana antigen dan antibodi dalam proporsi yang
sama (zona ekivalen). Jika konsentrasi antibodi secara signifikan lebih tinggi daripada antigen, tidak terbentuk garis
dan tidak ada reaksi presipitasi yang terjadi maka ini disebut sebagai efek prozone. Sebaliknya, jika kelebihan antigen
mencegah pembentukan garis, sehingga tidak ada pembentukan presipitin, maka efeknya disebut postzone. Setelah
gradien mencapai proporsi optimal (zona ekivalen), interaksi molekul yang sesuai terjadi dan garis presipitasi akan
terbentuk sehingga hubungan antigenik antara antigen dapat dianalisis. Perbedaan pola garis presipitasi yang
terbentuk terhadap antisera yang sama bergantung pada apakah para antigen berbagi semua epitop antigenik atau
sebagian berbagi epitop antigeniknya atau tidak berbagi epitop antigeniknya sama sekali.

Gambar 1. Pola garis presipitasi imunodifusi ganda. Sumber: HiPer® Ouchterlony Double Diffusion Teaching Kit (Antigen-
Antibody Pattern).

Pola identik a terjadi ketika semua epitop antigen di dua sumur identik dan spesifik untuk antibodi di sumur
antiserum. Konsentrasi kedua antigen itu sama sehingga mereka berdifusi dalam laju yang sama dan menghasilkan
garis presipitasi yang halus. Pola identik parsial b terjadi ketika antigen di kedua sumur berbagi beberapa epitop yang
identik untuk keduanya, namun masing-masing dari dua antigen tersebut juga memiliki epitop unik tersendiri. Ini
berarti antiserum mengandung antibodi poliklonal spesifik untuk setiap epitop. Ketika salah satu antigen memiliki
beberapa epitop yang identik dibandingkan yang lain, populasi antibodi poliklonal akan merespon secara berbeda
terhadap dua antigen dan garis presipitin yang dibentuk untuk setiap antigen pun akan berbeda pula. Pola serupa dari
identitas parsial dapat diamati jika antibodi bersifat reaktif silang dengan epitop pada salah satu antigen yang serupa,
tetapi tidak identik dengan yang ada pada antigen lain. Pola non-identik c terjadi ketika antigen di kedua sumur sama
sekali berbeda. Mereka tidak bersifat reaktif silang dan juga tidak memiliki epitop yang sama. Ini dapat berarti
antiserum yang mengandung antibodi bersifat heterogen karena beberapa antibodi bereaksi dengan antigen dalam
satu sumur sementara beberapa bereaksi dengan antigen di sumur lainnya. Jadi, kedua antigen tersebut tidak berkaitan
spesifik secara imunologis selama pemaparan dengan antiserum tersebut (Aryal, 2019).

Hasil uji imunodifusi ganda yang dilakukan praktikan shift Selasa seluruhnya memberikan respon negatif
terhadap pembentukan garis presipitasi sehingga dapat disimpulkan bahwa pada percobaan kali ini, zona ekivalen
antigen-antibodi tidak tercapai dan terjadi efek prozone/postzone yang menyebabkan tidak terbentuknya garis
presipitin (dokumentasi terlampir). Tidak adanya garis presipitin yang terbentuk dapat diasumsikan karena tidak
tercapainya zona ekivalen antara konsentrasi tiap antigen dan antibodi yang terkait pada efek prozone/postzone
mengingat pengisian sumur yang tidak memadai dimana sampel harus dimuat secara langsung ke dalam sumur tanpa
menumpahkan ke sisi sekitar sumur, gelembung udara pun harus dihindari supaya agar tidak pecah (pecahnya agar
dapat mengganggu proses difusi) serta perlu dipastikan bahwa media tetap lembab agar tidak terjadi pengeringan gel
agar selama inkubasi.
Tabel Data Pengamatan Imunodifusi Ganda Shift Selasa

Adanya garis presipitasi pada media agar setelah inkubasi


Kelompok
24 jam 48 jam 72 jam
1 - - -
2 - - -
3 - - -
4 - - -
5 - - -
6 - - -
7 - - -
Kesimpulan: Seluruh media agar tidak menunjukkan adanya garis presipitasi pada percobaan imunodifusi ganda
sehingga dapat disimpulkan bahwa pada percobaan kali ini, zona ekivalen antigen-antibodi tidak tercapai dan terjadi efek
prozone/postzone yang menyebabkan tidak terbentuknya garis presipitin.
Dokumentasi imunodifusi ganda setelah inkubasi
Kelompok
24 jam 48 jam 72 jam

5
6

7
Daftar Pustaka
Aryal, Sagar. 2019. “Ouchterlony Double Immunodiffusion Technique”.
https://microbenotes.com/ouchterlony-double-immunodiffusion-technique/ diakses pada Minggu,
20 Oktober 2019 pk. 22.34 WIB.
Hall, J. E. 2016. Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology 13th Edition. New York: Elsevier, hlm.
465-476.
Himedia. 2019. HiPer® Ouchterlony Double Diffusion Teaching Kit (Antigen-Antibody Pattern). India:
HiMedia Laboratories Pvt., hlm. 2-7.
Roitt, I. M. et al. 2013. Immunology 8th Edition. New York: Elsevier, hlm. 109-199.
Martini et al. 2012. Fundamentals of Anatomy and Physiology 9th ed. New York: Pearson Education Inc.,
hlm. 764-797.
Abbas, A. K. et al. 2018. Cellular and Molecular Immunology 9th Edition. New York: Elsevier, hlm. 57 -
97

Anda mungkin juga menyukai