Anda di halaman 1dari 27

OSTEOARTHRITIS, OSTEOPOROSIS,

RHEUMATOID ARTHRITIS, DAN GOUT ARTHRITIS

Disusun oleh:

WILDAN AHMI SOFFA IKHWANI SAYYID AL-BANNA


GOO14236

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
OSTEOARTHRITIS

DEFINISI

Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan


struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang
rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng
tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya
peradangan, dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi.

Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan


OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak
diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun
perubahan lokal pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai
oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja,
olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer
lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder.
PATOFISIOLOGI

OA disebabkan oleh perubahan biomekanikal dan biokimia tulang rawan yang terjadi
oleh adanya penyebab multifaktorial antara lain karena faktor umur, stress mekanis,
atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik, dan
humoral, dimana akan terjadi ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis tulang
rawan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan pengeluaran enzim-enzim degradasi dan
pengeluaran kolagen yang akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan
sinovium (sinuvitis sekunder) akibat terjadinya perubahan matriks dan struktur. Selain
itu juga akan terjadi pembentukan osteofit sebagai suatu proses perbaikan untuk
membentuk kembali persendian sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang
progresif.

OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan


inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu fase
inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi.

- Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya
melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi dan
memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu
polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar
sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormon,
transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs).
Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo
nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang
peran penting dalam perbaikan rawan sendi.
- Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-
1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang
mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-
α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase untuk
membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki
dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan
menghasilkan kerusakan pada sendi.
- Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan trombus
dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan
terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya
mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat
menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator
kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta
spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan
periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan
tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling
trabekula dan subkondrial.
- Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag
didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis,
material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi sitokin
aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang khondrosit untuk
memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan
sendi.

MANAJEMEN

Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA,


meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi, serta
memperlambat progresi osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan meliputi
fisioterapi, pertolongan ortopedi, farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi.

Tahap Pertama: Terapi Non farmakologi

a. Edukasi pasien.
b. Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs): modifikasi
gaya hidup.
c. Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan, minimal
penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25.
d. Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises).
e. Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot- otot
(quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive devices for
ambulation): pakai tongkat pada sisi yang sehat.
f. Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi, menggunakan
splint dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik sehari-hari.

Tahap kedua: Terapi Farmakologi (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi
nonfarmakologi diatas)

1. Pendekatan terapi awal:


a. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan salah
satu obat berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian obat tersebut:
o Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
o Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS).
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko
pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan
polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna,
mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau antikoagulan), dapat diberikan
salah satu obat berikut ini:
o Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
o Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
o Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan
pemberian obat pelindung gaster (gastro- protective agent).
o Cyclooxygenase-2 inhibitor.
c. Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi
dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone
hexatonide 40 mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai tiga
minggu) dapat diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per
oral (OAINS).
2. Pendekatan terapi alternatif
Bila dengan terapi awal tidak memberikan respon yang adekuat:
a. Untuk penderita dengan keluhan nyeri sedang hingga berat, dan memiliki
kontraindikasi pemberian COX-2 inhibitor spesifik dan OAINS, dapat
diberikan Tramadol (200-300 mg dalam dosis terbagi). Manfaatnya dalam
pengendalian nyeri OA dengan gejala klinis sedang hingga berat dibatasi
adanya efek samping yang harus diwaspadai, seperti: mual (30%), konstipasi
(23%), pusing/dizziness (20%), somnolen (18%), dan muntah (13%).
b. Terapi intraartikular seperti pemberian hyaluronan atau kortikosteroid jangka
pendek (satu hingga tiga minggu) pada OA lutut.
c. Kombinasi. Manfaat kombinasi paracetamol-kodein meningkatkan efektifitas
analgesik hingga 5% dibandingkan paracetamol saja, namun efek sampingnya
lebih sering terjadi: lebih berdasarkan pengalaman klinis. Bukti-bukti
penelitian klinis menunjukkan kombinasi ini efektif untuk non-cancer related
pain.

Tahap Ketiga

Indikasi untuk tindakan lebih lanjut:

- Adanya kecurigaan atau terdapat bukti adanya artritis inflamasi: bursitis, efusi
sendi: memerlukan pungsi atau aspirasi diagnostik dan teurapeutik (rujuk ke
dokter ahli reumatologi/bedah ortopedi.
- Adanya kecurigaan atau terdapat bukti artritis infeksi (merupakan kasus gawat
darurat, resiko sepsis tinggi: pasien harus dirawat di Rumah Sakit).

Segera rujuk ke dokter bedah ortopedi pada:

a. Pasien dengan gejala klinis OA yang berat, gejala nyeri menetap atau
bertambah berat setelah mendapat pengobatan yang standar sesuai dengan
rekomendasi baik secara non-farmakologik dan farmakologik (gagal terapi
konvensional).
b. Pasien yang mengalami keluhan progresif dan mengganggu aktivitas fisik
sehari-hari.
c. Keluhan nyeri mengganggu kualitas hidup pasien: menyebabkan gangguan
tidur (sleeplessness), kehilangan kemampuan hidup mandiri, timbul
gejala/gangguan psikiatri karena penyakit yang dideritanya.
d. Deformitas varus atau valgus (>15 hingga 20 derajat) pada OA lutut
e. Subluksasi lateral ligament atau dislokasi: rekonstruksi retinakular medial,
distal patella realignment, lateral release.
f. Gejala mekanik yang berat (gangguan berjalan/giving way, lutut
terkunci/locking, tidak dapat jongkok/inability to squat): tanda adanya kelainan
struktur sendi seperti robekan meniskus: untuk kemungkinan tindakan
artroskopi atau tindakan unicompartmental knee replacement or
osteotomy/realignment osteotomies.
g. Operasi penggantian sendi lutut (knee replacement: full, medial
unicompartmental, patellofemoral and rarely lateral unicompartmental) pada
pasien dengan:
o Nyeri sendi pada malam hari yang sangat mengganggu
o Kekakuan sendi yang berat
o Mengganggu aktivitas fisik sehari-hari.
OSTEOPOROSIS

DEFINISI

Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh


menurunnya massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks dan mineral tulang
disertai dengan kerusakan mikroarsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat
menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecenderungan tulang mudah patah.

Osteoporosis terbagi menjadi 3 jenis yaitu:

1. Osteoporosis Primer, terbagi menjadi 2 yaitu:


o Osteoporosis Promer Tipe 1
Adalah kehilangan massa tulang yang terjadi sesuai dengan proses
penuaan, yaitu akibat kekurangan estrogen, umumnya terjadi pada
wanita yang telah mengalami menopause, dan kekurangan testosteron
pada pria yang mengalami andropause.
o Osteoporosis Primer Tipe 2
Sering disebut dengan istilah osteoporosis senil/penuaan.
2. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis jenis ini dipengaruhi oleh adanya penyakit yang mendasari, akibat
obat-obatan, dan lain sebagainya. Pada osteoporosis sekunder, terjadi
penurunan densitas tulang yang cukup berat.
3. Osteoporosis idiopatik
Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan ditemukan pada usia
kanak-kanak (juvenil), usia remaca (adolesen), dan pria usia pratengah.

PATOFISIOLOGI

Penyebab osteoporosis adalah ganggguan pada metabolisme tulang. Pada


keadaan normal, sel-sel tulang yaitu sel pembangun (osteoblas), dan sel pembongkar
(osteoklas) bekerja silih berganti, saling mengisi, seimbang, sehingga tulang terjadi
utuh. Apabila kerja osteoklas m elebihi kerja osteoblas, maka kepadatan tulang menjadi
kurang dan akhirnya keropos. Metabolisme tulang dapat terganggu oleh berbagai
kondisi, yaitu berkurangnya hormon estrogen, berkurangnya asupan kalsium dan
vitamin D, berkurangnya stimulasi mekanik pada tulang, efek samping beberapa jenis
obat, minum alkohol, merokok, dan lain sebagainya.

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar


42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan
sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana
resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal
ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan
peningkatan risiko fraktur.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal
ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi
dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan
resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal
di daerah 4 musim. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena
akan meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin.

Faktor lain yang juga ikut berperan dalam terhadap kehilangan massa tulang
pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,
imobilisasi lama). Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan
intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang
kortikal dan meningkatkan risiko fraktur tulang kortikal, misalnya pada femur
proksimal. Total permukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan
bertambahnya umur, hanya saja berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal.

DIAGNOSIS

Prosedur diagnostik yang lazim digunakan untuk menentukan adanya penyakit


tulang metabolik seperti osteoporosis, adalah:

1. Penentuan massa tulang secara radiologis, dengan densitometer DEXA (Dual


Energy X-ray Absorptiometry).
2. Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi untuk bone turnover,
terutama mengukur produk pemecahan kolagen tulang oleh osteoklas.

Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan T-


score adalah sebagai berikut:

1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1
selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah
rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama
dengan -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral
tulang lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak
lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 10 – 25%
di bawah rata-rata (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).
3. Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5
selisih pokok di bawah nilai ratarata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-
rata atau kurang (T-score di bawah -2,5 SD).
4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari
2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-
rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang
osteoporosis(T-score di bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah
tulang osteoporosis).

TATALAKSANA

Terapi Non Farmakologis

Secara umum, perlu disampaikan edukasi dan program pencegahan terhadap


pasien-pasien osteoporosis antara lain :

1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk


memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta
kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang
dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun
berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari
maupun suplementasi,
3. Hindari merokok dan minum alkohol.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-
laki dan menopause awal pada wanita.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis,
6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti
osteoporosis.
7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya
lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat
menyebabkan hipotensi ortistatik.
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang terpajan
sinar matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila
diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa.
Bila 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau
800 lU/hari pada orang tua harus diberikan. pada penderita dengan gagal ginjal,
suplementasi 1,25(OH).D harus dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan
Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium ditubulus
ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis
rendah (HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka
panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan
sesingkat mungkin.
11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting
mengatasi aktivitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan
penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamatif yang aktif.

Terapi Farmakologis

Terapi farmakologi seharusnya diberikan pada wanita pascamenopause dan pria yang
berusia >50 tahun dengan faktor risiko osteoporosis berikut:

1. Riwayat patah tulang panggul dan tulang belakang


2. Nilai pemeriksaan BMD menggunakan DXA pada tulang paha atau tulang
belakang menunjukkan skor T kurang dari atau sama dengan –2,5.
3. Massa tulang rendah, skor T tulang paha atau tulang belakang antara –1,0 dan
–2,5, dan probabilitas patah tulang panggul dalam 10 tahun lebih dari atau sama
dengan 3%.
Terapi yang bisa diberikan adalah:

- Bifosfonat, merupakan terapi pilihan utama pada tatalaksana osteoporosis


khususnya bagi pasien dengan kontraindikasi terapi hormon, atau pada pasien
laki-laki. Bifosfonat memiliki efek penghambat osteoklas. Yang perlu menjadi
perhatian adalah bahwa absorbsi bifosfonat sangat buruk, oleh karena itu harus
diberikan dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air putih dan
setelah itu penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit.
- Raloksifen, merupakan salah satu dari golongan selective estrogen receptor
modulators (SERM). Obat ini disetujui oleh FDA sebagai terapi pencegahan
dan pengobatan pada osteoporosis. Mekanisme kerja raloksifen hampir sama
dengan estrogen dengan dosis 60 mg/hari. Raloksifen hanya diindikasikan pada
wanita paska-menopause < 70 tahun
- Terapi pengganti hormonal.
o Pada wanita paska menopause: estrogen terkonyugasi (0,3125 – 1,25
mg/hari) dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5-10
mg/hari, setiap hari secara kontiniu.
o Pada wanita pra-menopause : estrogen terkonyugasi diberikan dengan
penyesuaian terhadap siklus haid.
o Pada laki-laki : Pada laki-laki yang jelas menderita defisiensi
testosteron, dapat dipertimbangkan pemberian testosteron.
- Kalsitonin, dapat diindikasikan pada kasus osteoporosis, penyakit paget dan
hiperkalsemia karena keganasan. Obat ini dapat menurunkan resorpsi tulang.
pemberiannya secara intranasal dengan dosis 200 U per hari. Dapat juga
diberika secara subkutan.
- Strontium Ranelat, merupakan obat osteoporosis yang memiliki efek ganda,
yaitu meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas.
Akibatnya tulang endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat.
Mekanisme kerja strontium ranelat belum jelas benar. Diduga efeknya
berhubungan dengan perangsangan Calcium sensing receptor (CaSR) pada
permukaan sel-sel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gram/hari yang
dilarutkan di dalam air sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan atau 2 jam
setelah makan. Sama seperti obat osteoporosis lainnya, pemberian obat ini
harus dibarengi pemberian kalsium dan vitamin D, tetapi pemberiannya tidak
boleh bersamaan dengan strontium ranelat.
- Vitamin D, berperan dalam meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Lebih dari
90% vitamin D disintesis di dalam tubuh dari prekursornya di bawah kulit oleh
paparan sinar ultraviolet. Pada orang tua, kemampuan untuk aktivasi vitamin D
di bawah kulit berkurang. Sehingga pada orang tua sering terjadi defisiensi
vitamin D. Kadar vitamin D di dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar
25- OH vitamin D. Pada penelitian didaptkan suplementasi 500 IU kalsiferol
dan 500 mg kalsium per-oral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan
fraktur non-spinal sampai 50%. Vitamin D diindikasikan untuk orang tua yang
tinggal di panti weda yang kurang terpapar sinar matahari. Tetapi tidak
diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar matahari.
- Kalsitriol, saat ini tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan
osteoporosis paska-menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat
hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium
peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme
sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun akibat gagal ginjal terminal. Dosis
kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25 µg, 1-2 kali per hari.
- Kalsium. Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah
dari kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh Institue of Medicine,
National Academy of Science yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai
monoterapi ternyata tidak mencukupi untuk mencegah fraktur pada penderita
osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat (kalsium
elemen 400 mg/gram, dalam bentuk serbuk dosis 2-3 x 500 mg) disusul kalsium
fosfat (230 mg/gram), kalsium sitrat (211 mg/gram), kalsium laktat (130
mg/gram) serta kalsium glukonat (90 mg/gram).
RHEUMATOID ARTHRITIS

DEFINISI

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan


inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan
organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri
sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan.

Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit
autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis
kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai
pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan
ikut sebagai faktor pencetus.
PATOFISIOLOGI

Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan


teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait,
antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral,
peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sama lainnya
saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan
kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local
protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel,
dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu
TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan
stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta
merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases
(MMPs).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA.
Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17,
yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada
membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B
berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan
pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus
tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan
kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga
terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan
protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis
serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga
menyebabkan kelelahan dan depresi.

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di


bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas,
secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi
dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia
dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau
segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan
pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang
rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran
oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta
dipercepat karena adanya Pannus.

DIAGNOSIS

Diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American


College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010, yaitu:
Parameter Skor
A. Keterlibatan Sendi
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3
Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5
B. Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
RF dan ACPA negatif 0
RF atau ACPA positif rendah 2
RF atau ACPA positif tinggi 3
C. Reaktan Fase Akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk
klasifikasi)
LED dan CRP normal 0
LED atau CRP normal 1
D. Lamanya Sakit
Kurang dari 6 minggu 0
6 minggu atau lebih 1

Di atas adalah kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College


of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA.
Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prospektif
(gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari
riwayat penyakit).

TATALAKSANA

Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan


pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan
fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.

1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)


Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID
yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang
rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi.
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya
dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat,
pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat
mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka
dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya.
GOUT ARTHRITIS

DEFINISI

Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit dan


potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama, gejalanya
biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri inflamasi satu sendi. Gout adalah bentuk
inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di sendi besar jempol
kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi
lain termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan
kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi pada
satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat
mempengaruhi beberapa sendi. Gout merupakan istilah yang dipakai untuk
sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam
urat (hiperurisemia). Penyakit asam urat atau gout merupakan penyakit akibat
penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh sehingga menyebabkan nyeri
sendi disebut Gout artritis.
Berdasarkan penyebabnya, penyakit asam urat digolongkan menjadi 2, yaitu:

1. Gout primer Penyebab kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini diduga
berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat mengakibatkan meningkatnya
produksi asam urat. Hiperurisemia atau berkurangnya pengeluaran asam urat dari
tubuh dikatakan dapat menyebabkan terjadinya gout primer.
2. Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelainan yang
menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan
peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang
menyebabkan sekresi menurun.
Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari
kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim HPRT pada syndome Lesh-Nyhan,
kekurangan enzim glukosa-6 phosphate pada glycogen storage disease dan
kelainan karena kekurangan enzim fructose-1 phosphate aldolase melalui
glikolisis anaerob.
Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat disebabkan karena
keadaan yang menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau pemecahan asam
nukleat dari dari intisel. Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan
berlanjut membentuk IMP atau purine nucleotide dalam metabolisme purin,
sedangkan hiperurisemia akibat penurunan ekskresi dikelompokkan dalam
beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal, penurunan filtrasi
glomerulus, penurunan fractional uric acid clearence dan pemakaian obat- obatan.

PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria dewasa
kurang dari 7 mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila konsentrasi asam
urat dalam serum lebih besar dari 7 mg/dl dapat menyebabkan penumpukan kristal
monosodium urat. Serangan gout tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan secara mendadak kadar asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat
mengendap dalam sendi, akan terjadi respon inflamasi dan diteruskan dengan
terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang berulang-ulang, penumpukan
kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan mengendap dibagian perifer tubuh
seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga. Akibat penumpukan Nefrolitiasis urat (batu
ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis.

Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat


dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau dengan
hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan
patella yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout
ataupun pseudogout dapat timbul pada keadaan asimptomatik.

DIAGNOSIS

Subkomite The American Rheumatism Association menetapkan bahwa kriteria


diagnostik untuk gout adalah:
1. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi.
2. Tofi terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi
dan mikroskopik dengan sinar terpolarisasi.
3. Diagnosis lain, seperti ditemukan 6 dari beberapa fenomen aklinis,
laboratoris, dan radiologis sebagai tercantum dibawah ini:
a. Lebih dari sekali mengalami serangan arthritis akut.
b. Terjadi peradangan secara maksimal dalam satu hari.
c. Serangan artrtis monoartikuler.
d. Kemerahan di sekitar sendi yang meradang.
e. Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau
membengkak.
f. Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki).
g. Serangan unilateral pada sendi MTP 1.
h. Dugaan tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di
kartilago artikular (tulang rawan sendi) dan kapsula sendi.
i. Hiperurikemia.
j. Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja).

Diagnosis pasti dari artritis gout ditentukan hanya dengan membuktikan adanya
kristal asam urat dalam cairan sinovia/bursa atau tophus. Diagnosis dapat dikonfirmasi
melalui aspirasi persendian yang mengalami inflamasi akut atau dicurigai topus. Bila
tak ada cairan, sinovia/bursa atau tophus sebagai bahan untuk diperiksa, maka
diagnosis yang dibuat, adalah sementara dan dasardasar kriteria klinik ialah:

1. Serangan-serangan yang khas dari arthritis yang hebat dan periodik dengan
kesembuhan yang nyata diantara serangan.
2. Podagra
3. Tofi
4. Hiperurekemia
5. Hasil yang baik dengan pengobatan kolkisin.
TATALAKSANA

Prinsip umum pengelolaan hiperurisemia dan gout:

1. Setiap pasien hiperurisemia dan gout harus mendapat informasi yang


memadai tentang penyakit gout dan tatalaksana yang efektif termasuk
tatalaksana terhadap penyakit komorbid.
2. Setiap pasien hiperurisemia dan gout harus diberi nasehat mengenai
modiϐikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan hingga ideal,
menghindari alkohol, minuman yang mengandung gula pemanis buatan,
makanan berkalori tinggi serta daging merah dan seafood berlebihan, serta
dianjurkan untuk mengonsumsi makanan rendah lemak, dan latihan ϐisik
teratur.
3. Setiap pasien dengan gout secara sistematis harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan penapisan untuk penyakit komorbid terutama yang
berpengaruh terhadap terapi penyakit gout dan faktor risiko kardiovaskular,
termasuk gangguan fungsi ginjal, penyakit jantung koroner, gagal jantung,
stroke, penyakit arteri perifer, obesitas, hipertensi, diabetes, dan merokok.

Hiperurisemia tanpa gejala klinis

Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan


modiϐikasi gaya hidup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umum pengelolaan
hiperurisemia dan gout. Penggunaan terapi penurun asam urat pada hiperurisemia tanpa
gejala klinis masih kontroversial. The European League Against Rheumatism
(EULAR), American Colleague of Rheumatology (ACR) dan National Kidney
Foundation (NKF) tidak merekomendasikan penggunaan terapi penurun asam urat
dengan pertimbangan keamanan dan efektiϐitas terapi tersebut. Sedangkan
rekomendasi dari Japan Society for Nucleic Acid Metabolism, menganjurkan
pemberian obat penurun asam urat pada pasien hiperurisemia asimptomatik dengan
kadar urat serum >9 atau kadar asam urat serum >8 dengan faktor risiko kardiovaskular
(gangguan ginjal, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung iskemik).
Gout Akut

Serangan gout akut harus mendapat penanganan secepat mungkin. Pasien harus
diedukasi dengan baik untuk dapat mengenali gejala dini dan penanganan awal
serangan gout akut. Pilihan obat untuk penanganan awal harus mempertimbangkan ada
tidaknya kontraindikasi obat, serta pengalaman pasien dengan obat-obat sebelumnya.

Rekomendasi obat untuk serangan gout akut yang onsetnya <12 jam adalah
kolkisin dengan dosis awal 1 mg diikuti 1 jam kemudian 0.5 mg. Terapi pilihan lain
diantaranya OAINS, kortikosteroid oral dan/atau bila dibutuhkan aspirasi sendi diikuti
injeksi kortikosteroid. Kolkisin dan OAINS tidak boleh diberikan pada pasien yang
mengalami gangguan fungsi ginjal berat dan juga tidak boleh diberikan pada pasien
yang mendapat terapi penghambat P-glikoprotein dan/atau CYP3A4 seperti siklosporin
atau klaritromisin.

Serangan gout akut dapat dipicu oleh.

1. Perubahan kadar asam urat mendadak. Peningkatan mendadak maupun


penurunan mendadak kadar asam urat serum dapat memicu serangan artritis
gout akut. Peningkatan mendadak kadar asam urat ini dipicu oleh konsumsi
makanan atau minuman tinggi purin. Sementara penurunan mendadak kadar
asam urat serum dapat terjadi pada awal terapi obat penurun asam urat.
2. Obat-obat yang meningkatkan kadar asam urat serum, seperti: antihipertensi
golongan thiazide dan loop diuretic, heparin intravena, siklosporin.
3. Kondisi lain seperti trauma, operasi dan perdarahan (penurunan volume
intravaskular), dehidrasi, infeksi, dan pajanan kontras radiografi.

Obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak disarankan memulai terapinya
pada saat serangan gout akut namun, pada pasien yang sudah dalam terapi rutin
obat penurun asam urat, terapi tetap dilanjutkan.

Obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak disarankan memulai terapinya
pada saat serangan gout akut namun, pada pasien yang sudah dalam terapi rutin
obat penurun asam urat, terapi tetap dilanjutkan. Obat penurun asam urat
dianjurkan dimulai 2 minggu setelah serangan akut reda. Terdapat studi yang
menunjukkan tidak adanya peningkatan kekambuhan pada pemberian alopurinol
saat serangan akut, tetapi hasil penelitian tersebut belum dapat digeneralisasi
mengingat besar sampelnya yang kecil dan hanya menggunakan alopurinol.

Fase Interkritikal dan Gout Kronis

Fase interkritikal merupakan periode bebas gejala diantara dua serangan gout
akut. Pasien yang pernah mengalami serangan akut serta memiliki faktor risiko perlu
mendapatkan penanganan sebagai bentuk upaya pencegahan terhadap kekambuhan
gout dan terjadinya gout kronis.

Pasien gout fase interkritikal dan gout kronis memerlukan terapi penurun kadar
asam urat dan terapi proϐilaksis untuk mencegah serangan akut. Terapi penurun kadar
asam urat dibagi dua kelompok, yaitu: kelompok inhibitor xantin oksidase (alopurinol
dan febuxostat) dan kelompok urikosurik (probenecid).

Alopurinol adalah obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar asam urat,
diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis
maksimal 900 mg/hari (jika fungsi ginjal baik). Apabila dosis yang diberikan melebihi
300 mg/hari, maka pemberian obat harus terbagi. Jika terjadi toksisitas akibat
alopurinol, salah satu pilihan adalah terapi urikosurik dengan probenecid 1−2 gr/hari.
Probenecid dapat diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal normal, namun
dikontraindikasikan pada pasien.

Alopurinol adalah obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar asam urat,
diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis
maksimal 900 mg/hari (jika fungsi ginjal baik). Apabila dosis yang diberikan melebihi
300 mg/hari, maka pemberian obat harus terbagi. Jika terjadi toksisitas akibat
alopurinol, salah satu pilihan adalah terapi urikosurik dengan probenecid 1−2 gr/hari.
Probenecid dapat diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal normal, namun
dikontraindikasikan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Adhiputra IKAI. (2017). Osteoartritis. Denpasar: Universitas Udayana.

Herawati F. (2013). Farmakoterapi Osteoporosis. Rasional. 10(4): 30-32.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis


Reumatoid. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN 978-979-3730-
24-0.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2014). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia Untuk Diagnosis dan pengelolaan Artritis Reumatoid. Jakarta:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN 978-979-3730-20-2.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2018). Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan


Gout. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN 978-979-3730-31-8.

Kawiyana. (2009). Osteoporosis: Patogenesis, Diagnosis, dan Penanganan Terkini.


Jurnal Penyakit Dalam. 10(2): 157-170.

Kemenkes RI. (2015). Data & Kondisi Penyakit Osteoporosis di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. ISBN 2442-7659.

Masyeni KAM. (2018). Rheumatoid Arthritis. Denpasar: Universitas Udayana.

Sholihah FM. (2014). Diagnosis and Treatment Gout Artritis. Jurnal Majority. 3(7):
39-45.

Sihombing B, Ginting G. (2016). Manajemen Osteoporosis Pada Lansia. Medan:


Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/handle/1234567

Widiyanto FW. (2014). Artritis Gout dan Perkembangannya. Sainitika Medika: Jurnal
Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga. 10(2): 145-152. DOI:
10.22219/sm.v10i2.4182

Anda mungkin juga menyukai