Anda di halaman 1dari 6

93 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 93-98

KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT

M. Nasri Hamang

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare


Email: nasri_hamang@yahoo.co.id

Abstract: This article presents the opinion of imams of four Islamic legal schools
(mazhab) regarding the validity of hadits as the source of Islamic law. This study shows
that the opinion of the imams on that issue is various. According to Abu Hanifah, al-
sunnah can be accepted as the source of Islamic law with the condition that it is related
by reliable men. As to hadits ahad, he requires that it does not contradict the principles
agreed upon by ‘ulama, and its content (matan) does not concern with general issues,
nor does it contravene the qiyas. He even accept the hadits mursal if it does not
contradict the Quran. While according to Malik bin Anas, hadits can be accepted as the
argumentation (hujjah), not only for hadits mutawatir, but also for hadits masyhur,
hadits mursal, and hadits ahad, with the condition that they do not contradict the actions
of Madinah scholars. Idris al-Syafi’i contends that hadits ahad can be accepted as the
source of Islamic law with the requirement that it is related by dhabith transmitter. This
is also the case with the hadits mursal. According to Syafi’i, the status of hadits
mutawatir is higher than hadits ahad and hadits mursal. Another imam, Ahmad bin
Hanbal, uses all kinds of hadits, mutawatir, ahad, mursal, and dha’if, as the sources of
Islamic law. He even prefers hadits dha’if

Kata Kunci: Kehujjaan, hadis, Imam Mazhab.

I. PENDAHULUAN sunnah adalah sumber sendidri dan berdiri


sendiri.3
Kedudukan hadis tergolong amat Kedudukan hadis yang demikian
istimewa. Ia sebagai sumber hukum Islam istimewa tersebut, faktanya memang telah
kedua sesudah al-Qur`an. Yusuf Musa mendapat di hati umat Islam, dalam arti
menyatakan, sejak abad pertama lampau, benar-benar menerimanya sebagai hukum
selirih umat Islam menempatkan hadis atau ajaran Islam. Dari waktu ke waktu
pada peringkat pertama sesdah al-Qur`an nyaris tidak lagi akan mempersoalkan
al-‘Azhim. Seluruh umat Islam merujuk- tentang kedudukannya itu. Dalam sejarah,
kan urusan-urusan keagamaan kepada- hanya ada sekelompok kecil dari kalangan
nya.1 umat Islam telah menolak hadis Nabi
‘Ajjaj al-Khathib menyatakan pula, sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
al-Qur`an dan hadis merupakan dua Mereka dikenal dengan sebutan inkarus-
sumber hukum Islam yang bersifat sunnah.4
permanen. Tidaklah mungkin bagi umat Namun yang banyak yang menjadi
Islam, termasuk para mujtahid dapat permasalahan di kalamgaan umat Islam
mengetahui masalah-masalah syar’iyyah ialah kriteria sebuah hadis untuk dapat
tanpa menoleh kepada keduanya.2 Bahkan menjadi hujjah. Karena itu dalam tulisan
Abdul Karim Amrullah lebih menegaskan, ini, akan diuraikan kriteria penilaian
kehujjahan haidis menurut imam mazhab,
94 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 93-98

yakni mazhab yang lahir dalam periode bersifat zhanni (di luar keyakinan atau
(110-350 H) yang tetap berkembang akidah). Dengan kata lain, hadis
sampai sekarang, yang dikenal dengan masyhur dapat diamalkan dan di bawah
Imam Mazhab Empat, yaitu Imam Abu peringkat hadis mutawatir.7
Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Dari keterangan di atas, nampak
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. ada perbedaan di kalangan ulama
pengikut Abu Hanifah dalam men-
II. PEMBAHSAN
dudukkan hadis sebagai hujjah. Ada
A. Pendapat Imam Mazhab Empat yang menyamakan derajat hadis
tentang Kriteria Kehujjahan Hadis. masyhur dengan hadis mutawair; dan
1. Pendapat Imam Abu Hanifah ada yang berpandangan peringkat hadis
masyhur berada di bawah hadis
Imam Abu Hanifah dalam mutawatir. Ada dualism persepsi,
mengambil sumber atau dalil hokum namun pada hakikatnya, keduanya
dalam menghadapi tuntutan ketetapan menyetujui hadis mutawatir sebagai
hukum terhadap masalah-masalah yang hadis yang dapat dijadikan hujjah
dihadapinya atau yang timbul di dalam menetap-kan hukum.
tengah-tengah masyarakat, ia menem- Abu Hanifah menerima hadis
patkan hadis sebagai sumber penetapan ahad dengan menetapkan syarat-syarat
hukum yang kedua sesudah al-Qur`an. sebagai berikut:
Hal ini diketahui melalui ulasan yang a. Periwayatnya tidak menyalahi riwa-
diberikan al-Baghdadi dalam buku yatnya
tarikhnya, di mana Abu Hanifah b. Riwayatnya tidak menyangkut soal
berkata: Saya terlebih dahulu yang umum
mengambil pada kitab Allah, tetapi c. Riwayatnya tidak menyalahi qiyas.8
kalau saya tidak menemukan di dalam-
nya, maka saya mengambil pada Hadis ahad didahukukan atas
sunnah Rasulullah saw.5 qiyas, jika:
Banyak ulama yang menududh
Abu Hanifah mendahulukan qiyas dari a. Qiyas yang ‘illat-nya mustanbath
pada hadis. Namun tuduhan itu dari sesuatu yang zhanni
hanyhalah didorong oleh perasaan b. Istinbath zhanni walau dari asal
apriori belaka. Al-Sya’rani dalam yang qath’i
kitabnya, al-Mizan al-Kubra menulis, c. Di-istinbath-kan dari yang qath’i,
bahwa Abu Hanifah berkata: Demi tapi penerapannya pada furu’ adalah
Allah, telah berdusta dan telah meng- zhanni.9
ada-ada terhadap saya, orang yang Berdasarkan penjelasan tersebut,
mengatakan, sesungguhnya saya ternyata Abu Hanifah menggunakan
mendahulukan qiyas atas nash. Apakah qiyas untuk menilai hadis ahad sebagai
diperlukan qiyas sesudah ada nash.6 alat untuk memproduk hukum Islam.
Jumhur ulama telah menegaskan, Dengan demikian dapat dikatakan,
Abu Hanifah ber-hujjah dengan hadis posisi hadis ahad bagi Abu Hanifah
mutawatir. Sebagian ulama Hanafiyah berada di bawah qiyas.
menyamakan hadis masyhur dengan Abu Hanifah dapat menerima hadis
hadis mutawatir; dan sebagian dari mursal dalam membina hukum Islam,
mereka menegaskan, hadis masyhur selama tidak bertentangan dengan al-
tidak menyangkut soal yang bersifat Qur`an, hadis masyhur dan keterangan
keyakinan, melainkan hanya yang syara’.10
95 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 93-98

Pada prinsipnya Abu Hanifah munqathi’ dan hadis-hadis yang


menetapkan al-Qur`an sebagai sumber disampaikan periwayat kepadanya
hukum Islam yang pertama, menerima yang (dalam kitab al-Muwaththa`) di-
sunnah jika datang dari orang yang ta’bir-kan dengan ‘ibarat balaghani
terpercaya, menerima hadis ahad (sampai kepadaku), walaupun ia tidak
sesudah al-Qur`an, jika hadis ahad terangkan sebab-sebab ia menerima
tidak bertentangan dengan kaedah yang hadis-hadis tersebut, mengingat pada
telah di-ijma’-i oleh ulama, tidak masa itu, belum dipersoalkan ulama
teemasuk soal yang umum dan tidak tentang kedudukan hadis mursal; dan
menyalahi qiyas’. Abu Hanifah ia sendiri tidak menerima hadis
menerima juga hadis mursal sebagai melainkan dari orang yang dipercayai-
hujjah jika tidak bertentangan dengan nya.13
al-Qur`an, serta menggunakan hadis Imam Malik menegaskan pula,
mutawatir sebagai hujjah. Sedangakan dirinya berpegang kepada ‘amal pen-
terhadap ke-hujjah-an hadis masyhur, duduk Madinah dan menggunakan
terjadi perbedaan pendapat di kalangan qiyas dalam membina dan menetapkan
ulama Hanafiyah. masalah hukum yang dihadapinya.14
Adapun hadis ahad, ulama-ulama
2. Pendapat Imam Malik bin Anas Malikiyah tidak mengamalkannya bila
Imam Malik adalah imam dalam bertentangan dengan amalan-amalan
bidang fikih dan hadis. Hal ini terlihat atau ‘urf ulama-ulama Madinah,
padal kitabnya, al-Muwaththa`. Al- menginat ada pandangan yang
Qadhi ‘Iyadh menyebutkan dalam kitab mengatakan, amalan-amalan ulama
al-Madari, bahwa dasar pengangan Madinah sama dengan riwayatnya.15
dalam menetapkan hukum Islam ada Pada intinya, Imam Malik
empat, yaitu al-Kitab, al-sunnah, ‘amal membina hukum-hukum Islam dengan
ahli Madinah dan qiyas.11 berdasarkan al-Qur`an sebagai sebagai
Menurut Imam Malik, dididukkan sumber pembinaan yang pertama,
al-sunnah terhadap al-Qur`an dalam kemudian sunnah sebagai sumber
tiga hal, yaitu: pembinaan yang kedua. Dalam hal
a. Mentaqrir-kan hukum hukum dalam hadis, Imam Malik menerima hadis
al-Qur`an masyhur, hadis mursal dan hadis
b. Menerangkan apa yang mutawatir serta hadis ahad. Sementara
dfikehendaki al-Qur`an khusus hadis ahad, Imam Malik
c. Mendatangkan hukum baru yang memberi syarat, yaitu tidak
tidak disebutkan dalam al-Qur`an.12 bertentangan dengan amalan-amalan
Mencermati pendapat Imam Malik ulama Madinah.
tersebut, dapat ditegaskan bahwa Imam 3. Imam Syafi’i
Malik dalam membina hukum Islam, ia
Imam al-Syafi’i membagi pro-
menempatkan al-sunnah sebagai
sedural ilmiah penetapan dalil-dalil
sumber pengambilan hukum yang
hukum dalam lima tingktan dengan
kedua sesudah al-Qur`an. Imam Malik
memandang keberadaan al-sunnah urutan sebagai beriukut:
sekaligus sebagai sumber bagi tim- a. Al-Kitab dan al-Sunnah. Ditempat-
bulnya hukuim-hukum baru di luar al- kannya al-sunnah sejajar dengan al-
Qur`an. Kitab karena al-sunnah merupakan
Imam Malik menegaskan, dirinya penjelas bagi al-Kitab, walau hadis
menrima hadis mursal, hadis ahad tidak senilai dengan al-Kitab.
96 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 93-98

b. Ijma’ ditempuh dalam berbagai Sedangkan hadis mursal, Imam


masalah yang tidak diperoleh Syafi’I tidak menerima secara mutlak
dalilnya dari al-Kitab dan al- dan tidak menolaknya secara mutlak.
sunnah. Ijma’ dalam hal ini, ialah Hadis mursal dapat diterima Imam
ijma’-nya para fuqaha yang Syafi’i dengan dua syarat; pertama,
memiliki ilmu khusus. hadis mursal itu disampaikan oleh
c. Qawl (pendapat) sebagian sahabat tabi’in yang banyak berjumpa dengan
yang diketahui, tidak ada qawl lain sahabar; kedua, ada petunjuk yang
yang menyelisihinya. menguatkan sanad hadis ahad itu.
d. Qawl-Qawl sahabat yang berten- Walaupun hadis mursal diterima Imam
tangan dengan qawl-qawl sahabat Syafi’i sebagai hujjah, namun
juga; dalam hal ini, mengambil qawl menurutnya tidaklah sederajat dengan
yang paling kuat. hadsi ahad; dan demikian juga hadis
e. Qiyas, yaitu menetapkan hukum ahad, dapat diterima, tetapi tidak
suatu masalah dengan menyamakan sejajar dengan al-Qur`an dan hadis
(mengkias) hukum yang sudah mutawatir.18
dietapkan oleh dalil di atas.16 Adapun kedudukan hadis terhadap
Menyimak pembagian prosedural al-Qur`an, menurut Imam Syafi’i
ilmiah tersebut, dapat diketahui, bahwa adalah sebagai berikut:
Imam Syafi’I dalam membina hukujm a. Menerangkan ke-mujmal-an al-
Islam, ia menemaptkan al-Qur`an dan Qur`an, seperti menerangkan ke-
hadis sebagai termpat bersandarnya mujmal-an ayat shalat
ijma’, qawl sahabat dan qiyas. Dengan b. Menerangakan ‘am al-Qur`an, yaitu
kata lain, bahwa sumber yang ‘am yang dikehendaki khash
digunakan Imam Syafi’I dalam c. Menerangkan fardu-fardu dari
membina hokum, hanyalah dua, yaitu fardu-fardu yang telah ditetapkan al-
al-Qur`an dan hadis. Adapun dalil- Qur`an
dalil lain dalam urutan tingkatan di d. Menerangkan mana yang nasikh dan
atas, hanyalah merujuk kepada al- mana yang mansukh dari ayat-ayat
Qur`an dan hadis. al-Qur`an.19
Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam Berdasarkan penjelasan tersebut,
Syafi’i mengajukan sejumlah dalil yang tergambar dengan jelas, bahwa Imam
membuktikan ke-hujjah-an al-sunnah. Syafi’I dalam menetapkan hukum
Hadis ahad, Imam Syafi’i menerima- menempatakn sunnah sejajar dengan
nya, namun dengan syarat sebagai al-Qur`an. Menurutnya, kedua dalil itu
berikut: sama-sama berasal dari Allah dan
a. Periwayatnya adalah orang yang keduanya meruapakan sumber ajaran
dipercaya Islam.
b. Periwayatnya berakal atau mema- Imam Syafi’i memakai ijma’, qawl
hami apa yang diriwayatkan sahabat dan qiyas dengan merujuk pada
c. Periwayatnya dhabith kedua sumber ajaran Islam tersebut.
d. Periwayatnya benar-benar men- Selanjutnya, Imam Syafi’i menerima
dengar hadis itu dari orang yang hadis ahad sebagai hujjah dengan
meriwayatkannya syarat, harus dari periwayat yang dapat
e. Periwayatnya tidak menyalahi ahli dipercaya dan memenuhi kriteria tam
ilmu yang juga meriwayatkan hadis al-dhabit. Imam Syafi’i menerima juga
yang sama.17 hadis mursal dengan syarat, periwa-
yatnya banyak berjumpa dengan
97 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 93-98

sahabat dan sanad-nya dapat dipercaya. dha’if, dengan syarat, periwayatnya


Menurutnya, posisi hadfis mutawatir bukan orang yang sengaja berdusta dan
lebih tinggi dari pada hadis ahad dan tidak menemukan penjelasan masalah-
hadis mursal. nya dalam hadis, baik dalam hadis
shahih maupun dalam hadis hasan.23
4. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
Kererangan di atas menggambarkan
Sumber kedua yang diperpegangi dengan jelas, Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal dalam mengakui ke-hujjah-an al-sunnah
menetapkan hukum terhadap masalah dengan tegas dan jelas, dengan meng-
yang dihadapinya, adalah al-sunnah. golongkan orang-orang yang menolak
Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan, al-sunnah sebagai orang-orang sesat.
untuk mencari apa yang ada dalam al- Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah
Qur`an harus melalui al-sunnah. Jika dengan hadis mutawatir, hadis ahad,
ada orang yang mencari sesuatu dalam hadis mursal dan hadis dha’if. Bahkan
al-Qur`an tanpa melalui, maka ia akan ia mendahulukan hadis dha’if dari pada
menempuh jalan kesesatan. Hal ini qiyas.
karena: Berdasarkan penjelasan-penjelasan
yang telah dikemukakan tersebut, dapat
a. Al-Qur`an mengharuskan kita dikatakan, bahwa para Imam Mazhab
mengi-kuti Rasul (sunnahnya) Empat dalam kegiatan menetapkan
b. Ada hadis-hadis yang mengharuskan hukum terhadap seluruh masalah yang
kita mengikuti Rasul dan melarang dihadapi pada masa hidupnya sebagai
kita menghadapi al-Qur`an saja dan ulama mujtahid, menggunakan hadis
membelakangi al-sunnah sebagai sumber yang kedua. Namun
c. Hukum yang di-ijma-i oleh demikian, di antara mereka menekan-
paramuslimin banyak yang diambil kan persyaratan-persyaratan bagi
dari al-sunnah, karena itu meng- sebuah hadis yang dapat diterimanya
hilangkan al-sunnah, berarti meng- sebagai hujjah.
hilangkan 9/10 hukum Islam.20
Jumhur ulama berpendapat bahwa III. KESIMPULAN
hadis ahad hanya dapat digunakan Berdasarkan uraian-uraian terdahu,
dalam bidang ‘amali (pengamalan) dan dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
tidak boleh digunakant dalam bidang berikut:
i’tiqadi (akidah). Akan tetapi Imam 1. Imam Abu Hanifah menjadikan al-
Ahmad bin Hanbal menggunakan hadis sunnah sebagai hujjah dalam penetapan
ahad dalam kedua bidang tersebut, baik hukum-hukum syari’ah, dengan syarat,
itu ‘amali maupun i’tiqadi.21 al-sunnah itu diriwayatkan oleh orang-
Imam Ahmad bin Hanbal menerima orang kepercayaan. Sedangkan khusus
hadis mursal jika berasal dari seorang hadis ahad ia persyaratkan, harus tidak
sahabi atau seorang tabi’in atau tabi’- bertentangan dengan kaedah yang telah
tabi’in. Hadis yang datang dari dari disepakati oleh ulama dan matan-nya
luar kelompok tersebut, tidak diterima- tidak menyangkut soal-soal yang
nya. Imam Ahmad bin Hanbal adalah umum serta tidak bertentangan dengan
salah seorang pembina hukum Islam qiyas. Bahkan hadis mursal pun
dan banyak yang mengikutinya. Ia diterimanya jika tidak bertentangan
menerima hadis dha’if bila keadaan dengan al-Qur`an.
darurat.22 2. Imam Malik bin Anas memegangi
Imam Ahmad bin Hanbal hadis sebagai hujjah, bukan hanya pada
memegangi hadis yang berkualitas
98 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 93-98

hadis mutawatir, melainkan juga pada Musa, Yusuf, Tarikh al-Fiqh al-Islami, t.
hadis masyhur, hadis mursal dan hadis tp.: Dar al-Kutub al-Jadidah,
ahad; tetapi dengan syarat, tidak 1958 M/1398 H.
bertentangan dengan Amalam Ulama
Madinah. Catatan Akhir:
3. Imam Idris al-Syafi’i mendudukkan 1.
Lihat Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islam, (t.
hadis ahad sebagai hujjah, jika hadis tp. : Dar al-Kutub al-Jadid, 1958 M/1398 H), h.
ahad itu diriwayatkan oleh periwayat 227.
2.
yang memenuhi kriteria dhabith. Lihat ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits
Demikian juga halnya hadis mursal, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, (Cet. III ;
Damaskus: Dar al-Fikr, 1975 M/1375 H), h.
ialah jika periwayatnya banyak 35.
berjumpa dengan sahabat dan sanad- 3.
Karim Amrullah, Pengantar Ushul Fiqh, (Cet.
nya pun dapat dipercaya. Menurut III ; Jakarta : Jaya Murni, 1966), h. 39.
4.
Imam Syafi’i, posisi hadis mutawatir M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Kesahihan
lebih tinggi dari pada hadis ahad dan Sanad Hadis, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 76.
hadis mursal. 5.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok
4. Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah Pegangan Imam Mazhab,Jilid I, (Jakarta :
dengan umumnya hadis, baik hadis Bulan Bintang, 1973), h. 134.
mutawatir, hadis ahad, hadis mursal 6.
Lihat ibid.
maupun hadis dha’if. Ia pun men- 7.
Lihat ibid., h. 145.
dahulukan hadis dfha’if dari pada 8.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu
qiyas. Dirayah Hadis, Jilid I, (Cet. VI ; Jakarta :
Bulan Bintang, 1986), h. 103.
9.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok
Pegangan Imam Mazhab, op. cit., h. 147.
10.
DAFTAR PUSTAKA Lihat ibid., h. 149
11.
Lihat ibid., h. 173.
12.
Ibid., h. 187-188.
Amrullah Karim, Pengantar Ushul Fiqhi, 13.
Lihat ibid., h. 171
Cet. II; Jakarta: Jaya Murni, 14.
Ilhat ibid.
15.
1996. Lihat T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-
Pokok Dirayah Hadis, op. cit., h. 103.
16.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Pokok- T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok
Pokok Pegangan Imam Mazhab, Pegangan Imam Mazhab, Jilid II, op. cit., h.13.
17.
Lihat ibid., h. 21.
Jilid I, Cet. I; Jakarta: Bulan 18.
Lihat ibid., h. 22.
Bintang, 1973. 19.
Lihat ibid., h. 24
20.
Lihat ibid., h. 52.
--------, Pokok-Pokok Pegangan Imam 21.
Lihat ibid., h. 54.
Mazhab, Jilid II, Cet. I; Jakarta: 22.
Lihat ibid., h. 55.
Bulan Bintang, 1973 23.
Lihat ibid., h. 58.

Ismail, M. Syuhudi, Kaedah – Kaedah


Kesahihan Sanad Hadis, Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
al-Khathib, ‘Ajjaj, Ushul al-
Hadits ‘Ulumuh wa
Mushthalahuh, Cet. II;
Damaskus: Dar al-al-Fikr, 1957
M/1375 H.

Anda mungkin juga menyukai