Anda di halaman 1dari 16

BERPIKIR PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:


“TAFSIR TARBAWI”

Dosen Pengampu:
RONY, M.Pd.I

Disusun oleh:
Aufal Marom Ram
Deny Siswanto
Thahar Asyromli

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


AL FITHRAH
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
Jalan Kedinding Lor No. 30 Surabaya
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang dikaruniai sesuatu yang
tidak dimiliki oleh makhluk Allah yang lainnya, hadiah terindah inilah yang akan
menghantarkan manusia kepada derajat yang mulia atau bahkan sebaliknya yang
akan menjerumuskan manusia kepada lembah kesesatan yang nyata. Hadiah itu
adalah akal, akal merupakan sarana berfikir bagi manusia.
Berfikir merupakan sebuah bentuk eksistensi manusia, sesungguhnya
berfikir sendiri itu adalah bentuk potensi dasar manusia. Potensi ini tidak akan
bisa berkembang dengan sendirinya tanpa adanya dorongan dan stimulus dari luar.
Seringkali manusia dalam rangka mengerahkan akal untuk berfikir selalu
medahulukan emosi dan perasaannya, tanpa didasari dengan adanya bukti nyata
yang mendukung hasil pemikiran tersebut atau juga dikenal dengan istilah apriori,
sikap ini sangat bertentangan dengan alur berpikir secara ilmiah.
Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini, tulisan ini mencoba
mendeskripsikan tentang akal sebagai sarana berpikir, tuntutan berpikir menurut
al-Qur’an, langkah-langkah dalam berpikir, dan kesalahan serta penghambat
dalam berpikir.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan akal?


2. Bagaimana tuntutan berpikir menurut Al-Qur’an?
3. Bagaimana langkah-langkah berpikir sesuai Al-Qur’an?
4. Bagaimana kesalahan berpikir dan apa saja faktor penghambatnya?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Akal

Secara bahasa, kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql “‫ ”عقل‬yang
mempunyai makna pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Sedangkan
menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pengertian akal adalah daya pikir
(untuk memahami sesuatu).

Terdapat beberapa sinomim kata akal, yang terdapat dalam Al-Qur’an,


yaitu:‫ دبّر‬dabbara (merenungkan), ‫ فقه‬faqiha (mengerti), ‫ فهم‬fahima (memahami),
‫ ذكر‬dhakara (mengingat), ‫ ف ّكر‬fakkara (berpikir secara dalam), ‫‘ علم‬alima
(memahami dengan jelas).1

Hamka memberi pengertian bahwa akal adalah sesuatu yang membedakan


antara manusia dengan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia
memperoleh kemuliaan dari Allah sehingga dipercaya untuk menjadi khalifah di
muka bumi. Sedangkan menurut Harun Nasution akal adalah tonggak kehidupan
manusia sebagai bentuk tolak ukur budi pekerti yang menjadi dasar sumber
kehidupan manusia dan kebahagiaan bangsa-bangsa. Peningkatan akal berbanding
lurus dengan budi pekerti suatu bangsa, karena semua perbuatan dan tindakan
yang konkret bersumber pada pertimbangan akal.2

Sudah sangat jelas bahwa akal merupakan pembeda manusia dengan


makhluk Allah lainnya. Dengan akal inilah manusia mampu menyimpan atas
segala informasi yang diterimanya berdasarkan bantuan pengamatan inderawi.
Akal manusia mampu untuk menyimpan dan menganalisa terhadap segala hal
yang telah dialaminya.

1FuziIndiarto, “Konsep Berpikir dalam Perspektif Al-Qur’an” (Surabaya: Tafsir UINSA Surabaya, 2015), hlm.33
2FuziIndiarto, “Konsep Berpikir dalam Perspektif Al-Qur’an” (Surabaya: Tafsir UINSA Surabaya, 2015), Hlm.
22-23

2
B. Tuntutan Berpikir Menurut Al-Qur’an

Berpikir didefinisikan sebagai suatu keadaan untuk terus mencari ide-de


serta inovasi yang ditujukan untuk memberikan solusi problem yang ada. Berpikir
bisa dimaknai dengan bertanya pada objek sesuatu, sebab saat manusia berpikir,
maka akan muncul pemikiran-pemikiran hipotesis seperti: apa, mengapa, kenapa,
bagaimana, dan dimana.

Raghib al-Asfahani dalam kitabnya Mufradatul Fadzhil Qur’an menulis


bahwa, pemikiran adalah sesuatu kekuatan yang berusaha mencapai suatu ilmu
pengetahuan.3

Al-Qur’an mengajak untuk berpikir dengan beragam bentuk redaksi tentang


segala hal, kecuali tentang Dzat Allah karena mencurahkan akal untuk
memikirkan Dzat-Nya adalah pemborosan energi akal, mengingat pengetahuan
tentang Dzat Allah tidak mungkin dicapai oleh akal manusia. Maka, manusia
cukup untuk memikirkan tentang ciptaan-ciptaan Allah di langit, di bumi dan diri
manusia itu sendiri.

Dorongan untuk berpikir tentang kosmologi (alam semesta dan isinya) dan
hakekat manusia itu sendiri pada intinya akan mengarahkan dan menuntun
manusia kepada keyakinan dan pengakuan terhadap Allah yang Esa dan pada
akhirnya akal manusia akan bermuara kepada ketauhidan kepada Allah. Terdapat
beberapa objek berpikir yang termuat dalam Al-Qur’an yaitu:

1. Berpikir tentang alam semesta


Dalam surat Ali Imran: ayat 191, Allah berfirman :

‫ون ِفي‬ َ ‫َّللاَ ِق َيا ًما َوقُعُودًا َو‬


َ ‫علَ ٰى ُجنُو ِب ِه ْم َو َيتَفَك َُّر‬ َّ ‫ون‬ َ ‫ِين َي ْذك ُُر‬
َ ‫الَّذ‬
‫س ْب َحا َنكَ فَ ِقنَا‬ ِ َ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْقتَ ٰ َهذَا ب‬
ُ ‫اط ًًل‬ ِ ‫ت َو ْاْلَ ْر‬ ِ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ َّ ‫ق ال‬ِ ‫َخ ْل‬
َ َ‫عذ‬
‫اب النَّ ِار‬ َ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

3 Yusuf Qardawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. Ibnu Hayyi Al-Kattani et.al
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Hlm.42

3
2. Berpikir tentang dimensi maknawi
Berpikir tidak hanya terbatas pada segi materi saja, namun juga
menyentuh sisi-sisi maknawi atau immateri. Seperti Allah dengan jelas
memberi metafora atau perumpamaan atas orang yang tidak beramal dengan
ilmunya yang dimiliki, dengan mengumpamakan seperti seekor anjing.
Dalam Al-Qur’an surat al-A’raf: ayat 176, Allah berfirman:

ُ‫ض َوات َّ َب َع َه َوا ُه ۚ فَ َمثَلُه‬ ِ ‫شئْنَا لَ َر َف ْعنَا ُه ِب َها َو ٰلَ ِكنَّهُ أ َ ْخلَ َد ِإلَى ْاْل َ ْر‬ ِ ‫َولَ ْو‬
‫علَ ْي ِه يَ ْل َه ْث أ َ ْو تَتْ ُر ْكهُ يَ ْل َه ْث ۚ ٰذَ ِلكَ َمث َ ُل ا ْلقَ ْو ِم‬
َ ‫ب إِ ْن ت َ ْح ِم ْل‬ ِ ‫َك َمث َ ِل ا ْل َك ْل‬
‫ون‬َ ‫ص لَعَلَّ ُه ْم يَتَفَك َُّر‬ َ ‫ص‬ َ َ‫ص ا ْلق‬ ِ ‫ص‬ ُ ‫ِين َكذَّبُوا ِب ٰايَاتِنَا ۚ فَا ْق‬ َ ‫الَّذ‬
Artinya : “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya
yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya
diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”

3. Al-Qur’an sebagai objek berpikir yang sangat luas


Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang sampai saat ini kita rasakan juga
termasuk objek kajian dalam berpikir, secara rasio Al-Qur’an dapat menjadi
bukti nyata bahwa kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini mampu
mengungguli semua jenis sastra. Karena dari segi bahasanya Al-Qur’an
merupakan bentuk sastra yang indah dan sarat dengan makna. Tidak adanya
pemborosan kata namun mengandung makna yang sangat dalam, itulah salah
satu kemu’jizatan yang dimiliki oleh Al-Qur’an. Hanya orang yang berpikirlah
yang mampu merasakan kehadiran kitab ini sebagai wujud nyata yang cukup
rasional.
Dalam surat An-Nisa: ayat 82, Allah berfirman:

‫َّللاِ لَ َو َجدُوا فِي ِه‬ َ ‫َان ِم ْن ِع ْن ِد‬


َّ ‫غ ْي ِر‬ َ ‫آن ۚ َولَ ْو ك‬ َ ‫أَفَ ًَل يَت َ َدبَّ ُر‬
َ ‫ون ا ْلقُ ْر‬
ً ِ‫اختِ ًَلفًا َكث‬
‫يرا‬ ْ
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-
Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak hal yang
bertentangan di dalamnya.”

4
Secara umum, berpikir dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk
menghubung-hubungkan (asosiasi) sesuatu dengan sesuatu yang lainnya untuk
memecahkan suatu persoalan atau permasalahan. Hasil dari menghubungkan
tersebut dapat berupa memecahkan masalah, adanya ide-ide baru serta gagasan
yang lainnya dalam berpikir. Ada tiga cara model berpikir yang berkembang
dalam sejarah dan sekaligus menjadi tolok ukur kebenaran, yaitu: model berpikir
rasio, empirical, dan intuitif.4

Model berpikir rasio berpusat pada akal dengan cara menggunakan logika
atau berpikir secara logis. Dalam hal ini akal akan menentukan segala sesuatu
dengan rasional dan logika yang dapat diterima atau tidaknya oleh akal. Model
berpikir empirical berpusat pada fenomena yang ada dengan cara melihat sesuatu
yang terjadi disekitarnya atau yang dialami dalam kehidupannya. Dalam hal ini
indera manusia sebagai pusatnya. Selanjutnya model intuitif (irrasional)
menggunakan pertimbangan-pertimbangan emosional, cara ini cukup menguras
tenaga dalam menjalankannya dikarenakan kepuasan hatilah yang menjadi
pusatnya. Apabila hati belum merasa puas maka akan terus berusaha mencapai
kepuasan. Maka dari itu model ini dirasa cukup sulit dan sangat mudah tergantung
emosi hati seseorang.

Model berpikir dalam kajian keislaman ada beberapa macam cara, yakni:
1. Model Linguistik (bayani),
2. Model Demonstratif (burhani),
3. Model Gnostik (‘irfani). 5

Model kajian bayani merupakan kajian dalam bentuk tekstual, model ini
mempunyai objek umum dalam kajiannya berupa hukum, teologi dan ilmu-ilmu
dalam bidang hadits. Model kajian bayani dapat dikatakan cara berpikir dengan
menempatkan teks suatu ajaran mutlak yang harus dijadikan pedoman dan tidak
dapat ditolak keberadaannya.

4 Prof. Dr. Khoruddin Nasution, M.A, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2012), hlm. 39.
5 ibid

5
Model kajian burhani merupakan kajian dalam bentuk pengalaman dan
berdasarkan kemampuan komponen alamiah manusia berupa indera. Model ini
berpusat pada realitas dan empiris dengan objek kajiaanya alam, sosial dan ilmu-
ilmu penelitian (humanities). Model kajian ini dapat dikatakan, pengalaman
adalah hal yang utama sebagai dasar kajian dan realita sebagai wujud nyata dalam
menguatkan suatu hal yang terjadi serta dengan adanya penelitian menjadikan
model berpikir ini menjadi lebih sempurna.

Model kajian ‘irfani merupakan kajian dalam bentuk spiritual manusia dan
berdasarkan intuisi. ‘Irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf)
setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. ‘Irfani merujuk pada
suatu pengetahuan yang tinggi, terhunjam dalam hati dalam bentuk ilham. Ilham
disini bukan dalam pengertian ilham kenabian, tetapi merupakan intuisi seketika
yang biasanya ditimbulkan oleh praktik-praktik ruhani.6

C. Langkah-langkah Berpikir Sesuai Al-Qur’an

Sebenarnya alasan yang paling mendasar mengapa manusia itu berpikir


adalah bahwa manusia dihadapkan dengan suatu pemasalahan. Berawal dari titik
permasalahan itulah manusia berusaha untuk memecahkan dan menyelesaikannya.

Adapun dalam Al-Qur’an memberikan contoh tentang kisah Nabi Ibrahim


dalam rangka proses pencarian Tuhan, berawal dari melihat beberapa fenomena
alam semesta. Kisah ini diabadikan dalam surat Al-An’am: ayat 74-79, yang
berbunyi:

َ‫صنَا ًما َءا ِل َهةً ۖ ِإنِي أ َ َراك‬ ْ َ ‫از َر أَتَت َّ ِخذُ أ‬


َ ‫َو ِإ ْذ قَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم ِْل َ ِبي ِه َء‬
َ‫﴾ َو َك ٰذَ ِلكَ نُ ِرى ِإ ْب َرا ِهي َم َملَكُوت‬٧٤:‫ين ﴿اْلنعام‬ ٍ ‫ض ًَل ٍل ُم ِب‬ َ ‫َوقَ ْو َمكَ ِفي‬
6
Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6, nomor 1, Januari-Juni 2007, hlm. 73

6
َ ‫﴾ فَلَ َّما َج َّن‬٧٥:‫ين ﴿اْلنعام‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ِ‫ُون ِم َن ا ْل ُموقِن‬ َ ‫ض َو ِليَك‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
ِ ‫اوا‬َ ‫س َم‬ َّ ‫ال‬
ُّ ‫اللَّ ْي ُل َر َءا ك َْو َكبًا ۖ قَا َل ٰ َهذَا َر ِبي ۖ فَلَ َّما أَفَ َل قَا َل ََل أ ُ ِح‬
‫ب‬
‫غا قَا َل ٰ َهذَا َر ِبي ۖ فَلَ َّما أَفَ َل قَا َل‬ ً ‫﴾ فَلَ َّما َرأَى ا ْلقَ َم َر بَ ِاز‬٧٦:‫ين ﴿اْلنعام‬ َ ‫اَلفِ ِل‬ْٰ
‫﴾ فَلَ َّما َرأَى‬٧٧:‫ين ﴿اْلنعام‬ َ ‫ض ِال‬َّ ‫لَئِ ْن لَّ ْم يَ ْه ِدنِي َر ِبي َْلَكُونَ َّن ِم َن ا ْل َق ْو ِم ال‬
‫غةً قَا َل ٰهذَا َر ِبي ٰهذَا أ َ ْك َب ُر ۖ فَلَ َّما أَفَلَتْ قَا َل َيا قَ ْو ِم ِإ ِني‬ َ ‫س َب ِاز‬َ ‫الش َّْم‬
‫﴾ إِنِي َو َّجهْتُ َو ْج ِه َي ِللَّذِي فَ َط َر‬٧٨:‫ُون ﴿اْلنعام‬ َ ‫بَ ِرى ٌء ِم َّما تُش ِْرك‬
﴾٧٩:‫ين ﴿اْلنعام‬ َ ‫ض َحنِيفًا ۖ َو َما أَنَا ِم َن ا ْل ُمش ِْر ِك‬ َ ‫ت َوا ْْل َ ْر‬ ِ ‫اوا‬َ ‫س َم‬ َّ ‫ال‬
Artinya: 74. dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, "Pantaskah
kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat
kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
75. dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami
yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk
orang yang yakin.
76. ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
"Inilah Tuhanku,” tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka
kepada yang tenggelam."
77. kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku.” Tetapi
setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat."
78. kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Wahai kaumku,
Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang musyrik.

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim mengerahkan nalarnya


untuk menemukan Tuhan, dengan berpedoman pengalaman inderawinya terhadap
fenomena alam, seperti adanya bintang di langit ketika malam hari tiba, asumsi
awal bahwa inilah Tuhan yang selama ini dicarinya, ternyata bintang itu
tenggelam. Begitu juga dalam pengamatan inderawinya tentang penampakan
bulan dan matahari, dan keduanya pun tenggelam juga.
Menurut logika dan akal seorang Nabi Ibrahim bahwa Tuhan tidak mungkin
tenggelam dan menghilang begitu saja, maka dari sekian banyak hipotesa/asumsi
yang salah terhadap proses pencarian Tuhan inilah ditemukan suatu bukti bahwa
segala yang ada dalam jagat raya ini pasti ada yang menciptakan. Dan pada

7
akhirnya perenungan yang dalam ini menghantarkan Nabi Ibrahim kepada Dzat
Sang Pencipta yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.

Berdasarkan dalil ayat di atas itulah dapat ditemukan langkah-langkah


berpikir yang benar dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Adapun Langkah-
langkah berpikir sebagai berikut:
1. Menyadari akan adanya masalah
2. Mengumpulkan data / mencari penjelasan tentang objek masalah
3. Membuat asumsi / hipotesa (dugaan sementara)
4. Menganalisa dan menguji hipotesa
5. Menarik kesimpulan

Sistematika berpikir yang sesuai dalam dunia wacana keilmuan dinamakan


berpikir ilmiah. Sejalan dengan inilah Allah menghendaki manusia untuk
menggunakan akalnya untuk berpikir ilmiah. Sangat diperlukan adanya proses
dalam pengujian hipotesa disertai dengan beberapa fakta empiris di lapangan
sehingga hasil kesimpulan benar-benar valid.

D. Kesalahan Berpikir dan Faktor Penghambatnya

Sesunguhnya pemikiran itu memiliki peluang untuk salah. Terkadang


pemikiran itu menghadapi beberapa kendala yang dapat membuat pemikiran itu
menyimpang dari jalan lurus serta menghalanginya sampai pada kebenaran.
Apabila manusia tertimbun oleh banyak kendala berpikir, pikirannya akan
mengalami stagnasi. Akibatnya, ia pun tidak sanggup untuk menerima ide-ide dan
pemikiran baru.

Jika manusia sampai pada kondisi tersebut, cara berpikirnya pun menjadi
kehilangan nilai dalam kehidupannya. Manusia tak lagi di pandang menunaikan
tugas alamiahnya, yaitu membedakan antara yang hak dan batil atau antara yang
baik dan buruk.

8
Adapun faktor-faktor yang yang menghalangi manusia untuk berpikir
obyektif sehingga menyebabkan kesalahan dalam berpikir, antara lain:

1. Berpikir negatif
Berpikir negatif terhadap sesuatu salah satunya dalam perjalanan hidup,
dimana Allah mungkin tidak mempunyai rasa sayang pada diri sehingga
menerima cobaan hidup yang begitu pedih. Padahal, dengan cobaan tersebut,
justru Allah menghendaki kebaikan bagi diri kita. Allah hendak mendidik dan
menempa kita agar menjadi manusia yang unggul. Selain itu, dibalik cobaan
tersebut Allah telah menyiapkan karunia yang besar bagi kita ketika lulus dari
cobaan. Jadi, sungguh tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk berpikir negatif.
Sebab, selain merupakan akhlak mazmumah (tercela), juga merugikan diri
sendiri. Berpikir negatif akan membuat kita menjadi pesimis, kehilangan
harapan dan putus asa.7

2. Berpegang kepada pemikiran lama


Yang dimaksud di sini adalah mengikuti tradisi dan kebiasaan dengan
sangat fanatik. Allah menyinggung sikap ini yang terdapat dalam surat Yunus:
ayat 78, Allah berfirman:

‫ُون لَ ُك َما ٱ ْل ِك ْب ِر َيا ُء‬


َ ‫علَ ْي ِه َءابَا َءنَا َوتَك‬
َ ‫ع َّما َو َج ْدنَا‬ َ ‫قَالُو ۟ا أ َ ِجئْتَنَا ِلت َ ْل ِفتَنَا‬
َ ‫ض َو َما نَ ْحنُ لَ ُك َما ِب ُم ْؤ ِم ِن‬
‫ين‬ ِ ‫ِفى ْٱْل َ ْر‬
Artinya: Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan
kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya (menyembah
berhala) dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak
akan mempercayai kamu berdua.”

Bentuk perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada khurafat, tahayyul


merupakan bagian daripada pola pikir yang terdahulu. Hanya berpegang teguh
kepada warisan nenek moyang yang dianggap paling benar, dengan kata lain
budaya taqlid sangat kental dengan pemikiran ini, percaya tanpa seleksi dan
terlebih lagi warisan nenek moyang menjadi bagian yang sangat penting untuk

7
Syafi’ie El-Bantani, Kekuatan Berpikir Positif (Jakarta: Wahyu Media, 2010), hlm. 78-79.

9
tetap dijadikan pedoman tanpa berbekal dan mempertimbangkan dari segi
rasional dan perubahan yang ada.

Sikap seperti inilah yang menyebabkan suatu kemunduran peradaban.


Padahal untuk selangkah lebih maju diperlukan adanya sikap terbuka dan
dinamis terhadap setiap perubahan.8

3. Kurangnya data atau ilmu


Tidaklah mudah bagi manusia untuk berpikir secara valid tentang suatu
permasalahan tanpa memiliki data yang cukup dan informasi yang berkaitan
dengan permasalahan yang sedang dipikirkan. Tidak cukup bukti yang
mendukung tentang pembenaran suatu kesimpulan akan menjerumuskan
manusia kepada kesesatan yang nyata, kurangnya bukti ini dipengaruhi oleh
minimnya ilmu yang menjadi landasan teori tentang pembuktian fakta empiris
di alam nyata.9 Dalam Al-Qur’an Allah menerangkan dalam surat Al-Isra: ayat
36, Allah berfirman:

َ‫ص َر َوٱ ْلفُؤَا َد ُك ُّل أ ُ ۟و ٰ َلئِك‬


َ َ‫س ْم َع َوٱ ْلب‬
َّ ‫س لَكَ ِب ِۦه ِع ْل ٌم ۚ إِ َّن ٱل‬َ ‫ف َما لَ ْي‬ُ ‫َو ََل ت َ ْق‬
‫وَل‬ ْ ‫ع ْنهُ َم‬
ً ُٔ‫سـ‬ َ ‫َان‬ َ ‫ك‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.”

Kata-kata ini merupakan undang-undang yang mencakup banyak


persoalan kehidupan. Dan oleh karenanya, mengenai kata-kata ini para ahli
tafsir mengeluarkan beberapa pendapat, diantaranya:
a. Ibnu Abbas mengatakan : jangan kamu menjadi saksi kecuali atas sesuatu
yang di ketahui oleh kedua matamu, di dengar oleh kedua telingamu dan di
pahami oleh hatimu.
b. Qaladah, mengatakan pula : janganlah kamu mengatakan, “saya telah
mendengar,” padahal kamu belum pernah mendengar, atau “saya telah
melihat,” padahal kamu tak pernah melihat, atau “saya telah mengetahui,”
padahal kamu belum tahu.

8 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an Wa Ilm Al-Nafs (Cairo: Dar El Syuruq. 1997), Hlm. 138
9 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an Wa Ilm Al-Nafs (Cairo: Dar El Syuruq. 1997), Hlm. 139

10
c. Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang di maksud ialah melarang
berkata-kata tanpa ilmu, tapi hanya prasangka dan waham belaka.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj: ayat 3, Allah berfirman:

ٍ ‫ش ْي َط‬
‫ان‬ َ ‫َّللاِ ِبغَ ْي ِر ِع ْل ٍم َويَت َّ ِب ُع ُك َّل‬ ِ َّ‫َو ِم َن الن‬
َّ ‫اس َم ْن يُ َجا ِد ُل فِي‬
‫َم ِري ٍد‬
Artinya: “Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan dan mengikuti para syaitan yang jahat.”

Allah mencela orang yang mendustakan hari berbangkit dan mengingkari


kekuasaan Allah untuk menghidupkan orang yang mati sebagai upaya
penolakan terhadap yang di turunkan oleh Allah kepada para Nabi-Nya. Serta
dalam perkataan, pengingkaran dan kekufurannya mengikuti setan, jin dan
manusia yang amat jahat.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Malik mengenai firman-Nya,


“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat,” kata dia, “Ayat ini turun
tentang an-Nadhr Ibnul-Harits.”

Dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj: ayat 8, Allah berfirman:

ٍ َ ‫ٱَّللِ ِبغَ ْي ِر ِع ْل ٍم َو ََل ُهدًى َو ََل ِك ٰت‬


‫ب ُّمنِ ٍير‬ َّ ‫اس َمن يُ ٰ َج ِد ُل فِى‬
ِ َّ‫َو ِم َن ٱلن‬
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi
penerangan.”

Minimnya ilmu hanya akan menjadikan manusia untuk berasumsi belaka,


padahal asumsi akan sia-sia dan tidak akan berguna sama sekali, padahal ilmu
tidak dibangun atas dasar asumsi belaka yang hanya menjadikan kabur antara
baik dan buruk, serta benar dan salah.

Sejalan dengan hal ini Allah sangat tidak menghendaki akan adanya
pembuktian hanya berdasarkan prasangka, karena prasangka itu hanya bersifat

11
sementara dan tidak bisa dijadikan pedoman. Dalam surat Yunus: ayat 36,
Allah berfirman:

َّ ‫ش ْيئ ًا ۚ إِ َّن‬
َ‫ٱَّلل‬ َ ‫ق‬ َّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع أ َ ْكث َ ُر ُه ْم إِ ََّل َظنًّا ۚ إِ َّن ٱل‬
ِ ‫ظ َّن ََل يُ ْغنِى ِم َن ٱ ْل َح‬
‫ون‬َ ُ‫ع ِلي ٌم ِب َما يَ ْفعَل‬ َ
Artinya: “Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Ayat tersebut merupakan isyarat, bahwa dasar-dasar iman adalah di


bangun atas dasar keyakinan, bukan prasangka. Jadi, ilmu yang memberi
keyakinan yang benar adalah ilmu yang bersifat pasti dari Al-Qur’an atau
sunnah, yaitu agama yang tidak boleh di perselisihkan oleh kaum muslimin,
dan menjadi alasan berpecah belah.

4. Cenderung kepada emosi dan perasaan.


Segala kecenderungan, emosi, dan perasaan manusia akan memberikan
pengaruh kepada pemikirannya dan membuatnya terjebak pada kesalahan-
kesalahan berpikir. Beberapa studi eksperimen modern telah mengungkapkan
terjadinya kesalahan berpikir sebagai akibat dari emosi dan perasaan (hawa
nafsu).
Sikap ini akan menjadikan kesalahan berpikir, menjadikan tidak obyektif
dalam memaparkan hasil uji hipotesa untuk penarikan sebuah kesimpulan
bahwa ini benar atau salah.10

Dalam surat Al-Qashash: ayat 50, Allah berfirman:

‫ض ُّل‬ َ َ ‫ون أ َ ْه َوا َء ُه ْم ۚ َو َم ْن أ‬ ۟ ُ‫ست َ ِجيب‬


َ ُ‫وا َلكَ فَٱ ْعلَ ْم أَنَّ َما يَت َّ ِبع‬ ْ َ‫فَ ِإن لَّ ْم ي‬
َ ‫ظ ِل ِم‬
‫ين‬ َّ ٰ ‫َّللاَ ََل َي ْهدِى ٱ ْلقَ ْو َم ٱل‬ َّ ‫ِم َّم ِن ٱت َّ َب َع َه َو ٰىهُ ِبغَ ْي ِر ُه ًدى ِم َن‬
َّ ‫َّللاِ ۚ ِإ َّن‬
Artinya: “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah
yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat
petunjuk dari Allah sedikitpun? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”

10 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an Wa Ilm Al-Nafs (Cairo: Dar El Syuruq. 1997), Hlm. 140

12
Dalam ayat diatas, telah diisyaratkan tentang pengaruh hawa nafsu
terhadap diri manusia. Antara lain, ialah terjadinya penyimpangan pemikiran
dari arah yang benar yang mengakibatkan pemikiran pun menjadi melenceng
dari jalannya dan tidak mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan
serta petunjuk dan kesesatan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara bahasa, kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql “‫ ”عقل‬yang
mempunyai makna pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Sedangkan

13
menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pengertian akal adalah daya pikir
(untuk memahami sesuatu).

Terdapat beberapa objek berpikir yang termuat dalam Al-Qur’an yaitu:


1. Berpikir tentang alam semesta
2. Berpikir tentang dimensi maknawi
3. Al-Qur’an sebagai objek berpikir yang sangat luas

Ada tiga cara model berpikir yang berkembang dalam sejarah dan sekaligus
menjadi tolok ukur kebenaran, yaitu: model berpikir rasio, empirical, dan intuitif.

Model berpikir dalam kajian keislaman ada beberapa macam cara, yakni:
1. Model Linguistik (bayani),
2. Model Demonstratif (burhani),
3. Model Gnostik (‘irfani).

Adapun Langkah-langkah berpikir sesuai Al-Qur’an sebagai berikut:


1. Menyadari akan adanya masalah
2. Mengumpulkan data / mencari penjelasan tentang objek masalah
3. Membuat asumsi / hipotesa (dugaan sementara)
4. Menganalisa dan menguji hipotesa
5. Menarik kesimpulan

Faktor-faktor yang yang menghalangi manusia untuk berpikir obyektif sehingga


menyebabkan kesalahan dalam berpikir, antara lain: Berpikir negatif, berpegang
pada pemikiran lama, kurangnya data atau ilmu, dan cenderung kepada emosi dan
perasaan.

DAFTAR PUSTAKA

Indiarto, Fuzi. 2015. Konsep Berpikir dalam Perspektif Al-Qur’an.


Surabaya: Tafsir UINSA Surabaya.

14
Qardawi, Yusuf. 1998. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, Terj. Ibnu Hayyi Al-Kattani et.al. Jakarta: Gema
Insani Press.

Nasution, Khoruddin. 2012. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia


Tazzafa.

Hermenia. 2007. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6, nomor 1.

El-Bantani, Syafi’ie. 2010. Kekuatan Berpikir Positif . Jakarta: Wahyu


Media.

Usman Najati, Muhammad. 1997. Al-Qur’an Wa Ilm Al-Nafs. Cairo: Dar El


Syuruq.

15

Anda mungkin juga menyukai