Dosen Pengampu:
RONY, M.Pd.I
Disusun oleh:
Aufal Marom Ram
Deny Siswanto
Thahar Asyromli
A. Latar Belakang
Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang dikaruniai sesuatu yang
tidak dimiliki oleh makhluk Allah yang lainnya, hadiah terindah inilah yang akan
menghantarkan manusia kepada derajat yang mulia atau bahkan sebaliknya yang
akan menjerumuskan manusia kepada lembah kesesatan yang nyata. Hadiah itu
adalah akal, akal merupakan sarana berfikir bagi manusia.
Berfikir merupakan sebuah bentuk eksistensi manusia, sesungguhnya
berfikir sendiri itu adalah bentuk potensi dasar manusia. Potensi ini tidak akan
bisa berkembang dengan sendirinya tanpa adanya dorongan dan stimulus dari luar.
Seringkali manusia dalam rangka mengerahkan akal untuk berfikir selalu
medahulukan emosi dan perasaannya, tanpa didasari dengan adanya bukti nyata
yang mendukung hasil pemikiran tersebut atau juga dikenal dengan istilah apriori,
sikap ini sangat bertentangan dengan alur berpikir secara ilmiah.
Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini, tulisan ini mencoba
mendeskripsikan tentang akal sebagai sarana berpikir, tuntutan berpikir menurut
al-Qur’an, langkah-langkah dalam berpikir, dan kesalahan serta penghambat
dalam berpikir.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Akal
Secara bahasa, kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql “ ”عقلyang
mempunyai makna pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Sedangkan
menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pengertian akal adalah daya pikir
(untuk memahami sesuatu).
1FuziIndiarto, “Konsep Berpikir dalam Perspektif Al-Qur’an” (Surabaya: Tafsir UINSA Surabaya, 2015), hlm.33
2FuziIndiarto, “Konsep Berpikir dalam Perspektif Al-Qur’an” (Surabaya: Tafsir UINSA Surabaya, 2015), Hlm.
22-23
2
B. Tuntutan Berpikir Menurut Al-Qur’an
Dorongan untuk berpikir tentang kosmologi (alam semesta dan isinya) dan
hakekat manusia itu sendiri pada intinya akan mengarahkan dan menuntun
manusia kepada keyakinan dan pengakuan terhadap Allah yang Esa dan pada
akhirnya akal manusia akan bermuara kepada ketauhidan kepada Allah. Terdapat
beberapa objek berpikir yang termuat dalam Al-Qur’an yaitu:
3 Yusuf Qardawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. Ibnu Hayyi Al-Kattani et.al
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Hlm.42
3
2. Berpikir tentang dimensi maknawi
Berpikir tidak hanya terbatas pada segi materi saja, namun juga
menyentuh sisi-sisi maknawi atau immateri. Seperti Allah dengan jelas
memberi metafora atau perumpamaan atas orang yang tidak beramal dengan
ilmunya yang dimiliki, dengan mengumpamakan seperti seekor anjing.
Dalam Al-Qur’an surat al-A’raf: ayat 176, Allah berfirman:
ُض َوات َّ َب َع َه َوا ُه ۚ فَ َمثَلُه ِ شئْنَا لَ َر َف ْعنَا ُه ِب َها َو ٰلَ ِكنَّهُ أ َ ْخلَ َد ِإلَى ْاْل َ ْر ِ َولَ ْو
علَ ْي ِه يَ ْل َه ْث أ َ ْو تَتْ ُر ْكهُ يَ ْل َه ْث ۚ ٰذَ ِلكَ َمث َ ُل ا ْلقَ ْو ِم
َ ب إِ ْن ت َ ْح ِم ْل ِ َك َمث َ ِل ا ْل َك ْل
ونَ ص لَعَلَّ ُه ْم يَتَفَك َُّر َ ص َ َص ا ْلق ِ ص ُ ِين َكذَّبُوا ِب ٰايَاتِنَا ۚ فَا ْق َ الَّذ
Artinya : “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya
yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya
diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”
4
Secara umum, berpikir dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk
menghubung-hubungkan (asosiasi) sesuatu dengan sesuatu yang lainnya untuk
memecahkan suatu persoalan atau permasalahan. Hasil dari menghubungkan
tersebut dapat berupa memecahkan masalah, adanya ide-ide baru serta gagasan
yang lainnya dalam berpikir. Ada tiga cara model berpikir yang berkembang
dalam sejarah dan sekaligus menjadi tolok ukur kebenaran, yaitu: model berpikir
rasio, empirical, dan intuitif.4
Model berpikir rasio berpusat pada akal dengan cara menggunakan logika
atau berpikir secara logis. Dalam hal ini akal akan menentukan segala sesuatu
dengan rasional dan logika yang dapat diterima atau tidaknya oleh akal. Model
berpikir empirical berpusat pada fenomena yang ada dengan cara melihat sesuatu
yang terjadi disekitarnya atau yang dialami dalam kehidupannya. Dalam hal ini
indera manusia sebagai pusatnya. Selanjutnya model intuitif (irrasional)
menggunakan pertimbangan-pertimbangan emosional, cara ini cukup menguras
tenaga dalam menjalankannya dikarenakan kepuasan hatilah yang menjadi
pusatnya. Apabila hati belum merasa puas maka akan terus berusaha mencapai
kepuasan. Maka dari itu model ini dirasa cukup sulit dan sangat mudah tergantung
emosi hati seseorang.
Model berpikir dalam kajian keislaman ada beberapa macam cara, yakni:
1. Model Linguistik (bayani),
2. Model Demonstratif (burhani),
3. Model Gnostik (‘irfani). 5
Model kajian bayani merupakan kajian dalam bentuk tekstual, model ini
mempunyai objek umum dalam kajiannya berupa hukum, teologi dan ilmu-ilmu
dalam bidang hadits. Model kajian bayani dapat dikatakan cara berpikir dengan
menempatkan teks suatu ajaran mutlak yang harus dijadikan pedoman dan tidak
dapat ditolak keberadaannya.
4 Prof. Dr. Khoruddin Nasution, M.A, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2012), hlm. 39.
5 ibid
5
Model kajian burhani merupakan kajian dalam bentuk pengalaman dan
berdasarkan kemampuan komponen alamiah manusia berupa indera. Model ini
berpusat pada realitas dan empiris dengan objek kajiaanya alam, sosial dan ilmu-
ilmu penelitian (humanities). Model kajian ini dapat dikatakan, pengalaman
adalah hal yang utama sebagai dasar kajian dan realita sebagai wujud nyata dalam
menguatkan suatu hal yang terjadi serta dengan adanya penelitian menjadikan
model berpikir ini menjadi lebih sempurna.
Model kajian ‘irfani merupakan kajian dalam bentuk spiritual manusia dan
berdasarkan intuisi. ‘Irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf)
setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. ‘Irfani merujuk pada
suatu pengetahuan yang tinggi, terhunjam dalam hati dalam bentuk ilham. Ilham
disini bukan dalam pengertian ilham kenabian, tetapi merupakan intuisi seketika
yang biasanya ditimbulkan oleh praktik-praktik ruhani.6
6
َ ﴾ فَلَ َّما َج َّن٧٥:ين ﴿اْلنعام
علَ ْي ِه َ ُِون ِم َن ا ْل ُموقِن َ ض َو ِليَك ِ ت َو ْاْل َ ْر
ِ اواَ س َم َّ ال
ُّ اللَّ ْي ُل َر َءا ك َْو َكبًا ۖ قَا َل ٰ َهذَا َر ِبي ۖ فَلَ َّما أَفَ َل قَا َل ََل أ ُ ِح
ب
غا قَا َل ٰ َهذَا َر ِبي ۖ فَلَ َّما أَفَ َل قَا َل ً ﴾ فَلَ َّما َرأَى ا ْلقَ َم َر بَ ِاز٧٦:ين ﴿اْلنعام َ اَلفِ ِلْٰ
﴾ فَلَ َّما َرأَى٧٧:ين ﴿اْلنعام َ ض ِالَّ لَئِ ْن لَّ ْم يَ ْه ِدنِي َر ِبي َْلَكُونَ َّن ِم َن ا ْل َق ْو ِم ال
غةً قَا َل ٰهذَا َر ِبي ٰهذَا أ َ ْك َب ُر ۖ فَلَ َّما أَفَلَتْ قَا َل َيا قَ ْو ِم ِإ ِني َ س َب ِازَ الش َّْم
﴾ إِنِي َو َّجهْتُ َو ْج ِه َي ِللَّذِي فَ َط َر٧٨:ُون ﴿اْلنعام َ بَ ِرى ٌء ِم َّما تُش ِْرك
﴾٧٩:ين ﴿اْلنعام َ ض َحنِيفًا ۖ َو َما أَنَا ِم َن ا ْل ُمش ِْر ِك َ ت َوا ْْل َ ْر ِ اواَ س َم َّ ال
Artinya: 74. dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, "Pantaskah
kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat
kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
75. dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami
yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk
orang yang yakin.
76. ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
"Inilah Tuhanku,” tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka
kepada yang tenggelam."
77. kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku.” Tetapi
setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat."
78. kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Wahai kaumku,
Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang musyrik.
7
akhirnya perenungan yang dalam ini menghantarkan Nabi Ibrahim kepada Dzat
Sang Pencipta yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.
Jika manusia sampai pada kondisi tersebut, cara berpikirnya pun menjadi
kehilangan nilai dalam kehidupannya. Manusia tak lagi di pandang menunaikan
tugas alamiahnya, yaitu membedakan antara yang hak dan batil atau antara yang
baik dan buruk.
8
Adapun faktor-faktor yang yang menghalangi manusia untuk berpikir
obyektif sehingga menyebabkan kesalahan dalam berpikir, antara lain:
1. Berpikir negatif
Berpikir negatif terhadap sesuatu salah satunya dalam perjalanan hidup,
dimana Allah mungkin tidak mempunyai rasa sayang pada diri sehingga
menerima cobaan hidup yang begitu pedih. Padahal, dengan cobaan tersebut,
justru Allah menghendaki kebaikan bagi diri kita. Allah hendak mendidik dan
menempa kita agar menjadi manusia yang unggul. Selain itu, dibalik cobaan
tersebut Allah telah menyiapkan karunia yang besar bagi kita ketika lulus dari
cobaan. Jadi, sungguh tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk berpikir negatif.
Sebab, selain merupakan akhlak mazmumah (tercela), juga merugikan diri
sendiri. Berpikir negatif akan membuat kita menjadi pesimis, kehilangan
harapan dan putus asa.7
7
Syafi’ie El-Bantani, Kekuatan Berpikir Positif (Jakarta: Wahyu Media, 2010), hlm. 78-79.
9
tetap dijadikan pedoman tanpa berbekal dan mempertimbangkan dari segi
rasional dan perubahan yang ada.
8 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an Wa Ilm Al-Nafs (Cairo: Dar El Syuruq. 1997), Hlm. 138
9 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an Wa Ilm Al-Nafs (Cairo: Dar El Syuruq. 1997), Hlm. 139
10
c. Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang di maksud ialah melarang
berkata-kata tanpa ilmu, tapi hanya prasangka dan waham belaka.
ٍ ش ْي َط
ان َ َّللاِ ِبغَ ْي ِر ِع ْل ٍم َويَت َّ ِب ُع ُك َّل ِ ََّو ِم َن الن
َّ اس َم ْن يُ َجا ِد ُل فِي
َم ِري ٍد
Artinya: “Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan dan mengikuti para syaitan yang jahat.”
Sejalan dengan hal ini Allah sangat tidak menghendaki akan adanya
pembuktian hanya berdasarkan prasangka, karena prasangka itu hanya bersifat
11
sementara dan tidak bisa dijadikan pedoman. Dalam surat Yunus: ayat 36,
Allah berfirman:
َّ ش ْيئ ًا ۚ إِ َّن
َٱَّلل َ ق َّ َو َما يَتَّبِ ُع أ َ ْكث َ ُر ُه ْم إِ ََّل َظنًّا ۚ إِ َّن ٱل
ِ ظ َّن ََل يُ ْغنِى ِم َن ٱ ْل َح
ونَ ُع ِلي ٌم ِب َما يَ ْفعَل َ
Artinya: “Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
10 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an Wa Ilm Al-Nafs (Cairo: Dar El Syuruq. 1997), Hlm. 140
12
Dalam ayat diatas, telah diisyaratkan tentang pengaruh hawa nafsu
terhadap diri manusia. Antara lain, ialah terjadinya penyimpangan pemikiran
dari arah yang benar yang mengakibatkan pemikiran pun menjadi melenceng
dari jalannya dan tidak mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan
serta petunjuk dan kesesatan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara bahasa, kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql “ ”عقلyang
mempunyai makna pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Sedangkan
13
menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pengertian akal adalah daya pikir
(untuk memahami sesuatu).
Ada tiga cara model berpikir yang berkembang dalam sejarah dan sekaligus
menjadi tolok ukur kebenaran, yaitu: model berpikir rasio, empirical, dan intuitif.
Model berpikir dalam kajian keislaman ada beberapa macam cara, yakni:
1. Model Linguistik (bayani),
2. Model Demonstratif (burhani),
3. Model Gnostik (‘irfani).
DAFTAR PUSTAKA
14
Qardawi, Yusuf. 1998. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, Terj. Ibnu Hayyi Al-Kattani et.al. Jakarta: Gema
Insani Press.
15