Meningkatkan Kemampuan Guru SMK Menggunakan Media Pembelajaran Melalui Workshop Pada Sekolah Binaan Di Kabupaten Tulang Bawang Barat
Meningkatkan Kemampuan Guru SMK Menggunakan Media Pembelajaran Melalui Workshop Pada Sekolah Binaan Di Kabupaten Tulang Bawang Barat
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh suatu asumsi bahwa peningkatan mutu pembelajaran di
sekolah dapat dicapai melalui peningkatan mutu sumber daya manusia (guru dan tenaga
kependidikan lainnya), walaupun diakui bahwa komponen-komponen lain turut memberikan
kontribusi dalam peningkatan mutu pembelajaran. Peningkatan sumber daya menusia telah
banyak dilakukan pemerintah, terutama peningkatan kompetensi guru. Usaha ini berupa
peningkatan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan, workshop atau bentuk lainnya.
Pengamatan yang dilakukan peneliti selama menjadi fasilitator dalam kegiatan workshop atau
diklat , bahwa pada struktur program dalam panduana pelatihan yang disusun pada setiap
kegiatan diklat atau workshop, masih didominasi oleh kegiatan menyusun administrasi
pembelajaran, dan hanya sedikit kegiatan yang membimbing guru dalam penguasaan materi
serta penggunaan media pembelajaran.
Disamping itu, pada umumnya para guru yang telah mengikuti diklat atau workshop jarang
mensosialisasikan hasil-hasil diklatnya kepada rekan-rekan mereka di sekolah. Hal ini terjadi
karena kepala sekolah mereka jarang memberi kesempatan untuk mensosialisasikan hasil
diklat kepada rekan-rekannya di sekolah.
Guru yang profesional adalah guru yang menguasai kurikulum, menguasai materi pelajaran,
menguasai metode-metode pembelajaran, menguasai penggunaan media pembelajaran,
menguasai teknik penilaian pembelajaran, dan komitmen terhadap tugas.
Guru yang professional harus memiliki 5 kompetensi yang salah satunya adalah dalam
pembelajaran guru menggunakan media dalam proses pembelajaran. Hal ini ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Akademik
Guru, dan Permendiknas Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Dalam realitasnya, sebagian besar guru dalam melaksanakan pelaksanaan belajar belum
menggunakan media belajar.
1. Terdapat 30 % guru sudah menerapkan pada disekolahnya
2. Terdapat 30% guru yang sudah mengikuti pelatihan namum belum bisa menerapkan
pada sekolahnya;
3. Terdapat 40 % guru yang belum pernah mengikuti pelatihan dan belum menggunakan
media pembelajaran dalam belajar.
Kondisi tersebut, tentu saja tidak dapat dibiarkan terus menerus, tetapi harus ada solusi atau
tindakan nyata dari kalangan para pengawas pembina. Berkaitan dengan itu, para guru harus
dibina dan difasilitasi untuk meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan media
pembelajaran dalam belajar.
Kadang-kadang guru mulai mengajar dengan hanya mendiktekan saja pelajarannya dan jika
masih ada waktu baru memberikan penjelasan sekedarnya tanpa variasi dengan penggunaan
media yang sesuai maupun sumber-sumber belajar yang memadai. Apabila kebiasaan seperti
itu tetap dipraktekan oleh para guru di kelas selama proses pembelajaran, maka dapat
dipastikan bahwa peningkatan mutu pendidikan akan sulit dicapai. Pada umumnya kegiatan
guru hanya mentrasfer pengetahuan atau pengalamannya dengan sedikit memberi
kesempatan siswa untuk berdiskusi dan diakhiri dengan pemberian tugas atau latihan tanpa
menggunakan media dan sumber belajar yang memadai.
Hasil pengamatan atau dialog peneliti dengan beberapa guru di sekolah binaan di kota Tulang
Bawang Barat, bahwa kebanyakan mereka kurang menguasai penggunaan media dan sumber
belajar yang ada sehingga pembelajaran yang mereka laksanakan masih didominasi dengan
cara mentrasfer dari pada menciptakan pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya. Oleh karena itu diperlukan adanya perubahan paradigma
dalam melaksanakan pembelajaran yang semula guru berpikir bagaimana mengajar menjadi
berpikir bagaimana siswa belajar.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti berkeinginan membantu guru meningkatkan
kemampuan mereka menggunakan media Pembelajaran Melalui Workshop.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini
adalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tindakan sekolah ini, dilakukan dengan harapan memberikan manfaat bagi guru
maupun sekolah.
a. Orang dewasa perlu mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu dan harus
siap belajar. Alasannya adalah pada awal pembelajaran sebagai pegantar harus ada kaitan isi
materi diklat dengan pekerjaan mereka. Bagian ini merupakan bagian penting untuk
meletakkan dasar yang kuat dari kseluruhan pembelajaran.
b. Peserta diklat cenderung berfokus pada kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan
kehidupan, tugas, dan pemecahan masalah. Prinsip ini memberitahukan bahwa orang dewasa
ingin memperoleh pengetahuan yang praktis dan menerapkan hal-hal yang dipelajari dalam
pekerjaan mereka atau dalam kehidupan pribadi.
c. Peserta diklat dapat belajar dengan baik, ketika berpraktek dan bekerja atas dasar
pengetahuan dan keterampilan serta sikap baru.
Untuk mengungkapkan tingkat keterlibatan dan pemahaman peserta pada penelitian ini
digunakan kerangka kerja ”Kelasmen” yaitu model pelatihan yang dimulai dari Kegiatan-
Penjelasan- Implementasi yang diadopsi dari teori belajar Action Process Object
Scema (APOS) dari Dubinsky (2000)
Kegiatan (tindakan) adalah manipulasi fisik atau mental yang dapat diulang yang
mentransformasikan obyek dengan suatu cara. Bila keseluruhan kegiatan menempati
seluruhnya dalam pikiran individu atau hanya diimajinasikan/dibayangkan (saat terjadi) tanpa
individu memerlukan semua langkah-langkah khusus, maka kegiatan itu telah
diinteriorisasikan menjadi suatu penjelasan. Kejadian-kejadian kognitif yang dapat
menginteriorisasikan suatu kegiatan menuju suatu penjelasan dikatakan bahwa
perkembangan pengetahuan peserta berada pada tahap intra.
Bila penjelasan-penjelasan itu sendiri ditransformasikan oleh suatu tindakan maka dikatakan
bahwa penjelasan telah dienkapsulasikan menjadi kemampuan mengimplementasikan. Bila
hal ini terjadi yaitu peserta mampu mengenkapsulasi suatu penjelasan menuju kemampuan
mengimplementasikan, maka perkembangan keterampilan peserta dikatakan berada
pada tahap inter.
Disamping mengungkapkan tingkat pemahaman peserta, kerangka kerja ”Kelasmen” juga
dapat dipakai untuk mengungkapkan tingkat keterlibatan peserta dalam proses belajar.
Keterlibatan peserta tersebut dapat diamati dari tindakan (kegiatan) yang dilakukan peserta
dengan menggunakan berbagai media (alat) dalam menyelesaikan masalah,
mengkomunikasikan (penjelasan) pengetahuan kepada peserta
lain, mengimplementasikan berbagai media dalam pembelajaran suatu konsep yang dihadapi
dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
D. Langkah-Langkah Pelatihan
1. Fase-fase Pelatihan
Ciri utama pelatihan model ”Kelasmen” adalah pelatihan yang dimulai dari melakukan
kegiatan manipulasi, mengkomunikasikan hasil kegiatan sehingga tercipta kerjasama diantara
sesama peserta, dan kemampuan mengimplementasikan dengam konsep-konsep baru dalam
pembelajaran. Ada enam fase utama dalam pelatihan model ”Kelasmen”. Keenam fase itu
disajikan seperti pada tabel berikut :
Menjelask
pembuatan
Fasilitator mendorong dan dan keterk
Mengembangkan masalah membimbing peserta dengan kon
5 diajarkan
dalam bentuk-bentuk lain mengembangkan masalah dengan
Mengemba
cara-cara lain pembelajar
sumber-su
ada
2. Pelaksanaan Pelatihan
Fase 1 : Orientasi peserta kepada masalah
Agar kegiatan peserta berorientasi kepada masalah, maka perencanaan pelatihan yang
dirancang dan dimulai dari kegiatan penetapan tujuan yang jelas, kemudian merancang situasi
masalah yang akan diselesaikan peserta, dan mengorganisasikan sumber daya serta rencana
logistik yang digunakan.
a. Penetapan tujuan
Dalam pelaksanaannya, pelatihan model ”Kelasmen” diarahkan untuk mencapai tujuan yang
sifatnya membantu peserta mengembangkan ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah,
dan menjadi peserta yang mandiri
b. Merancang situasi
Pelatihan model ”Kelasmen” dirancang untuk memberi keleluasaan kepada peserta memilih
masalah untuk diselidiki dan dicoba, karena cara ini dapat meningkatkan motivasi peserta.
Masalah yang dirancang sebaiknya authentik, mengandung teka-teki, memungkinkan
kerjasama,
c. Organisasi sumber daya dan rencana logistik
Dalam pelatihan model “Kelasmen” peserta belajar dengan berbagai sarana, material, atau
peralatan. Pelaksanaannya dapat dilakukan di kelas, di laboratorium, di perpustakaan atau di
luar kelas bahkan di luar tempat pelatihan. Oleh karena itu pengorganisasian sumber daya dan
logistik menjadi tugas fasilitator yang utama dalam merancang pelatihan model “Kelasmen”
Fase 2 : Mengorganisasikan peserta untuk belajar
Pelatihan model ”Kelasmen” dibutuhkan pengembangan ketrampilan kerjasama dalam
melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah. Untuk itu perlu bantuan fasilitator dalam
merencanakan dan mengorganisasikan tugas-tugas peserta, sehingga diperlukan kelompok
belajar kooperatif. Pengorganisasian peserta dalam kelompok ini memperhatikan
kemampuan/keterampilan akademik peserta, sosial, ekonomi, budaya bahkan agama.
Fase 3 : Membimbing peserta melakukan sesuatu baik secara individu maupun kelompok
Pada fase ini fasilitator membantu peserta mengumpulkan informasi dari berbagai sumber,
dilatih dengan berbagai pertanyaan untuk membantu peserta memikirkan suatu tindakan
untuk memecahkan masalah. Disamping itu fasilitator mendorong peserta untuk melakukan
sesuatu dengan menggunakan material manipulatif, gambar-gambar atau simbol-simbol
untuk memecahkan masalah