Anda di halaman 1dari 34

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 51 TAHUN 2009

TENTANG

PEKERJAAN KEFARMASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian;
M : 1.
en Pasal
gi 5 ayat
ng (2)
at
Undang-
Undang
Dasar
Negara

R
ep
ub
li
k
In
do
ne
si
a
Ta
hu
n
19
45
;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3495);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEKERJAAN


KEFARMASIAN.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan


Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang
terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab


kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam


menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

7. Fasilitas Kesehatan adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan


pelayanan kesehatan.
8. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan
Pekerjaan Kefarmasian.
9. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk
memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.

10. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang
digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu
Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.
11. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.

12. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi
dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

13. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek


kefarmasian oleh Apoteker.

14. Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas
dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.

15. Standar Profesi adalah pedoman untuk menjalankan praktik profesi kefarmasian
secara baik.

16. Standar Prosedur Operasional adalah prosedur tertulis berupa petunjuk


operasional tentang Pekerjaan Kefarmasian.

17. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian


pada fasilitas produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan kefarmasian.

18. Asosiasi adalah perhimpunan dari perguruan tinggi farmasi yang ada di
Indonesia.
19. Organisasi Profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di
Indonesia.
20. Surat Tanda Registrasi Apoteker selanjutnya disingkat STRA adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi.

21. Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian selanjutnya disingkat


STRTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga
Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi.

22. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang
diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian
pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

23. Surat Izin Kerja selanjutnya disingkat SIK adalah surat izin yang diberikan
kepada Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan
Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau
penyaluran.
24. Rahasia Kedokteran adalah sesuatu yang berkaitan dengan praktek kedokteran
yang tidak boleh diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

25. Rahasia Kefarmasian adalah Pekerjaan Kefarmasian yang menyangkut proses


produksi, proses penyaluran dan proses pelayanan dari Sediaan Farmasi yang
tidak boleh diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

26. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

Pasal 2

(1) Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan,


produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.

(2) Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Pasal 3

Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan,


keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang
berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
mutu, dan kemanfaatan.

Pasal 4

Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk:

a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh


dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;

b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan


Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
peraturan perundangan-undangan; dan

c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga Kefarmasian.


BAB II

PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 5

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:

a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;

b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;

c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan

d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.

Bagian Kedua

Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan

Sediaan Farmasi

Pasal 6

(1)Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas


distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi.

(2)Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
oleh Tenaga kefarmasian.

(3)Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan
khasiat Sediaan Farmasi.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan Sediaan Farmasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.

Bagian Ketiga
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi Sediaan Farmasi

Pasal 7

(1)Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus memiliki Apoteker


penanggung jawab.

(2)Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 8

Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa industri farmasi obat, industri bahan
baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika.

Pasal 9

(1)Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung


jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan
mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.

(2)Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-


kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10

Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 11

(1)Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (2) harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

(2)Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses produksi dan pengawasan
mutu Sediaan Farmasi pada Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh
Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Pasal 13

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas


Produksi Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang produksi dan pengawasan mutu.

Bagian Keempat

Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi

Pasal 14

(1)Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus
memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.

(2)Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas


Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 15

Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus memenuhi ketentuan Cara Distribusi yang
Baik yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16

(1)Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

(2)Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17

Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran Sediaan
Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh
Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pasal 18

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas


Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang distribusi atau penyaluran.

Bagian Kelima

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian

Pasal 19

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa :


a. Apotek;
b. Instalasi farmasi rumah sakit;
c. Puskesmas;
d. Klinik;
e. Toko Obat; atau
f. Praktek bersama.

Pasal 20

Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,


Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.

Pasal 21

(1)Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,


Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.

(2)Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh


Apoteker.

(3)Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat


menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada
sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditetapkan
oleh Menteri.

(5)Tata cara penempatan dan kewenangan Tenaga Teknis Kefarmasian di daerah


terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 22
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 23

(1)Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 20 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

(2)Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,


Apoteker dapat:
a. mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA;
b. mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya
atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien; dan
c. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep
dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25

(1)Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.

(2)Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik modal
maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang
bersangkutan.

(3)Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26

(1)Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e


dilaksanakan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK sesuai
dengan tugas dan fungsinya.

(2)Dalam menjalankan praktek kefarmasian di Toko Obat, Tenaga Teknis Kefarmasian


harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian di Toko Obat.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di Toko Obat


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan standar pelayanan kefarmasian di toko obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 27

Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan pelayanan farmasi pada Fasilitas


Pelayanan Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan
fungsinya.

Pasal 28

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan


Kefarmasian wajib mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan perkembangan
ilmu pengetahuan serta teknologi.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas


Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Keenam
Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian

Pasal 30
(1)Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian wajib
menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian.

(2)Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya dapat dibuka untuk kepentingan
pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan
pasien sendiri dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh

Kendali Mutu dan Kendali Biaya

Pasal 31

(1)Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian wajib


menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya.

(2)Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui audit kefarmasian.

Pasal 32

Pembinaan dan pengawasan terhadap audit kefarmasian dan upaya lain dalam
pengendalian mutu dan pengendalian biaya dilaksanakan oleh Menteri.

BAB III

TENAGA KEFARMASIAN

Pasal 33

(1)Tenaga Kefarmasian terdiri atas:

a. Apoteker; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian.

(2)Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.

Pasal 34

(1)Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada:


a. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan
baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang
memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi
dan pengawasan mutu;

b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui
Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan
alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota; dan/atau

c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek, instalasi farmasi


rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dimaksud


pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 35

(1)Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus memiliki


keahlian dan kewenangan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian.

(2)Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus


dilaksanakan dengan menerapkan Standar Profesi.
(3)Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
didasarkan pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang
berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan.

(4)Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

(1)Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a merupakan


pendidikan profesi setelah sarjana farmasi.

(2)Pendidikan profesi Apoteker hanya dapat dilakukan pada perguruan tinggi sesuai
peraturan perundang-undangan.

(3)Standar pendidikan profesi Apoteker terdiri atas:


a. komponen kemampuan akademik; dan
b. kemampuan profesi dalam mengaplikasikan Pekerjaan Kefarmasian.

(4)Standar pendidikan profesi Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun
dan diusulkan oleh Asosiasi di bidang pendidikan farmasi dan ditetapkan oleh
Menteri.

(5)Peserta pendidikan profesi Apoteker yang telah lulus pendidikan profesi Apoteker
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memperoleh ijazah Apoteker dari
perguruan tinggi.

Pasal 37

(1)Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki sertifikat


kompetensi profesi.

(2)Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh sertifikat
kompetensi profesi secara langsung setelah melakukan registrasi.

(3)Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila Apoteker tetap akan
menjalankan Pekerjaan Kefarmasian.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh sertifikat kompetensi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara registrasi profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38

(1)Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi ketentuan peraturan


perundang-undangan yang berlaku di bidang pendidikan.

(2)Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki ijazah dari institusi
pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.

(3)Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat


(2), peserta didik yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh rekomendasi dari
Apoteker yang memiliki STRA di tempat yang bersangkutan bekerja.

(4)Ijazah dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diserahkan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.

Pasal 39

(1)Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia


wajib memiliki surat tanda registrasi.

(2)Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi:
a. Apoteker berupa STRA; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.

Pasal 40

(1)Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:


a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.

(2)STRA dikeluarkan oleh Menteri.


Pasal 41

STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5
(lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).

Pasal 42

(1)Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di


Indonesia harus memiliki STRA setelah melakukan adaptasi pendidikan.

(2)STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:


a. STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); atau
b. STRA Khusus.

(3)Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada institusi pendidikan
Apoteker di Indonesia yang terakreditasi.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian STRA, atau STRA Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pelaksanaan adaptasi pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43

STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a diberikan kepada:

a. Apoteker warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah melakukan adaptasi
pendidikan Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) di Indonesia
dan memiliki sertifikat kompetensi profesi;

b. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di Indonesia


yang telah memiliki sertifikat kompetensi profesi dan telah memiliki izin tinggal
tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian; atau

c. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di luar negeri
dengan ketentuan:

1. telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker di Indonesia;


2. telah memiliki sertifikat kompetensi profesi; dan
3. telah memenuhi persyaratan untuk bekerja sesuaidenganketentuanperaturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.

Pasal 44
STRA Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (2) huruf b dapat diberikan
kepada Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri dengan syarat:

1. atas permohonan dari instansi pemerintah atau swasta;


2. mendapat persetujuan Menteri; dan
3. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan kurang dari 1 (satu) tahun.

Pasal 45

(1)Penyelenggaraan adaptasi pendidikan Apoteker bagi Apoteker lulusan luar negeri


dilakukan pada institusi pendidikan Apoteker di Indonesia.

(2)Apoteker lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan yang berlaku dalam bidang pendidikan dan memiliki sertifikat kompetensi.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi pendidikan Apoteker sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari
menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pendidikan.

Pasal 46

Kewajiban perpanjangan registrasi bagi Apoteker lulusan luar negeri yang akan
melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia mengikuti ketentuan perpanjangan
registrasi bagi Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.

Pasal 47

(1)Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memenuhi


persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktek;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki
STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian.

(2)STRTTK dikeluarkan oleh Menteri.

(3)Menteri dapat mendelegasikan pemberian STRTTK kepada pejabat kesehatan yang


berwenang pada pemerintah daerah provinsi.

Pasal 48
STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5
(lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).

Pasal 49

STRA, STRA Khusus, dan STRTTK tidak berlaku karena:

a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang bersangkutan atau tidak
memenuhi persyaratan untuk diperpanjang;
b. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. permohonan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang.

Pasal 50

(1)Apoteker yang telah memiliki STRA, atau STRA Khusus, serta Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK harus melakukan Pekerjaan Kefarmasian
sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki.

(2)Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK mempunyai wewenang


untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan
Apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan
yang dimilikinya.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Tenaga Teknis Kefarmasian


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 51

(1)Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit


hanya dapat dilakukan oleh Apoteker.

(2)Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki STRA.

(3)Dalam melaksanakan tugas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah
memiliki STRTTK.

Pasal 52
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia
wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja.

(2)Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:


a. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek,
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit;
b. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai Apoteker
pendamping;
c. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas
kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau
d. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian
pada Fasilitas Kefarmasian.

Pasal 53

(1)Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan
yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat Pekerjaan Kefarmasian dilakukan.

(2)Tata cara pemberian surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 54

(1)Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat
melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit.

(2)Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya
dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit.

Pasal 55

(1)Untuk mendapat surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Tenaga
Kefarmasian harus memiliki:
a. STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih berlaku;
b. tempat atau ada tempat untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian atau fasilitas
kefarmasian atau Fasilitas Kesehatan yang memiliki izin; dan
c. rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat.

(2)Surat Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum apabila Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam
surat izin.
BAB IV

DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN

Pasal 56

Penegakkan disiplin Tenaga Kefarmasian dalam menyelenggarakan Pekerjaan


Kefarmasian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

Pelaksanaan penegakan disiplin Tenaga Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 56 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 58

Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai


kewenangannya serta Organisasi Profesi membina dan mengawasi pelaksanaan
Pekerjaan Kefarmasian.

Pasal 59

(1)Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diarahkan untuk:

a. melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian


yang dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu Pekerjaan Kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan Tenaga
Kefarmasian.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

1. Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau
SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2
(dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin Asisten
Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 61

Apoteker dan Asisten Apoteker yang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun belum
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, maka surat
izin untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian batal demi hukum.

Pasal 62

Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi
harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor
44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2752), sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1980 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3169) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1990 tentang Masa Bakti Dan
Izin Kerja Apoteker (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3422), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 64

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 124
PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 51 TAHUN 2009

TENTANG

PEKERJAAN KEFARMASIAN

I. UMUM

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,


kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah
terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi
kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja
sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan
pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring
penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error).
Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum
memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah,
dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan dengan era
otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan
perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga
Kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih
belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat
cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum
yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian
dalam suatu peraturan pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur:

1. Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian;


2. Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan, Produksi, Distribusi, atau
Penyaluran dan Pelayanan Sediaan Farmasi;
3. Tenaga Kefarmasian;
4. Disiplin Tenaga Kefarmasian; serta
5. Pembinaan dan Pengawasan;

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Yang dimaksud dengan :


a. ”Nilai Ilmiah” adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam pendidikan termasuk pendidikan
berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi.

b. ”Keadilan” adalah penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian harus mampu


memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya
yang terjangkau serta pelayanan yang bermutu.
c. ”Kemanusiaan” adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus
memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa,
agama, status sosial dan ras.

d. ”Keseimbangan” adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus tetap


menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat.

e. ”Perlindungan dan keselamatan” adalah Pekerjaan Kefarmasian tidak hanya


memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan
peningkatan derajat kesehatan pasien.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tata cara dalam ayat ini untuk sektor pemerintah mengikuti
peraturan yang berlaku.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan ”Cara Pembuatan Yang Baik” adalah petunjuk yang
menyangkut segala aspek dalam produksi dan pengendalian mutu meliputi seluruh
rangkaian pembuatan obat yang bertujuan untuk menjamin agar produk obat yang
dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
penggunaannya.

Pasal 11

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Keharusan memperbaharui Standar Prosedur Operasional dimaksudkan agar dapat
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan
yang lebih baik.

Pasal 12
Kewajiban untuk melakukan pencatatan dimaksudkan sebagai alat kontrol dalam rangka
pengawasan mutu Sediaan Farmasi yang disesuaikan dengan prosedur Cara Pembuatan
yang Baik.

Pasal 13
Kewajiban mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan disamping sebagai tuntutan etika
profesi juga dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Yang dimaksud dengan “Cara Distribusi Obat Yang Baik” adalah suatu pedoman yang
harus diikuti dalam pendistribusian obat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama dimaksudkan
untuk memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu secara finansial
untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik.

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini Apoteker yang mendirikan Apotek dengan modal sendiri
melakukan sepenuhnya Pekerjaan Kefarmasian.

Ayat (2)
Dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pekerjaan kefarmasian
dilakukan oleh yang tidak memiliki kompetensi dan wewenang.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pemberian obat oleh dokter pada dasarnya mempunyai hubungan sangat erat dengan
Pekerjaan Kefarmasian di mana obat pada dasarnya mempunyai fungsi
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan
kesehatan, oleh karena itu perlu dijaga kerahasiaannya dan agar tidak menimbulkan
dampak negatif kepada pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kendali mutu” dalam ayat ini adalah suatu sistem pemberian
Pelayanan Kefarmasian yang efektif, efisien, dan berkualitas dalam memenuhi
kebutuhan Pelayanan Kefarmasian.
Yang dimaksud dengan “kendali biaya” adalah Pelayanan Kefarmasian yang benar-
benar sesuai dengan kebutuhan dan didasarkan pada harga yang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “audit kefarmasian” adalah upaya evaluasi secara
profesional terhadap mutu Pelayanan Kefarmasian yang diberikan kepada
masyarakat yang dibuat oleh Organisasi Profesi atau Asosiasi Institusi Pendidikan
Farmasi.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Keahlian dan kewenangan Tenaga Kefarmasian dibuktikan dengan memiliki surat
izin praktik.
Terhadap tenaga kesehatan di luar Tenaga Kefarmasian juga dapat diberikan
kewenangan melakukan Pekerjaan Kefarmasian yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Standar kefarmasian pada sarana produksi adalah cara pembuatan yang baik (Good
Manufacturing Practices), pada sarana distribusi adalah cara distribusi yang baik
(Good Distribution Practices), dan pada sarana pelayanan adalah cara pelayanan
yang baik (Good Pharmacy Practices).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sertifikat kompetensi” adalah pernyataan tertulis bahwa
seseorang memiliki kompetensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Adaptasi dilakukan melalui evaluasi terhadap kemampuan untuk menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal Apoteker dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian, pelaksanaan
pelayanan Kefarmasian tetap dilakukan oleh Apoteker dan tanggung jawab tetap
berada di tangan Apoteker.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5044

Anda mungkin juga menyukai