PP No 51 2009
PP No 51 2009
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
R
ep
ub
li
k
In
do
ne
si
a
Ta
hu
n
19
45
;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3495);
MEMUTUSKAN:
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
10. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang
digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu
Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.
11. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
12. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi
dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas
dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
15. Standar Profesi adalah pedoman untuk menjalankan praktik profesi kefarmasian
secara baik.
18. Asosiasi adalah perhimpunan dari perguruan tinggi farmasi yang ada di
Indonesia.
19. Organisasi Profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di
Indonesia.
20. Surat Tanda Registrasi Apoteker selanjutnya disingkat STRA adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi.
22. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang
diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian
pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
23. Surat Izin Kerja selanjutnya disingkat SIK adalah surat izin yang diberikan
kepada Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan
Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau
penyaluran.
24. Rahasia Kedokteran adalah sesuatu yang berkaitan dengan praktek kedokteran
yang tidak boleh diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
26. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
Pasal 2
(2) Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 3
Pasal 4
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Bagian Kedua
Sediaan Farmasi
Pasal 6
(2)Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
oleh Tenaga kefarmasian.
(3)Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan
khasiat Sediaan Farmasi.
Bagian Ketiga
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi Sediaan Farmasi
Pasal 7
(2)Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 8
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa industri farmasi obat, industri bahan
baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika.
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
(2)Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses produksi dan pengawasan
mutu Sediaan Farmasi pada Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh
Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pasal 13
Bagian Keempat
Pasal 14
(1)Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus
memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
(2)Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 15
Pasal 16
(2)Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran Sediaan
Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh
Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pasal 18
Bagian Kelima
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 23
(2)Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
(1)Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
(2)Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik modal
maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang
bersangkutan.
(3)Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Bagian Keenam
Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian
Pasal 30
(1)Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian wajib
menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian.
(2)Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya dapat dibuka untuk kepentingan
pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan
pasien sendiri dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31
(2)Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui audit kefarmasian.
Pasal 32
Pembinaan dan pengawasan terhadap audit kefarmasian dan upaya lain dalam
pengendalian mutu dan pengendalian biaya dilaksanakan oleh Menteri.
BAB III
TENAGA KEFARMASIAN
Pasal 33
a. Apoteker; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian.
(2)Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.
Pasal 34
b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui
Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan
alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota; dan/atau
Pasal 35
(4)Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
(2)Pendidikan profesi Apoteker hanya dapat dilakukan pada perguruan tinggi sesuai
peraturan perundang-undangan.
(4)Standar pendidikan profesi Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun
dan diusulkan oleh Asosiasi di bidang pendidikan farmasi dan ditetapkan oleh
Menteri.
(5)Peserta pendidikan profesi Apoteker yang telah lulus pendidikan profesi Apoteker
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memperoleh ijazah Apoteker dari
perguruan tinggi.
Pasal 37
(2)Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh sertifikat
kompetensi profesi secara langsung setelah melakukan registrasi.
(3)Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila Apoteker tetap akan
menjalankan Pekerjaan Kefarmasian.
(2)Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki ijazah dari institusi
pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
(4)Ijazah dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diserahkan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.
Pasal 39
(2)Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi:
a. Apoteker berupa STRA; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.
Pasal 40
STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5
(lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).
Pasal 42
(3)Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada institusi pendidikan
Apoteker di Indonesia yang terakreditasi.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian STRA, atau STRA Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pelaksanaan adaptasi pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 43
STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a diberikan kepada:
a. Apoteker warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah melakukan adaptasi
pendidikan Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) di Indonesia
dan memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di luar negeri
dengan ketentuan:
Pasal 44
STRA Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (2) huruf b dapat diberikan
kepada Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri dengan syarat:
Pasal 45
(2)Apoteker lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan yang berlaku dalam bidang pendidikan dan memiliki sertifikat kompetensi.
Pasal 46
Kewajiban perpanjangan registrasi bagi Apoteker lulusan luar negeri yang akan
melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia mengikuti ketentuan perpanjangan
registrasi bagi Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
Pasal 47
Pasal 48
STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5
(lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).
Pasal 49
a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang bersangkutan atau tidak
memenuhi persyaratan untuk diperpanjang;
b. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. permohonan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang.
Pasal 50
(1)Apoteker yang telah memiliki STRA, atau STRA Khusus, serta Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK harus melakukan Pekerjaan Kefarmasian
sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki.
Pasal 51
Pasal 52
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia
wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja.
Pasal 53
(1)Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan
yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat Pekerjaan Kefarmasian dilakukan.
(2)Tata cara pemberian surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 54
(1)Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat
melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit.
(2)Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya
dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit.
Pasal 55
(1)Untuk mendapat surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Tenaga
Kefarmasian harus memiliki:
a. STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih berlaku;
b. tempat atau ada tempat untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian atau fasilitas
kefarmasian atau Fasilitas Kesehatan yang memiliki izin; dan
c. rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat.
(2)Surat Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum apabila Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam
surat izin.
BAB IV
Pasal 56
Pasal 57
BAB V
Pasal 58
Pasal 59
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
1. Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau
SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2
(dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin Asisten
Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 61
Apoteker dan Asisten Apoteker yang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun belum
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, maka surat
izin untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian batal demi hukum.
Pasal 62
Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi
harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor
44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2752), sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1980 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3169) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1990 tentang Masa Bakti Dan
Izin Kerja Apoteker (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3422), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 64
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 124
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN
I. UMUM
Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah
terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi
kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja
sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan
pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring
penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error).
Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum
memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah,
dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan dengan era
otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan
perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga
Kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih
belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat
cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum
yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian
dalam suatu peraturan pemerintah.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tata cara dalam ayat ini untuk sektor pemerintah mengikuti
peraturan yang berlaku.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan ”Cara Pembuatan Yang Baik” adalah petunjuk yang
menyangkut segala aspek dalam produksi dan pengendalian mutu meliputi seluruh
rangkaian pembuatan obat yang bertujuan untuk menjamin agar produk obat yang
dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
penggunaannya.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keharusan memperbaharui Standar Prosedur Operasional dimaksudkan agar dapat
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan
yang lebih baik.
Pasal 12
Kewajiban untuk melakukan pencatatan dimaksudkan sebagai alat kontrol dalam rangka
pengawasan mutu Sediaan Farmasi yang disesuaikan dengan prosedur Cara Pembuatan
yang Baik.
Pasal 13
Kewajiban mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan disamping sebagai tuntutan etika
profesi juga dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “Cara Distribusi Obat Yang Baik” adalah suatu pedoman yang
harus diikuti dalam pendistribusian obat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama dimaksudkan
untuk memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu secara finansial
untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini Apoteker yang mendirikan Apotek dengan modal sendiri
melakukan sepenuhnya Pekerjaan Kefarmasian.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pekerjaan kefarmasian
dilakukan oleh yang tidak memiliki kompetensi dan wewenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pemberian obat oleh dokter pada dasarnya mempunyai hubungan sangat erat dengan
Pekerjaan Kefarmasian di mana obat pada dasarnya mempunyai fungsi
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan
kesehatan, oleh karena itu perlu dijaga kerahasiaannya dan agar tidak menimbulkan
dampak negatif kepada pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kendali mutu” dalam ayat ini adalah suatu sistem pemberian
Pelayanan Kefarmasian yang efektif, efisien, dan berkualitas dalam memenuhi
kebutuhan Pelayanan Kefarmasian.
Yang dimaksud dengan “kendali biaya” adalah Pelayanan Kefarmasian yang benar-
benar sesuai dengan kebutuhan dan didasarkan pada harga yang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “audit kefarmasian” adalah upaya evaluasi secara
profesional terhadap mutu Pelayanan Kefarmasian yang diberikan kepada
masyarakat yang dibuat oleh Organisasi Profesi atau Asosiasi Institusi Pendidikan
Farmasi.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Keahlian dan kewenangan Tenaga Kefarmasian dibuktikan dengan memiliki surat
izin praktik.
Terhadap tenaga kesehatan di luar Tenaga Kefarmasian juga dapat diberikan
kewenangan melakukan Pekerjaan Kefarmasian yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Standar kefarmasian pada sarana produksi adalah cara pembuatan yang baik (Good
Manufacturing Practices), pada sarana distribusi adalah cara distribusi yang baik
(Good Distribution Practices), dan pada sarana pelayanan adalah cara pelayanan
yang baik (Good Pharmacy Practices).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sertifikat kompetensi” adalah pernyataan tertulis bahwa
seseorang memiliki kompetensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Adaptasi dilakukan melalui evaluasi terhadap kemampuan untuk menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal Apoteker dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian, pelaksanaan
pelayanan Kefarmasian tetap dilakukan oleh Apoteker dan tanggung jawab tetap
berada di tangan Apoteker.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5044