Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN REFERAT KECIL

JANUARY 2015

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

DERMATITIS NUMULARIS

DISUSUN OLEH :

Nabil Bachmid

1102100037

PEMBIMBING :

dr. Rani

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan pada kulit yang merupakan respon


terhadap faktor eksogen, misalnya bahan kimia (contoh: detergen, asam,
basa, oli, semen); fisik (contoh: sinar, suhu); mikroorganisme (bakteri,
jamur), maupun faktor endogen (dari dalam) yang dapat menimbulkan
kelainan klinis berupa effloresensi yang polimorfik (eritema, edema, papul,
vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. 1
Dermatitis berupa lesi berbentuk mata uang (koin) atau agak lonjong,
berbatas tegas dengan effloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah
pecah sehingga tampak basah (oozing).
Dermatitis numularis pada orang dewasa terjadi lebih sering pada pria
daripada wanita. Dermatitis numularis paling sering terjadi pada kedua jenis
kelamin dengan usia antara 50 sampai 65 tahun.2
Tidak ada penyebab pasti yang mendasari terjadinya dermatitis
numularis tetapi diduga banyak faktor predisposisi terjadinya dermatitis
numularis. Faktor internal seperti kulit kering, stress, dan lain-lain. Faktor
external seperti adanya sebuah reaksi terhadap antigen bakteri
staphylococcus, alkohol, obat-obatan dan lain-lain.3
Dermatitis nummular adalah kondisi terbatas pada kulit. Baru-baru ini
diklasifikasikan sebagai bentuk dermatitis atopik. Sedikit yang diketahui
tentang patofisiologi dermatitis nummular, tetapi sering disertai dengan
xerosis. Kekeringan pada kulit menghasilkan gangguan penghalang lipid
epidermal, ini memungkinkan perembesan alergen lingkungan, yang
menyebabkan reaksi alergi atau iritasi. 4
Satu penelitian mengidentifikasi bahwa kontributor neurogenik
inflamasi di kedua dermatitis nummular dan dermatitis atopik dapat terjadi

2
akibat peranan antara sel mast dan saraf sensorik dalam mengidentifikasi
distribusi neuropeptida pada dermis bagian atas dan epidermis. Para peneliti
berhipotesis bahwa pelepasan mediator inflamasi histamin dan lainnya dari
sel mast dapat memulai pruritus dengan berinteraksi dengan saraf-serat C.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontak kulit antara sel-sel mast dan
saraf telah bertambah banyak dalam sampel kedua lesi dan nonlesional
dermatitis nummular dibandingkan dengan kontrol normal. Selain itu,
substansi P dan gen terkait peptida serat kalsitonin yang menonjol
meningkat dalam sampel lesi dibandingkan dengan sampel nonlesional dari
pasien dengan dermatitis nummular. Neuropetida ini dapat menstimulasi
pelepasan sitokin lainnya dan mempromosikan peradangan. 4
Penelitian lain telah menunjukkan bahwa adanya sel mast dalam
dermis pasien dengan dermatitis nummular mungkin menyebabkan
penurunan aktivitas chymase, sehingga mengurangi kemampuan untuk
menurunkan neuropeptida dan protein yang dapat menstimulasi pelepasan
sitokin. Disregulasi ini bisa mengakibatkan penurunan kemampuan enzim
untuk menekan peradangan. 4
Kulit penderita dermatitis numularis cenderung kering, hidrasi
stratum korneun rendah, jumlah substansi P (SP), Vasoactive Intestinal Poly
Peptid (VIP), dan Calcitonin Genrelated Peptide (CGRP) yang meningkat
di dalam serabut dermal saraf sensoris kulit sedangkan pada serabut
epidermal yang meningkat SP dan CGRP. Hal ini menunjukkan bahwa
neuropeptida dapat berpotensi pada mekanisme proses degranulasi sel
mast.1

3
BAB II
DIAGNOSIS
2.1 Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan gatal, awalnya kecil
kemudian membesar atau meluas kesamping, biasanya berbentuk seperti
uang logam, berwarna kemerahan dan berbatas tegas. Awalnya berbentuk
vesikel namun biasanya pasien datang dengan vesikel sudah pecah sudah
mengering menjadi krusta kekuningan. Tempat predileksinya ditungkai
bawah, badan, lengan termasuk punggung tangan.1

Gambar 2 : Dermatitis numular. Plak bentuk koin dengan erosi dan eksoriasi. 2

Dermatitis numularis dirasakan sangat gatal dan lesi dengan eritema,


edema, pengerasan kulit daripada skuama, vesikel mungkin tampak, ruam
tetap tidak berubah. Jumlah lesi dapat hanya satu tapi dapat pula banyak dan
tersebar, bilateral atau simetris dengan ukuran yang bervariasi, mulai dari
miliaria sampai numular bahkan bisa sampai bentuk plakat. Tempat predileksi
di tungkai bawah, badan, lengan termasuk punggung tangan. 1

2.2 Pemeriksaan fisis


Dermatitis numularis dapat dikelompokkan dalam bentuk vesikel
berukuran kecil dan papul yang bergabung menjadi plak. Seringkali
berukuran lebih dari 4 sampai 5 cm dengan dasar eritematosa dengan batas

4
yang berbeda. Plak dapat menjadi eksudatif dan kerak. Eksoriasi sekunder
akibat menggaruk. Plak kering bersisik adalah likenifikasi. Bentuk bulat
atau berbentuk koin sehingga disebut numular. Pinggiranya sering lebih
menonjol dari bagian tengahnya. Cluster daerah lesi (misalnya pada kaki
atau tubuh) sering tersebar. Lesi pada tungkai bagian bawah (sering terjadi
pada pria yang lebih tua) sedangkan lesi pada badan, tangan dan jari (sering
terjadi pada perempuan muda). 5

Gambar 3 : Dermatitis numular dengan bentuk plak krusta. (3)

2.3 Pemeriksaan penunjang

 Tes Tempel
Tes tempel (Patch test) dapat digunakan pada kasus yang kronik untuk
menyingkirkan diagnosis banding dermatitis kontak. Pada suatu penelitian
satu sampai 50 pasien mempunyai hasil tes tempel yang positif pada obat
nitrofurazone, neomisin sulfat dan nikel sulfat. Serum imunoglobulin E
adalah normal. 3

5
Gambar 4 : Tes tempel (Patch test) yang dilakukan dengan menggunakan allergen
patch yang ditempelkan pada daerah punggung.2

 Kultur bakteri
Dermatitis numularis dapat didiagnosis dengan kultur bakteri
untuk mengetahui bahwa apakah dermatitis numularis ini disebabkan
oleh infeksi Streptococcus aureus atau tidak. 5

 Pemeriksaan KOH
Jika diagnosis meragukan kita dapat melakukan pemeriksaan
KOH untuk mendiagnosis sebuah tinea atau bukan.

 Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan biopsi dapat dilakukan untuk menyingkirkan
penyebab lain. Pada lesi akut ditemukan adanya spongiosis, vesikel
intraepidermal, sebukan sel radang limfosit dan makrofag disekitar
pembuluh darah. Pada lesi yang kronis dapat ditemukan akantosis
teratur, hiperkeratosis, mungkin juga spongiosis ringan. Dermis bagian
atas fibrosis, sebukan limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah.
Limfosit di epidermis mayoritas terdiri atas sel T-CD8+ sedangkan yang
ada di dermis sel T-CD+. Sebagian besar sel mast di dermis tipe Mast
Cell Tryptase (MCTC) yang berisi triptase. 1

6
Gambar 5 : Histopatologi dermatitis numularis. Tampak parakeratosis,
neutrofil dan hiperplasia epidermal psoriasiform dengan spongiosis dengan
infiltrat limfosit perivaskuler dermis superfisial, makrofag dan eosinofil. 3

2.4 DIAGNOSIS BANDING


a. Tinea korporis
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul ditepi. Biasanya didapatkan lingkaran-
lingkaran skuama yang konsentris dengan perabaan.1

Gambar 6 : Lesi tinea korporis (2)

7
b. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebebabkan
terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat
alergen.Dermatitis kontak alergik termasuk reaksi tipe IV adalah
hipersensitivitas tipe lambat. Lesi yang akut, berupa lesi yang polimorf
yaitu tampak makula yang eritematus, batas tidak jelas dan diatas
makula yang eritematus terdapat papul, vesikel, bula yang bila pecah
menjadi lesi yang eksudatif.4

Gambar 7 : Dermatitis kontak alergi. (9)

c. Dermatitis atopik
Kelainan kulit terutama berupa iktiosis, reaksi radang berupa
makula yang eritematus yang diatasnya terdapat vesikel, papul folikuler
dan akhirnya dapat timbul likenifikasi. Dermatitis atopik penyebabnya
belum diketahui.4

8
Gambar 8 : dermatitis atopik. (10)

9
BAB III
PENATALAKSANAAN

3.1. non medikamentosa

Sedapat-dapatnya mencari penyebab atau faktor yang memprovokasi.


Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien. Secara topical lesi dapat
diobati dengan obat anti-inflamasi, misalnya preparat ter, glukokortikoid,
takrolimus atau pimekrolimus. Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya dikompres
dulu misalnya dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000.1

3.2. medikamentosa

3.2.1. sistemik

Antihistamin

Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal


yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu
antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral
malam hari pada orang dewasa.
Indikasi : Pengobatan rhinitis alergi menahun ataupun musiman, dan
urtikaria idiopatik kronik, terutama demam dan alergi lainnya. Karena gejala
gatal-gatal dan kemerahan dalam kondisi ini disebabkan oleh histamin yang
bekerja pada reseptor H1, memblokir reseptor sementara mengurangi gejala-
gejala.
Kontraindikasi : Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap
kandungandalam obat dan wanita menyusui, karena kandungan aktif cetirizine
diekskresi pada air susu ibu.

10
Farmakokinetik: Dalam studi pemberian 10 mg tablet , sekali sehari selama
10 hari, tingkat serum rata-rata puncak 311 ng / mL. Puncak level darah untuk
0,3 ug/ml dicapai antara 30- 60 menit setelah pemberian Cetirizine 10 mg.
Waktu paruh plasma kira-kira 11 jam. Absorpsi sangat konsisten pada semua
subjek. Efek metabolik cetirizine yang tersisa dalam sistem untuk maksimal 21
jam sebelum dibuang, eliminasi rata -hidup adalah 8 jam. Sekitar 70% dari
obat tersebut diekskresi atau dikeluarkan melalui buang air kecil, yang
setengah diamati sebagai senyawa cetirizine tidak berubah. Lain 10%
diekskresikan. Pengeluaran melalui ginjal 30 ml/menit dan waktu paruh
ekskresi kira-kira 9 jam. Cetirizine terikat kuat pada protein plasma.

Antibiotik5
Jika ditemukan infeksi bakterial maka dapat diberikan antibiotik
secara sistemik. Steroid topikal potensi sedang, sering dikombinasikan dengan
antimikrobial atau antibiotik.
Antibiotik oral, seperti dicloxacillin, cephalexin, atau erythromycin,
dapat digunakan dalam kasus-kasus infeksi sekunder. Kultur swab dapat
menjadi panduan dalam pemilihan antibiotik. Biasa digunakan dicloxacillin
dosis oral 125-500 mg 4 kali per hari selama 7-10 hari.

Kortikosteroid sistemik5
Steroid terapi yang paling umum digunakan untuk mengurangi
peradangan. Steroid topikal (misalnya pemberian triamcinolone 0,25-0,1%)
efektif untuk mengurangi eritematosa. Gatal dapat diobati dengan steroid
potensi rendah (kelas III-VI). Lesi yang sangat meradang dengan eritema
intens, vesikel, dan pruritus membutuhkan steroid potensi tinggi (kelas I-II).
Steroid oral, intramuskular, atau parenteral mungkin diperlukan dalam kasus-
kasus yang parah, erupsi menyeluruh.5

11
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk kasus-kasus dermatitis
numular yang berat, diberikan prednilson (metilprednisolon) dengan dosis oral
40-60 mg 4 kali per hari dengan dosis yang diturunkan secara perlahan-lahan.6
Indikasi : Penyakit kolagen : systemik lupus eritematosus, karditis
rheumatik akut, dan sistemik dermatomitosis (polymitosis).5
Penyakit kulit : pemphigus, bullous dermatitis herpetiformis, eritema
multiforme yang berat (Stevens Johnson sindrom), eksfoliatif dermatitis,
mikosis fungoides, psoriaris, dan dermatitis seboroik .5
Kontra Indikasi : Methylprednisolone dikontraindikasikan pada infeksi
jamur sistemik dan pasien yang hipersentitif terhadap komponen obat.6

Farmakokinetik : Walaupun tampaknya ada bermacam efek pada


fungsi fisiologik, kortikosteroid tampaknya mempengaruhi produksi protein
tertentu dari sel. Molekul steroid memasuki sel dan berikatan dengan protein
spesifik dalam sitoplasma. Kompleks yang terjadi dibawa ke dalam nukleus,
lalu menimbulkan terbentuknya mRNA yang kemudian dikembalikan ke
dalam sitoplasma untuk membantu pembentukan protein baru, terutama
enzim, sehingga melalui jalan ini kortikosteroid dapat mempengaruhi berbagai
proses. Kortikosteroid juga mempunyai efek terhadap eosinofil, mengurangi
jumlah dan menghalangi terhadap stimulus. Pada pemakaian topikal juga
dapat mengurangi jumlah sel mast di mukosa. Kortikosteroid juga bekerja
sinergistik dengan agonis β2 dalam menaikkan kadar cAMP dalam sel.5
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau
ditranspormenembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor
sitoplasmikglukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein
dilepaskan dankemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti,
dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada
berbagai gen danprotein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat
ekspresinya.5

12
3.2.2.topikal

a. Terapi kortikosteroid topikal

Steroid terapi yang paling umum digunakan untuk mengurangi


peradangan. Steroid topikal (misalnya pemberian triamcinolone 0,25-0,1%)
efektif untuk mengurangi eritematosa. Gatal dapat diobati dengan steroid
potensi rendah (kelas III-VI). Lesi yang sangat meradang dengan eritema
intens, vesikel, dan pruritus membutuhkan steroid potensi tinggi (kelas I-II).
Steroid oral, intramuskular, atau parenteral mungkin diperlukan dalam kasus-
kasus yang parah, erupsi menyeluruh.5
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk kasus-kasus dermatitis
numular yang berat, diberikan prednilson (metilprednisolon) dengan dosis oral
40-60 mg 4 kali per hari dengan dosis yang diturunkan secara perlahan-lahan.6
Kortikosteroid fluorinated yang kuat tidak boleh diaplikasikan ke wajah,
genitalia dan bagian lipatan kulit, tetapi preparasi kortikosteroid yang
berpotensi rendah bisa diaplikasikan ke bagian ini. kortikosteroid diaplikasikan
hanya pada bagian lesi saja dan aplikasi emolien pada bagian kulit yang sehat.
Kadangkala penyebab kegagalan terapi dengan kortikosteroid topikal adalah
disebabkan oleh penggunaan obat yang tidak mencukupi. Jumlah kortikosteroid
topikal yang diperlukan untuk digunakan ke seluruh tubuh adalah kira-kira 30
gram krim atau ointment. Jadi, untuk merawat seluruh tubuh 2 kali sehari dalam
2 minggu memerlukan kurang lebih 840 gram kortikosteroid topikal.6
Terdapat 7 golongan kortikosteroid topikal yang diatur mengikut potensi
berdasarkan vasoconstrictor assay. Karena efek sampingnya, kortikosteroid
yang sangat kuat hanya digunakan untuk jangka waktu pendek dan pada bagian
yang mengalami likenifikasi tetapi tidak pada daerah wajah atau lipatan kulit.
Tujuan utama penggunaan emolien adalah untuk menghidrasi kulit dan
penggunaan kortikosteroid potensi rendah untuk terapi maintenance.
Kortikosteroid potensi sedang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang
untuk merawat dermatitis atopi kronik yang melibatkan bagian badan dan

13
ekstrimitas. Kortikosteroid gel yang disediakan dengan basa glycol propylene
sering mengiritasi serta menyebabkan kekeringan pada kulit. Obat ini tidak
boleh diaplikasikan pada daerah kulit kepala atau jenggot.6
Faktor yang berperan mempengaruhi potensi dan efek samping
kortikosteroid adalah struktur molekuler yang terkandung, vehikulum, jumlah
obat yang diaplikasi, durasi aplikasi, sifat oklusif, serta faktor si pemakai seperti
umur, luas permukaan badan dan berat, inflamasi pada kulit, anatomi kulit, dan
perbedaan metabolisme kutaneus dan sistemik pada setiap individu. Efek
samping kortikosteroid topikal terkait langsung dengan susunan potensi yang
terkandung dan durasi penggunaannya. Selain itu, ointment mempunyai risiko
tinggi untuk mengoklusi epidermis, seterusnya meningkatkan absorbsi sistemik
jika dibandingkan dengan krim. Efek samping dari kortikosteroid dapat dibagi
menjadi dua yaitu efek samping lokal dan efek samping sistemik yang
disebabkan oleh supresi hypothalamus pituitary-adrenal.6
Efek sampingnya termasuk striae, atrofi kulit, dermatitis perioral dan
akne rosasea. Kortikosteroid kuat bisa mengakibatkan supresi adrenal
(terutama pada bayi dan anak kecil). Kortikosteroid sedang (fluticasone
propionate) 0.05% krim pada bagian wajah dan bagian tubuh lain yang
signifikan aman untuk digunakan pada anak-anak berumur 1 bulan sampai 3
bulan. Pada penggunaan fluticason 0.05% krim juga bisa diaplikasikan pada
anak-anak umur 3 bulan selama maksimal 4 minggu. Fluticason losion pula
bisa digunakan pada anak-anak 12 bulan ke atas. Krim dan ointment
mometason bisa digunakan pada anak-anak berumur 2 tahun ke atas.

b. Immunomodulator5,7
Immunomodulator topikal (tacrolimus dan pimecrolimus) juga
mengurangi peradangan. Penggunaannya sering dimulai beberapa hari
setelah steroid topikal untuk mengurangi risiko sensasi terbakar yang
mungkin terjadi bila diterapkan ke kulit yang sangat teriritasi.
 Pimecrolimus 1% cream (Elidel)

14
Cream nonsteroid pertama yang disetujui di Amerika Serikat untuk
dermatitis atopik ringan sampai sedang. Berasal dari ascomycin, zat alami
yang dihasilkan oleh jamur Streptomyces hygroscopicus var ascomyceticus.
Selektif menghambat produksi dan pelepasan sitokin inflamasi dari T-sel
diaktifkan dengan mengikat reseptor sitosolik Immunophilin macrophilin-12.
Dihasilkan kompleks menghambat fosfatase kalsineurin, sehingga
menghalangi aktivasi T-sel dan pelepasan sitokin. Atrofi kulit tidak diamati
dalam uji klinis, keuntungan potensial melalui kortikosteroid topikal.
Diindikasikan hanya setelah pilihan pengobatan lain gagal.
 Tacrolimus 0,03% atau 0,1% salep (Protopic)
Mekanisme kerja tacrolimus dalam tidak diketahui. Mengurangi gatal
dan peradangan dengan menekan pelepasan sitokin dari sel T. Juga
menghambat transkripsi gen yang mengkode IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF, dan
TNF-alpha, yang semuanya terlibat dalam tahap awal aktivasi T-sel. Selain
itu, dapat menghambat pelepasan mediator preformed dari sel mast kulit dan
basofil, dan turun-mengatur ekspresi dari FCeRI pada sel Langerhans. Dapat
digunakan pada pasien umur 2 tahun. Obat kelas ini lebih mahal dari
kortikosteroid topikal. Tersedia sebagai salep dalam konsentrasi 0,03 dan
0,1%. Diindikasikan hanya setelah pilihan pengobatan lain gagal.

c. Anti inflamasi topikal lainnya1,6


Penggunaan preparat tar sangat membantu untuk mengurangi
peradangan, terutama pada orangtua, lesi tebal, plak berskuama. Preparat ter
yang sering digunakan ialah likuor karbonis detergens karena tidak berwarna
hitam seperti yang lain dan tidak begitu berbau. Konsentrasi 2-5% efeknya
antipruritus, anti inflamasi, antiakantosis. Efek sampingnya pada pemakaian
ter perlu diperhatikan adanya reaksi fototoksik.

15
3.2.3.invasi.

Fototerapi5,7
Ketika erupsi menyeluruh dan berkepanjangan, fototerapi (umumnya
UVB) dapat membantu. UVB spektrum luas dan sempit paling sering
digunakan, meskipun PUVA (Psoralen + UVA) dapat digunakan pada kasus
yang berat. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema,
nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang adalah
proses penuaan yang prematur dan juga maligna kulit.

I. PROGNOSIS
Dermatitis numularis ini bersifat kronis dan sering timbul kembali.
Dari suatu pengamatan sejumlah penderita yang diikuti selama berbagai
interval sampai dua tahun, didapati bahwa 22% sembuh, 25% pernah
sembuh untuk beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah bebas dari
lesi kecuali masih dalam pengobatan. 1

16
BAB IV
KESIMPULAN

Dermatitis adalah peradangan pada kulit yang merupakan respon terhadap


pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi yang polimorfik.
Penderita dermatitis numular umumnya mengeluh sangat gatal. Lesi akut
berupa vesikel dan papulovesikel, kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau
meluas ke samping, membentuk satu lesi karakteristik yang khas yakni lesi makula
eritematosa dan plak menyerupai koin yang berbatas tegas.
Dermatitis numular dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan lesi yang gatal yang
dirasakan minimal sampai berat. Darai pemeriksaan fisis ditemukan gambaran klinis
yang khas yakni lesi plak menyerupai koin merupakan tanda khas penyakit ini. Dari
pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan histopatologis dimana pada lesi akut
ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal, serta sebukan sel radang limfosit dan
makrofag di sekitar pembuluh darah. Pada lesi subakut dapat ditemukan parakeratosis,
krusta, hiperplasia epidermal dan spongiosis epidermis. Sedangkan pada lesi yang
kronik dapat ditemukan mikroskopis yang mirip dengan lichen simplex chronicus.
Penatalaksanaannya difokuskan pada gejala yang mendasari. Sedapatnya
mencari penyebab atau faktor yang memprovokasi. Jika ditemukan infeksi bakterial,
diberikan antibiotik topikal. Dapat pula diberikan antibiotik oral jika tanda-tanda
infeksi sekunder ditemukan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah S. Dermatitis nummuler. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Buku


Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. P 148-50.
2. Burton-Jones J. Eczema, lichenification, prurigo and erythoderma: Discoid eczema.
In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJ, editors. Rook’s Textbook of Dermatology.
8th ed. London. Blackwell Scientific; 2010
3. Lauvelt A. Nummular Eczem. In : Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B,
Paller A, Leffell D. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. United
State : Mc Graw Hill Medical Companies;2012. P 184-89.
4. Wolff K, Allen R, Suurmond D. Nummular Eczem. Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. Fifth ed. New York : Mc Graw Hill Medical
Companies;2007
5. Miller J. Nummular dermatitis [Online]. [cited February 7th] Available from:
URL:http://www.emedicine.com/nummulardermatitis.html.
6. Gawkrodger DJ. Eczem. Dermatology an illustrated colour text. 3rd ed. New York :
Elsevier Science;2003. P 30-35
7. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of Skin Clinical
Dermatology, 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2009. P 93-6.

18

Anda mungkin juga menyukai