Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan kita kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah ini dengan judul “HUKUM SYAR’I YANG TERDIRI DARI HUKUM
TAQLIFI DAN WAD’I, HAKIM MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ushul fiqh. Kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penulis juga berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan
makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Penyusun
1
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2
BAB I
PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul
fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.Meskipun dengan tinjauan yang
berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara',
yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang
telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat,
sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini
yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara'
yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini
dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul
fiqh
3
1.2 Tujuan Penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu
sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya
haram.
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk
dilakukan itu sifatnya mandub.
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk
ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidakmelakukan, dan
perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
5
f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan sesuatu sebagai mani’(penghalang).
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepadadua macam,yaitu:
· hukum taklifi
· hukum wadh’i
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah
dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk
tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau
tidak berbuat.
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui
perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum
tersebut:
a. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi
pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan
hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan
waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya
seseorang menunaikan shalat zuhur.
6
b. Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan
seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan
manusia dan bukan merupakan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan
hukum wadh’i menjelaskan bahwa aktifitas manusia.
3. Pembagian Macam-Macam Hukum
A. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dibagi menjadi lima:
· Al-Ijab (kewajiban)
· An-Nadb(kesunnahan)
· At-tahrim (keharaman)
· Al-karahah (kemakruhan)
· Al ibahah (kebolehan).
B. Hukum Wadh’i
1. Sebab
7
hukum”. Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib
dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi
kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat
anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah
SWT yang artinya, “ Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak
bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan
itu…”(al-Baqarah: 185).
2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu
yang menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan
menurut istilah Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat
adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain, dan berada di luar
dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu adalah syarat bagi sahnya sholat apabila ada
wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya
pernikahan merupakan syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja
talaq tidak akan terjadi.
3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan
sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-
syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi
konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap sah
bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai akibat
hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya akad
perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai
sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang jika
suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist dijelaskan bahwa
tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
8
2.3. Pengertian Mahkum Fih / Objek Hukum
Yang dimaksud sebagai objek hukum atau mahkum fih adalah sesuatu yang
dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia
atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama’
ushul fiqih, yang disebut mahkum fih atau objek hukum adalah ‘’Perbuatan’’ itu
sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya ‘’daging
babi’’. Pada daging babi itu tidak berlaku haram, baik suruhan atau larangan.
Berlakunya hukum larangan adalah pada ‘’memakan daging babi’’ yaitu sesuatu
perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Para ahli ushul fiqih menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek
hukum, yaitu:
1. Perbuatan itu sah dan benar adanya, tiduk mungkin memberatkan seorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin di lakukan seperti ‘’mencat langit’’.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat di bedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya untuk melakukannya.
.
2.4. Pengertian Mahkum Alaih
Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu
mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaih
berarti ‘orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi). Para ulama usul
fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih ialah seseorang yang
dikenai khitab allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf Secara etimologi,
mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf disebut juga
mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf ialah orang yang
9
BAB III
3.1 KESIMPULAN
10
3.2 DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta; Amzah. Zainy, Muhammad
Ma’shum. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Jombang; Darul Hikmah Jombang Umam,
Chaerul. Dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung; CV. Pusaka Setia. Jumantoro, Totok dan
Amin, Samsul Munir. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah. Rumah Ilmu.
Hakim, Mahkum Bihi, Mahkum Fihi dan Mahkum Alaihi. dalam
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.com/2014/04/hakim-mahkumbihimahkum-
fihi-dan-mahkum.html/ diakses pada 17 Oktober 2016 Kumpulan Makalah. Hakim,
Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih. dalam http://makalah-
ugi.blogspot.com/2014/05/hakim-mahkum-fih-danmahkum-alaih.html/ diakses
pada 17 Oktober 2016 Alim El-choy. Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum
Alayh. dalam http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-
danmahkum-alayh.html/ diakses pada 20 Oktober 2016
11