Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan kita kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah ini dengan judul “HUKUM SYAR’I YANG TERDIRI DARI HUKUM
TAQLIFI DAN WAD’I, HAKIM MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ushul fiqh. Kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penulis juga berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan
makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Bogor, 2 Oktober 2019

Penyusun

1
Daftar Isi

Kata pengantar ........................................................................................ 1

Daftar isi .................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN

A. 1.2 Latar Belakang ................................................................... 3


B. 1.3 Tujuan penulisan................................................................ 4
C. 1.4 Rumusan masalah .............................................................. 4
D. 1.5 Sistematika penulisan ....................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. 2.1 Pengertian Hukum syara .................................................... 5


B. 2.2 Macam macam hukum....................................................... 6
C. 2.3 Objek pengertian hakim mahkum fih ................................ 9
D. 2.4 Pengertian mahkum alaih .................................................. 9

BAB III PENUTUP

A. 3.1 Kesimpulan ........................................................................ 10


B. 3.2 Daftar pustaka .................................................................... 11

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul
fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.Meskipun dengan tinjauan yang
berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara',
yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang
telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat,
sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini
yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara'

yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini

dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul

fiqh

3
1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :


1. Untuk mengetahui hukum Syar’i
2. Untuk mengetahui hukum Taqlifi dan hukum Wad’i
3. Untuk mengetahui hakim mahkumfih dan mahkum alaih

1.3 Rumusan Masalah

Adapun yang kami jelaskan disini rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud hukum syar’i

2. Apa yang dimaksud hukum taqlifi dan hukum wad’i

3. Apa yang dimaksud hakim mahkumfih dan mahkum alaih

1.4 Sistematika Penulisan


Sistematika pembahasan makalah ini disusun sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN : Menyajikan latar belakang masalah, tujuan


penulisan,rumusan masalah

BAB 2 PEMBAHASAN : Membahas tentang hukum syar”i,macam macam hukum

dan pengertian hakim mahkum fih dan mahkum alaih

BAB 3 PENUTUP : Kesimpulan dari makalah

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Syara’

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau


“memutuskan”.Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik
berupa iqtidla(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk
meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara
melakakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab,syarat,atau mani’[penghalang]).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah kitab Allah dan sabda
Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang
berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum
yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
Bila dicermati dari definisi diatas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-
hadis hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam;

a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu
sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya
haram.
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk
dilakukan itu sifatnya mandub.
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk
ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidakmelakukan, dan
perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.

5
f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan sesuatu sebagai mani’(penghalang).

2.2 Macam –Macam Hukum

Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepadadua macam,yaitu:
· hukum taklifi
· hukum wadh’i

 Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah
dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk
tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau
tidak berbuat.

 Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan


hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang
menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).

Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui
perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum
tersebut:
a. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi
pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan
hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan
waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya
seseorang menunaikan shalat zuhur.

6
b. Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan
seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan
manusia dan bukan merupakan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan
hukum wadh’i menjelaskan bahwa aktifitas manusia.
3. Pembagian Macam-Macam Hukum

A. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dibagi menjadi lima:
· Al-Ijab (kewajiban)
· An-Nadb(kesunnahan)
· At-tahrim (keharaman)
· Al-karahah (kemakruhan)
· Al ibahah (kebolehan).

B. Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i terbagi menjadi tiga. Berdasarkan penelitian, telah ditetapkan


bahwa Hukum Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu sebagai Sebab,Syarat dan
Mani’.Berikut adalah penjelesan dari Sebab,Syarat,danMani :

1. Sebab

Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang


kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh
Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu: “sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda
bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya

7
hukum”. Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib
dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi
kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat
anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah
SWT yang artinya, “ Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak
bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan
itu…”(al-Baqarah: 185).

2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu
yang menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan
menurut istilah Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat
adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain, dan berada di luar
dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu adalah syarat bagi sahnya sholat apabila ada
wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya
pernikahan merupakan syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja
talaq tidak akan terjadi.

3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan
sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-
syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi
konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap sah
bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai akibat
hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya akad
perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai
sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang jika
suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist dijelaskan bahwa
tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.

8
2.3. Pengertian Mahkum Fih / Objek Hukum

Yang dimaksud sebagai objek hukum atau mahkum fih adalah sesuatu yang
dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia
atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama’
ushul fiqih, yang disebut mahkum fih atau objek hukum adalah ‘’Perbuatan’’ itu
sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya ‘’daging
babi’’. Pada daging babi itu tidak berlaku haram, baik suruhan atau larangan.
Berlakunya hukum larangan adalah pada ‘’memakan daging babi’’ yaitu sesuatu
perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.

Para ahli ushul fiqih menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek
hukum, yaitu:

1. Perbuatan itu sah dan benar adanya, tiduk mungkin memberatkan seorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin di lakukan seperti ‘’mencat langit’’.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat di bedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya untuk melakukannya.
.
2.4. Pengertian Mahkum Alaih

Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu
mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaih
berarti ‘orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi). Para ulama usul
fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih ialah seseorang yang
dikenai khitab allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf Secara etimologi,
mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf disebut juga
mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf ialah orang yang

9
BAB III

3.1 KESIMPULAN

Al-Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan


hukum, dan yang membuat sumber hukum atau yang menemukan hukum, yang
menjelaskan hukum, yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.
Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun, dengaan adanya manusia
maka untukk menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus Rasul untukk menyampaikan
risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid,
ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fihi adalah perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan dengan perintah
syara’ baik itu tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, maupun memilih
pekerjaan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal.
Mahkum fih ialah objek hukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengaan
hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan,
memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah,
serta halangan. Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya
berhubungan dengan hukum syara. Mahkum alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek
tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaih berarti orang mukallaf (orang yang layak
dibebani hukum taklifi).

10
3.2 DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta; Amzah. Zainy, Muhammad
Ma’shum. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Jombang; Darul Hikmah Jombang Umam,
Chaerul. Dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung; CV. Pusaka Setia. Jumantoro, Totok dan
Amin, Samsul Munir. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah. Rumah Ilmu.
Hakim, Mahkum Bihi, Mahkum Fihi dan Mahkum Alaihi. dalam
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.com/2014/04/hakim-mahkumbihimahkum-
fihi-dan-mahkum.html/ diakses pada 17 Oktober 2016 Kumpulan Makalah. Hakim,
Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih. dalam http://makalah-
ugi.blogspot.com/2014/05/hakim-mahkum-fih-danmahkum-alaih.html/ diakses
pada 17 Oktober 2016 Alim El-choy. Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum
Alayh. dalam http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-
danmahkum-alayh.html/ diakses pada 20 Oktober 2016

11

Anda mungkin juga menyukai