Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
OSTEOARTRITIS GENU
Disusun oleh:
Edwin Prasetya 1710029059
Pembimbing:
dr. Gregorius Tekwan, Sp.OT, M.Si
LAPORAN KASUS
OSTEOARTRITIS GENU
Oleh :
Edwin Prasetya 1710029059
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Kasus yang berjudul “Osteoartritis Genu”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan laporan kasus ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Boyke Soebhali selaku Kepala Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman
2. dr. Gregorius Tekwan, Sp.OT, M.Si selaku dosen pembimbing laporan kasus
penulis di Laboratorium Ilmu Bedah.
3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Rehabilitasi Medik dan semua
pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri dan para pembaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan secara umum mengenai oteoartritis genu.
Adapun tujuan secara khususnya adalah untuk mengetahui penegakkan
diagnosis dan penanganan yang tepat pada osteoartritis genu sehingga dapat
mempermudah dalam pemulihan dan perbaikan
5
BAB 2
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama : MH
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 58 tahun
Pekerjaan : Guru SD
Pendidikan terakhir : S1
Status : Menikah
Alamat : Kampung Jawa, Samarinda
Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kiri
6
untuk berjalan akibat nyeri yang dirasakannya. Riwayat trauma atau jatuh
sebelumnya tidak ada. Sejak beberapa bulan terakhir, pasien merasa kakinya
menjadi bengkok seperti huruf O. Keluhan demam (-).
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
• Keadaan umum : Baik
• Kesadaran : Composmentis, GCS 15
• Tinggi Badan : 158 cm
• Berat Badan : 65 kg
7
• IMT : 26,10 kg/m2 (Obese I)
Tanda Vital
• Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg
• Frekuensi nadi : 73 x/menit, reguler, kuat angkat
• Frekuensi napas : 18 x/menit, reguler
• Suhu aksiler : 36,6 ⁰C
• VAS skor :4
Kepala / Leher : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (-/-) trakea tepat di tengah (+)
Thorax
Pulmo:
Inspeksi : gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), rhonchi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicula line sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
8
Abdomen
Inspeksi : bentuk normal, simetris, kontur datar, umbilikus tepat di tengah,
kulit tidak tampak kelainan.
Palpasi : soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-)
Perkusi : timpani (+), asites (-)
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
Status Neurologi
9
Refleks Achilles : (+2) (+2)
Refleks Babinsky : (-) (-)
Refleks Chaddock : (-) (-)
Status Lokalis
Regio Genu
Inspeksi : deformitas (-/+), edema (-/-), kemerahan (-/-), atrofi otot (-/-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), kalor (-/-), krepitasi (-/+)
Pemeriksaan Neuromuskular
Ekstremitas Inferior
Pemeriksaan
Dekstra Sinistra
Gerakan Normal Sedikit terbatas
Kekuatan Otot (miotom) 4/4/5 4/4/5
Tonus Otot Normal Normal
Atrofi Otot + +
Refleks Fisiologis Normal Normal
Refleks Patologis - -
L2 (fleksor panggul) 5 5
L3 (ekstensor lutut) 3 3
L4 (dorsofleksor pergelangan kaki) 5 5
L5 (ekstensor jempol kaki) 5 5
S1 (plantarfleksor pergelangan kaki) 5 5
Sensibilitas Normal Normal
10
Tes Provokasi
Tes Laseque : (-)/(-)
Tes Patrick : (-)/(-)
Tes Kontra Patrick : (-)/(-)
Tes Bragard : (-)/(-)
Tes Sicard : (-)/(-)
Tes Ligamen
1. Anterior Drawer Test : (-)/(+)
2. Laxity Test : (-)/(+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Rontgen
11
Interpretasi:
Kesan:
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAAN
12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
b. Tulang Tibia
Tulang tibia merupakan tulang yang bentuknya lebih kecil, pada bagian
distal melekat pada tulang fibula, serta pada bagian proksimal membentuk
persendian lutut (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011)
c. Tulang Fibula
Tulang fibula merupakan tulang pipa terbesar setelah tulang paha yang
membentuk persendian lutut dengan tulang (Roland Jeffrey Physiotherapy,
2011).
13
d. Tulang Patella
Pada gerakan fleksi dan ekstensi, patella akan bergerak pada tulang
femur. Fungsi patella selain sebagai perekat otot atau tendon adalah sebagai
pengungkit sendi lutut. Pada kondisi 90 derajat, kedudukan patella di antara
kedua kondilus femur dan saat ekstensi maka patella terletak pada permukaan
anterior femur (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011).
14
Gambar 3.2. Anatomi Ligamen pada Sendi Lutut (Flandry, 2011)
15
c) Ligamen Kollateral Medial
Ligamen kollateral medial merupakan ligamen yang lebar dan
datar, terletak lebih posterior di permukaan medial sendi tibiofemoral
yang melekat di atas epicondylus medial femur. Ligamen ini sering
mengalami cedera dan fungsinya untuk menjaga gerakan ekstensi dan
mencegah gerakan ke arah luar (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011).
b. Meniscus
Meniscus merupakan jaringan lunak yang berfungsi untuk: (1)
penyebaran pembebanan; (2) peredam kejut (shock absorber); (3)
mempermudah gerakan rotasi; dan (4) stabilisasi setiap penekanan yang
akan diteruskan ke sebuah sendi (Abulhasan & Grey, 2017).
16
c. Bursa
Bursa adalah kantong berisi cairan yang berfungsi menjaga agar tidak
terjadi gesekan secara langsung antara otot dengan otot, otot dengan tulang
dan otot dengan kulit. Ada beberapa bursa yang terdapat pada sendi lutut
antara lain: (1) Bursa popliteus; (2) Bursa suprapatellaris; (3) Bursa
infrapatellaris; (4) Bursa subcutan prapatelaris; dan (5) Bursa sub patellaris
(Abulhasan & Grey, 2017).
3.2 Osteoartritis
3.2.1 Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan kelainan kronis dan degeneratif pada sendi
yang sering mengenai panggul, lutut, dan tangan yang sering memerlukan
pengobatan jangka panjang untuk mengatasi gejala akut dan mencegah komplikasi
jangka panjang (Balmaceda, 2014). Kelainan yang terjadi pada OA meliputi
hilangnya kartilago artikular secara progresif, sklerosis subkondral, pembentukan
osteofit, dan peradangan synovial yang dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan fisik dan menurunnya kualitas hidup seseorang (Zweers, et al., 2011).
17
3.2.2 Epidemiologi
OA diketahui dialami sepertiga populasi di atas usia 65 tahun dan
merupakan satu dari lima penyebab disabilitas utama pada populasi usia lanjut di
Amerika Serikat (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014). Di Indonesia
sendiri diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia menderita kecacatan karena
OA (Soeroso, et al., 2014). 30-50% pasien OA di dunia akan memerlukan
penanganan lebih lanjut berupa penggantian lutut dalam kurun waktu 10 tahun
setelah onset penyakit ini (Migliore, Massafra, Bizzi, Vacca, & Martin, 2009).
Prevalensi penyakit ini meningkat tajam seiring dengan meningkatnya
usia. Pada pasien yang berusia dibawah 55 tahun, persebaran distribusi sendi yang
mengalami OA cenderung sama pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi OA
lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria dan
12.7% pada wanita (Soeroso, et al., 2014).
3.2.3.1 Usia
The National Health and Nutrition Examination Survey menemukan
prevalensi OA pada usia 25 hingga 34 tahun hanya 0.1% dibandingkan dengan
usia 55-64 tahun yang mencampai angka 80%. Berdasarkan gambaran radiografi,
OA jarang ditemukan pada usia dibawah 40 tahun. Faktor usia berpengaruh dalam
penurunan respons kondrosit dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam
merangsang penyembuhan, meningkatnya kelenturan dari struktur ligamen, dan
menurunnya respons proprioseptif (Brion & Kalunian, 2010).
18
pasca menopause yang dapat meningkatkan risiko terjadinya OA (Brion &
Kalunian, 2010).
3.2.3.3 Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA dan persentasenya
berbeda pada masing-masing sendi. Pada OA sendi tangan dan panggul,
persentase herediternya mencapai 50%. Sedangkan pada OA lutut hanya sekitar
30%, bahkan beberapa penelitian menyatakan tidak menemukan peran dari faktor
herediter (Brion & Kalunian, 2010).
3.2.3.4 Kegemukan
Mekanisme terjadinya OA akibat kegemukan adalah beban berlebih pada
sendi penopang beban, sehingga akan menginduksi penghancuran kartilago akibat
cara berjalan yang tidak tepat. Kegemukan tidak hanya berkaitan dengan OA pada
sendi penopang beban, tapi juga pada OA lain (sendi tangan atau sternoklavikula)
(Soeroso, et al., 2014).
19
3.2.4 Patolofisiologi
OA dapat terjadi akibat dua faktor utama, yaitu kerentanan sendi dan
beban yang ditopang sendi. Sendi yang rentan akibat disfungsi pada biomaterial
dapat menyebabkan OA walaupun diberikan beban minimal pada sendi, seperti
aktivitas sehari-hari. Pada kasus lain, sendi yang masih memiliki biomaterial
lengkap dan kompeten dapat menyebabkan OA apabila terjadi trauma akut yang
berat pada sendi atau diberikan beban berat repetitif dalam jangka waktu lama
(Felson, 2013).
Gambar 3.4. Perbandingan antara sendi normal (kiri) dengan sendi OA (kanan)
(Robinson, et al., 2016)
20
Proteoglikan dan jaringan kolagen kemudian akan hancur sehingga
kartilago menjadi tidak intak. Kondrosit artikular akan mengalami apoptosis dan
kartilago artikular akan sepenuhnya hilang. Berkurangnya ruang pada sendi
mengakibatkan friksi antartulang sehingga seseorang akan merasakan nyeri dan
mobilitas sendi yang terbatas (Xia, et al., 2014).
Kartilago artikular dapat rusak akibat proses fisiologis (wear and tear)
maupun patologis (beban mekanik abnormal atau trauma). Kondrosit artilakular
yang memiliki aktivitas metabolik dan kapasitas regenerasi rendah akan
melakukan respon proliferatif sementara terhadap stimulasi patologis dengan
meningkatkan sintesis matriks untuk memperbaiki jaringan. Perubahan tersebut
akan menstimulasi kondrosit untuk memproduksi lebih banyak faktor katabolik
sehingga dapat menyebabkan degradasi kartilago. Ketidakseimbangan ini
mengakibatkan produk degradasi matriks kartilago berakumulasi di sendi,
menghambat fungsi kartilago, dan mengawali respons imun yang menyebabkan
inflamasi sendi (Soeroso, et al., 2014).
21
3.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, OA dapat terjadi secara primer maupun sekunder.
OA primer atau idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak
berhubungan dengan penyakit sistemik, sedangkan OA sekunder adalah OA yang
didasari akibat kelainan endokrin atau metabolik, kelainan pertumbuhan,
herediter, serta imobilisasi yang terlalu lama (Soeroso, et al., 2014).
OA primer terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitu OA generalisata dan OA
lokal. OA generalisata terjadi apabila OA ditemukan pada 3 daerah atau lebih dari
jenis OA lokal (Tabel 2.1).
22
4) Kelainan endokrin, misalnya hiperparatiroid, diabetes mellitus, obesitas, dan
hipotiroid.
5) Penyakit tulang dan sendi lainnya, seperti fraktur, gout, rheumatoid artritis,
Paget’s Disease, dan osteokondrosis (Felson, 2015).
23
3.2.6.4 Pembengkakan sendi
Pembengkakan sendi dapat bersifat intermiten (pada efusi) atau terus
menerus (pada penebalan kapsular atau adanya osteofit). Efusi pada sendi dapat
menyebabkan pembengkakan sendi apabila volumenya lebih dari 100 cc.
Sedangkan adanya osteofit berpengaruh pada perubahan permukaan sendi
sehingga dapat menyebabkan pembengkakan sendi (Soeroso, et al., 2014).
3.2.6.5 Deformitas
Deformitas dapat timbul akibat kontraktur sendi yang lama, perubahan
pada permukaan sendi, kecacatan, maupun perubahan pada tulang. Selain menjadi
akibat dari OA, deformitas juga dapat menjadi penyebab terjadinya OA dan
berkontribusi terhadap onset dari OA sendiri, seperti deformitas vagus dan valrus
(Solomon, 2010).
24
Gambar 3.6 Pemeriksaan McMurray
25
4. Lachman Test
Test Lachman dilakukan dengan memfleksikan lutut 300, dengan tungkai
diputar secara eksternal. Satu tangan pemeriksa menstabilkan tungkai bawah
dengan memegang ujung distal tungkai atas dan tangan yang lain memegang
bagian proksimal tulang tibia, kemudian gerakkan ke arah anterior (Braunwald &
Fauci, 2002).
(A) (B)
26
(C) (D)
3.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan OA adalah untuk mengurangi gejala nyeri,
meminimalkan terjadinya disabilitas, dan menjaga mobilitas (Felson, 2015).
Terapi komprehensif yang diterapkan terdiri dari terapi nonfarmakologi dan
farmakologi. Pasien dengan gejala ringan dan intermiten dapat dilakukan edukasi
atau terapi nonfarmakologi. Sedangkan pasien dengan keluhan nyeri terus
menerus dapat diberikan terapi nonfarmakologi dan farmakologi (Felson, 2013).
1. Edukasi
Edukasi bertujuan agar pasien memiliki pengetahuan tentang
penyakitnya dan cara agar tidak bertambah parah serta persendiannya tetap
dapat dipakai (Soeroso, et al., 2014).
27
2. Penurunan berat badan
Pasien OA dengan berat badan berlebih perlu melakukan penurunan
berat badan hingga mendekati berat badan ideal (Soeroso, et al., 2014).
3.2.8.2 Fisioterapi
a. Terapi panas
Terapi panas superfisial yaitu panas hanya mengenai kutis atau
jaringan sub kutis saja (Hot pack, infra merah, kompres air hangat,
paraffin bath). Sedangkan terapi panas dalam, yaitu panas dapat
menembus sampai ke jaringan yang lebih dalam yang sampai ke otot,
tulang, dan sendi (Diatermi gelombang mikro (MWD), Diatermi
gelombang pendek (SWD), Diatermi gelombang suara ultra (USD)). Pada
kasus OA digunakan SWD (short wave diathermi) dan USD (ultra sound
diathermi) (Nurcan & Karadag, 2015).
b. Terapi dingin
Terapi dingin digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah,
mengurangi peradangan, mengurangi spasme otot dan kekakuan sendi
sehingga dapat mengurangi nyeri. Terapi dingin dapat berupa cryotherapy,
kompres es dan masase es (Nurcan & Karadag, 2015).
c. Terapi listrik
TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation). TENS
merupakan modalitas yang digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan nyeri melalui peningkatan ambang rangsang nyeri (Nurcan
& Karadag, 2015).
d. Latihan Fisik
Manfaat latihan fisik dapat meningkatkan mobilitas sendi,
memperkuat otot yang menyokong dan melindungi sendi, mengurangi nyeri
dan kaku sendi. Pergerakan sendi diperlukan untuk memastikan suplai
nutrisi terjamin dan mempertahankan integritas kartilago. Jenis latihan fisik
dapat berupa:
28
Terapi Manual
Terapi manual adalah gerakan pasif yang dilakukan oleh
fisioterapis dengan tujuan meningkatkan gerakan sendi dan
mengurangi kekakuan sendi. Teknik yang dipakai adalah melatih
ROM secara pasif, melatih jaringan-jaringan sekitar sendi secara pasif,
meregangkan otot atau mobilisasi jaringan lunak, dan massage
(Fitzgerald & Oatis, 2004).
Latihan Fleksibilitas (ROM)
Untuk pasien OA, latihan fleksibilitas ditujukan untuk mengurangi
kekakuan, meningkatkan mobilitas sendi, dan mencegah kontraktur
jaringan lunak. Semua gerakan sebaiknya menjangkau ruang gerak
sendi yang tidak menimbulkan rasa nyeri. Latihan fleksibilitas dapat
dimulai dari latihan peregangan tiap kelompok otot, setidaknya tiga
kali seminggu. Apabila sudah terbiasa, latihan ditingkatkan repetisinya
per kelompok otot secara bertahap (Fitzgerald & Oatis, 2004).
29
Latihan Aerobik
Latihan aerobik (berjalan, bersepeda, berenang, senam aerobik, dan
latihan aerobik di kolam renang) dapat memperkuat otot,
meningkatkan ketahanan, dan mengurangi berat badan. Pemilihan
aktivitas aerobik tergantung pada beberapa faktor, yaitu status
penyakit, stabilitas sendi, sumber daya dan minat pasien (Fitzgerald &
Oatis, 2004).
30
melakukan koreksi pada deformitas sendi yang dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari (Soeroso, et al., 2014). Beberapa jenis pembedahan yang dapat
dilakukan pada kasus OA:
1) Arthroscopic debridement dan joint lavage (indikasi pada pasien yang
mengeluhkan mechanical locking)
2) Osteotomi
3) Artroplasti sendi total
31
BAB 4
PENUTUP
32
DAFTAR PUSTAKA
Abulhasan, J., & Grey, M. (2017). Anatomy and Physiology of Knee Stabiliy.
Journal of Functional Morphology and Kinesiology.
Hausmann, J. (2014, Maret 21). Rheumatology: Not All Joint Pain is Arthritis.
Retrieved from Autoinflammatory Disease:
http://www.autoinflammatorydisease.org
Maldonado, M., & Nam, J. (2013). The Role of Changes in Extracellular Matrix
of Cartilage in the Presence of Inflammation on the Pathology of
Osteoarthritis. BioMed Research International Vol 10, 1-10.
Migliore, A., Massafra, U., Bizzi, E., Vacca, F., & Martin, S. (2009).
Comparative, Double-blind, Controlled Study of Intra-Articular
Hyaluronic Acid (Hyalubrix®) Injections Versus Local Anesthetic in
Osteoarthritis of the Hip. New York: Biomed Central Ltd.
33
Nurcan, C., & Karadag, M. (2015). Superficial Heat and Cold Application in he
Treatment of Knee Osteoarthritis. Osteoarthritis: Progress in Basic
Research and Treatment.
Robinson, W. H., Lepus, C. M., Wang, Q. W., Raghu, H., Mao, R., Lindstrom, T.
M., & Sokolove, J. (2016). Low-Grade Inflammation as a Key Mediator of
the Pathogenesis of Osteoarthritis. Nat Rev Rheumatol. 12(10), 580–592.
Sjamsuhidayat, R., & de Jong, W. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Soeroso, J., Isbagio, H., Kalim, H., Broto, R., & Pramudiyo, R. (2014).
Osteoartritis. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. Setiati, & A. F.
Syam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi ke-6 (p. 3117).
Jakarta: Interna Publishing.
Xia, B., Chen, D., Zhang, J., Hu, S., Jin, H., & Tong, P. (2014). Osteoarthritis
Pathogenesis: A Review of Molecular Mechanisms. Calcif Tissue Int.
95(6), 495–505.
Zweers, M. C., de Boer, T. N., van Roon, J., Bijlsma, J. W., Lafeber, F. P., &
Mastbergen, S. C. (2011). Celecoxib: Considerations Regarding its
Potential Disease-Modifying Properties in Osteoarthritis. New York:
Biomed Central Ltd.
34