Anda di halaman 1dari 34

Laboratorium Ilmu Bedah Case Report

Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

OSTEOARTRITIS GENU

Disusun oleh:
Edwin Prasetya 1710029059

Pembimbing:
dr. Gregorius Tekwan, Sp.OT, M.Si

LABORATORIUM ILMU BEDAH


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

OSTEOARTRITIS GENU

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


di Laboratorium Ilmu Bedah

Oleh :
Edwin Prasetya 1710029059

Pembimbing

dr. Gregorius Tekwan, Sp.OT, M.Si

LABORATORIUM ILMU BEDAH


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Kasus yang berjudul “Osteoartritis Genu”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan laporan kasus ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Boyke Soebhali selaku Kepala Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman
2. dr. Gregorius Tekwan, Sp.OT, M.Si selaku dosen pembimbing laporan kasus
penulis di Laboratorium Ilmu Bedah.
3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Rehabilitasi Medik dan semua
pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Oktober 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………….. 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 5
1.1.Latar Belakang ............................................................................................... 5
1.2.Tujuan ............................................................................................................ 5
BAB 2 LAPORAN KASUS ............................................................................... 6
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13
3.1. Anatomi Artikulatio Genu ............................................................................. 13
3.1.1 Tulang pada Artikulatio Genu............................................................... 13
3.1.2 Ligamen pada Artikulatio Genu ............................................................ 14
3.1.3 Kapsula Artikularis ............................................................................... 16
3.2 Osteoartritis Genu .......................................................................................... 17
3.2.1 Definisi .................................................................................................. 17
3.2.2.Epidemiologi ......................................................................................... 18
3.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko .................................................................... 20
3.2.4 Patofisilogi ............................................................................................ 22
3.2.4 Klasifikasi ............................................................................................. 24
3.2.4 Manifestasi Klinis ................................................................................. 25
3.2.4 Penegakkan Diagnosis .......................................................................... 26
3.2.4 Penatalaksanaan .................................................................................... 29
BAB 4 PENUTUP ............................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 33

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Osteoartritis (OA) adalah gangguan sendi kronik yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis rawan sendi serta matriks
ekstraseluler, kondrosit dan tulang subkondral pada usia tua (Sjamsuhidayat &
de Jong, 2010). OA paling sering mengenai lutut, panggul, tulang belakang
dan pergelangan kaki (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
Prevalensi penyakit ini meningkat tajam seiring dengan bertambahnya
usia. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita
cacat karena OA. Prevalensi OA lutut secara radiologis di Indonesia cukup
tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria dan 12.7% pada wanita yang berumur
antara 40-60 tahun (Soeroso, Isbagio, Kalim, Broto, & Pramudiyo, 2014).
OA merupakan penyakit dengan progresifitas lambat dengan etiologi
yang tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor risiko yang diketahui
berperan pada OA, yaitu usia, obesitas, aktivitas fisik berlebihan, penyakit
metabolik, trauma sendi, dan kelainan kongenital (Felson, 2015).
Keluhan penderita OA sangat beragam, tetapi umumnya gejala yang
dominan adalah nyeri. Nyeri sendi tersebut biasanya timbul ketika bergerak
dan berkurang ketika beristirahat. Selain nyeri, dapat timbul pula kekakuan
sendi, keterbatasan gerak, serta instabilitas sendi (Sjamsuhidayat & de Jong,
2010).
Osteoartritis dapat menyebabkan disfungsi dan disabilitas yang dapat
menghambat atau menganggu aktivitas sehari-hari bahkan dapat
menimbulkan kecacatan fisik bagi penderitanya.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan secara umum mengenai oteoartritis genu.
Adapun tujuan secara khususnya adalah untuk mengetahui penegakkan
diagnosis dan penanganan yang tepat pada osteoartritis genu sehingga dapat
mempermudah dalam pemulihan dan perbaikan

5
BAB 2

LAPORAN KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Januari 2019


pukul 16.00 WITA di Ruang Cempaka RSUD Abdul Wahab Sjahranie.
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.

ANAMNESIS

Identitas Pasien

Nama : MH
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 58 tahun
Pekerjaan : Guru SD
Pendidikan terakhir : S1
Status : Menikah
Alamat : Kampung Jawa, Samarinda

Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk rumah sakit dari poliklinik orthopaedi, datang dengan keluhan
nyeri pada lutut sebelah kiri. Keluhan sudah dirasakan sejak 4 tahun yang lalu.
Keluhan nyeri dirasakan seperti rasa tertusuk-tusuk dan hilang timbul. Nyeri tidak
menjalar ke bagian lain. Lutut tidak disertai bengkak atau kemerahan. Keluhan
dirasakan ketika pasien berjalan, terutama saat melakukan aktivitas seperti naik
turun tangga, namun berkurang dengan istirahat. Pasien juga merasa ada bunyi
pada lutut kirinya bila sedang berjalan. Pasien mengatakan sempat berobat ke
puskesmas dan praktik dokter umum, diberikan obat antinyeri (natrium
diklofenak). Keluhan nyeri sempat berkurang namun selalu timbul kembali ketika
beraktivitas. Pasien mengatakan dirinya bahkan sempat menggunakan tongkat

6
untuk berjalan akibat nyeri yang dirasakannya. Riwayat trauma atau jatuh
sebelumnya tidak ada. Sejak beberapa bulan terakhir, pasien merasa kakinya
menjadi bengkok seperti huruf O. Keluhan demam (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


 Tahun 2000, menderita Ca. Ovarium, sudah melakukan operasi
ooforektomi kiri dan kemoterapi lengkap
 Tahun 2013, menderita HNP (Hernia Nukleus Pulposus), sudah
melakukan fisioterapi dan keluhan hilang
 Hipertensi (+), DM (-), riwayat trauma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ditemukan keluarga yang menderita keluhan serupa seperti pasien.
Riwayat penyakit sistemik: Hipertensi (+), DM (-), penyakit lain (-).

Riwayat Alergi dan Penggunaan Obat


 Alergi antibiotik amoxicillin dan cefadroxil
 Obat rutin: Amlodipin tab 5 mg, Natrium diklofenak tab 25 mg (jika
timbul nyeri lutut)

Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan


Pasien merupakan seorang guru SD dengan jam kerja mulai pagi hingga
sore hari. Rumah pasien terletak tinggi dan harus menaiki tangga untuk menuju
rumah. Toilet di rumah pasien menggunakan toilet jongkok. Pasien tidur di atas
ranjang.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
• Keadaan umum : Baik
• Kesadaran : Composmentis, GCS 15
• Tinggi Badan : 158 cm
• Berat Badan : 65 kg

7
• IMT : 26,10 kg/m2 (Obese I)
Tanda Vital
• Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg
• Frekuensi nadi : 73 x/menit, reguler, kuat angkat
• Frekuensi napas : 18 x/menit, reguler
• Suhu aksiler : 36,6 ⁰C
• VAS skor :4

Kepala / Leher : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (-/-) trakea tepat di tengah (+)

Thorax
Pulmo:
 Inspeksi : gerakan simetris, retraksi ICS (-)
 Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
 Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), rhonchi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicula line sinistra
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

8
Abdomen
 Inspeksi : bentuk normal, simetris, kontur datar, umbilikus tepat di tengah,
kulit tidak tampak kelainan.
 Palpasi : soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-)
 Perkusi : timpani (+), asites (-)
 Auskultasi : bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)

Status Neurologi

a.) Anggota gerak atas


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan : (+) (+)
Kekuatan : 5-5-5 5-5-5
Tonus : Normal Normal
Trofi : Eutrofi Eutrofi

Refleks Kanan Kiri


Refleks Biceps : (+2) (+2)
Refleks Triceps : (+2) (+2)
Refleks Hoffmann : (-) (-)
Refleks Tromner : (-) (-)

b.) Anggota gerak bawah


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan : (+) (+)
Kekuatan : 4-4-5 4-4-5
Tonus : Normal Normal
Trofi : Atrofi Atrofi

Refleks Kanan Kiri


Refleks Patella : (+2) (+2)

9
Refleks Achilles : (+2) (+2)
Refleks Babinsky : (-) (-)
Refleks Chaddock : (-) (-)
Status Lokalis
Regio Genu
Inspeksi : deformitas (-/+), edema (-/-), kemerahan (-/-), atrofi otot (-/-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), kalor (-/-), krepitasi (-/+)

Lingkup Gerak Sendi


LGS Genu Hasil Pemeriksaan Normal
Fleksi D 0° – 135° 0° – 135°
Fleksi S 0° – 110° 0° – 135°
Ekstensi D 0° 0°
Ekstensi S 0° 0°

Pemeriksaan Neuromuskular
Ekstremitas Inferior
Pemeriksaan
Dekstra Sinistra
Gerakan Normal Sedikit terbatas
Kekuatan Otot (miotom) 4/4/5 4/4/5
Tonus Otot Normal Normal
Atrofi Otot + +
Refleks Fisiologis Normal Normal
Refleks Patologis - -
L2 (fleksor panggul) 5 5
L3 (ekstensor lutut) 3 3
L4 (dorsofleksor pergelangan kaki) 5 5
L5 (ekstensor jempol kaki) 5 5
S1 (plantarfleksor pergelangan kaki) 5 5
Sensibilitas Normal Normal

10
Tes Provokasi
Tes Laseque : (-)/(-)
Tes Patrick : (-)/(-)
Tes Kontra Patrick : (-)/(-)
Tes Bragard : (-)/(-)
Tes Sicard : (-)/(-)

Tes Ligamen
1. Anterior Drawer Test : (-)/(+)
2. Laxity Test : (-)/(+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto Rontgen

Gambar 2.1 Foto Polos Genu Sinistra posisi AP/Lateral

11
Interpretasi:

- Alignment sendi genu sinistra baik, tidak tampak dislokasi


- Tidak tampak tanda-tanda fraktur dan destruksi pada tulang
- Osteofit pada eminentia intercondyloidea tibia, pada condyles lateral tibia
serta pada patella
- Celah sendi genu sinistra menyempit pada aspek medial
- Jaringan lunak sekitar sendi tampak normal

Kesan:

Osteoartritis Genu Sinistra (Kellgren Lawrence grade III)

DIAGNOSIS

Osteoartritis Genu Sinistra

PENATALAKSANAAN

- Genicular nerve block


- Neurolysis
- Injeksi PRP (Platelet-Rich Plasma) intraartikular

12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Artikulatio Genu


Persendian atau artikulatio adalah suatu hubungan antara dua buah tulang
atau lebih melalui pembungkus jaringan ikat pada bagian luar dan rongga sendi
pada bagian dalam, serta permukaan tulang yang dilapisi oleh tulang rawan6.
Fungsi dari sendi secara umum adalah untuk melakukan gerakan pada tubuh.
Sendi lutut merupakan bagian dari ekstremitas inferior yang menghubungkan
tungkai atas (paha) dengan tungkai bawah. Fungsi dari sendi lutut ini adalah untuk
mengatur pergerakan dari kaki (Flandry, 2011).

3.1.1 Tulang pada Artikulatio Genu


a. Tulang Femur
Tulang femur merupakan tulang pipa terpanjang yang berhubungan
dengan asetabulum dan membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris.
Pada bagian atas dan bawah kolumna femoris terdapat taju yang disebut
trokanter mayor dan trokanter minor. Pada bagian distal membentuk
persendian lutut serta terdapat dua tonjolan yang disebut kondilus medianus
dan kondilus lateralis. Di antara kedua kondilus ini terdapat lekukan tempat
letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang disebut dengan fossa kondilus
(Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011)

b. Tulang Tibia
Tulang tibia merupakan tulang yang bentuknya lebih kecil, pada bagian
distal melekat pada tulang fibula, serta pada bagian proksimal membentuk
persendian lutut (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011)

c. Tulang Fibula
Tulang fibula merupakan tulang pipa terbesar setelah tulang paha yang
membentuk persendian lutut dengan tulang (Roland Jeffrey Physiotherapy,
2011).

13
d. Tulang Patella
Pada gerakan fleksi dan ekstensi, patella akan bergerak pada tulang
femur. Fungsi patella selain sebagai perekat otot atau tendon adalah sebagai
pengungkit sendi lutut. Pada kondisi 90 derajat, kedudukan patella di antara
kedua kondilus femur dan saat ekstensi maka patella terletak pada permukaan
anterior femur (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011).

Gambar 3.1. Anatomi Sendi Lutut Normal (Flandry, 2011)

3.1.2 Ligamen pada Artikulatio Genu


Fungsi stabilisasi pasif pada sendi lutut dilakukan oleh ligamen. Ligamen-
ligamen yang terdapat pada sendi lutut adalah ligamen cruciatum dan ligamen
kollateral. Ligamen cruciatum dibagi menjadi ligamen cruciatum anterior dan
ligamen cruciatum posterior. Ligamen collateral juga dibagi menjadi ligamen
kollateral medial dan ligamen kollateral lateral (Roland Jeffrey Physiotherapy,
2011).
Ligamen cruciatum merupakan ligamen terkuat pada sendi lutut. Fungsi
ligamen ini adalah menjaga gerakan pada sendi lutut, membatasi gerakan ekstensi
dan mencegah gerakan rotasi pada posisi ekstensi, juga menjaga gerakan slide ke
depan dan ke belakang femur pada tibia dan sebagai stabilisasi bagian depan dan
belakang sendi lutut (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011).

14
Gambar 3.2. Anatomi Ligamen pada Sendi Lutut (Flandry, 2011)

a) Ligamen Cruciatum Anterior


Ligamen cruciatum anterior membentang dari bagian anterior
fossa intercondyloid tibia dan melekat pada bagian lateral kondylus
femur. Ligamen ini berfungsi untuk mencegah gerakan slide tibia ke
anterior terhadap femur, menahan eksorotasi tibia pada saat fleksi lutut,
serta mencegah hiperekstensi lutut dan membantu saat rolling dan gliding
sendi lutut (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011).

b) Ligamen Cruciatum Posterior


Ligamen cruciatum posterior merupakan ligamen yang lebih
pendek dibanding dengan ligamen cruciatum anterior. Ligamen ini
berbentuk kipas membentang dari bagian posterior tibia ke bagian depan
atas dari fossa intercondyloid tibia dan melekat pada bagian luar depan
kondylus medialis femur. Ligamen ini berfungsi untuk mengontrol
gerakan slide tibia ke belakang terhadap femur, mencegah hiperekstensi
lutut dan memelihara stabilitas sendi lutut (Roland Jeffrey Physiotherapy,
2011).

15
c) Ligamen Kollateral Medial
Ligamen kollateral medial merupakan ligamen yang lebar dan
datar, terletak lebih posterior di permukaan medial sendi tibiofemoral
yang melekat di atas epicondylus medial femur. Ligamen ini sering
mengalami cedera dan fungsinya untuk menjaga gerakan ekstensi dan
mencegah gerakan ke arah luar (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011).

d) Ligamen Kollateral lateral


Ligamen kollateral lateral merupakan ligamen yang kuat dan
melekat di atas epicondylus femur dan di bawah permukaan luar caput
fibula. Fungsi ligamen ini adalah untuk mengawasi gerakan ekstensi dan
mencegah gerakan ke arah medial. Dalam gerak fleksi lutut ligamen ini
melindungi sisi lateral lutut (Roland Jeffrey Physiotherapy, 2011).

3.1.3 Kapsula Artikularis


Tulang-tulang pembentuk sendi dihubungkan satu dengan lainnya oleh
selubung yang disebut kapsula artikularis. Lapisan luar kapsula artikularis
(lamina fibrosa) merupakan salah satu struktur penting yang dapat menahan
regangan yang kuat. Lapisan dalam kapsula artikularis (lamina synovial) dibentuk
oleh membran synovial yang mensekresikan cairan sinovial ke dalam ruang
sendi. Kapsul sendi lutut termasuk jaringan fibrosus yang avascular sehingga jika
cedera, proses penyembuhannya akan sulit (Abulhasan & Grey, 2017).

a. Cartilago Articularis (Tulang Rawan)


Sebagian besar sendi orang dewasa berjenis kartilago hyaline dan
merupakan jaringan yang avascular, alymphatic dan aneural melekat pada
tulang subkondral. Fungsi dari cartilago articularis adalah sebagai bantalan
penutup tulang pada sendi synovial (Abulhasan & Grey, 2017).

b. Meniscus
Meniscus merupakan jaringan lunak yang berfungsi untuk: (1)
penyebaran pembebanan; (2) peredam kejut (shock absorber); (3)
mempermudah gerakan rotasi; dan (4) stabilisasi setiap penekanan yang
akan diteruskan ke sebuah sendi (Abulhasan & Grey, 2017).

16
c. Bursa
Bursa adalah kantong berisi cairan yang berfungsi menjaga agar tidak
terjadi gesekan secara langsung antara otot dengan otot, otot dengan tulang
dan otot dengan kulit. Ada beberapa bursa yang terdapat pada sendi lutut
antara lain: (1) Bursa popliteus; (2) Bursa suprapatellaris; (3) Bursa
infrapatellaris; (4) Bursa subcutan prapatelaris; dan (5) Bursa sub patellaris
(Abulhasan & Grey, 2017).

Gambar 3.3 Anatomi Artikulatio Genu (Flandry, 2011)

3.2 Osteoartritis
3.2.1 Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan kelainan kronis dan degeneratif pada sendi
yang sering mengenai panggul, lutut, dan tangan yang sering memerlukan
pengobatan jangka panjang untuk mengatasi gejala akut dan mencegah komplikasi
jangka panjang (Balmaceda, 2014). Kelainan yang terjadi pada OA meliputi
hilangnya kartilago artikular secara progresif, sklerosis subkondral, pembentukan
osteofit, dan peradangan synovial yang dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan fisik dan menurunnya kualitas hidup seseorang (Zweers, et al., 2011).

17
3.2.2 Epidemiologi
OA diketahui dialami sepertiga populasi di atas usia 65 tahun dan
merupakan satu dari lima penyebab disabilitas utama pada populasi usia lanjut di
Amerika Serikat (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014). Di Indonesia
sendiri diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia menderita kecacatan karena
OA (Soeroso, et al., 2014). 30-50% pasien OA di dunia akan memerlukan
penanganan lebih lanjut berupa penggantian lutut dalam kurun waktu 10 tahun
setelah onset penyakit ini (Migliore, Massafra, Bizzi, Vacca, & Martin, 2009).
Prevalensi penyakit ini meningkat tajam seiring dengan meningkatnya
usia. Pada pasien yang berusia dibawah 55 tahun, persebaran distribusi sendi yang
mengalami OA cenderung sama pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi OA
lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria dan
12.7% pada wanita (Soeroso, et al., 2014).

3.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


OA merupakan penyakit dengan progresifitas lambat dengan etiologi yang
tidak diketahui (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014). Beberapa faktor
risiko yang diduga berperan penting dalam proses terjadinya OA, yaitu:

3.2.3.1 Usia
The National Health and Nutrition Examination Survey menemukan
prevalensi OA pada usia 25 hingga 34 tahun hanya 0.1% dibandingkan dengan
usia 55-64 tahun yang mencampai angka 80%. Berdasarkan gambaran radiografi,
OA jarang ditemukan pada usia dibawah 40 tahun. Faktor usia berpengaruh dalam
penurunan respons kondrosit dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam
merangsang penyembuhan, meningkatnya kelenturan dari struktur ligamen, dan
menurunnya respons proprioseptif (Brion & Kalunian, 2010).

3.2.3.2 Jenis Kelamin


Di bawah usia 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan
wanita, tetapi di atas usia 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih sering
ditemukan pada wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh defisiensi estrogen

18
pasca menopause yang dapat meningkatkan risiko terjadinya OA (Brion &
Kalunian, 2010).

3.2.3.3 Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA dan persentasenya
berbeda pada masing-masing sendi. Pada OA sendi tangan dan panggul,
persentase herediternya mencapai 50%. Sedangkan pada OA lutut hanya sekitar
30%, bahkan beberapa penelitian menyatakan tidak menemukan peran dari faktor
herediter (Brion & Kalunian, 2010).

3.2.3.4 Kegemukan
Mekanisme terjadinya OA akibat kegemukan adalah beban berlebih pada
sendi penopang beban, sehingga akan menginduksi penghancuran kartilago akibat
cara berjalan yang tidak tepat. Kegemukan tidak hanya berkaitan dengan OA pada
sendi penopang beban, tapi juga pada OA lain (sendi tangan atau sternoklavikula)
(Soeroso, et al., 2014).

3.2.3.5 Trauma Sendi


Trauma sendi mayor dapat menyebabkan abnormalitas anatomi sehingga
berisiko menyebabkan OA. Fraktur permukaan sendi merupakan faktor prekursor
OA sekunder yang dapat menyebabkan ketidakstabilan pada sendi. Robekan pada
ligamen dan struktur fibrokartilago yang melindungi sendi dapat meningkatkan
kerentanan sendi dan dapat menyebabkan OA (Felson, 2013).

3.2.3.6 Pekerjaan dan Penggunaan Sendi Berulang


Pekerjaan berat atau penggunaan satu sendi secara terus menerus berkaitan
dengan meningkatnya risiko OA tertentu. Terdapat 2 kategori dari penggunaan
sendi secara terus menurus, yaitu saat bekerja dan saat beraktivitas fisik. Sebagai
contoh, pekerja yang sering mengangkat alat-alat berat berisiko menderita OA
sendi ekstremitas atas. Aktivitas fisik seperti berolahraga juga berisiko
menyebabkan OA. Pelari profesional berisiko tinggi mengalami OA sendi lutut
dan OA sendi panggul (Solomon, 2010).

19
3.2.4 Patolofisiologi
OA dapat terjadi akibat dua faktor utama, yaitu kerentanan sendi dan
beban yang ditopang sendi. Sendi yang rentan akibat disfungsi pada biomaterial
dapat menyebabkan OA walaupun diberikan beban minimal pada sendi, seperti
aktivitas sehari-hari. Pada kasus lain, sendi yang masih memiliki biomaterial
lengkap dan kompeten dapat menyebabkan OA apabila terjadi trauma akut yang
berat pada sendi atau diberikan beban berat repetitif dalam jangka waktu lama
(Felson, 2013).

Gambar 3.4. Perbandingan antara sendi normal (kiri) dengan sendi OA (kanan)
(Robinson, et al., 2016)

OA dapat mempengaruhi struktur sendi secara keseluruhan, termasuk


kartilago artikular, sinovium, tulang subkondral, kapsul sendi, dan komponen
sendi lainnya. Pada tahap awal OA, permukaan kartilago yang masih intak akan
mengalami perubahan pada komposisi molekular dan matriks ekstrasel (Xia, et al.,
2014). Matriks kartilago yang sehat sebagian besar dibentuk oleh kolagen tipe II,
sedangkan kolagen tipe I lebih banyak ditemukan di jaringan tulang subkondral.
Pada kasus OA, terjadi penurunan produksi protegolikan dan peningkatan
produksi kolagen. Dengan semakin meningkatnya rasio sintesis
kolagen/proteoglikan, jenis kolagen pada matriks akan berubah dari kolagen tipe
II menjadi tipe I sehingga akan merusak integritas jaringan matriks ekstrasel
(Maldonado & Nam, 2013).

20
Proteoglikan dan jaringan kolagen kemudian akan hancur sehingga
kartilago menjadi tidak intak. Kondrosit artikular akan mengalami apoptosis dan
kartilago artikular akan sepenuhnya hilang. Berkurangnya ruang pada sendi
mengakibatkan friksi antartulang sehingga seseorang akan merasakan nyeri dan
mobilitas sendi yang terbatas (Xia, et al., 2014).
Kartilago artikular dapat rusak akibat proses fisiologis (wear and tear)
maupun patologis (beban mekanik abnormal atau trauma). Kondrosit artilakular
yang memiliki aktivitas metabolik dan kapasitas regenerasi rendah akan
melakukan respon proliferatif sementara terhadap stimulasi patologis dengan
meningkatkan sintesis matriks untuk memperbaiki jaringan. Perubahan tersebut
akan menstimulasi kondrosit untuk memproduksi lebih banyak faktor katabolik
sehingga dapat menyebabkan degradasi kartilago. Ketidakseimbangan ini
mengakibatkan produk degradasi matriks kartilago berakumulasi di sendi,
menghambat fungsi kartilago, dan mengawali respons imun yang menyebabkan
inflamasi sendi (Soeroso, et al., 2014).

Gambar 3.5. Skema perubahan kartilago pada kasus OA (Houarda,


Goldring, & Berenbaum, 2013)

21
3.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, OA dapat terjadi secara primer maupun sekunder.
OA primer atau idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak
berhubungan dengan penyakit sistemik, sedangkan OA sekunder adalah OA yang
didasari akibat kelainan endokrin atau metabolik, kelainan pertumbuhan,
herediter, serta imobilisasi yang terlalu lama (Soeroso, et al., 2014).
OA primer terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitu OA generalisata dan OA
lokal. OA generalisata terjadi apabila OA ditemukan pada 3 daerah atau lebih dari
jenis OA lokal (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Klasifikasi OA Primer berdasarkan Lokasi Sendi yang Terkena


(Felson, 2015)
Lokasi OA Jenis OA Primer Lokasi OA Jenis OA Primer
OA Tangan  Artritis erosif OA Vertebra  Sendi apofiseal
interfalang  Sendi intervertebral
 Karpal-metakarpal I  Spondilosis
 Hiperostosis
OA Lutut  Bony enlargement OA Panggul  Eksentrik (superior)
 Genu valgus  Konsentrik (aksial,
 Genu varus medial)
 Difus (koksa senilis)
OA Kaki  Haluks valgus OA lainnya  Glenohumeral
 Haluks rigidus  Tibiotalar
 Jari kontraktur  Sakroiliaka

Sedangkan OA sekunder terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan


penyebabnya, yaitu:
1) Trauma, baik akut maupun kronis
2) Kelainan kongenital / kelainan perkembangan
3) Kelainan metabolik, misalnya Wilson’s disease, Gaucher’s disease, dan
hemokromatosis.

22
4) Kelainan endokrin, misalnya hiperparatiroid, diabetes mellitus, obesitas, dan
hipotiroid.
5) Penyakit tulang dan sendi lainnya, seperti fraktur, gout, rheumatoid artritis,
Paget’s Disease, dan osteokondrosis (Felson, 2015).

3.2.6 Manifestasi Klinis

3.2.6.1 Nyeri sendi


Nyeri merupakan keluhan utama yang biasanya bertambah apabila
digerakkan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Nyeri dapat menyebar dari
sendi yang mengalami OA atau dapat berupa nyeri alih dari sendi lain. Pada
awalnya, nyeri bersifat episodik dan timbul satu atau dua hari setelah penggunaan
berlebih pada sendi yang terkena OA, namun seiring dengan progresifitas
penyakit ini, nyeri timbul terus menerus sehingga dapat mengganggu tidur di
malam hari (Felson, 2013).

3.2.6.2 Kaku sendi


Kaku sendi yang dirasakan pasien OA biasanya timbul setelah periode
imobilisasi, namun dapat berkembang menjadi konstan dan progresif seiring
dengan berjalannya waktu. Durasi berlangsung dalam waktu singkat, biasanya
kurang dari 30 menit. Kejadian ini disebut dengan gelling phenomenon, yaitu
kaku sendi yang timbul setelah periode imobilisasi akibat penumpukan cairan di
dalam sendi yang membentuk seperti gel dan menyebabkan kesulitan bergerak
(Hausmann, 2014).

3.2.6.3 Hambatan gerakan sendi


Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA stadium dini
(secara radiologis). Hambatan gerakan sendi ini bertambah berat dengan semakin
beratnya penyakit, hingga sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur.
Hambatan gerak dapat bersifat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun
eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Soeroso, et al., 2014).

23
3.2.6.4 Pembengkakan sendi
Pembengkakan sendi dapat bersifat intermiten (pada efusi) atau terus
menerus (pada penebalan kapsular atau adanya osteofit). Efusi pada sendi dapat
menyebabkan pembengkakan sendi apabila volumenya lebih dari 100 cc.
Sedangkan adanya osteofit berpengaruh pada perubahan permukaan sendi
sehingga dapat menyebabkan pembengkakan sendi (Soeroso, et al., 2014).

3.2.6.5 Deformitas
Deformitas dapat timbul akibat kontraktur sendi yang lama, perubahan
pada permukaan sendi, kecacatan, maupun perubahan pada tulang. Selain menjadi
akibat dari OA, deformitas juga dapat menjadi penyebab terjadinya OA dan
berkontribusi terhadap onset dari OA sendiri, seperti deformitas vagus dan valrus
(Solomon, 2010).

3.2.7 Penegakkan Diagnosis

3.2.7.1 Anamnesis (Yuliasih, 2015):


1) Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual)
2) Tidak disertai inflamasi
3) Tidak disertai gejala sistemik
4) Nyeri sendi saat beraktivitas

3.2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Tes-tes provokasi yang dapat dilakukan untuk memeriksa sendi lutut:
1. Tes McMurray
Tes ini merupakan tindakan pemeriksaan untuk mendeteksi lesi meniskus.
Pada tes ini penderita berbaring terlentang. Dengan satu tangan, pemeriksa
memegang tumit penderita dan tangan lainnya memegang lutut. Tungkai
kemudian ditekuk pada sendi lutut. Tungkai bawah eksorotasi/endorotasi dan
secara perlahan diekstensikan. Kalau terdengar bunyi “klek‟ atau teraba
sewaktu lutut diluruskan, maka meniskus medial atau bagian posteriornya
mungkin terobek (Braunwald & Fauci, 2002).

24
Gambar 3.6 Pemeriksaan McMurray

2. Anterior Drawer Test


Merupakan tes untuk mendeteksi ruptur ligamen cruciatum. Penderita harus
dalam posisi terlentang dengan panggul fleksi 45˚, lutut fleksi dan kedua kaki
sejajar. Gerakkan tulang tibia ke atas maka lutut akan hiperekstresi dan lutut
akan terasa kendor. Posisi pemeriksa di depan kaki penderita. Jika terdorong
lebih dari normal, artinya tes drawer positif (Braunwald & Fauci, 2002).

Gambar 3.7 Pemeriksaan Anterior Drawer Test

3. Posterior Drawer Test


Posterior Drawer Test sama dengan Anterior Drawer Test, tibia
digenggam kemudian didorong kearah belakang (Braunwald & Fauci, 2002).

Gambar 3.8 Pemeriksaan Posterior Drawer Test

25
4. Lachman Test
Test Lachman dilakukan dengan memfleksikan lutut 300, dengan tungkai
diputar secara eksternal. Satu tangan pemeriksa menstabilkan tungkai bawah
dengan memegang ujung distal tungkai atas dan tangan yang lain memegang
bagian proksimal tulang tibia, kemudian gerakkan ke arah anterior (Braunwald &
Fauci, 2002).

Gambar 3.9 Pemeriksaan Lachman

3.2.7.3 Pemeriksaan Radiologi


Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi dapat memberikan
gambaran diagnostik pada pasien OA, seperti:
1) Penyempitan celah sendi yang asimestris
2) Peningkatan densitas (skeloris) tulang subkondral
3) Kista tulang
4) Osteofit di pinggir sendi
5) Perubahan struktur anatomi sendi

Derajat kerusakan sendi berdasarkan gambaran radiologis kriteria Kellgren &


Lawrence

(A) (B)

26
(C) (D)

Gambar 3.12 Kriteria Kellgren and Lawrence (Solomon, 2010)


(A) Derajat 1; (B) Derajat 2; (C) Derajat 3; (D) Derajat 4

1. Derajat 0 : radiologi normal.


2. Derajat 1 : penyempitan celah sendi meragukan.
3. Derajat 2 : osteofit dan penyempitan celah sendi yang jelas.
4. Derajat 3 : osteofit sedang dan multipel, penyempitan celah sendi,
sklerosis sedang dan kemungkinan deformitas kontur tulang.
5. Derajat 4 : osteofit besar, penyempitan celah sendi yang nyata, sklerosis
berat dan deformitas kontur tulang yang nyata (Solomon, 2010)

3.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan OA adalah untuk mengurangi gejala nyeri,
meminimalkan terjadinya disabilitas, dan menjaga mobilitas (Felson, 2015).
Terapi komprehensif yang diterapkan terdiri dari terapi nonfarmakologi dan
farmakologi. Pasien dengan gejala ringan dan intermiten dapat dilakukan edukasi
atau terapi nonfarmakologi. Sedangkan pasien dengan keluhan nyeri terus
menerus dapat diberikan terapi nonfarmakologi dan farmakologi (Felson, 2013).

3.2.8.1 Terapi Nonfarmakologi

1. Edukasi
Edukasi bertujuan agar pasien memiliki pengetahuan tentang
penyakitnya dan cara agar tidak bertambah parah serta persendiannya tetap
dapat dipakai (Soeroso, et al., 2014).

27
2. Penurunan berat badan
Pasien OA dengan berat badan berlebih perlu melakukan penurunan
berat badan hingga mendekati berat badan ideal (Soeroso, et al., 2014).

3.2.8.2 Fisioterapi
a. Terapi panas
Terapi panas superfisial yaitu panas hanya mengenai kutis atau
jaringan sub kutis saja (Hot pack, infra merah, kompres air hangat,
paraffin bath). Sedangkan terapi panas dalam, yaitu panas dapat
menembus sampai ke jaringan yang lebih dalam yang sampai ke otot,
tulang, dan sendi (Diatermi gelombang mikro (MWD), Diatermi
gelombang pendek (SWD), Diatermi gelombang suara ultra (USD)). Pada
kasus OA digunakan SWD (short wave diathermi) dan USD (ultra sound
diathermi) (Nurcan & Karadag, 2015).
b. Terapi dingin
Terapi dingin digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah,
mengurangi peradangan, mengurangi spasme otot dan kekakuan sendi
sehingga dapat mengurangi nyeri. Terapi dingin dapat berupa cryotherapy,
kompres es dan masase es (Nurcan & Karadag, 2015).
c. Terapi listrik
TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation). TENS
merupakan modalitas yang digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan nyeri melalui peningkatan ambang rangsang nyeri (Nurcan
& Karadag, 2015).
d. Latihan Fisik
Manfaat latihan fisik dapat meningkatkan mobilitas sendi,
memperkuat otot yang menyokong dan melindungi sendi, mengurangi nyeri
dan kaku sendi. Pergerakan sendi diperlukan untuk memastikan suplai
nutrisi terjamin dan mempertahankan integritas kartilago. Jenis latihan fisik
dapat berupa:

28
 Terapi Manual
Terapi manual adalah gerakan pasif yang dilakukan oleh
fisioterapis dengan tujuan meningkatkan gerakan sendi dan
mengurangi kekakuan sendi. Teknik yang dipakai adalah melatih
ROM secara pasif, melatih jaringan-jaringan sekitar sendi secara pasif,
meregangkan otot atau mobilisasi jaringan lunak, dan massage
(Fitzgerald & Oatis, 2004).
 Latihan Fleksibilitas (ROM)
Untuk pasien OA, latihan fleksibilitas ditujukan untuk mengurangi
kekakuan, meningkatkan mobilitas sendi, dan mencegah kontraktur
jaringan lunak. Semua gerakan sebaiknya menjangkau ruang gerak
sendi yang tidak menimbulkan rasa nyeri. Latihan fleksibilitas dapat
dimulai dari latihan peregangan tiap kelompok otot, setidaknya tiga
kali seminggu. Apabila sudah terbiasa, latihan ditingkatkan repetisinya
per kelompok otot secara bertahap (Fitzgerald & Oatis, 2004).

Gambar 3.13 Streching otot Hamstrings dan Quadriseps

Gambar 3.14. Latihan ROM lutut

29
 Latihan Aerobik
Latihan aerobik (berjalan, bersepeda, berenang, senam aerobik, dan
latihan aerobik di kolam renang) dapat memperkuat otot,
meningkatkan ketahanan, dan mengurangi berat badan. Pemilihan
aktivitas aerobik tergantung pada beberapa faktor, yaitu status
penyakit, stabilitas sendi, sumber daya dan minat pasien (Fitzgerald &
Oatis, 2004).

3.2.8.2 Terapi Farmakologi

Nyeri merupakan keluhan utama yang diderita pasien OA. Terapi


nonfarmakologi yang telah disebutkan dapat mengurangi keluhan nyeri tersebut,
namun pemberian obat-obatan dapat mengatasi keluhan nyeri secara cepat saat
eksaserbasi (Kraus & Doherty, 2010). Beberapa jenis terapi farmakologi yang
dapat diberikan untuk pasien OA dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Jenis dan Dosis Terapi Farmakologi OA (Felson, 2013)


Jenis Terapi Farmakologi Dosis
Asetaminofen 1000 mg, 3 kali sehari (maksimal 3000 mg/hari)
NSAID oral
- Naproxen 375-500 mg, 2 kali sehari
- Salisilat 1500 mg, 2 kali sehari
- Ibuprofen 600-800 mg, 3-4 kali sehari
NSAID topikal
- Natrium diklofenak 1% 4000 mg, 4 kali sehari (untuk sendi lutut)
Opiat Bervariasi
Kapsaisin 0.025-0.075% (krim), 3-4 kali sehari
Injeksi intraartikular Bervariasi

3.2.8.3 Terapi Bedah

Pembedahan hanya diindikasikan apabila terapi farmakologis tidak


berhasil mengurangi rasa sakit. Selain itu pembedahan juga diperlukan untuk

30
melakukan koreksi pada deformitas sendi yang dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari (Soeroso, et al., 2014). Beberapa jenis pembedahan yang dapat
dilakukan pada kasus OA:
1) Arthroscopic debridement dan joint lavage (indikasi pada pasien yang
mengeluhkan mechanical locking)
2) Osteotomi
3) Artroplasti sendi total

31
BAB 4

PENUTUP

1. Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang disebabkan


oleh adanya kombinasi dari degradasi tulang rawan sendi, remodelling
tulang dan inflamasi tulang rawan sendi.
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri pada lutut kiri.
Keluhan seperti rasa tertusuk-tusuk yang tidak menjalar ke bagian lain dan
hilang timbul sejak 4 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan ketika pasien
berjalan, terutama saat melakukan aktivitas seperti naik turun tangga, namun
berkurang dengan istirahat. Pasien juga merasa ada bunyi pada lutut kirinya
bila sedang berjalan. Riwayat trauma atau jatuh sebelumnya tidak ada. Pada
pemeriksaan fisik melalui inspeksi didapatkan adanya deformitas sendi genu
kiri. Pada palpasi didapatkan adanya krepitasi sendi genu kiri. Pada
pemeriksaan radiologi didapatkan adanya banyak osteofit dan celah sendi
menyempit.
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka pasien ini didiagnosis Osteoartritis Genu Sinistra grade III.
3. Penanganan pada pasien ini adalah genicular nerve block, neurolysis, dan
injeksi PRP intraartikular.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abulhasan, J., & Grey, M. (2017). Anatomy and Physiology of Knee Stabiliy.
Journal of Functional Morphology and Kinesiology.

Balmaceda, C. M. (2014). Evolving Guidelines in the Use of Topical Nonsteroidal


Anti-Inflammatory Drugs in the Treatment of Osteoarthritis. New York:
Biomed Central.

Braunwald, E., & Fauci, A. (2002). Degenerative Joint Disease. Harrison's


Manual of Medicine, 748-749.

Brion, P. H., & Kalunian, K. C. (2010). Osteoarthritis. In D. A. Warrell, T. M.


Cox, & J. D. Firth, Oxford Textbook of Medicine 5th edition (p. 2435).
Oxford Press.

Felson, D. T. (2015). Osteoarthritis. In D. L. Kasper, A. Fauci, S. L. Hauser, D. L.


Longo, J. L. Jameson, & J. Loscalzo, Harrison's Principles of Internal
Medicine 19th Edition. McGraw-Hill Professional Publishing.

Fitzgerald, K., & Oatis, C. (2004). Role of Physical Therapy in Management of


Knee Osteoarthritis. Opinion on Rheumatology.

Flandry, F. (2011). Normal Anatomy and Biomechanics of the Knee. Sports


Medicine and Arthroscopy.

Hausmann, J. (2014, Maret 21). Rheumatology: Not All Joint Pain is Arthritis.
Retrieved from Autoinflammatory Disease:
http://www.autoinflammatorydisease.org

Houarda, X., Goldring, M., & Berenbaum, F. (2013). Homeostatic Mechanisms in


Articular Cartilage and Role of Inflammation in Osteoarthritis. Curr
Rheumatol Rep, 15(11), 375.

Kraus, V. B., & Doherty, M. (2010). Osteoarthritis. In A. Adebajo, ABC of


Rheumatology, 4th edition. Hong Kong: John Wiley & Sons, Ltd.

Maldonado, M., & Nam, J. (2013). The Role of Changes in Extracellular Matrix
of Cartilage in the Presence of Inflammation on the Pathology of
Osteoarthritis. BioMed Research International Vol 10, 1-10.

Migliore, A., Massafra, U., Bizzi, E., Vacca, F., & Martin, S. (2009).
Comparative, Double-blind, Controlled Study of Intra-Articular
Hyaluronic Acid (Hyalubrix®) Injections Versus Local Anesthetic in
Osteoarthritis of the Hip. New York: Biomed Central Ltd.

33
Nurcan, C., & Karadag, M. (2015). Superficial Heat and Cold Application in he
Treatment of Knee Osteoarthritis. Osteoarthritis: Progress in Basic
Research and Treatment.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Rekomendasi Perhimpunan


Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis.

Robinson, W. H., Lepus, C. M., Wang, Q. W., Raghu, H., Mao, R., Lindstrom, T.
M., & Sokolove, J. (2016). Low-Grade Inflammation as a Key Mediator of
the Pathogenesis of Osteoarthritis. Nat Rev Rheumatol. 12(10), 580–592.

Roland Jeffrey Physiotherapy. (2011). Knee Joint Anatomy. Roland Jeffrey


Physiotherapy Sports Injury Care.

Sjamsuhidayat, R., & de Jong, W. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Soeroso, J., Isbagio, H., Kalim, H., Broto, R., & Pramudiyo, R. (2014).
Osteoartritis. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. Setiati, & A. F.
Syam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi ke-6 (p. 3117).
Jakarta: Interna Publishing.

Solomon, L. (2010). Osteoarthritis. In L. Solomon, D. Warwick, & S. Nayagam,


Apley's System of Orthopaedics and Fractures, 9th edition (p. 104).
Hodder Arnold.

Xia, B., Chen, D., Zhang, J., Hu, S., Jin, H., & Tong, P. (2014). Osteoarthritis
Pathogenesis: A Review of Molecular Mechanisms. Calcif Tissue Int.
95(6), 495–505.

Yuliasih, J. S. (2015). Pemeriksaan Dasar Reumatologi Gait Arms Legs Spine


System (GALS System). In A. Tjikoprawiro, P. B. Setiawan, C. Effendi,
D. Santoso, & G. Soegiarto, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR
(p. 543). Surabaya.

Zweers, M. C., de Boer, T. N., van Roon, J., Bijlsma, J. W., Lafeber, F. P., &
Mastbergen, S. C. (2011). Celecoxib: Considerations Regarding its
Potential Disease-Modifying Properties in Osteoarthritis. New York:
Biomed Central Ltd.

34

Anda mungkin juga menyukai