PENDAHULUAN
Tahun 2019 menjadi tahun politik bagi bangsa Indonesia. Pemilihan calon
anggota legislative akan dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden pada 17 April mendatang. Hal ini akan menjadi suatu pesta
demokrasi yang harus selalu diperhatikan dan diawasi, tidak hanya oleh
pemerintah namun juga seluruh rakyat Indonesia.
Lantas bagaimana jika eks koruptor mendaftar menjadi Caleg? Hal inilah
yang kemudian menjadi polemik . Beberapa partai politik memutuskan untuk
mendaftarkan orang-orang yang pernah menjadi narapidana korupsi sebagai calon
legislative, untuk nantinya menduduki kursi jabatan di DPR , DPRD , maupun
DPD. Tidak hanya di satu daerah, namun lebih dari 10 daerah di Indonesia
terdapat mantan narapidana korupsi yang diusung menjadi calon legislative. Salah
satunya adalah di Kabupaten Kutai Kartanegara,yaitu Rachmad Susanto sebagai
Caleg DPRD nomor urut 1 yang merupakan narapidana kasus korupsi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui Pandangan Hukum Mengenai Mantan Narapidana
Mencalokan Diri Sebagai Calon Legislatif?
2. Dapat Mengetahui Pandangan Masyarakat Mengenai Mantan Narapidana
Mencalokan Diri Sebagai Calon Legislatif?
KONSEP TEORI
A. Pengertian Pemilu
Ada Perubahan yang paling mencolok yang di buat KPU dari peraturan
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD, dan DPRD yaitu dilaranganya
mantan terpidana korupsi, bandar narkoba, dan predator seksual menjadi
caleg. Padahal, di Pileg 2014 aturan ini tidak ada.
Pasal 7
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih terhitung sejak
penetapan DCT
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
d. Dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia
e. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah
aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau
sekolah lain yang sederajat
f. Setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika
g. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
h. Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap
anak, atau korupsi
i. Sehat jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif
j. Terdaftar sebagai pemilih
k. Bersedia bekerja penuh waktu
l. Mengundurkan diri sebagai:
1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau
wakil wali kota
2) Kepala desa
3) Perangkat desa yang mencakup unsur staf yang membantu
Kepala Desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang
diwadahi dalam Sekretariat Desa, dan unsur pendukung tugas
Kepala Desa dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam
bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan
4) Aparatur Sipil Negara
5) Anggota Tentara Nasional Indonesia
6) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
7) Direksi, komisaris, dewan pengawas dan/atau karyawan pada
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan
Usaha Milik Desa, atau badan lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara
8) Mengundurkan diri sebagai Penyelenggara Pemilu, Panitia
Pemilu, atau Panitia Pengawas
m. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat,
notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau tidak melakukan pekerjaan
C. Pengertian Narapidana
PEMBAHASAN
Namun demikian, pedoman KPU itu tak sejalan dengan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu). Bawaslu mengklaim berpegang pada Undang-Undang nomor 7
tahun 2017, yang tidak mengatur soal larangan mantan napi korupsi maju sebagai
caleg.
Akibat dari ditetapkannya peraturan, KPU digugat oleh salah satu caleg
mantan narapidana, yaitu Mohammad Taufik. Tak hanya peraturan mengenai
larangan caleg mantan narapidana korupsi, narkoba, dan kejahatan seksual
terhadap anak yang diabaikan, Taufik menilai KPU melanggar etika. Menurutnya
KPU harus menunggu putusan MA terkait yudisial review PKPU Nomor 20 tahun
2018 sebelum memberlakukan peraturan tersebut.
Polemik ini tak juga menemukan titik temu antara Bawaslu dengan KPU,
sehingga pada akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada MA untuk dilakukan
pengujian ulang materi mengenai aturan dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018
tersebut.
Dari data yang dihimpun KPU, ada 49 nama caleg eks koruptor yang terdiri
dari 40 caleg Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan 9 caleg Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Dari 40 caleg DPRD yang eks napi korupsi itu,
sebanyak 16 orang merupakan caleg untuk DPRD provinsi, dan 24 caleg untuk
DPRD kabupaten/kota. Dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019, ada 12 partai
yang terdapat eks koruptor dalam daftar calegnya.
Jika diurutkan, tiga partai yang paling banyak terdapat caleg eks koruptor
adalah Partai Golkar (8 caleg), Partai Gerindra (6 caleg), dan Partai Hanura (5
caleg). Sementara itu, tidak ditemukan caleg berstatus eks koruptor di empat
partai. Empat partai tersebut adalah PKB, Partai Nasdem, PPP, dan PSI. Selain
nama dan dapil caleg, kasus korupsi yang pernah menjerat caleg tersebut juga
akan dicantumkan.
Sebanyak 32 nama baru itu berasal dari 7 caleg DPRD provinsi dan 25 caleg
DPRD kabupaten/kota. Kemungkinan besar tidak akan ada lagi daftar tambahan
daftar eks korupsi.
Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi pasal 4 ayat 3 Peraturan
KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD
Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta uji materi Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26
Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang
“Masa depan bangsa ini harus kita berikan pencerahan, bangsa kita ini berhak
untuk melihat masa depan negara kita ini lebih baik. Bebas dari korupsi. Jangan
dibebani lagi oleh orang-orang yang sebenarnya telah mengkhianati amanah
rakyat ini. Jadi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, seharusnya kita ini
bersifat zero toleransi terhadap korupsi. Bangsa kita ini bangsa besar dan didesain
untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur,” kata Artidjo Alkostar.
“Kalau Pemilu sudah rusak integritasnya, maka akan terjadi terus kasus-kasus
yang terjadi di DPRD itu. Maka perlu sekali caleg yang maju dilihat rekam jejak
dan integritasnya harus sudah teruji. Kalau mantan koruptor jadi caleg, Indonesia
tidak akan bersih secara moral. Kita mendukung Peraturan KPU, kalau tidak
Pemilu kita akan rusak, tidak berintegritas,” kata Azyumardi Azra.
Namun ada juga warga lainnya yaitu Saparudin yang melihat siapapun di
Negara ini punya hak yang sama untuk bisa maju jadi Caleg, termasuk mantan
narapidana sendiri. "Kalau saya melihat siapapun boleh nyaleg, kalau dia mantan
koruptor dan kejahatan lain, itu masa lalu dia, dan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya nanti kan diawasi dan hukum tetap ada, "ujar Saparudin.
Febriani (24), juga berpendapat, mantan napi korupsi tidak mempunyai hak
untuk mencalonkan diri menjadi calon wakil rakyat lagi. Ia menilai, keputusan
MA itu telah mencoreng dunia politik di Indonesia. "Kayak enggak ada warga lain
yang lebih bersih. Yang enggak korupsi saja masih susah benerin daerahnya dan
enggak menyerap aspirasi rakyat, apalagi yang korupsi. Enak banget ya sudah
korupsi, tapi masih bisa balik lagi," ujar Febri. "Apa fungsinya Surat Keterangan
Catatan Kepolisian (SKCK) buat ngelamar pekerjaan kalau yang jelas-jelas
korupsi masih bisa diterima lagi," sambung dia.
A. Kesimpulan
Indonesia yang demokratis dan tahun 2019 yang merupakan tahun politik.
Banyak masyarakat yang mencalonkan dirinya menjadi anggota calon legislatif
begitu juga oleh mantan narapidana yang mencalonkan dirinya sebagai calon
legislatif yang membuat pro kontra antara KPU dan Bawaslu dimana KPU yang
telah menetapkan PKPU yang berisi melarang mantan narapidana korupsi,
kejahatan seksual, narkoba dan terorisme mengajukan diri sebagai calon
legislative akan tetapi hal ini bertentangan dengan Undang-undang pemilu Nomor
7 Tahun 2017 sehinggan mantan Napi pun masih di perbolehkan untuk maju
sebagi calon wakil rakyat. Disisi lain dari Masyarakat yang sebagian besar
beranggapan negative mengenai Mantan Narapidana yang maju sebagai wakil
rakyat. Sehingga dalam pemilihan umum nanti pilihan tetap di tangan masyarakat
yang seharusnya bisa lebih cerdas dalam memilih siapa yang akan menjadi
penyambung lidah mereka.
B. Saran