Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara demokrasi yang selalu mengedepankan


kedaulatan rakyat. Salah satu bukti bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi
adalah dengan selalu dilaksanakannya pemilihan umum (Pemilu). Pemilu adalah
proses yang meletakkan kedaulatan rakyat sepenuhnya di tangan rakyat itu
sendiri, melalui sistem pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara
berakala dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi.

Tahun 2019 menjadi tahun politik bagi bangsa Indonesia. Pemilihan calon
anggota legislative akan dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden pada 17 April mendatang. Hal ini akan menjadi suatu pesta
demokrasi yang harus selalu diperhatikan dan diawasi, tidak hanya oleh
pemerintah namun juga seluruh rakyat Indonesia.

Sejak September tahun 2018, partai-partai politik telah mengirimkan


berkas pendaftaran peserta calon anggota legislative di berbagai daerah-daerah ke
Komisi Pemilihan Umum. Banyak persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi
agar dapat lolos seleksi menjadi calon legislative. Seorang calon legislative harus
benar-benar orang yang memiliki visi , misi, dan program yang jelas.

Lantas bagaimana jika eks koruptor mendaftar menjadi Caleg? Hal inilah
yang kemudian menjadi polemik . Beberapa partai politik memutuskan untuk
mendaftarkan orang-orang yang pernah menjadi narapidana korupsi sebagai calon
legislative, untuk nantinya menduduki kursi jabatan di DPR , DPRD , maupun
DPD. Tidak hanya di satu daerah, namun lebih dari 10 daerah di Indonesia
terdapat mantan narapidana korupsi yang diusung menjadi calon legislative. Salah
satunya adalah di Kabupaten Kutai Kartanegara,yaitu Rachmad Susanto sebagai
Caleg DPRD nomor urut 1 yang merupakan narapidana kasus korupsi.

Komisi Pemilihan Umum dengan penuh keyakinan menolak dan melarang


mantan koruptor mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. KPU telah
menerbitkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR,
DPRD, dan DPRD. Peraturan ini memuat berbagai syarat yang harus dipenuhi
apabila ingin menjadi calon anggota legislatif. Peraturan paling mencolok adalah
pada pasal 7 ayat 1 yang berisi tentang larangan mantan terpidana korupsi, bandar

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 1


narkoba, dan pelaku kejahatan seksual menjadi caleg.Perbedaan pendapat terjadi
antara bawaslu dan KPU. Bawaslu tetap meloloskan berkas calon anggota
legislative yang merupakan eks koruptor, sedangkan KPU tetap teguh pendirian
untuk melarang dan tidak meloloskan berkas-berkas tersebut.

Polemik tak juga menemukan titik temu, hingga akhirnya KPU


menyerahkan permasalahan ini ke MA. Juru bicara Ma, Suhadi menjelaskan
bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan narapinda
kasus kejahatan seksual terhadap anak untuk dapat menjadi caleg, seperti yang
diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) bertentangan dengan
UU Nomor 7 Tahun 2017. Sehingga dengan uji materi tersebut, maka eks
koruptor dapat mencalonkan diri menjadi Caleg dengan syarat-syarat yang
ditentukan dalam UU Pemilu. Para Caleg telah menjalani hukuman lima tahun
atau lebih, dan harus mengumumkan kepada masyarakat kasus hukum yang
pernah menjeratnya.

Namun, keputusan tersebut masih menimbulkan pro dan kontra tidak


hanya dikalangan kaum politik, tetapi juga dikalangan masyarakat umum. Banyak
hal yang kemudian harus menjadi pertimbangan seluruh warga Indonesia sebelum
menentukan pilihannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pandangan Hukum Mengenai Mantan Narapidana


Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif?
2. Bagaimana Pandangan Masyarakat Mengenai Mantan Narapidana
Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif?

C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui Pandangan Hukum Mengenai Mantan Narapidana
Mencalokan Diri Sebagai Calon Legislatif?
2. Dapat Mengetahui Pandangan Masyarakat Mengenai Mantan Narapidana
Mencalokan Diri Sebagai Calon Legislatif?

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 2


BAB II

KONSEP TEORI

A. Pengertian Pemilu

Pemilihan umum atau Pemilu, yaitu lembaga sekaligus prosedur praktik


politik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya
sebuah pemerintahan perwakilah (Gatara, 2008:2007). Dirumuskan pula sebagai
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
(UU No. 8 Tahun 2012 pasal 1 ayat 1).

B. Tinjauan tentang Calon Legislatif

1. Pengertian Calon Legislatif


Caleg atau Calon legislatif adalah orang yang mencalonkan diri menjadi
anggota legislatif, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. (caleg) pada hakikatnya merupakan “wakil
rakyat” yang memperoleh mandat untuk memperjuangkan kepentingan para
pemilihnya di badan-badan legislatif.

2. Syarat- Syarat Calon Legislatif

KPU resmi menerbitkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2018 tentang


Pencalonan Anggota DPR, DPRD, dan DPRD. Peraturan ini mengatur syarat
bagi warga yang ingin jadi calon anggota DPR atau DPRD di Pemilu 2019.

Ada Perubahan yang paling mencolok yang di buat KPU dari peraturan
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD, dan DPRD yaitu dilaranganya
mantan terpidana korupsi, bandar narkoba, dan predator seksual menjadi
caleg. Padahal, di Pileg 2014 aturan ini tidak ada.

"Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak,


atau korupsi," bunyi peraturan KPU pasal 7 ayat 1, huruf h.

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 3


Berikut ketentuan lengkap menjadi caleg di Pemilu 2019:

Pasal 7
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih terhitung sejak
penetapan DCT
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
d. Dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia
e. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah
aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau
sekolah lain yang sederajat
f. Setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika
g. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
h. Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap
anak, atau korupsi
i. Sehat jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif
j. Terdaftar sebagai pemilih
k. Bersedia bekerja penuh waktu
l. Mengundurkan diri sebagai:
1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau
wakil wali kota
2) Kepala desa
3) Perangkat desa yang mencakup unsur staf yang membantu
Kepala Desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang
diwadahi dalam Sekretariat Desa, dan unsur pendukung tugas
Kepala Desa dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam
bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan
4) Aparatur Sipil Negara
5) Anggota Tentara Nasional Indonesia
6) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
7) Direksi, komisaris, dewan pengawas dan/atau karyawan pada
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan
Usaha Milik Desa, atau badan lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara
8) Mengundurkan diri sebagai Penyelenggara Pemilu, Panitia
Pemilu, atau Panitia Pengawas
m. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat,
notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau tidak melakukan pekerjaan

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 4


penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara
serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
n. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara
lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan/atau karyawan pada
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan
Usaha Milik Desa, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara.
o. Menjadi anggota partai politik.
p. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan
q. Dicalonkan hanya oleh 1 (satu) partai politik
r. Dicalonkan hanya di 1 (satu) Dapil; dan
s. Mengundurkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, atau
DPRD Kabupaten/Kota bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi,
atau DPRD Kabupaten/Kota yang dicalonkan oleh Partai Politik yang
berbeda dengan Partai Politik yang diwakili pada Pemilu Terakhir.

C. Pengertian Narapidana

Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa:Narapidana adalah


orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana);
terhukum. Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa
Narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya berdasarkan kamus
hukum narapidana diartikan sebagai berikut: Narapidana adalah orang yang
menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995


tentang Permasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana
hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana
adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 5


BAB III

PEMBAHASAN

A. Pandangan Hukum Mengenai Mantan Narapidana Mencalonkan Diri


Sebagai Calon Legislatif

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan Peraturan KPU (PKPU)


Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019 tersebut pada tanggal 30 Juni 2018

PKPU ini akan menjadi pedoman KPU melaksanakan tahapan pencalonan


Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.
Salah satu poin dalam PKPU tersebut mengatur mengenai larangan mantan
koruptor maju sebagai caleg. Aturan tersebut tertera pada Pasal 7 Ayat 1 huruf h.

Dengan ditetapkannya Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018, maka


ketentuan tentang larangan eks koruptor mencalonkan diri menjadi anggota
legislatif sudah bisa diterapkan pada masa pendaftaran bakal caleg yang telah
dibuka mulai 4 hingga 17 Juli 2018 yang lalu

Namun demikian, pedoman KPU itu tak sejalan dengan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu). Bawaslu mengklaim berpegang pada Undang-Undang nomor 7
tahun 2017, yang tidak mengatur soal larangan mantan napi korupsi maju sebagai
caleg.

Berbagai partai politik tetap mendaftarkan mantan koruptor sebagai calon


legislative dan Bawaslu pun meloloskan nama-nama tersebut.
Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan pihaknya tetap meloloskan
calon legislator mantan narapidana berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun
2017 tentang Pemilu. Pasal 76 undang-undang tersebut berbunyi:

1) Dalam hal peraturan KPU diduga bertentangan dengan Undang-Undang ini,


pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2) Bawaslu dan/atau pihak yang dirugikan atas berlakunya Peraturan KPU
berhak menjadi pemohon untuk mengajukan pengujian kepada Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3) Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
Peraturan KPU diundangkan
4) Mahkamah Agung memutuskan penyelesaian pengujian Peraturan KPU
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
permohonan diterima oleh Mahkamah Agung

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 6


5) Pengujian Peraturan KPU oleh Mahkamah Agung dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Akibat dari ditetapkannya peraturan, KPU digugat oleh salah satu caleg
mantan narapidana, yaitu Mohammad Taufik. Tak hanya peraturan mengenai
larangan caleg mantan narapidana korupsi, narkoba, dan kejahatan seksual
terhadap anak yang diabaikan, Taufik menilai KPU melanggar etika. Menurutnya
KPU harus menunggu putusan MA terkait yudisial review PKPU Nomor 20 tahun
2018 sebelum memberlakukan peraturan tersebut.

Namun, KPU tetap teguh dengan pendiriannya melarang mantan narapidana


menjadi calon legislative hal ini menjadi langkah KPU untuk menghasilkan caleg
yang benar-benar amanah dan bersih dari kejahata-kejahatan apalagi tindak
korupsi yang telah jelas-jelas mengkhianati bangsa ini. Pendapat KPU tersebut
sejalan dengan beberapa tokoh di Yogyakarta . Mereka mengajak seluruh pihak
untuk tidak serta-merta mengedepankan sisi hukum dalam persoalan ini.

Zawawi menyebut petuah yang dalam Bahasa Indonesia bermakna “walau


bagus perahunya, banyak dan kuat pendayungnya, tetapi jika bodoh nahkodanya,
tak mau aku jadi penumpang.” Menurutnya, itu adalah bukti bahwa budaya asli
Indonesia melarang memilih pemimpin yang tidak berintegritas

Mantan Hakim Agung MA yang paling ditakuti para koruptor, Dr Artidjo


Alkostar juga mengaku tidak bisa menerima mantan napi koruptor untuk
mencalonkan diri kembali dengan alasan hak asasi manusia. Alasan itu dibantah
sepenuhnya oleh Artidjo, karena sebenarnya para mantan napi koruptor itu telah
menggunakan hak asasinya pada kesempatan pertama. Dalam perjalanannya, dia
kemudian korupsi dan berkhianat kepada rakyat. Tindakan itu telah
menghilangkan haknya. Artidjo yakin pendapat itu dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis.

Sedangkan cendekiawan muslim Prof Azyumardi Azra berpendapat lebih


keras lagi. Menurutnya, mantan napi korupsi yang kembali menjadi calon anggota
legislatif akan merusak integritas Pemilu. Dia mengingatkan, integritas Pemilu
tidak hanya menyangkut hal-hal administratif seperti Daftar Pemilih Tetap atau
penyelenggara yang jujur, tetapi juga terkait calon-calonyang ditetapkan KPU.
Para calon itu, harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Polemik ini tak juga menemukan titik temu antara Bawaslu dengan KPU,
sehingga pada akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada MA untuk dilakukan
pengujian ulang materi mengenai aturan dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018
tersebut.

Pada tanggal 14 September 2018, Mahkamah Agung memutuskan gugatan


PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 7


anggota DPD dan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Percalonan Anggota
DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Juru bicara MA, Suhadi menjelaskan bahwa dalam putusannya MA


menyerahkan kembali pada Undang-Undang. MA menilai PKPU yang melarang
manatan narapidan narkoba, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, an mantan
koruptor menjadi caleg tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi,
yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sehingga dengan
putusan tersebut, MA memperbolehkan mantan koruptor menjadi caleg dengan
persyaratan-persyaratan tertentu. Berdasarkan, UU Pemilu, setiap orang yang
memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar
caleg setelah lima tahun menjalani masa tahanan dan dengan catatan harus
mengumumkannya pada publik tentang rekam jejaknya yang pernah menjadi
terpidana korupsi.

Komisi Pemilihan Umum menghargai hasil putusan MA tersebut. Sehingga,


KPU mempersilahkan kepada partai-partai politik yang ingin mendaftarkan
mantan koruptor sebagai caleg.

Dari data yang dihimpun KPU, ada 49 nama caleg eks koruptor yang terdiri
dari 40 caleg Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan 9 caleg Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Dari 40 caleg DPRD yang eks napi korupsi itu,
sebanyak 16 orang merupakan caleg untuk DPRD provinsi, dan 24 caleg untuk
DPRD kabupaten/kota. Dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019, ada 12 partai
yang terdapat eks koruptor dalam daftar calegnya.

Jika diurutkan, tiga partai yang paling banyak terdapat caleg eks koruptor
adalah Partai Golkar (8 caleg), Partai Gerindra (6 caleg), dan Partai Hanura (5
caleg). Sementara itu, tidak ditemukan caleg berstatus eks koruptor di empat
partai. Empat partai tersebut adalah PKB, Partai Nasdem, PPP, dan PSI. Selain
nama dan dapil caleg, kasus korupsi yang pernah menjerat caleg tersebut juga
akan dicantumkan.

Pada tanggal 19 Februari 2019 Komisi Pemilihan Umum (KPU)


menyampaikan ada 32 nama baru caleg eks koruptor pada Pemilu 2019. Jika
sebelumnya ada 49 daftar caleg yang diumumkan, berarti total terdapat 81 caleg,
baik DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun DPD yang mantan napi
koruptor.

Sebanyak 32 nama baru itu berasal dari 7 caleg DPRD provinsi dan 25 caleg
DPRD kabupaten/kota. Kemungkinan besar tidak akan ada lagi daftar tambahan
daftar eks korupsi.
Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi pasal 4 ayat 3 Peraturan
KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD
Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta uji materi Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26
Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 8


Pencalonan Anggota DPD. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan
mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan Undang-
Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Putusan tersebut berakibat pada
berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bakal caleg napi korupsi
menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan napi korupsi diperbolehkan
untuk maju sebagai calon wakil rakyat

B. Pandangan Masyarakat Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai


Calon Legislatif

Masyarakat merespons negatif terkait keputusan Mahkamah Agung (MA)


yang memperbolehkan mantan narapidana untuk maju sebagai calon wakil rakyat.
Sejumlah masyarakat tidak sepakat dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang
membatalkan Peraturan KPU tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi,
bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi calon anggota legislatif
(caleg) dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2019. Adanya putusan MA tersebut
dipastikan Caleg yang pernah tersangkut korupsi, bandar narkoba dan kejahatan
seksual terhadap anak tersebut boleh mencalonkan diri jadi Caleg.

Sebagaimana diketahui dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g tentang


Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j
Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait
larangan tersebut.

“Masa depan bangsa ini harus kita berikan pencerahan, bangsa kita ini berhak
untuk melihat masa depan negara kita ini lebih baik. Bebas dari korupsi. Jangan
dibebani lagi oleh orang-orang yang sebenarnya telah mengkhianati amanah
rakyat ini. Jadi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, seharusnya kita ini
bersifat zero toleransi terhadap korupsi. Bangsa kita ini bangsa besar dan didesain
untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur,” kata Artidjo Alkostar.

“Kalau Pemilu sudah rusak integritasnya, maka akan terjadi terus kasus-kasus
yang terjadi di DPRD itu. Maka perlu sekali caleg yang maju dilihat rekam jejak
dan integritasnya harus sudah teruji. Kalau mantan koruptor jadi caleg, Indonesia
tidak akan bersih secara moral. Kita mendukung Peraturan KPU, kalau tidak
Pemilu kita akan rusak, tidak berintegritas,” kata Azyumardi Azra.

Nanda, salah satu warga Kukar yang berprofesi sebagai pengusaha


mengatakan bahwa seharusnya tidak diperbolehkan lagi mantan narapidana
mecalonkan diri menjadi caleg ,apalagi mantan Koruptor yang mau diberi lagi
kesempatan untuk korupsi menilap uang rakyat. Menurut Nanda, keputusan MA
tersebut tidak berpihak pada semangat perjuangan dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Karena seharusnya koruptor yang sudah mencuri uang rakyat

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 9


dimiskinkan. Nanda beranggapan bahwa sama saja mau koruptor, Bandar
narkoba, dan pelaku pelecehan seksual, kejahatan berat yang seharusnya tidak
bisa diberi ruang lagi untuk menjadi wakil rakyat. Nanda juga melihat dengan
putusan MA ini tentunya akan memberikan semangat bagi pelaku kejahatan
tersebut untuk tetap berbuat dan tidak ada efek jera yang diberikan.

Namun ada juga warga lainnya yaitu Saparudin yang melihat siapapun di
Negara ini punya hak yang sama untuk bisa maju jadi Caleg, termasuk mantan
narapidana sendiri. "Kalau saya melihat siapapun boleh nyaleg, kalau dia mantan
koruptor dan kejahatan lain, itu masa lalu dia, dan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya nanti kan diawasi dan hukum tetap ada, "ujar Saparudin.

Stefany juga berpendapat, memperbolehkan mantan napi korupsi menjadi


calon wakil rakyat lagi menunjukkan sebuah kemunduran dalam dunia politik.
Walaupun kita punya hak untuk tidak memilihnya, tapi negara harusnya juga
punya hak untuk menolak mereka jadi calon wakil rakyat lagi. Kita enggak
kekurangan warga yang baik dan bersih kok untuk jadi wakil rakyat," sambung
dia. Ditemui dalam kesempatan berbeda,

Febriani (24), juga berpendapat, mantan napi korupsi tidak mempunyai hak
untuk mencalonkan diri menjadi calon wakil rakyat lagi. Ia menilai, keputusan
MA itu telah mencoreng dunia politik di Indonesia. "Kayak enggak ada warga lain
yang lebih bersih. Yang enggak korupsi saja masih susah benerin daerahnya dan
enggak menyerap aspirasi rakyat, apalagi yang korupsi. Enak banget ya sudah
korupsi, tapi masih bisa balik lagi," ujar Febri. "Apa fungsinya Surat Keterangan
Catatan Kepolisian (SKCK) buat ngelamar pekerjaan kalau yang jelas-jelas
korupsi masih bisa diterima lagi," sambung dia.

Fransiscus (27), warga lainnya menilai, keputusan MA itu telah membunuh


kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyatnya. Ia berpendapat, mantan napi
korupsi seharusnya diberikan sanksi sosial untuk memberikan efek jera. "Kalau
mereka masih boleh mencalonkan diri lagi, pasti bakal diikuti sama yang lain.
Gue saja mikir, kalau mereka saja bisa balik kerja di instansi pemerintah, ya sudah
mending korupsi saja karena bakal bisa balik kerja jadi wakil rakyat lagi kan,"
ungkap Fransiscus. Ia berharap, MA masih mau mengkaji ulang keputusan
tersebut sehingga masyarakat bisa lebih percaya pada kinerja pemerintah.

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 10


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Indonesia yang demokratis dan tahun 2019 yang merupakan tahun politik.
Banyak masyarakat yang mencalonkan dirinya menjadi anggota calon legislatif
begitu juga oleh mantan narapidana yang mencalonkan dirinya sebagai calon
legislatif yang membuat pro kontra antara KPU dan Bawaslu dimana KPU yang
telah menetapkan PKPU yang berisi melarang mantan narapidana korupsi,
kejahatan seksual, narkoba dan terorisme mengajukan diri sebagai calon
legislative akan tetapi hal ini bertentangan dengan Undang-undang pemilu Nomor
7 Tahun 2017 sehinggan mantan Napi pun masih di perbolehkan untuk maju
sebagi calon wakil rakyat. Disisi lain dari Masyarakat yang sebagian besar
beranggapan negative mengenai Mantan Narapidana yang maju sebagai wakil
rakyat. Sehingga dalam pemilihan umum nanti pilihan tetap di tangan masyarakat
yang seharusnya bisa lebih cerdas dalam memilih siapa yang akan menjadi
penyambung lidah mereka.

B. Saran

Diperbolehkannya mantan narapidana maju sebagai wakil rakyat, seharusnya


dari pihak KPU dan Bawaslu dapat lebih meningkatkan kembali informasi yang
mengenai bahwa si A merupakan mantan narapidana yang mencalokan diri
sebagai caleg kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat lebih cerdas dan
mempertimbangkan kembali pilihannya dan hal tersebut juga dapat menegakkan
keadilan di Indonesia bahwasanya seorang penghianat juga harus menerima
konsekuensinya bahwa dirinya diketahui oleh masyarakat adalah seorang mantan
narapidana. Seorang caleg tidak hanya harus memenuhi persyaratan administratif
tetapi juga harus memiliki moral dan integritas terhadap bangsa. Semua memang
memiliki hak untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif, termasuk
mantan narapidana korupsi. Akan tetapi, pertimbangan moral juga harus
diperhatikan . Hal ini demi terciptanya pemerintahan yang bersih, dan jauh dari
KKN. Tidak salah jika ingin memilih mantan narapida, namun harus dilihat
kembali rekam jejak serta perubahannya setelah masa tahanan. Semua pilihan ada
di tangan masyarakat itu sendiri. Masyarakat diharapkan untuk semakin cerdas
dalam menentukan pilihan

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 11


DAFTAR PUSTAKA

 Handar Subhani Bakhtiar, (2016) “Pengertian Narapidana dan Hak Hak


Nrapidana” diambil dari:
http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/pengertian-narapidana-dan-hak-
hak.html, Pada tanggal 24 Februari 2019
 Tribun Pekanbaru (2018) “Masyarakat lebih setuju mantan narapidana tidak
jadi caleg” diambil dari:
http://pekanbaru.tribunnews.com/2018/09/14/masyarakat-lebih-setuju-
mantan-narapidana-tidak-jadi-caleg, Pada tanggal 26 Februari 2019
 Kompas.Com (2018) “Mantan NAPI Korupsi Boleh Jadi Caleg, Apa
Tanggapan Warga?” diambil dari :
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/09/21/19011531/mantan-napi-
korupsi-boleh-jadi-caleg-apa-tanggapan-warga, Pada tanggal 26 Februari
2019
 Glery Lazuardi ,(2018) “KPU Resmi Terbitkan Larangan Mantan NAPI
Korupsi Daftar Jadi Caleg” diambil dari:
http://www.tribunnews.com/nasional/2018/07/01/kpu-resmi-terbitkan-larangan-
mantan-napi-korupsi-daftar-caleg. Pada tanggal 1 Maret 2019

“Mantan Narapidana Mencalonkan Diri Sebagai Calon Legislatif”| 12

Anda mungkin juga menyukai