Anda di halaman 1dari 107

GEOLOGI DAERAH BUNIGEULIS DAN SEKITARNYA, KECAMATAN HANTARA,

KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT.

PEMETAAN GEOLOGI LANJUT

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana pada program S-1
Teknik Geologi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran

Disusun oleh:

DHIKA DEWANTARA

270110140090

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : GEOLOGI DAERAH BUNIGEULIS DAN SEKITARNYA,


KECAMATAN HANTARA, KABUPATEN KUNINGAN,
PROVINSI JAWA BARAT

PENYUSUN: DHIKA DEWANTARA


270110140090

Telah disetujui dan disahkan sebagai Laporan Pemetaan Geologi Lanjut di


Jatinangor pada tanggal 14 Desember 2017.

Menyetujui,
Pembimbing Pendamping
Pembimbing Utama,

Bombom Rachmat Suganda ST.,MT. Dr. Cipta Endayana ST.,M.T


NIP. 197112142001121001 NIP. 197308281999031001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Jurusan Teknik Geologi
Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran,

Dr. Eng. H. Boy Yoseph Cahya Sunan Sakti Syah Alam, ST., MT.
NIP. 197310231998021
KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya untuk Allah SWT rabb pencipta alam semesta alam, karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya lah Laporan Pemetaan Geologi Lanjut dengan judul
“GEOLOGI DAERAH BUNIGEULIS DAN SEKITARNYA, KECAMATAN HANTARA,
KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salamm semoga senantiasa tercurah bagi suri tauladan umat manusia
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita semua pengikut seruannya.

Pemetaan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran mengenai studi
geologi dilapangan yang dilakukan dengan mengintegrasikan data lapangan dan hasil
analisis di studio maupun di laboratorium. Hal ini sangat penting terutama sebagai
modal awal bagi mahasiswa geoologi sebelum melangkah ke jenjang karir selanjutnya.

Saya mengucapkan terima kasih terutama kepada kedua orang tua Bapak dan Ibu
tercinta atas curahan doa dan kasih sayang yang terus menerus diberikan. Ucapan
terimakasih juga di sampaikan kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Vijaya Isnaniawardhani, M.T., Selaku Dekan Fakultas Teknik Geologi

Universitas Padjadjaran. Dan Bapak Dr. Eng. Boy Yoseph Cahya Sunan Syah

Alam, S.T., M.T., Selaku Ketua Program Studi S1 Teknik Geologi Universitas

Padjadjaran.

2. Bapak Bombom Rachmat Suganda ST.,MT. Selaku Pembimbing Satu dan Bapak

Dr. Cipta Endayana S.T,.M.T Selaku Pembimbing Dua yang telah membimbing

penulis dalam tahapan pengambilan data lapangan dan analisa data.

3. Seluruh dosen Fakultas Teknik Geologi, Staf Tata Usaha, Staf Akademik, Staf

Sarana – Prasarana, Staf perpustakaan serta seluruh karyawan di lingkungan

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran.

4. Masyarakat dan Perangkat Kecamatan Bunigeullis dan Sekitarnya atas bantuan

dan dukungannya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

i
5. Keluarga Tercinta, Ibu Aprilinda, Bapak Kolman ki Agung, dan Kakak Kandung

Licha Permata Amanda

6. Saudara seperjuangan Aditya Kusuma, Akbar Sujatmoko, Alvin Adam, Achmad

Raka, Benyamin Perwira, Dio Maghfi, Ferry Fandrian, Luthfi Zulkifli, M. Adinur

Patra, Achmad Raka, Riandi W, dan Rizki Satria atas dukungan moril, hiburan

malam, dan canda tawanya selama pelaksanaan penelitian.

7. Saudara Aditya Kusuma, Patra Pangestu, dan Muhammad Ghiffari yang telah

menemani penulis dalam tahap pengambilan data di lapangan.

8. Widyatri Pusparini yang telah memberikan dukungan moril dan menjadi tempat

berkeluh kesah penulis selama penyusunan laporan ini

9. Saudara/Saudari HMG angkatan 2014, Tor Wator Angkatan 2014, Naufal Dhia

dan Dwirizky Fazarullah, Fakultas Teknik Geologi yang telah banyak membantu

penulis melaksanakan penelitian ini. Terkhusus kepada teman – teman yang

telah merelakan waktunya menjadi panitia pemetaan geologi lanjut kali ini.

10. Seluruh individu maupun kelompok yang tidak bisa disebutkan, terimakasih atas

doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

Saya menyadari masih ada kekurangan dalam pelaksanaan penyusunaan laporan


Pemetaan Geologi Lanjut ini. Oleh karena itu, saya menerima saran, kritikan, dan
masukan untuk memperbaiki laporan Pemetaan Geologi Lanjut ini. Semoga laporan hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membaca.

Jatinangor, Desember 2017

Dhika Dewantara

270110140090

ii
ABSTRAK

Daerah penelitian secara geografis terletak pada koordinat 108° 33' 30" BT - 108° 36' 00"
BT dan 6° 53' 00" LS - 6° 56' 00" LS dan secara administratif daerah penelitian ini masuk
kedalam lima Desa yaitu Desa Bunigeulis, Desa Kalimati, Desa Suganangan dan Desa
Sukadana yang masuk kedalam Kecamatan Hantara, Kabupaten Kuningan, dan Desa
Sedong yang termasuk kedalam Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa
Barat. Daerah penelitian ini termasuk kedalam Peta RBI Lembar Ciawigebang (Lembar
No. 1309-211) dengan luas kurang lebih 25 km2.
Berdasarkan morfografi, morfometri, dan morfogenetik, geomorfologi daerah penelitian
dibagi menjadi tiga satuan, yaitu Satuan Datara Rendah Denudasional Sedimen Agak
Landai, Satuan Dataran Rendah Vulkanik Landai sampai Curam, dan Satuan Perbukitan
Rendah Vulkanik Landai sampai Curam. Berdasarkan karakteristik litologi, daerah
penelitian dari tua ke muda tersusun oleh Satuan Batulempung (Tmbl), Satuan Brekvsi
Vulkanik (Qbv), dan Satuan Tuff (Qt).

Sejarah geologi pada daerah penelitian dimulai dari Kala Miosen Akhir dimana terjadi
genang laut yang cukup tinggi sehingga membentuk lingkungan laut dalam (batial) dan
terendapan satuan batuanlempung (Tmbl).Lalu pada Holocen aktivitas vulkanik kembali
aktif hal ini menyebabkannya terendapkan dua satuan pada daerah penelitian,yaitu
satuan Breksi Vulkanik (Qbv) dan satuan Tuff (Qt). Proses eksogen yang terus
berlangsung sampai masa sekarang mengubah rupa bumi sehingga menjadi seperti
sekarang yang kita tahu.

Sumber daya geologi yang berpotensi berupa endapan alluvium sebagai bahan dasar
bangunan. Potensi kebencanaan yang mungkin terjadi adalah pergerakaan tanah.

Kata kunci: Pemetaan Geologi, Litologi, Bunigeulis, Kuningan.

iii
ABSTRACT

The research area is about 25 km2 geographicaly llies in the coordinate 108° 33' 30" BT -
108° 36' 00" BT and 6° 53' 00" LS - 6° 56' 00" LS and by administrative located in 5
different villages, Bunigeulis village,Suganangan Village, Sukadana Village, and Kalimati
Village which are include in Hantara Subdistrict,Kuningan District, and lastly Sedong
Village which is include in Sedong Subdistrict, Cirebon District, West Java Province.This
research area was part of digital map of Indonesia sheet number 1309-211 Ciawigebang
Sheet.

Based on morphography, morfometry, and morfogenetic, the geomorphology of


research area divided into four units, they are, Rather Slope Sediment Denudasional Low
Plain Unit, Slope to Steep Volcanic Low Plain Unit, and Rather Steep Volcanic Low Hills
Unit. Based on lithology characteristics, geology units from oldest to youngest are
Limestone Unit,Breccia Volcanic Unit, and Tuff Unit,

Geological history of research area was started on late Miocene, when the sea level was
high enough for forming bathyal zone and deposit limestone.Then as the time goes the
sea level slowly decreased as the environment became land,and the volcanic activity
started growing,then when the volcanic mountain erupted it made a breccia volcanic
depost and a tuff deposit.As the time goes eksogen process such as weathering and
erotion made the earth from as we know like today

Geological resources in this area is Alluvium deposit as a building material and potential
geological hazard in this area is landslide.

Keywords: Geological Mapping, lithology, Cikatomas, Tasikmalaya

iv
Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i

ABSTRAK ............................................................................................................................. iii

ABSTRACT ........................................................................................................................... iv

1 BAB I ............................................................................................................................ 1

1.1 Identifikasi dan Rumusan Masalah ..................................................................... 2

1.2 Maksud, Tujuan, dan Manfaat Penelitian ........................................................... 2

1.3 Metode Penelitian .............................................................................................. 4

1.3.1 Objek Penelitian .......................................................................................... 4

1.3.2 Alat-alat dan Perlengkapan ......................................................................... 5

1.3.3 Langkah - Langkah Penelitian ...................................................................... 8

1.3.4 Analisis Geomorfologi ............................................................................... 12

1.3.5 Analisis Stratigrafi ..................................................................................... 19

1.3.6 Analisis Geologi Struktur ........................................................................... 20

1.3.7 Analisis Sejarah Geologi ............................................................................ 23

1.3.8 Tahap Penyusunan Laporan ...................................................................... 23

1.4 Geografi Umum Daerah Penelitian ................................................................... 25

1.5 Waktu Penelitian ............................................................................................... 26

2 BAB II ......................................................................................................................... 28

2.1 Fisiografi Regional ............................................................................................. 28

2.2 Stratigrafi Regional ............................................................................................ 30

2.2.1 Formasi Pemali (Tmp) ............................................................................... 30

2.2.2 Formasi Halang (Tmph) ............................................................................. 31

2.2.3 Hasil Gunung Api Muda Ciremai ............................................................... 32


v
2.3 Aktivitas Tektonik Regional ............................................................................... 33

2.4 Geologi Sejarah Regional .................................................................................. 36

3 BAB III ........................................................................................................................ 39

3.1 Geomorfologi .................................................................................................... 39

3.1.1 Morfografi Daerah Penelitian ................................................................... 40

3.1.2 Morfometri Daerah Penelitian .................................................................. 46

3.1.3 Kelas Lereng .............................................................................................. 46

3.1.4 Elevasi ....................................................................................................... 48

3.1.5. Morfogenetik Daerah Pengarasan ............................................................ 48

3.1.6 Satuan Geomorfologi ................................................................................ 49

3.2. Stratigrafi .......................................................................................................... 53

3.2.1. Satuan Batulempung (Tmbl) ..................................................................... 53

3.2.2 Satuan Tuf ................................................................................................. 60

3.2.3 Satuan Breksi Vulkanik (Qbv) .................................................................... 62

3.3. Struktur Geologi ................................................................................................ 66

3.3.1. Kelurusan Punggungan dan Lembahan ..................................................... 67

3.4. Sejarah Geologi Daerah Penelitian ................................................................... 67

3.5. Sumber daya dan Kebencanaan Geologi .......................................................... 68

3.5.1. Potensi Sumber Daya Geologi ................................................................... 68

3.5.2. Potensi Kebencanaan Geologi .................................................................. 69

4. BAB IV ........................................................................................................................ 70

4.2. Satuan Geomorfologi ........................................................................................ 70

4.3. Satuan Batuan ................................................................................................... 70

4.4. Sejarah Geologi ................................................................................................. 71

4.5. Potensi dan Kebencanaan Geologi ................................................................... 71

vi
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 72

LAMPIRAN ......................................................................................................................... 74

vii
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Diagram Alur Penelitian ............................................................................... 24

Gambar 1.2 Peta Indeks Lokasi Penelitian....................................................................... 26

Gambar 1.3 Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 26

Gambar 2.1 Pembagian fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949). ............................ 28

Gambar 2.2 Peta Regional Lokasi Penelitian dan Kolom Stratigrafi ( Cipi Armandita, 2009.
modifikasi dari Kastowo dan Suwarna)............................................................................. 33

Gambar 2.3 Sistem sesar mendatar di Pulau Jawa berdasarkan konsep sesar ulir
(Wrenching Tectonic Conceps) dari Situmorang (1976). .................................................. 36

Gambar 3.1 Morfografi ketinggian daerah penelitian (ketinggian dalam mdpl) .............. 41

Gambar 3.2 Kelurusan punggungan pada peta DEM dan diagram roset kelurusan
punggungan ....................................................................................................................... 42

Gambar 3.3 Pola Pengaliran Sungai ................................................................................. 44

Gambar 3.4 Peta Morfometri ............................................................................................ 47

Gambar 3.5 Satuan Dataran Rendah ................................................................................. 50

Gambar 3.6 Satuan Dataran Rendah Pedalaman .............................................................. 51

Gambar 3.7 Satuan Perbukitan Rendah ............................................................................ 52

Gambar 3.8 Foto Singkapan Satuan Batulempung. (A) Singkapan batulempung masif
pada stasiun AE 19. (B) Foto dekat singkapan batulempung massif pada stasiun AE 19 56

Gambar 3.9 (A) Foto singkapan satupasir pada stasiun AE 18. (B) Foto dekat singkapan
batupasir pada stasiun AE 18 ............................................................................................ 58

Gambar 3.10 Foto singkapan satuan tuf pada stasiun AE-15 (A) Foto dekat singkapan
satuan tuff pada stasiun AE 15 .......................................................................................... 61

Gambar 3.11 Foto Singkapan Satuan Breksi Vulkanik pada stasiun AE 24 (A) Foto dekat
Singkapan Satuan Breksi Vulkanik pada Stasiun AE 24. ................................................. 65

Gambar 3.12 Kelurusan Punggungan ............................................................................... 67

Gambar 3.13 Endapan alluvium sebagai potensi geologi ................................................. 68


viii
Gambar 3.14 Titik longsor sebagai bukti potensi kebencanaan........................................ 69

ix
Daftar Table
Table 1.1 Pola Pengaliran Dasar dan Karakteristiknya (Howard, 1967) .......................... 15

Table 1.2 Pola Pengaliran Modifikasi dan Karakteristiknya (Howard, 1967) .................. 16

Table 1.3 Hubungan Kelas Relief dengan Kemiringan Lereng (Van Zuidam, 1985) ....... 17

Table 1.4 Simbol Satuan Geomorfologi Berdasarkan Aspek Genetik (Van Zuidam, 1985)
.......................................................................................................................................... 19

Table 1.5 Tabel Jadwal Kegiatan ...................................................................................... 27

Table 3.1 Pembagian Satuan Geomorfologi...................................................................... 49

Table 3.2 Kisaran umur relatif berdasarkan keterdapatan fosil foraminifera planktonik
pada stasiun AE 19............................................................................................................ 57

Table 3.3 Zona Batimetri berdasarkan keterdapatan foraminifera bentonik pada sampel
stasiun AE 19 .................................................................................................................... 58

Table 3.4 Korelasi regional satuan batulempung .............................................................. 59

Table 3.5 Korelasi regional satuan tuf .............................................................................. 62

Table 3.6 Korelasi regional satuan batupasir karbonatan .................................................. 66

x
1 BAB I

PENDAHULUAN

Geologi merupakan ilmu yang mempelajari material penyusun kerak bumi

serta proses-proses yang berlangsung mulai dari material tersebut terbentuk

hingga berubah menjadi material yang lainnya. Ilmu geologi ini secara umum

terbagi menjadi beberapa cabang mulai dari geomorfologi, paleontologi,

stratigrafi, sedimentologi, geologi panas bumi, geologi batubara, geologi teknik

dan lain sebagainya. Cabang ilmu tersebut pada dasarnya terbagi menjadi dua, ada

yang bersifat teoritis dan ada juga yang bersifat terapan yang nantinya dapat

dipergunakan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan

kehidupannya.

Geologi suatu daerah biasanya akan berbeda dengan daerah yang lainnya,

oleh karena itu pemetaan geologi diperlukan untuk mengetahui geologi suatu

daerah baik itu dari aspek litologi, struktur geologi, stratigrafi, hingga akhirnya

dapat mengetahui sejarah geologi dari daerah penelitian tersebut. Hasil dari

pemetaan geologi ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk mengetahui potensi yang

ada pada suatu daerah baik itu potensi kebencanaan maupun potensi ekonomi

yang dapat diambil.

Lokasi penelitian kali ini melingkupi tiga desa yang berada di Kabupaten

Kuningan dan sebagian di Kabupaten Cirebon yaitu Desa Bunigeulis, Desa

Kalimati, Desa Sukadana, dan Desa Sedong. Jika dilihat berdasarkan Peta

Geologi, ketiga desa ini termasuk kedalam Lembar Cirebon (Silitonga, P.H., Masria

and Suwarna, N., 1996) yang memiliki litologi beragam mulai dari Endapan
1
Vulkanik berupa Breksi dan tuff, serta ada juga batuan sedimen berupa batupasir

dan batulempung .

Oleh karena daerah penelitian memiliki litologi yang beragam, maka

pemetaan geologi secara lebih detail dibutuhkan untuk mengetahui keadaan

geologi baik itu aspek-aspeknya dan juga mengetahui potensi yang ada di daerah

penelitian, sehingga hasil dari pemetaan geologi ini nantinya dapat dipergunakan

untuk menjelaskan keadaan geologi daerah penelitian.

1.1 Identifikasi dan Rumusan Masalah

Permasalahan geologi yang ada pada daerah penelitian meliputi hal-hal

sebagai berikut:

1. Bagaimana keadaan geomorfologi dan proses-proses geologi apa saja yang

menyebabkan terbentuknya bentang alam tertentu di daerah penelitian?

2. Bagaimana jenis litologi, umur, lingkungan pengendapan, penyebaran,

serta hubungan stratigrafi (urutan susunan dan kedudukan posisi batuan)

dari lapisan-lapisan batuan yang ada di daerah penelitian?

3. apa saja struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian?

4. Bagaimana keadaan sejarah geologi yang berkembang di daerah

penelitian?

5. Bagaimana potensi kebencanaan serta sumberdaya yang ada di daerah

penelitian?

1.2 Maksud, Tujuan, dan Manfaat Penelitian

Secara umum, pemetaan geologi ini dilakukan untuk mengetahui keadaan

geologi dari berbagai aspek baik itu geomorfologi, stratigrafi, sedimentologi,

2
struktur geologi, dan aspek lainnya yang nantinya dapat digunakan masyarakat

sebagai bahan pembelajaran ataupun memenuhi kebutuhan kehidupan.

Adapun tujuan dari pemetaan geologi ini adalah untuk mengetahui:

1. Unsur-unsur geomorfologi beserta proses yang berlangsung hingga

nantinya dapat dilklasifikasikan menjadi beberapa satuan berdasarkan

aspek morfografi, morfometri, dan juga morfogenetiknya.

2. Jenis litologi yang nantinya digunakan untuk menjelaskan susunan

stratigrafi daerah penelitian hingga akhirnya jenis batuan tersebut

dikelompokkan menjadi satuan batuan berdasarkan satuan batuan tidak

resmi yang nantinya dapat dibandingkan dengan satuan batuan resmi yang

telah ada.

3. Mengetahui struktur geologi yang ada di daerah penelitian berdasakan

indikasi struktur yang ada di daerah penelitian.

4. Sejarah geologi daerah penelitian dengan menggabungkan seluruh aspek

yang telah diteliti seperti aspek litologi, geomorfologi, struktur geologi

dan lain sebagainya.

5. Potensi yang ada di daerah penelitian baik itu potensi kebencanaan

maupun potensi sumberdaya sehingga dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar.

Adapun manfaat dari dilakukannya pemetaan geologi ini adalah

mahasiswa dapat mengaplikasikan seluruh ilmu yang telah didapatkan selama

perkuliahan berlangsung sehingga dapat menggambarkan keadaan geologi daerah

penelitian sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

3
1.3 Metode Penelitian

1.3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini biasanya dapat berupa singkapan-singkapan batuan

yang tersingkap baik itu di tepi sungai, dasar sungai, tebing, dan juga tepi jalan.

Fenomena geologi yang ada ini nantinya di deskripsikan secara detail menjadi

data-data yang dikumpulkan untuk nantinya dapat dianalisis lebih lanjut hingga

didapatkan suatu kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.

Adapun secara rinci objek dalam pemetaan geologi ini antara lain:

1. Geomorfologi, objek ini nantinya digunakan untuk mengetahui proses

pembentukkan bentang alam serta dapat menjadi indikasi adanya struktur

pada daerah penelitian.

2. Batuan, objek ini nantinya dapat digunakan untuk menjelaskan

pembentukkannya serta perkembangan litologi pada suatu daerah.

3. Unsur Struktur Geologi, objek ini dapat dianalisis hingga mendapatkan

kesimpulan struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian beserta

perkembangannya.

4. Stratigrafi, aspek ini digunakan untuk memperlihatkan urutan

pembentukkan lapisan batuan dari yang tertua hingga termuda serta

menentukan lingkungan pengendapan dari lapisa-lapisan batuan tersebut.

5. Potensi sumberdaya serta kebencanaan yang didapatkan dari keadaan

geologi daerah penelitian secara keseluruhan.

4
1.3.2 Alat-alat dan Perlengkapan

1.3.2.1 Perlengkapan Lapangan

Beberapa perlengkapan lapangan yang digunakan untuk penelitian ini

antara lain:

1. Peta Dasar dengan skala 12.500, Peta Dasar ini didapatkan dari penyalinan

Peta Rupa Bumi Indonesia (Bakosurtanal) Lembar 1309-211

Ciawigebang.

2. Kompas Geologi, digunakan untuk mengetahui lokasi, azimuth, serta arah

jurus dan kemiringan dari perlapisan batuan.

3. Global Positioning system (GPS), digunakan untuk mengetahui posisi

didalam peta beserta jalur yang telah dilalui sebelumnya.

4. Palu Geologi, digunakan untuk mengambil sampel batuan yang akan

dianalisis lebih lanjut di laboratorium.

5. Pita Ukur, digunakan untuk mengukur jarak atau juga mengukur ketebalan

lapisan batuan di lapangan.

6. Buku Catatan Lapangan, digunakan untuk mencatat seluruh data yang

ditemukan dilapangan.

7. Lup, digunakan untuk memperbesar objek yang kecil seperti mineral, fosil,

butiran, dan sebagainya.

8. HCl 0,1 N, digunakan untuk melihat kandungan karbonat didalam batuan.

9. Komparator Batuan (Batuan Beku dan Batuan Sedimen), digunakan untuk

membantu menentukan pemerian nama batuan dan jenis mineral didalam

batuan.

5
10. Plastik Sampel, digunakan untuk membungkus contoh batuan yang telah

diambil untuk dianalisis lebih lanjut di laboratorium.

11. Kamera, digunakan untuk mengambil gambar singkapan dan juga

kenampakan geomorfologi.

12. Tas Lapangan, digunakan untuk membawa seluruh peralatan lapangan dan

juga sampel batuan yang telah diambil dilapangan.

13. Alat-alat tulis berupa:

a. Pensil, digunakan untuk membuat sketsa singkapan dan juga untuk

mencatat.

b. Pensil Warna, digunakan untuk memperjelas simbol batuan yang

ditemukan dilapangan.

c. Penghapus, untuk menghapus kesalahan penulisan pensil atau pensil

warna.

d. Mistar, digunakan untuk menggaris dan membantu plot lokasi didalam

Peta Dasar.

e. Busur Derajat, digunakan untuk mengukur besarnya azimuth didalam

peta.

f. Spidol Permanen, digunakan untuk menulis nomor contoh batuan

didalam plastik sampel.

g. Clipboard, digunakan untuk mempermudah mencatat data lapangan

dan pengukuran juras dan kemiringan perlapisan batuan di batuan yang

tidak rata.

6
1.3.2.2 Perlengkapan Laboratorium

Analisis Laboratorium yang dilakukan disini terbagi manjadi 2 yaitu

laboratorium paleontologi untuk menentukan umur relatif dari keterdapat fosil

didalam batuan, dan laboratorium petrologi untuk mengetahui jenis batuan hasil

dari pengamatan sayatan tipis dibawah mikroskop.

Untuk analisis paleontologi, alat-alat yang digunakan yaitu:

1. Alat Tulis

2. Mangkok Plastik dan Mangkok Alumunium

3. NaOH (3 - 4 butir)

4. Hidrogen peroksida ( ) 30%

5. Saringan Sedimen 30 Mesh dan 125 Mesh

6. Label

7. Oven Pemanas

8. Kantong sampel

9. Jarum dan Kuas

10. Preparat

11. Mikroskop

12. Buku Referensi

Untuk analisis petrografi batuan, alat-alat yang digunakan yaitu:

1. Alat Tulis

2. Mikroskop

3. Lembar Deskripsi

4. Chart Klasifikasi Batuan

7
1.3.3 Langkah - Langkah Penelitian

Secara garis besar pelaksanaan penelitian ini meliputi lima tahapan, yaitu :

1. Tahap Persiapan

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

3. Tahap Pekerjaan Laboratorium

4. Tahap Analisis Data

5. Tahap Penyusunan Laporan

1.3.3.1 Tahap Persiapan

Tahap persiapan dilakukan sebelum pekerjaan lapangan dilaksanakan.

Pada tahap ini, kegiatan lebih difokuskan kepada mencari informasi-informasi

mengenai daerah pemetaan yang berasal dari berbagai sumber referensi beserta

penelitian sebelumnya yang dapat berhubungan langsung dengan kondisi geologi

daerah penelitian. Adapun secara lebih jelas tahap persiapan ini meliputi hal-hal

sebagai berikut:

1. Studi pustaka yang dilakukan untuk mengetahui secara umum kondisi

geologi daerah penelitian yang diambil dari peneliti terdahulu yang

memiliki hubungan dengan daerah pemetaan baik itu sejarahnya, struktur

geologinya, maupun litologi batuannya.

2. Pembuatan Peta Dasar dengan cara digitasi atau penyalinan Peta Rupa

Bumi Indonesia (Bakosurtanal) Lembar Ciawigebang (Lembar

Bakosurtanal No. 1309-211) dengan menggunakan software mapinfo

hingga menghasilkan suatu Peta Dasar.

8
3. Perizinan dilakukan dengan membuat surat perizinan mulai dari

Universitas hingga ke pemerintah daerah tempat penelitian dilaksanakan.

4. Analisis Penginderaan jauh menggunakan DEM (Digital Elevation Model)

untuk mengetahui adanya indikasi struktur yang nantinya dapat membantu

menganalisis struktur geologi daerah penelitian.

5. Melakukan analisis geomorfologi meliputi aspek morfografi, morfometri,

dan morfogenetik menurut Van Zuidam (1975), serta pola pengaliran

menurut Howard (1976).

Dari persiapan tersebut maka nantinya akan dihasilkan beberapa aspek

penelitian seperti dihasilkannya Peta Dasar, Peta Geomorfologi Tentatif, Peta

Rencana Lintasan, serta gambaran awal dari laporan penelitian.

1.3.3.2 Tahap Pekerjaan Lapangan

Metode yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah metode orientasi

lapangan dimana dalam pelaksanaannya didukung dengan penggunaan GPS

(Global Positioning System). Metode ini merupakan metode dengan cara menarik

garis-garis terarah dari suatu titik pengamtan terhadap suatu objek yang dapat

dikenali di peta atau juga dapat dilakukan dengan mencocokkan bentang alam di

sekitar titik pengamatan, misalnya garis ketinggian, sungai, jembatan, gunung,

pemukiman, dan lain sebagainya. Adapun pengamatan yang dilakukan dilapangan

yaitu:

1. Pengamatan litologi batuan baik itu jenis serta karakteristik fisik dari

batuan tersebut di lapangan.

9
2. Pengamatan terhadap indikasi yang dapat menunjukkan adanya perubahan

litologi dan struktur geologi.

3. Pengukuran arah dan kemiringan lapisan batuan, serta pengukuran

ketebalan dan struktur yang ada didalam singkapan.

4. Pengambilan contoh batuan yang akan mewakili lapisan batuan untuk

dianalisis di laboratorium selanjutnya.

5. Penggambaran sketsa beserta pengambilan foto singkapan di lapangan.

Setelah data lapangan diambil selanjutnya data tersebut di plot sesuai

dengan jenis batuan yang ditemukan kedalam Peta Dasar yang telah disiapkan

sebelumnya.

1.3.3.3 Tahap Pekerjaan Laboratorium

Di dalam tahap pekerjaan laboratorium ini, contoh-contoh batuan yang

telah didapatkan dilapangan langsung dianalisis di laboratorium yang terbagi

menjadi dua yaitu analisis paleontologi dan analisis petrografi, berikut adalah

uraian analisis yang dilakukan di laboratorium.

1.3.3.3.1 Analisis Paleontologi

Analisis yang dilakukan di laboratorium paleontologi berupa analisis

kandungan fosil pada sampel batuan yang nantinya digunakan untuk mengetahui

umur relatif dari sampel serta lingkungan pengendapan dari sampel tersebut.

Adapun tahapan dalam analisis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menumbuk sampel batuan secukupnya sampai batuan tersebut halus sesuai

dengan ukuran butir batuannya, lalu sampel batuan tersebut dimasukkan

kedalam sampel plastik dan diberi label.

10
2. Selanjutnya masukkan 30% dan tiga sampai empat butir NaOH lalu

diaduk selama 15 menit kemudian diamkan lebih dari 3 jam.

3. Setelah selesai sampel tersebut dimasukkan kedalam saringan dan dicuci

hingga sampel terpisah sesuai ukuran butir dari saringan tersebut, hasil

dari cucian ini selanjutnya dimasukkan kedalam mangkuk alumunium dan

diberi label kembali.

4. Lalu mangkuk tersebut dimasukkan kedalam oven dan ditunggu

hingga sampel benar-benar kering, setelah itu sampel dimasukkan kedalam

plastik sampel kecil untuk selanjutnya di picking.

5. Kemudian sampel tersebut diperiksa dibawah mikroskop. Pertama-tama

pisahkan fosil yang ditemukan dari sedimen, lalu fosil yang telah

dipisahkan diidentifikasi namanya dengan menggunakan buku pedoman

atau dapat juga menggunakan kunci identifikasi (Tange chart, Blow 1969,

Postuma 1971 dan Bolli).

6. Terakhir kumpulan identifikasi fosil tersebut akan menunjukkan umur dan

lingkungan pengendapan dari sampel yang di analisis.

1.3.3.3.2 Analisis Petrografi

Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui jenis batuan dengan

pendekatan kuantitatif. Adapun langkah-langkah dalam analisis ini adalah sebagai

berikut:

1. Membuat sayatan tipis dari sampel lapangan.

2. Selanjutnya batuan yang telah disayat diamati dibawah mikroskop.

3. Lalu lakukan presentasi mineral penyusun sayatan batuan tersebut.

11
4. kemudian hasil presentasi tersebut dimasukkan kedalam diagram klasifikasi

batuan baik itu klasifikasi batuan sedimen menurut Pettijohn (1975), Travis

(1955), dan batugamping menurut Dunham (1962), serta Folks (1959). Sehingga

nantinya analisis tersebut menghasilkan pengelompokkan jenis batuan yang ada di

daerah penelitian.

1.4.3.4. Tahap Analisis Data

1.3.4 Analisis Geomorfologi

Analisis geomorfologi ini dilakukan sebelum ke lapangan yang hasilnya

berupa geomorfologi tentatif, dimana nantinya saat ke lapangan data

geomorfologi tentatif tersebut dibuktikan keberadaannya dilapangan, Analisis

geomorfologi yang dilakukan terbagi kedalam tiga aspek yaitu morfografi,

morfometri, dan juga morfogenetik yang mengacu pada pendekatan yang

dikembangkan Van Zuidam (1975).

1.3.4.1.1.1 Morfografi

Morfografi secara umum merupakan gambaran bentuk permukaan bumi

baik itu dataran, perbukitan, pegunungan, atau juga gunungapi, adapun selain hal

tersebut ada pula aspek lain dari morfografi seperti pola pengaliran, bentuk

lembah dan lain sebagainya. Aspek morfografi ini dapat dikenali di lapangan

dengan cara melihat secara langsung kondisi topografi dilapangan, bisa juga

melalui Peta Topografi dengan melihat kerapatan kontur pada peta, nantinya

pengamatan tersebut dapat dianalisis baik itu kemiringan lereng dan indikasi

adanya perubahan litologi di daerah penelitian. Sedangkan untuk pola pengaliran,

12
hal ini juga dapat mengindikasikan adanya kegiatan tektonik dilapangan dan

batuan yang ada dilapangan.

Howard (1967) membedakan pola pengaliran menjadi pola pengaliran

dasar dan pola pengaliran modifikasi. Definisi pola pengaliran yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1. Pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu

daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur

pengaliran tetap pengali. Biasanya pola pengaliran yang demikian disebut

sebagai pola pengaliran permanen (tetap).

2. Pola dasar adalah salah satu sifat yang terbaca dan dapat dipisahkan dari

pola dasar lainnya.

3. Perubahan (modifikasi) pola dasar adalah salah satu perbedaan yang

dibuat dari pola dasar setempat.

Berikut adalah pola pengaliran baik itu pola pengairan dasar maupun

modifikasi beserta karakteristiknya masing-masing:

POLA KARAKTERISTIK

PENGALIRAN

DASAR

DENDRITIK Perlapisan batuan sedimen relatif datar atau paket

batuan kristalin yang tidak seragam dan memiliki

ketahanan terhadap pelapukan. Secara regional daerah

aliran memiliki kemiringan landai, jenis pola pengaliran

13
membentuk percabangan menyebar seperti pohon

rindang.

PARALEL Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng

sedang sampai agak curam dan dapat ditemukan pula

pada daerah dengan bentuklahan perbukitan yang

memanjang. Sering terjadi pola peralihan antara pola

dendritik dengan pola parallel atau trellis. Bentuklahan

perbukitan yang memanjang dengan pola pengaliran

parallel mencerminkan perbukitan tersebut dipengaruhi

oleh perlipatan.

TRELLIS Batuan sedimen yang memiliki kemiringan perlapisan

(dip) atau terlipat, batuan vulkanik atau batuan

metasedimen derajat rendah dengan perbedaan

pelapukan yang jelas. Jenis pola pengaliran biasanya

berhadapan pada sisi sepanjang alisan subsekuen.

REKTANGULAR Kekar dan / sesar yang memiliki sudut kemiringan, tidak

memiliki perulangan lapisan batuan dan sering

memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus.

RADIAL Daerah vulkanik, kerucut (kubah) intrusi dan sisa – sisa

erosi. Pola pengaliran radial pada daerah vulkanik

disebut sebagai pola pengaliran multi radial.

14
Catatan: pola pengaliran radial memiliki dua system

yaitu system sentrifugal (menyebar ke luar dari titik

pusat), berarti bahwa daerah tersebut berbentuk kubah

atau kerucut, sedangkan system sentripetal (menyebar

kearah titik pusat) memiliki arti bahwa daerah tersebut

berbentuk cekungan.

ANNULAR Struktur kubah / kerucut, cekungan dan kemungkinan

retas (stocks)

MULTIBASINAL Endapan berupa gumuk hasil longsoran dengan

perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar,

merupakan daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan

gamping dan lelehan salju (permafrost)

Table 1.1 Pola Pengaliran Dasar dan Karakteristiknya (Howard, 1967)

POLA KARAKTERISTIK

PENGALIRAN

MODIFIKASI

SUB DENDRITIK Umumnya struktural

PINNATE Tekstur batuan halus dan mudah tererosi

ANASTOMATIK Dataran banjir, delta atau rawa

15
MENGANYAM Kipas alluvium dan delta

(DIKHOTOMIK)

SUB PARALEL Lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuklahan

perbukitan memanjang

KOLINER Kelurusan bentuklahan bermaterial halus dan beting

pasir

SUB TRALLIS Bentuklahan memanjang dan sejajar

DIREKSIONAL Homoklin landau seperti beting gisik

TRALLIS

TRALLIS Perlipatan memanjang

BERBELOK

TRALLIS SESAR Percabangan menyatu atau berpencar, sesar parallel

ANGULATE Kekar dan / atau sesar pada daerah miring

KARST Batugamping

Table 1.2 Pola Pengaliran Modifikasi dan Karakteristiknya (Howard, 1967)

1.3.4.1.1.2 Morfometri

Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap suatu bentuk lahan

dimana penilaian ini nantinya akan menjadi data pendukung morfografi maupun

morfogenetik. Morfometri ini dihubungkan dengan kemiringan lereng dimana

perhitungannya dimulai dengan pembuatan grid berukuran 2 x 2 cm, lalu setelah


16
itu ditarik garis yang tegak lurus garis kontur dan memotong seluruh kontur,

setelah itu hitung kemiringan lereng sesuai dengan rumus berikut beserta

klasifikasinya:

Dimana : s = Kemiringan lereng

n = Jumlah kontur yang terpotong garis

Ic = Interval kontur

dx = jarak datar

sp = Skala peta

Kemiringan Lereng %
Kelas Relief Beda Ketinggian (m)
o
()

Datar 0 – 2 (0o – 2o) <5

Sangat landau 3 – 7 (2o – 4o) 5 – 25

Landai 8 – 13 (4o – 8o) 25 – 75

Agak curam 14 – 20 (8o – 16o) 75 – 200

Curam 21 – 55 (16o – 35o) 200 – 500

Sangat curam 56 – 140 (35o – 55o) 500 – 1000

Terjal > 140 (> 55o) > 1000

Table 1.3 Hubungan Kelas Relief dengan Kemiringan Lereng (Van Zuidam, 1985)

17
1.3.4.1.1.3 Morfogenetik

Morfogenetik merupakan aspek geomorfologi yang berbicara mengenai

proses terbentuknya suatu bentang alam, dimana bentang alam sendiri dapat

terdiri dari daratan, perbukitan, pegunungan dan sebagainya yang dihasilkan dari

proses yang berbeda-beda. Pada dasarnya bumi ini memiliki dua proses utama

yaitu endogen yang berasal dari dalam bumi dan proses eksogen yang dipengaruhi

dari luar. Jika bentang alam ini dilihat dari genesis atau proses pembentukkannya

maka bentang alam ini dapat dibagi menjadi bentuk asal struktural, fluvial,

marine, karst, aeolian, karst, vulkanik, dan denudasional dimana setiap bentuk

lahan asal ini memiliki simbolnya masing-masing seperti yang digambarkan

berikut ini.

KELAS GENETIK SIMBOL WARNA WARNA

Bentuklahan asal struktural Ungu / violet

Bentuklahan asal gunungapi Merah

Bentuklahan asal denudasional Coklat

Bentuklahan asal laut (marine) Hijau

Bentuklahan asal sungai (fluvial) Biru tua

Bentuklahan asal glasial (es) Biru muda

Bentuklahan asal Aeolian (angin) Kuning

18
Bentuklahan asal karst (gamping) Jingga (orange)

Table 1.4 Simbol Satuan Geomorfologi Berdasarkan Aspek Genetik (Van Zuidam, 1985)

1.3.5 Analisis Stratigrafi

Saat pekerjaan lapangan dilaksanakan maka kegiatan menganalisis

stratigrafi dilakukan secara megaskopis yang dilihat dari adanya singkapan

batuan. Pembagian satuan batuan ini didasarkan oleh karakteristik fisik batuan,

keseragaman gejala litologi, dan posisi stratigrafi yang diamati dilapangan yang

merupakan pembagian satuan batuan secara tidak resmi (Sandi Stratigrafi

Indonesia, Pasal 15). Sedangkan untuk batas penyebaran satuannya harus

memenuhi persyaratan dari Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 pasal 17, yaitu:

1. Batas satuan lithostratigrafi adalah sentuhan antara dua satuan yang

memiliki ciri yang berbeda litologinya yang dapat dijadikan dasar dari

pembeda kedua satuan tersebut.

2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata, namun jika memang

perubahan yang terlihat secara berangsur atau tidak nyata, maka bidang

batas satuan diletakkan pada posisi yang diperkirakan.

3. Jika ditemukan satuan batuan yang perubahannya berangsur atau

menjemari maka satuan tersebut dapat menjadi satuan yang terpisah

tersendiri jika memenuhi persyaratan sandi.

19
4. Penyebaran satuan litostratigrafi ditandai oleh penyebaran lapisan sesuai

dengan ciri litologi yang menjadi pencirinya.

5. Jika dilihat secara praktis, suatu satuan litostratigrafi penyebarannya akan

dibatasi oleh batas cekungan pengendapan atau dapat pula oleh adanya

aspek geologi yang lainnya.

Satuan litostratigrafi ini nantinya diberi nama berdasarkan litologi yang

dominan didalam suatu satuan, pengamatan litologi yang dominan ini dilakukan

di lapangan secara megaskopis meliputi karakteristik fisik batuan yang nantinya

diurutkan berdasarkan umur yang didapatkan dari analisis fosil dan juga

berdasarkan kesebandingan yang mengacu kedalam geologi regional daerah

penelitian jika memang tidak ditemukan fosil didalam batuannya.

1.3.6 Analisis Geologi Struktur

Analisis Geologi struktur dilakukan dengan melihat keadaan topografi

terlebih dahulu seperti garis kontur, kelurusan sungai dan punggungan, pola

pengalirannya, dan lain sebagainya. Indikasi yang ditemukan nantinya

direkonstruksi bersama dengan pola jurus batuan untuk mengetahui janis, arah,

dan pola struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian. Adapun struktur

geologi secara umum terbagi kedalam 3 jenis yaitu:

1.3.6.1 Lipatan

Perlipatan merupakan salah satu hasil deformasi yang ada dipermukaan

bumi dimana lipatan sendiri memiliki arti yaitu:

1. Hill (1953) Lipatan merupakan pencerminan dari suatu lengkungan yang

mekanismenya disebabkan oleh dua proses, yaitu bending (melengkung)

20
dan buckling (melipat). Pada gejala buckling, gaya yang bekerja sejajar

dengan bidang perlapisan, sedangkan pada bending, gaya yang bekerja

tegak lurus terhadap bidang permukaan lapisan.

2. Billing (1960) Lipatan merupakan bentuk undulasi atau suatu gelombang

pada batuan permukaan.

3. Hob (1971) Lipatan akibat bending, terjadi apabila gaya penyebabnya agak

lurus terhadap bidang lapisan, sedangkan pada proses buckling, terjadi

apabila gaya penyebabnya sejajar dengan bidang lapisan. Selanjutnya

dikemukakan pula bahwa pada proses bucklingterjadi perubahan pola

keterikan batuan, dimana pada bagian puncak lipatan antiklin, berkembang

suatu rekahan yang disebabkan akibat adanya tegasan tensional (tarikan)

sedangkan pada bagian bawah bidang lapisan terjadi tegasan kompresi

yang menghasilkan Shear Joint. Kondisi ini akan terbalik pada sinklin.

4. Park (1980) Lipatan adalah suatu bentuk lengkungan (curve) dari suatu

bidang lapisan batuan.

Adapun secara umum lipatan sendiri dibagi kedalam dua jenis, jenis-jenis

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Antiklin: Lipatan dimana memiliki arah cembung ke atas, dimana jika

ditelusuri dari luar ke arah dalam lipatan akan menemukan umur batuan yang

lebih tua. Namun jika sebaliknya maka batuan telah mengalami pembalikkan dan

disebut sebagai synantiklin.

2. Sinklin: Lipatan dimana memiliki arah cekung ke atas, dimana jika ditelusuri

dari luar ke arah dalam lipatan maka akan menemukan umur batuan yang lebih

21
muda. Namun jika sebaliknya maka batuan telah mengalami pembalikkan dan

disebut antisynklin.

1.3.6.2 Kekar

Kekar merupakan suatu deformasi batuan dimana kekar ini memiliki

bentukkan berupa rekahan yang belum atau sedikit mengalami pergeseran

sepanjang bidangnya akibat adanya tekanan. Kekar ini biasanya memiliki ukuran

yang beragam mulai dari beberapa sentimeter hingga ratusan meter, oleh karena

ukurannya yang relatif kecil maka kekar relatif sulit untuk diamati karena

pembentukkannya yang dapat terjadi setiap waktu kejadian geologi. Pada saat

dilapangan kekar ini dapat diukur untuk menjadi data indikasi adanya suatu

struktur yang lebih besar seperti sesar.

1.3.6.3 Patahan

Patahan secara umum merupakan suatu rekahan yang telah mengalami

pergeseran yang berarti, sesar ini dapat dikenali dilapangan seperti adanya lipatan

seret (dragfold), offset litologi, kekar-kekar, cermin sesar, zona hancuran, mata air

panas, air terjun, dan lain sebagainya. Patahan ini memiliki klasifikasinya

tersendiri yang telah banyak dikemukakan oleh para ahli terdahulu, Menurut

Bilings (1990), ada tiga tahapan utama dalam menganalisis struktur geologi ,

yaitu:

1. Pertama-tama data litologi batuan berupa arah jurus dan kemiringan

perlapisan batuan di masukkan kedalam peta dasar untuk nantinya dilihat

batas penyebarannya.

22
2. Kedua ditentukan hubungan kronologis atau pembentukkan struktur

dengan stratigrafi yang berada didaerah penelitian.

3. Ketiga setelah struktur-struktur diketahui maka proses yang membentuk

struktur tersebut ditentukan mulai dari gaya-gaya yang bekerja dan gejala

geologi lainnya yang timbul saat pembentukkan struktur tersebut.

Terakhir seluruh data baik itu data litologi dan indikasi struktur dilapangan

di rekonstruksi untuk mengetahui pola struktur yang berkembang pada daerah

penelitian beserta gaya-gaya yang menyebabkan struktur tersebut terbentuk.

1.3.7 Analisis Sejarah Geologi

Sejarah geologi ini didapatkan dari hasil analisis seluruh data yang telah

diperoleh mulai dari stratigrafi, struktur geologi, dan juga geomorfologi dan juga

ditunjang dengan data peta geologi serta penampang stratigrafi terukur yang telah

diselesaikan dimana data-data tersebut selanjutnya disusun berdasarkan urutan

kejadian dan waktu, sehingga didapatkan suatu gambaran perubahan sedimentasi,

tektonik, dan juga erosi didaerah penelitian selama kurun waktu tertentu.

1.3.8 Tahap Penyusunan Laporan

Tahap penyusunan laporan merupakan tahap akhir dari penelitian ini.

Laporan ini dihasilkan dari seluruh kegiatan baik itu tahap persiapan, tahap

pekerjaan lapangan, tahap pekerjaan laboratorium, dan tahap analisis, adapun

laporan tersebut harus memberikan uraian rinci mengenai keadaan geologi daerah

setempat baik itu geomorfologi, stratigrafi, geologi struktur, sejarah geologi,

potensi serta kebencanaan geologi dan aspek lainnya yang berhubungan dengan

23
keadaan geologi daerah penelitian. jika tahapan-tahapan ini dibentuk menjadi

sebuah diagram alir maka berikut adalah tahapan-tahapan kegiatan penelitian ini.

Gambar 1.1 Diagram Alur Penelitian

24
1.4 Geografi Umum Daerah Penelitian

Daerah penelitian secara geografis terletak pada koordinat 108° 33' 30" BT

- 108° 36' 00" BT dan 6° 53' 00" LS - 6° 56' 00" LS dan secara administratif

daerah penelitian ini masuk kedalam lima Desa yaitu Desa Bunigeulis, Desa

Kalimati, Desa Suganangan dan Desa Sukadana yang masuk kedalam Kecamatan

Hantara,Kecamatan Hantara,Kabupaten Kuningan, dan Desa Sedong yang

termasuk kedalam Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat.

Daerah penelitian ini termasuk kedalam Peta RBI Lembar Ciawigebang (Lembar

No. 1309-211) dengan luas kurang lebih 25 km2.

Untuk mencapai daerah penelitian dapat menggunakan kendaraan roda 2

atau 4 dengan jalur melalui Nagreg yang memakan waktu kurang lebih 6 jam.

Selama penelitian berlangsung mobilisasi dilakukan dengan kendaraan roda 2 dan

dilanjutkan dengan berjalan kaki jika memang tidak memungkinkan untuk

menggunakan kendaraan. Sedangkan warga di daerah penelitian sebagian besar

dihuni oleh suku sunda yang beragama Islam dengan mata pencaharian utama

adalah petani dan pedagang, berikut adalah gambaran lokasi penelitiannya.

Lokasi Penelitian
25
Gambar 1.2 Peta Indeks Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian

Gambar 1.3 Peta Lokasi Penelitian

1.5 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Awal Agustus 2017 hingga Akhir

Oktober 2017 dimana penelitian ini terbagi-bagi menjadi beberapa tahap dimana

tahap pekerjaan lapangan dilaksanakan pada minggu ke 4 bulan Agustus 2017

hingga minggu ke 2 bulan September 2017. Adapun selama berkegiatan

dilapangan basecamp yang digunakan adalah salah satu rumah warga yang

terletak di Desa Sedong untuk mempermudah pelaksanaan penelitian ini. Berikut

adalah gambaran kegiatan dari pelaksanaan penelitian ini.

Tahap Jadwal Penelitian

Penelitian Juli Agustus September Oktober

Tahap

Persiapan dan

Perizinan

26
Tahap

Pekerjaan

Lapangan

Tahap

Pekerjaan

Laboratorium

Tahap Analisis

Data

Tahap

Pembuatan

Laporan dan

bimbingan

Table 1.5 Tabel Jadwal Kegiatan

27
2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Bogor, sebelum membahas

geologi daerah penelitian maka akan dibahas geologi regional yang meliputi fisiografi,

stratigrafi regional, dan struktur geologi regionalnya untuk mendapatkan gambaran

umum daerah penelitian.

2.1 Fisiografi Regional

Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi lima zona

jalur bentang alam fisiografi yang memanjang dari arah barat ke arah timur dan

berurutan dari arah utara ke arah selatan (Gambar 2.1).

Lokasi Penelitian

Gambar 2.1 Pembagian fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949).

28
1. Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta, membentang mulai dari Serang sampai

bagian timur Cirebon dengan lebar + 40 km. Terdiri atas endapan alluvial

(sungai dan pantai) serta endapan gunungapi kuarter (lahar dan piroklastik).

2. Zona Bogor, menyebar mulai dari Rangkasbitung sebelah barat melalui Bogor,

Purwakarta, Subang, Sumedang, dan berakhir di Bumiayu dengan lebar + 40

km. Zona ini merupakan jalur antiklinorium lapisan-lapisan berumur Neogen

yang terlipat kuat serta terintrusi secara intensif. Akibatnya terdapat endapan

hornblende, andesit piroksen dan diorite.

3. Zona Bandung, terletak di sebelah Selatan Zona Bogor, membentang dari

Teluk Pelabuhan Ratu sebelah barat melalui lembah Cimandiri ke arah

Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, dan lembah Citanduy. Merupakan puncak

dari geantiklin Jawa, terdiri dari kompleks gunungapi yang telah hancur selama

masa akhir Tersier.

4. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat, merupakan dataran tinggi dengan

puncak di sebelah selatan Bandung. Terletak memanjang dari Pelabuhan Ratu

sampai Pulau Nusakambangan di sebelah selatan Segara Anakan dengan lebar

+ 50 km menyempit hingga beberapa kilometer di sebelah timur. Pegunungan

Selatan seluruhnya merupakan sisi selatan geantiklin Jawa yang mengalami

masa pengerutan yang melandai ke selatan menuju Samudera Hindia.

5. Zona Pegunungan Bayah, terletak di Pantai Selatan Jawa Barat sebelah barat.

Selain lima Zona, tersebut Van Bemmelen (1949) menyebutkan keberadaan

Gunungapi Kuarter yang tersebar di bagian tengah Pulau Jawa, mulai dari

Gunung Gede, Tangkuban Perahu, Tampomas, Ciremai, dan Galunggung.

29
Berdasarkan pembagian zona fisiografi di Jawa Barat menurut Van Bemmelen

(1949) ini, maka daerah penelitian termasuk pada Zona Bogor yang merupakan

Antiklinorium.

2.2 Stratigrafi Regional

Stratigrafi regional memberikan gambaran umum beberapa formasi

batuan yang erat hubungannya dengan stratigrafi daerah penelitian dan diuraikan

dari satuan batuan tertua ke satuan batuan termuda. Stratigrafi daerah penelitian

menurut Kastowo dan N. Suwarna (1996) terdiri atas satuan batuan berumur

Miosen hingga Holosen. Stratigrafi daerah penelitian ini mulai dari umur tua ke

muda yaitu Formasi Pemali, Formasi Halang dan Hasil Gunung Api Muda

Ciremai.

Berikut akan diuraikan secara singkat tentang formasi-formasi yang

disebutkan di atas.

2.2.1 Formasi Pemali (Tmp)

Menurut Kastowo (1975) dan N. Suwarna (1996), Formasi Pemali terdiri dari

napal globigerina berwarna biru dan hijau keabuan, berlapis jelek-baik. Setempat

terdapat sisipan batupasir tufan, dan juga batugamping pasiran berwarna biru keabuan.

Struktur sedimen yang terdapat berupa perarian sejajar, silang-silur, perarian terpelintir,

dan gelembur gelombang. Umur formasi ini diperkirakan Miosen Awal dan memiliki

tebal lebih kurang 900 meter.

30
2.2.2 Formasi Halang (Tmph)

Tersusun atas perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan batupasir

gampingan, batugamping pasiran, breksi dan konglomerat. Batuan umumnya berwarna

kelabu -sampai kehijauan, berlapis baik, keras dan padat. Batupasir pada Formasi Halang

umumnya wacke, berbutir halus sampai kasar; tebal lapisan 5 sampai 20 cm. Breksi,

berkomponen andesit dengan ukuran 20 cm; kemas terbuka dan terpilah buruk; pere-

katnya pasir lempungan. Tebal lapisan mcncapai 2 m.

Menurut Hetzel (1935) dibagian atas Halang series terdapat sisipan

batugamping koral tidak berlapis. Bagian bawahnya berupa breksi andesitik,

konglomerat, dan tuff batuapung dengan sisipan batugamping abu-abu dan

batugamping napalan. Formasi Halang merupakan batuan sedimen yang

memperlihatkan sifat-sifat endapan turbidit dengan struktur sedimen yang jelas seperti

perlapisan bersusun, perarian sejajar, perarian terpelintir, tikas seruling, dan tikas beban

dengan ketebalan satuan mencapai 24000 meter dan menipis ke arah timur (Kastowo,

1996). Mengandung fosil Lepidocyclina sp. yang berumur Miosen Tengah bagian atas.

Menurut Kastowo (1996) umur Formasi Halang diduga Miosen Tengah-Pliosen Awal dan

formasi ini terletak selaras diatas Formasi Lawak (Kastowo, 1996)

Dalam formasi ini ditemukan fosil foraminifera, diantaranya fosil plankton

Orbulina universa D'ORBIGNY, Globigerinoidcs sacculifer BRADY, Globigerinoides

extremus BOLLI and BERMUDEZ, Globigerinoides obliquus BOLLI, Globigerinoides trilobus

REUSS, Globigerinoides immaturus LEROY, Globigerinoides ruber D'ORBIGNY, Hastigerina

acquilateralis BRADY, Globorotalia menardii D'ORBIGNY, Globorotalia cf. G. plesiotumida


31
BANNER and BLOW, Globoquadrina altispira CUSHMAN & JARVIS, Globorotalia

acostaensis BLOW, Pulleniatina primalis BANNER and BLOW, yang menunjukkan umur

Miosen Tengah sampai Pliosen (Sudijono dan Purnamaningsih, 1981 dalam Budhitrisna,

1986 ) dan diendapkan oleh arus keruh. Formasi ini terlampar luas di bagian timurlaut

dan tenggara lembar Majenang.

2.2.3 Hasil Gunung Api Muda Ciremai

Menurut Silitonga, P.H., Masria and Suwarna, N., 1996 formasi ini terdiri dari

litologi breksi, lahar, dan batupasir tufan. Dimana singkapan breksi masih padu

sedangkan singkapan batupasirtufan dan lahar telah melapuk menjadi pasir dan

pecahan pecahan lepas batuan beku. Pelapukan masih terus berlangsung sampai

sekarang sehingga menyebabkan tanah penutup berwarna kuning kemerahan atau

kecoklatan.

32
Gambar 2.2 Peta Regional Lokasi Penelitian dan Kolom Stratigrafi ( Cipi Armandita, 2009.

modifikasi dari Kastowo dan Suwarna)

2.3 Aktivitas Tektonik Regional

Menurut Van Bemmelen (1949), Jawa Barat telah mengalami 2 periode tektonik,

yaitu :

1. Periode Tektonik Intra Miosen. Pada periode ini, berlangsung pembentukan

geantiklin Jawa di bagian selatan yang menyebabkan timbulnya gaya-gaya ke arah

utara sehingga terbentuk struktur lipatan dan sesar yang berumur Miosen Tengah

dan terutama di bagian tengah dan utara pulau Jawa. Sejalan dengan itu berlangsung

pula terobosan intrusi dasit dan andesit hornblende.

2. Peride Tektonik Plio-Plistosen. Pada perode ini, terjadi proses perlipatan dan

pensesaran yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang mengarah ke utara dikarenakan

oleh turunnya bagian utara Zona Bandung, sehingga menekan Zona Bogor dengan

kuat. Tekanan ini menimbulkan struktur perlipatan dan sesar naik di bagian utara

33
Zona Bogor yang merupakan suatu zona memanjang antara Subang dan Gunung

Ciremai, zona sesar naik ini dikenal dengan Anjak Baribis.

Menurut Baumman (1973), Jawa Barat bagian baratdaya dibagi menjadi empat

fase tektonik, yaitu:

1. Fase Tektonik Oligo-Miosen. Pada fase ini terjadi proses pengangkatan di daerah

Pegunungan Selatan Jawa Barat, membentuk struktur yang berarah barat-timur.

Hasil kegiatan tektonik ini ditandai dengan adanya hubungan tidak selaras antara

Formasi Walat dan Formasi Jampang yang ada di atasnya. Dalam fase tektonik ini

aktivitas vulkanisma cukup kuat, hal ini ditandai dengan banyaknya endapan-

endapan yang mengandung material vulkanik.

2. Fase Tektonik Miosen Tengah. Pada fase ini terjadi suatu kegiatan tektonik yang

cukup besar. Pada bagian baratdaya Pulau Jawa mengalami pengangkatan dan

perlipatan yang selanjutnya diikuti oleh pembentukan sesar-sesar. Arah perlipatan

dan sesarnya barat-timur. Struktur yang terjadi ini mempengaruhi seluruh endapan

batuan berumur Miosen Awal.

3. Fase Tektonik Plio-Plistosen. Pada fase ini terjadi suatu kegiatan tektonik yang cukup

besar, yang terjadi pada kala Pliosen Atas sampai Plistosen Bawah. Fase ini

merupakan penyebab tejadinya beberapa wrench faults yang berarah timurlaut-

baratdaya dan memotong srtuktur-struktur yang ada, namun tidak diketahui dengan

pasti, apakah kegiatan tektonik ini terjadi hingga zaman Kuarter.

4. Fase Tektonik Kuarter. Pada fase ini terjadi bersamaan dengan kegiatan vulkanisma

Kuarter dan hampir seluruh kepulauan Indonesia terpengaruh oleh kegiatannya.

Aktivitas tektonik ini membentuk struktur-struktur yang aktif, yang sekarang berada

34
di Pegunungan Selatan Jawa Barat. Gerak tektonik pada fase ini diperkirakan jauh

lebih aktif dibandingkan fase sebelumnya.

Situmorang dkk (1976) dalam Nainggolan (2009) telah menyimpulkan

mengenai terjadinya sesar-sesar di Pulau Jawa berdasarkan konsep tektonik sesar

ulir (wrench fault tectonic concept), dimana arah sesar dan lipatan membentuk

suatu pola yang khas (Gambar 2.3). penyusun pola struktur tersebut didasarkan

pada pengukuran geologi permukaan dan bawah permukaan sehingga

menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

”Sistem rekahan meriditional atau pola struktur yang berorientasi barat

baratlaut – timurtenggara, disebabkan oleh gaya kompresi utara – selatan (U

14° T) yang terbentuk akibat pergerakan lempeng Benua Asia ke selatan

yang bertumbukan dengan lempeng Samudra Indonesia yang bergerak ke

utara pada Zaman Kapur Tengah. Disamping itu, terjadi pula sesar mendatar

(wrench fault) di bagian kanan dan kirinya yang membentuk sudut 45°

terhadap gaya kompresi. Oleh karenanya, Pulau Jawa dapat dibagi menjadi

tiga blok. Blok I memiliki kedudukan relatif tinggi dibandingkan dengan

Blok II dan III. Masing – masing blok dibatasi oleh pasangan sesar

mendatar yang berarah baratlaut – tenggara antara blok I dan III. Struktur –

struktur yang terjadi akibat gaya kompresi utama ini digolongkan kedalam

golongan orde II dan selanjutnya.”

35
Sesar Pelengkap Orde II
U ARAH TEKANAN UTAMA

SUMATERA
Dragfold Orde II 

 = 14
 = 35
Sesar Orde II
 = 10
Sesar Ut ama Orde I
Dragfold Orde II
Sesar Orde II

D U
U
II D
I
Sesar Orde III III
Sesar Orde II

Dragfold Orde III


Sesar Orde II
ARAH SUMBU LIPATAN UTAMA

Gambar 2.3 Sistem sesar mendatar di Pulau Jawa berdasarkan konsep sesar ulir

(Wrenching Tectonic Conceps) dari Situmorang (1976).

2.4 Geologi Sejarah Regional

Pembahasan geologi sejarah regional menyangkut evolusi yang berhubungan

deagan kegiatan tektonik dan sedimentasi. Hal ini sangat membantu dalam pembahasan

geologi daerah penelitian dalam hubungannya dengan kondisi geologi secara regional.

Soejono 1984, dalam Kastowo 1996 menyatakan bahwa evolusi geologi Jawa

Barat dimulai pada pra Eosen Awal, yaitu pada saat pengendapan kompleks batuan

melange di Ciletuh. Setelah itu sejarah geologi Jawa Barat dapat dijelaskan menjadi

delapan tahap evolusi sejak pra Eosen hingga Resen, sebagai berikut:

36
 Kala Kapur - Awal Eosen: dalam pandangan konsep tektonik lempeng, dinyatakan

bahwa pada Kala Kapur - Eosen Awal jalur magmatis utama meliputi daerah seluas

75 km.

 Kala Eosen Tengah: pada kala ini Gekungan Bogor mulai terbentuk dan merupakan

cekungan depan busur magmatis. Pengendapan di proto Cekungan Bogor ini

umumnya berupa endapan darat sampai endapan laut transisi, kondisi tektonik

pada kala ini adalah stabil, sehingga memungkinan pengayaan yang cukup lama

pada sedimen yang diendapkan.

 Kala Oligosen - Miosen: pada akhir Oligosen, pengangkatan yang aktif di Utara

mulai berkurang dan kemudian diikuti oleh penurunan sehingga Cekungan Bogor

berkembang lebih nyata.

 Kala Miosen Awal: pada kala Oligosen akhir terjadi jalur penunjaman baru yang

diikuti perpindahan jalur magma dari laut Jawa ke Selatan Jawa. Jalur magma baru

ini diperkirakan merupakan deretan gunungapi bawah laut dan merupakan sumber

endapan volkanik Formasi Jampang yang berumur Miosen awal. Pada awal Miosen

terbentuk suatu cekungan besar, yaitu cekungan belakang busur magmatis.

Cekungan ini dapat dianggap suatu perkembangan maksimal dari Cekungan Bogor.

Pada awal Miosen sifat sesarnya berupa sesar naik, dengan anjakan kearah utara.

Sistem sesar ini sesuai sekali dengan model jalur lipatan dalam model busur

kepulauan menurut tektonik lempeng.

 Kala Miosen Tengah: pada Miosen Tengah sebagian besar geologi Jawa Barat tidak

menunjukan perbedaan yang berarti dengan Miosen awal. Ciri endapannya

menunjukan kondisi lingkungan tektonik yang stabil.

37
 Kala Miosen Akhir: pada Miosen Tengah gerak tektonik dapat dikatakan jauh lebih

aktif dibandingkan kala sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan semakin besarnya

fragmen bentuk endapan Miosen Tengah. Pada kala ini gerakan sesar naik masih

merupakan gerakan yang dominan, meskipun demikian beberapa sesar turun yang

mengikuti pola lama masih juga terlihat.

 Kala Pliosen: pola tektonik pada Pliosen mengalarni perubahan yang penting dari

waktu sebelumnya. Busur magmatik yang pada kala Miosen berada di sebelah

Selatan pulau Jawa, pada permulaan kala Pliosen terutama pada akhir Pliosen

berpindah ke tengah Pulau Jawa. Perpindahan ini mengakibatkan status beberapa

cekungan di pulau Jawa berubah. Perubahan status ini menyebabkan aktifitas

tektoniknya juga berbeda dari sebelumnya.

 Kala Plistosen - Resen: pada Plistosen geologi pulau Jawa sudah sama dengan

geologi sekarang ini, pada awal Plistosen atau mungkin menerus sepanjang

Plistosen, seluruh Jawa Barat mengalami pengangkatan penting. Di bagian Selatan

Jawa, pengangkatan lebih sederhana, tanpa disertai dengan pensesaran dan

perlipatan yang berarti. Di bagian tengah pulau Jawa pengangkatan dan

pensesaran umumnya mengikuti pola lama. Sedangkan di bagian utara Pulau Jawa

terjadi sesar naik yang penting. Sesar ini dikenal sebagi sesar Baribis (Van

Bemmelen, 1949).

38
3 BAB III
HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan hasil penelitian lapangan di daerah

Bunigeulis dan sekitarnya, Kecamatan Hantara, Kabupaten Kuningan, Provinsi

Jawa Barat. Selain itu dipaparkan pula hasil penafsiran peta topografi dan citra

Digital Elevation Model (DEM), serta interpretasi data lapangan yang

didukung oleh hasil analisis laboratorium. Aspek-aspek geologi yang diteliti

adalah geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, sumberdaya,

dan kebencanaan geologi.

3.1 Geomorfologi

Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuk

permukaan bumi dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bumi itu

semenjak terbentuk hingga sekarang. Morfologi yang berkembang pada suatu

daerah sangat dipengaruhi oleh proses geologi yang berlangsung, salah satunya

adalah hasil dari aktivitas gaya endogen dan gaya eksogen. Proses–proses

tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya memberikan atau membentuk

ciri–ciri tersendiri bagi daerah tersebut.

Geomorfologi wilayah peneltian dapat menjadi salah satu indikasi kondisi

serta sejarah geologi suatu wilayah. Pada sub bab ini dibahas mengenai pola

pengaliran sungai yang berkembang, analisis citra DEM, gambaran bentuk

39
(morfografi), penilaian kuantitatif bentuk (morfometri), asal-usul atau proses

terjadinya bentuk (morfogenetik) serta satuan geomorfologi wilayah penelitian.

3.1.1 Morfografi Daerah Penelitian

3.1.1.1 Bentuk Lahan

Bentuk lahan wilayah Bunigeulis dan sekitarnya memperlihatkan bentukan

daerah yang dapat dibagi menjadi 4 jenis topografi berdasarkan klasifikasi Van

Zuidam (1985), yaitu dataran rendah, dataran rendah pedalaman, perbukitan

rendah, dan perbukitan. Bentuk lahan dataran rendah memiliki elevasi kurang

dari 50 mdpl yang berada di bagian timur daerah penelitian atau disepanjang

sungai Cijurey dengan persentase luas sebesar 35% yang memilki ciri khas

sungai yang lebar dan panjang. Bentuk lahan dataran rendah pedalaman

memiliki elevasi berkisar antara 50-100 mdpl yang berada di bagian utara,

barat, dan selatan daerah penelitian (memasuki Kecamatan Sedong) dengan

persentase luas sebesar 15% dengan ciri khas memiliki pola pengaliran sungai

trelis. Bentuk lahan perbukitan rendah memiliki elevasi berkisar antara 100-

200 mdpl yang berada di bagian utara, barat, dan selatan daerah penelitian

dengan persentase luas sebesar 30%. Bentuk lahan perbukitan memiliki elevasi

200-500 mdpl yang berada di bagian barat dan tenggara daerah penelitian

dengan persentase luas sebesar 20% dan ciri khas perbukitan memanjang dan

kontur yang rapat.

Perbukitan yang berada di bagian barat dan tenggara daerah penelitian

terpisahkan oleh dataran rendah atau lembahan dimana mengalir sungai utama

40
yaitu Sungai Cijurey, yang memiliki dua cabang sungai yaitu Sungai Cijurey

dan Sungai Cibatu. Ketiga sungai ini mengalir dari timur ke barat. Sungai

utama lainnya yaitu Sungai Ciheuleut di bagian baratlaut daerah penelitian

mengalir dari timur ke barat.

Perbukitan
Rendah

Dataran
rendah
Perbukitan

Dataran rendah
pedalaman

Gambar 3.1 Morfografi ketinggian daerah penelitian (ketinggian dalam mdpl)

3.1.1.2 Pola Punggungan

Pola-pola punggungan mencerminkan kekuatan (tenaga) yang

mengakibatkan terbentuknya pola punggungan. Kekuatan (tenaga) tersebut

berasal dari dalam bumi yang dikenal sebagai tenaga endogen, dapat berupa

kegiatan pengangkatan atau pensesaran.

41
Berdasarkan interpretasi kelurusan pungungan pada citra DEM ASTER,

tampak pola-pola punggungan yang berada di daerah penelitian relatif

berbentuk paralel (sejajar) dengan arah dominan baratlaut – tenggara. Arah

kelurusan punggungan ini dapat menjadi dasar untuk interpretasi arah gaya

yang membentuk daerah penelitian. Dapat diinterpretasikan bahwa wilayah ini

mengalami gaya dari arah baratlau - tenggara.

Gambar 3.2 Kelurusan punggungan pada peta DEM dan diagram roset kelurusan punggungan

42
3.1.1.3 Pola Pengaliran Sungai

Pola pengaliran sungai biasanya dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis,

dan ketebalan lapisan batuan, struktur geologi, jenis, dan kerapatan vegetasi

serta kondisi alam. Melalui analisis peta topografi dan kenampakan di

lapangan, pola pengaliran sungai daerah penelitian dapat diklasifikasikan

menggunakan klasifikasi pola pengaliran dasar dan modifikasi Howard (1967).

Daerah peneitian didominasi oleh pola aliran dendritik dan berkembang juga

pola aliran trelis.

Pola aliran dendritik terlihat di tenggara daerah penelitian termasuk

didalamnya sungai Cibadak dengan sungai intermitten-nya yang membentuk

pola dendritik. Pola aliran ini biasanya terjadi pada daerah dengan kemiringan

lereng landai, dimana bentuknya menyebar seperti percabangan pohon dengan

cabang-cabang tidak teratur serta memiliki arah dan sudut yang beragam.

Umumnya berkembang pada jenis batuan homogen, perlapisan batuan sedimen

relatif datar dan memiliki ketahanan terhadap pelapukan.

Dibagian barat daya dan barat laut berkembang pola aliran trelis yang

meliputi Sungai utama Sungai Cijuray, Sungai Cibatu, dan Sungai Ciheleut.

Umumnya pola aliran trelis terjadi pada daerah yang memiliki pengaruh

struktur dan terlipatkan kuat, dengan bentuk lahan bukit memanjang dengan

bentuk lembah V. Pola ini memiliki percabangan anak sungai yang hampir

tegak lurus dengan litologi yang berselang-seling antara yang lunak dan

resisten. Pola ini tersebar pada daerah berlitologi batupasir, batulempung,

konglomerat, dan juga tuf. Pola pengaliran ini berkembang pada daerah dengan
43
kemiringan lereng landai hingga agak curam yang memiliki bentuk lembah

hampir U.

Gambar 3.3 Pola Pengaliran Sungai

3.1.1.4 Kerapatan Kontur

Tingkat kerapatan kontur menggambarkan tingkat kecuraman pada bentuk

lahan di lapangan sebenarnya. Tingkat kerapatan kontur relatif di wilayah


44
Pengarasan dan sekitarnya dibagi menjadi tiga jenis diantaranya renggang,

sangat renggang, sedang, dan rapat. Bentuk lahan dataran memiliki tingkat

kerapatan kontur yang relatif renggang. Sedangkan Bentuk lahan perbukitan

memiliki tingkat kerapatan kontur yang bervariasi yaitu sedang-rapat.

3.1.1.5 Bentuk Lembah

Permukaan bumi yang tertoreh oleh air permukaan akan membentuk

lembah. Pada awalnya, torehan (erosi) yang terjadi berupa erosi permukaan

(sheet erosion), erosi parit (gully erosion), dan erosi lembah (valley erosion)

dan selanjutnya lembah sebagai penampung aliran air berkembang menjadi

sungai.

Pada daerah penelitian, bagian utara sampai timur laut didominasi oleh

lembah bentuk V tumpul. Jenis lembah ini terjadi pada daerah yang memiliki

lereng landai – agak curam, erosi vertikal (ke arah dasar lembah) berlangsung

lebih kuat dari erosi lateral yang disertai dengan erosi dibagian lereng lembah

dan akumulasi sedimen di dasar lembah.

Bagian barat daya sampai utara didominasi oleh lembah bentuk V tajam.

Jenis lembah ini terdiri pada saerah yang memiliki lereng agak curam – curam,

erosi vertikal ( ke arah dasar lembah) sangat kuat. Hal ini juga dipengaruhi oleh

tektonik, jenis batuan, dan iklim.

Bentuk lembah U terdapat pada lembah sugai-sungai besar seperti Sungai

Cijurey, Sungai Cibadak, dan Sungai Ciheuleut. Lembah berbentuk U terjadi

pada daerah-daerah yang relatif datar, erosi yang berlangsung cenderung ke


45
arah lateral (samping), dan erosi ke arah vertikal (ke arah dasar sungai) relatif

tidak berlangsung. Hal ini disebabkan oleh batuan yang berada di dasar sungai

lebih keras dari batuan yang berada di dinding sungai.

3.1.2 Morfometri Daerah Penelitian

3.1.3 Kelas Lereng

Berdasarkan perhitungan analisis morfometri yang dilakukan untuk

mengelompokkan daerah berdasarkan penentuan kemiringan lereng, digunakan

teknik grid cell 2x2 cm pada peta topografi 1:25000, sehingga diketahui bahwa

wilayah penelitian menggunakan klasifikasi Van Zuidam (1985), memiliki

lima kemiringan lereng, yaitu lereng datar, lereng sangat landai, lereng landai,

lereng agak curam, dan lereng curam

1. Pada klasifikasi bentuk lahan dengan kemiringan lereng curam sampai

terjal, sering terjadi erosi dan gerakan tanah dengan kecepatan yang

perlahan - lahan. Daerah rawan erosi dan longsor dengan kemiringan

lereng 30-70% (16o-35o) dan mempunyai perbedaaan tinggi sekitar ,,,

mendominasi di kavling pemetaan sekitar ,,, % dengan simbol warna

merah muda.

2. Pada klasifikasi bentuk lahan dengan kemiringan lereng agak curam,

daerah rawan terhadap bahaya longsor, erosi permukaan dan erosi alur.

Kemiringan lereng 15-30% (8o-16o) dengan simbol warna Kuning tua.

46
3. Pada klasifikasi bentuk lahan dengan kemiringan lereng landai, bila terjadi

longsor bergerak dengan kecepatan rendah dan sangat rawan terhadap

erosi. Kemiringan lereng 7-15% (4o-8o) dengan simbol warma kuning

muda.

4. Pada klasifikasi bentuk lahan dengan kemiringan lereng sangat landai, bila

terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, pengikisan dan erosi

akan meninggalkan bekas yang sangat dalam. Kemringan lereng 2-7% (20

- 40 ) dengan simbol warna hijau muda.

5. Pada klasifikasi bentuk lahan dengan kemiringan lereng landai, tidak ada

erosi yang besar, dapat diolah dengan mudah dalam kondisi kering.

Kemiringan lereng 0-2% (0o-2o).

Gambar 3.4 Peta Morfometri

47
3.1.4 Elevasi

Pada daerah penelitian, elevasi berkisar antara 51 - 262 mdpl. Daerah

terendah (51 mdpl) berada di bagian timur daerah penelitian dekat dengan Sungai

Cibadak. Daerah tertinggi (251 mdpl) berada di bagian tenggara daerah penelitian

yaitu di daerah Desa Sukadana.

3.1.5. Morfogenetik Daerah Pengarasan

Morfogenetik membahas aspek geomorfologi berdasarkan proses dan objek

penyusun morfologi suatu daerah. Morfogenetik berhubungan dengan kondisi

batuan penyusun, proses endogen dan eksogen yang mempengaruhi kondisi

bentang alam yang ada.

3.1.5.1 Proses Endogen

Proses endogen adalah proses yang terjadi dari dalam bumi dan bersifat

membangun. Pada daerah penelitian terdapat proses endogen berupa

vulkanisme. Proses vulkanisme terjadi akibat dari hasil aktivitas gunungapi yang

mempengaruhi kondisi morfologi daerah penelitian. Hal ini dapat dilihat dari

keberadaan endapan-endapan gunung api seperti tufa dan breksi vulkasnik yang

terdapat di daerah penelitian.

48
3.1.5.2 Proses Eksogen

Proses eksogen adalah proses yang berasal dari luar bumi yang

cenderung merusak. Morfologi yang dihasilkan dari proses eksogen sangat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan batuan penyusun. Contoh dari proses

eksogen adalah pelapukan dan erosi. Pada daerah penelitian proses eksogen

sangat dominan dan mempengaruhi kondisi morfologi yang ada. Hal ini terlihat

dari kondisi batuan yang relatif mengalami pelapukan sehingga sampai

berbentuk tanah.

3.1.6 Satuan Geomorfologi

Pembagian satuan geomorfologi didasarkan atas perbedaan bentuk lahan,

kelas lereng, dan genetiknya. Geomorfologi daerah penelitian

menunjukkanadanya beberapa variasi morfologi. Berdasarkan analisis

morfometri, morfografi, dan morfogenetik, serta struktur geologi yang

mengontrol, daerah penelitian terbagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu :

1. Satuan Dataran Rendah Denudasional Sedimen Agak Landai

2. Satuan Dataran Rendah Pedalaman Vulkanik Landai sampai Curam

3. Satuan Perbukitan Rendah Vulkanik Landai sampai Curam

Table 3.1 Pembagian Satuan Geomorfologi

49
3.1.6.1 Satuan Dataran Rendah Denudasional Sedimen Agak Landai

Penyebaran ini menepati sekitar 20% daerah penelitian yaitu dibagian

timur daerah penelitian. Satuan ini berada pada ketinggian diantara 50 – 100 mdpl

dengan ketinggian absolout < 50 mdpl, memiliki lembah yang berbentuk U karena

erosi lateral yang lebih dominan. Kemiringan lereng pada satuan ini berkisar

antara 2-4o, sehingga tergolong dalam kelas lereng Agak landai. Pola pengaliran

yang berkembang adalah dendritik dan trelis. Morfogenetik satuan ini disusun

oleh batuan sedimen berupa batulempung. Gaya endogen yang mempengaruhi

satuan ini tidak ada karena tidak ditemukannya bukti yang dapat mendukung

pernyataan tersebut dan gaya eksogen yang bekerja lebih dominan berupa

pelapukan dan erosi. Selain itu pemanfaatan daerah satuan ini sebagai pemukiman

dan persawahan ikut mempengaruhi bentuk morfografi satuan ini. Satuan ini

berada pada Sungai Cibadak dan Desa Kalimati.

Gambar 3.5 Satuan Dataran Rendah

50
3.1.6.2 Satuan Dataran Rendah Pedalaman Vulkanik Landai sampai

Curam

Penyebaran satuan ini menempati hampir 25% daerah penelitian yaitu bagian

timur laut sampai tengah daerah penelitian. Satuan ini berada pada ketinggian antara 50-

100 meter diatas permukaan laut dan memiliki bentuk lembah V-U, didominasi oleh erosi

vertikal dan beberapa daerah cenderung erosi lateral. Kemiringan lereng pada satuan ini

berkisar antara 4-8o, sehingga tergolong dalam kelas lereng landai. Pola pengaliran yang

berkembang pada satuan geomorfologi ini adalah trelis. Morfogenetik satuan ini disusun

oleh batuan vulkanik berupa tuff dan breksi vulkanik. Gaya endogen yang mempengaruhi

satuan ini berupa vulkanik dan gaya eksogen yang bekerja lebih dominan adalah

pelapukan dan erosi. Selain itu pemanfaatan daerah satuan ini adalah sebagai pemukiman,

sawah, dan perkebunan. Satuan ini berada di daerah sekitar Desa Kalimati dan Desa

Suganangan.

Gambar 3.6 Satuan Dataran Rendah Pedalaman

51
3.1.6.3 Satuan Perbukitan Rendah Vulkanik Landai sampai Curam

Penyebaran satuan ini menempati hampir 55% daerah penelitian yaitu bagian

baratdaya, barat, dan barat laut daerah penelitian. Satuan ini berada pada ketinggian

antara 100-200 meter diatas permukaan laut dan memiliki bentuk lembah V-U,

didominasi oleh erosi vertikal dan beberapa daerah cenderung erosi lateral. Kemiringan

lereng pada satuan ini berkisar antara 4-8%, sehingga tergolong dalam kelas lereng agak

curam. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah trelis. Morfogenetik

satuan ini disusun oleh batuan vulkanik berupa tuff dan breksi vulkanik. Gaya endogen

yang mempengaruhi satuan ini berupa aktivitas vulkanik dan gaya eksogen yang bekerja

adalah pelapukan dan erosi. Selain itu pemanfaatan daerah satuan ini adalah sebagai

perkebunan. Satuan ini berada di daerah sekitar Desa Sedong Lor, Desa Bunigeulis, Desa

Sukadana.

Gambar 3.7 Satuan Perbukitan Rendah

52
3.2. Stratigrafi

Pengelompokan batuan pada derah penelitian berdasarkan litostratigrafi

menggunakan tata nama satuan litostratigrafi tidak resmi (Sandi Stratigrafi Indonesia,

1996), yang bersendikan atas ciri litologi, keseragaman gejala litologi, dan gejala lain

dalam tubuh batuan, sehingga pemberian nama satuan batuan ditentukan oleh batuan utama

sebagai penyusun yang paling dominan menempati keseluruhan strata. Penentuan

kedudukan stratigrafinya didasarkan kepada prinsip-prinsip stratigrafi seperti aplikasi asas

pemotongan dan hukum superposisi, yaitu suatu urutan pengendapan yang tertua terletak

lebih bawah dari satuan yang lebih muda (apabila lapisan batuan masih normal atau belum

mengalami pembalikan) dan analisis paleontologi untuk memanfaatkan kandungan fosil

dalam penentuan umur relatif batuan.

Berdasarkan hal yang disebutkan diatas, maka penulis membagi daerah penelitian

menjadi lima satuan batuan sedimen dan piroklastik. Urutan satuan batuan dari yang paling

tua hingga satuan batuan yang paling muda, yaitu :

1. Satuan batulempung (Tmbl)

2. Satuan tuf (Qt)

3. Satuan breksi vulkanik (Qbv)

3.2.1. Satuan Batulempung (Tmbl)

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 20% pada bagian timur daerah

penelitian, memanjang dari bagian timurmenuju bagian tengah daerah penelitian.

Singkapan pada satuan ini tersingkap pada desa kalimati.

3.2.1.1 Karakteristik Litologi

Satuan ini terdiri atas batulempung masif. Berdasarkan deskripsi megaskopis,

batulempung memiliki warna lapuk abu-abu kecoklatan dan warna segar abu-abu, dengan
53
sifat karbonatan, struktur sedimen massif, dan kekerasan getas Analisis petrografi pada

sampel stasiun AE 19 menunjukkan batulempung tersusun dari Mineral Opak (10%) dan

matriks (90%),dimana matriks memiliki deskripsi petrografi Warna kecokelatan (//nicol)

, bentuk anhedral, relief sedang, pleokroisme sedang, warna interferensi putih

kecokelatan orde-1, nmineral > nmedium . Berdasarkan hasil tersebut batulempung ini

termasuk dalam jenis Mud stone (Pettijohn, 1975).

Batupasir pada satuan ini secara megaskopis memiliki karakteristik warna segar coklat

warna lapuk coklat keputihan, ukuran butir pasir halus hingga sedang, bentuk butir

menyudut tanggung – membundar tanggung, pemilahan buruk, kemas terbuka. Memiliki

struktur sedimen masif, dapat diremas, tidak karbonatan. Analisis petrografi pada sampel

stasiun AE 18 menunjukkan Sayatan berwarna putih kecoklatan (// nicol), dengan

semen batulempung, grain morfologi sperical, memiliki fabric grain supported,

dan sortasi poorly sorted. Batuan tersebut memiliki matriks sebanyak 8% dan

54
komponen 92%. Komponen terdiri dari mineral sebanyak 25% dan rock fragmen

67%. Mineral terdiri dari plagioklas, k – feldspar, piroksen, dan kuarsa.

Nama Batuan: Lithic Arenite (Pettijohn,1975)

55
A

Gambar 3.8 Foto Singkapan Satuan Batulempung. (A) Singkapan batulempung masif pada stasiun AE 19.

(B) Foto dekat singkapan batulempung massif pada stasiun AE 19

3.2.1.2 Ketebalan

Ketebalan litologi batulempung pada setiap singkapan bervariasi, berkisar antara

45 cm hingga 2m.

3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Berdasarkan posisi stratigrafi, satuan batulempung ini berada dibagian paling

bawah dari satuan lainnya pada daerah penelitian, sehingga satuan batulempung memiliki

umur yang relatif paling tua.

56
Analisis fosil satuan ini dilakukan berdasarkan keterdapatan foraminifera

planktonik yang mengacu pada klasifikasi Bolli dan Saunders (1985). Analisis fosil

dilakukan pada sampel stasiun batulempung AE 18 (bottom) dan batupasir AE 19 (top).

Pada hasil analisis fosil stasiun AE 19 menunjukkan umur relatif miosen akhir (N17),

yang ditandai dengan awal kemunculan Globorotalia multicamerata CUSHMAN &

JARVIN & Globorotalia dutertei D’ORBIGNY serta ditandai dengan hilangnya

Globigerinoides obliquus BOLLI (Tabel 3.2). Dan pada sample AE 18 menunjukan umur

relatif N 18 – N 19

Table 3.2 Kisaran umur relatif berdasarkan keterdapatan fosil foraminifera planktonik pada stasiun AE 19.

57
A

Gambar 3.9 (A) Foto singkapan satupasir pada stasiun AE 18. (B) Foto dekat singkapan batupasir pada

stasiun AE 18

Penentuan lingkungan pengendapan satuan ini berdasarkan analisis keterdapatan

fosil foraminifera bentonik pada Stasisun AE 19. Hasil analisis foraminifera bentonik

yang menunjukkan zona batimetri litoral hingga neritik dalam (Tabel 3.4).

Neritik Batial
Litoral Abisal
Nama Foraminifera Dalam Tengah Luar Atas Tengah Bawah
0 -20 -50 -100 -200 -600 -1000 -2000 -5000
Hoeglandulina elegans
Nuttalides bradyi
Siphotextularia flintii

Table 3.3 Zona Batimetri berdasarkan keterdapatan foraminifera bentonik pada sampel stasiun AE 19

58
3.2.1.4 Korelasi Regional

Berdasarkan umur dan formasi stratigrafinya, satuan batulempung dapat

dikorelasikan dengan Formasi Kalibiuk (Tpb) menurut Kastowo dan Suwarna (1996).

Korelasi antara satuan batulempung dan Formasi Tpb dapat dilihat pada tabel 3.5

Anggota Muda Gunung

Aspek Korelasi Satuan Batulempung (Tmbl) Api Ciremai (Kastowo

dan Suwarna, 1996)

Litologi Satuan ini terdiri atas batulempung Bagian bawah tersusun

masif, batupasir, batugamping, dari batulempung dan

batulempung sisipan batugamping, napal biru fosilan, bagian

batulempung sisipan batupasir, dan tengah mengandung lensa

batupasir sisipan batulempung. batupasir hijau,

sedangkan bagian atas

terlihat banyak sisipan

tipis batupasir.

Umur Miocene Akhir (N17) Miocene

Lingkungan
Batial atas sampai tengah Batial Atas
Pengendapan

Table 3.4 Korelasi regional satuan batulempung

59
3.2.2 Satuan Tuf

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 25% pada timur laut dan barat daya

daerah penelitian. Singkapan pada satuan ini tersingkap baik sekitar Desa Karangwuni

dan Desa Sukaraja

3.2.2.1 Karakteristik Litologi

Berdasarkan deskripsi megaskopis, tuf memilki karakteristik warna segar

putih kecoklatan dan warna lapuk abu abu kecoklatan, ukuran butir ash halus

(1/16), bentuk butir membundar, pemilahan baik, kemas terbuka, struktur masif,

dan kekompakan getas Analisis petrografi pada sampel stasiun AE 15

menunjukkan sayatan berwarna putih keabuan (// nicol), dengan grain supported

dan sortasi buruk. Batuan tersebut terdiri dari matriks 30% dan fragmen 70%.

Fragmen batuan tersebut terdiri dari Kristal 58%, lithic 5%, dan gelas 7%.

Berdasarkan hasil analisis petrografi batuan ini bernama Crystal Tuff (Schmid,

1981).

Nama Batuan: Crystal Tuff (Schmid,1981)

60
A

Gambar 3.10 Foto singkapan satuan tuf pada stasiun AE-15 (A) Foto dekat singkapan satuan tuff pada

stasiun AE 15

3.2.2.2 Ketebalan

Ketebalan litologi tuf bervariasi berkisar antara 30 cm hingga 2.5 m.

3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Dalam menentukan umur dan lingkungan pengendapan,penulis menggunakan

pendekatan kesebandingan dengan geologi regional (Silitonga, P.H., Masria and

Suwarna, N., 1996) yang masuk kedalam Anggota Muda Gunung Api

Ciremai.Berdasarkan pendekatan kesebandingan dengan geologi regional menunjukan

bahwa satuan ini memiliki umur Kuarter (Holocene) dan lingkungan pengendapan

Daratan (Subaerial)

61
3.2.2.4 Korelasi Regional

Anggota Muda Gunung

Api Ciremai (Silitonga,


Aspek Korelasi Satuan Tuf (Qt)
P.H., Masria and

Suwarna, N., 1996)

Litologi Satuan ini terdiri dari batupasir, Tuf kelabu muda,

konglomerat, batupasir sisipan batupasir tufan, sisipan

konglomerat, dan perselingan konglomerat, serta lapisan

batupasir dan konglomerat andesitik. tipis pasir magnetit.

Umur Kuarter Holocene

Lingkungan
Daratan Subaerial
Pengendapan

Table 3.5 Korelasi regional satuan tuf

3.2.3 Satuan Breksi Vulkanik (Qbv)

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 55% pada bagian utara, barat, dan

selatan daerah penelitian. Singkapan ini tersingkap di daerah G. Mengger.

3.2.3.1.1 Karakteristik Litologi

Secara megaskopis breksi vulkanik ini memiliki sifat monomik dengan warna

segar coklat tua dan warna lapuk hitam.Dengan matriks supported berupa

tuff,memiliki sortasi buruk , kemas terbuka, bentuk butir menyudut tanggung –

membundar tanggung . Dan komposisi komponen berupa batuan beku andesit,

dengan mineral hipidiomorf, derajat kristalisasi holokristalin, dan granulitas

porfiritik.
62
Analisis petrografi pada sample stasiun AE 24 menunjukan breki vulkanik

dengan matriks berwarna putih keabuan ( // nicol) dengan fabric matriks

supported dan sortasi buruk. Dengan persentasi matriks 60%, dan fragmen 40%.

Fragmen batuan tersebut terdiri dari kuarsa 8%, lithic 17%, dan gelas 10%,

matriks breksi vulkanik ini bernama lithic tuff ( Schmid,1981 ). Dengan

komponen berwarna putih keabuan ( // nicol ) dengan bentuk umum dari mineral

hipidiomorf, memiliki kristal inequigranular dengan crystalinity holokristalin dan

granulitas porfiritik. Batuan tersebut memilik fenokris sebanyak 45% yang terdiri

dari mineral plagioklas, k-feldspar, piroksen, dan kuarsa. Memiliki massa dasar

sebanyak 55% yang terdiri dari mikrokristaline plagioklas, komponen ini bernama

Batuan Beku Andesit ( Streickeisen, 1978 )

Nama Batuan: Lithic Tuff (Schmid,1981)

63
Nama Batuan: Batuan Beku Andesit (Streickeisen, 1978)

64
A

Gambar 3.11 Foto Singkapan Satuan Breksi Vulkanik pada stasiun AE 24 (A) Foto dekat Singkapan Satuan

Breksi Vulkanik pada Stasiun AE 24.

3.2.3.2 Ketebalan

Ketebalan litologi lapisan batupasir pada singkapan bervariasi antara 45 cm

hingga 2,11 m, ketebalan litologi batulempung berkisar antara 55 cm hingga 2.5 m.

3.2.3.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Dalam menentukan umur dan lingkungan pengendapan,penulis menggunakan

pendekatan kesebandingan dengan geologi regional (Silitonga, P.H., Masria and

Suwarna, N., 1996) yang masuk kedalam Anggota Muda Gunung Api

Ciremai.Berdasarkan pendekatan kesebandingan dengan geologi regional menunjukan

bahwa satuan ini memiliki umur Kuarter (Holocene) dan lingkungan pengendapan

Daratan (Subaerial)
65
3.2.3.4 Korelasi Regional

Formasi Gintung

Aspek Korelasi Satuan Breksi Vulkanik (Qbv) (Silitonga, P.H., Masria

and Suwarna, N., 1996)

Litologi Satuan ini terdiri dari batupasir, Perselingan konglomerat

konglomerat, batupasir sisipan bersusunan andesit

konglomerat, dan perselingan dengan batupsair kelabu

batupasir dan konglomerat andesitik. kehijauan, batulempung

pasiran dan batulempung.

Umur Kuarter Holocene

Lingkungan
Daratan Subaerial
Pengendapan

Table 3.6 Korelasi regional satuan batupasir karbonatan

3.3. Struktur Geologi

Di daerah penilitian penulis tidak terdapat adanya data geologi struktur,

sehingga penulis menggunakan analisis kelurusan punggungan dan lembahan

menggunakan Citra Aster Global DEM v2 , guna untuk mengetahui arah tegasan

yang terdapat pada lokasi penelitian.

66
3.3.1. Kelurusan Punggungan dan Lembahan

Berdasarkan hasil analisa penarikan punggungan dan lembahan pada Citra Aster

Global DEM v2,dihasilkan arah tegasan baratdaya - tenggara dilihat dari diagram

rosset yang dihasilkan.

Gambar 3.12 Kelurusan Punggungan

3.4. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Sejarah geologi pada daerah penelitian ini dimulai pada miosen akhir

dimana terendapkan batulempung karbonatan dimana terendapkan pada

lingkungan pengendapan batial atas sampai tengah,hal ini di dukung oleh data

analisa fossil foraminifera planktonik untuk umur dan foraminifera bentonik

untuk lingkungan pengendapan.

67
Lalu dilanjutkan pada zaman kuarter dimana terendapkan breksi vulkanik

dan tuffan hasil letusan gunung api ciremai yang termasuk dalam anggota muda

gunung api ciremai (Silitonga, P.H., Masria and Suwarna, N., 1996)

3.5. Sumber daya dan Kebencanaan Geologi

Pada bagian ini akan dijelaskan potensi sumber daya alam dan kebencanaan

geologi daerah penelitian berdasarkan hasil pemetaan geologi daerah setempat.

3.5.1. Potensi Sumber Daya Geologi

Berdasarkan kondisi geologi daerah penelitian, terdapat beberapa potensi geologi

yang dapat dimanfaatkan. Batupasir dan endapan aluvium pada sungai-sungai besar yang

melewati daerah penelitian dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan secara langsung

atau termasuk dalam bahan galian golongan C.

Gambar 3.13 Endapan alluvium sebagai potensi geologi

68
3.5.2. Potensi Kebencanaan Geologi

Berdasarkan kondisi geomorfologi yang berkaitan dengan lereng yang curam dan

litologi penyusun batuan yang terdapat dominasi batulempung, potensi kebencanaan di

daerah penelitian adalah terjadinya longsor. Litologi batulempung yang kurang dapat

meloloskan air dapat menjadi bidang gelincir jika litologi diatasnya yang dapat

meloloskan air berada pada kondisi jenuh dan memiliki beban yang berlebih.Dan telah

ditemukan titik kebencanaan geologi berupa longsor yang masih tergolong baru.

Gambar 3.14 Titik longsor sebagai bukti potensi kebencanaan

69
4. BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis maka disimpulkan hasil pemetaan geologi

daerah Bunigeulis, Kecamatan Hantara,Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dengan

koordinat 108° 33' 30" BT - 108° 36' 00" BT dan 6° 53' 00" LS - 6° 56' 00" LS

4.2. Satuan Geomorfologi

Berdasarkan aspek morfometri, morfografi, dan morfogenetik di daerah penelitian,

maka satuan geomorfologi di daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi empat

satuan geomorfologi, yaitu:

a. Satuan Dataran Rendah Denudasional Sedimen Agak Landai

b. Satuan Dataran Rendah Pedalaman Vulkanik Landai sampai Curam

c. Satuan Perbukitan Rendah Vulkanik Landai sampai Curam

4.3. Satuan Batuan

Berdasarkan karakteristik batuan, umur, serta lingkungan pengendapan, maka satuan

batuan di daerah penelitian dikelompokkan menjadi tiga satuan batuan tidak resmi,

yaitu:

a. Satuan Batulempung (Tmbl), diduga berumur Tersier Miosen Akhir – Plistosen

dengan lingkungan pengendapan batial atas

b. Satuan Breksi Vulkanik (Qbv), diduga berumur kuarter dengan lingkungan

pengendapan darat
70
c. Satuan Tuff (Qt) diduga berumur kuarter dengan lingkungan pengendapan darat

4.4. Sejarah Geologi

Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dari: .

 Kala Miosen Akhir terjadi genang laut yang cukup tinggi sehingga membentuk

lingkungan laut dalam (batial) dan terendapan satuan batuanlempung (Tmbl)

 Kala Holocen aktivitas vulkanik kembali aktif hal ini menyebabkannya

terendapkan dua satuan pada daerah penelitian,yaitu satuan Breksi Vulkanik

(Qbv) dan satuan Tuff (Qt)

4.5. Potensi dan Kebencanaan Geologi

a. Potensi geologi daerah penelitian terdiri dari endapan alluvium yang dapat

menjadi bahan dasar bangunan

b. Potensi bencana yang mungkin terjadi adalah pergerakan tanah dikarenakan

faktor kemiringan lereng dan litologi penyusun daerah penelitian tersebut

(batulempung).

71
DAFTAR PUSTAKA

4 Bolli, H. M. dan Saunders, J. B. 1985. Planktonic Stratigraphy. Cambridge :

Cambridge Universty Press

5 Howard, Arthur David., 1967. Drainage Analysis in Geologic Interpretation : A

Summation. The American Association of Petroleum Geologists Bulletin, Vol.51,

No.11, November 1967 : 2246 – 2259.

6 Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli

Geologi Indonesia, 14 h.

7 Lunt, Peter dkk. 2004. A history and application of larger foraminifera in

Indonesian biostratigraphy, calibrated to isotopic dating. Bandung : The Museum of

The GRDC.

8 Martodjodjo, S., 2003. Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat. Jurusan Teknik

Geologi. Institut Teknologi Bandung.

9 Nichols, Gary, 1999. Sedimentology and Stratigraphy. London : Blackwell

Science Ltd.

10 Schmidt, R. 1981. Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic

deposits and fragments: Recommendations of the IUGS Subcommission on the

systematics of igneous rocks. Geology, 9, 41−43.

11 Silitonga, P.H., Masria and Suwarna, N., , 1996. Peta Geologi Lembar Kl Jawa

Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

12 Van Zuidam, R.A. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain analysis and

Geomorphologic Mapping. Smits Publishers The Hague Netherland. 442h.

13 Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, Volume I A. The Hague

Martinus Nijhoff, Netherland.


72
14 Zakaria, Z., 2010. Manajemen Pemetaan Geologi. Jurusan Geologi Universitas

Padjadjaran. Jatinangor

73
LAMPIRAN

74
LOKASI / KOORDINAT

KODE SAMPEL AE19

NAMA BATUAN Mudstone ( Pettijohn,1975 )

NAMA SATUAN

A. FOTO MIKROSKOPIS

Paralel Nicol Cross Nicol

Perbesaran 40X, Skala batang 0.1 mm

B. DESKRIPSI MIKROSKOPIS:

Sayatan berwarna coklat (// nicol) matriks supported, komponen tidak terlihat
jelas, pemilahan baik.

C. Komposisi Batuan
Mineral opak : 10%
Matriks : 90 %
75
D. Deskripsi Komposisi Batuan
Matriks (90 %)
Mineral Lempung, Warna kecokelatan (//nicol) , bentuk anhedral, relief sedang,
pleokroisme sedang, warna interferensi putih kecokelatan orde-1, nmineral > nmedium.

E.Plotting Segitiga Pettijohn, 1975

Nama Batuan: Mudstone ( Pettijohn,1975 )

76
LOKASI / KOORDINAT

KODE SAMPEL AE 24 Matriks

NAMA BATUAN Lithic Tuff (Schmid, 1981)

NAMA SATUAN Satuan Breksi Vulkanik (Qbv)

A. FOTO MIKROSKOPIS

Paralel Nicol Cross Nicol

Perbesaran 40X, Skala batang 0.1 mm

B.DESKRIPSI MIKROSKOPIS:
Sayatan berwarna putih keabuan (// nicol), dengan fabric matrix
supported dan sortasi poorly sorted. Batuan tersebut terdiri dari matriks
60% dan fragmen 40%. Fragmen batuan tersebut terdiri dari kuarsa 8%,
lithic 17%, dan gelas 10%.

Matriks Pada batuan tersebut terdapat matriks sebanyak 60%.


Matriks terdiri dari gelas.

Kuarsa Mineral kuarsa pada batuan tersebut berjumlah 5%,

77
memiliki warna colourless (//nicol), pleokroisme tidak ada,
indeks bias n mineral > n medium, relief rendah, bentuk
subhedral, tidak memiliki inklusi, tidak memiliki belahan,
tidak memiliki kembar, tidak memiliki zoning, tidak memiliki
tekstur, warna interferensi orde 1.

Lithic Pada batuan tersebut terdapat fragmen tuff sebanyak 30%.


Fragmen litik merupakan hasil dari rombakan batuan beku.

Gelas Pada batuan tersebut terdapat fragmen gelas yang


berjumlah 5%.

C.Plotting Segitiga Schmid, 1981

Nama Batuan: Lithic Tuff (Schmid,1981)

78
LOKASI / KOORDINAT

KODE SAMPEL AE 24 Komponen

NAMA BATUAN Batuan Beku Andesit (Streickeisen, 1978)

NAMA SATUAN Satuan Breksi Vulkanik (Qbv)

A. FOTO MIKROSKOPIS

Paralel Nicol Cross Nicol

Perbesaran 40X, Skala batang 0.1 mm

B.DESKRIPSI MIKROSKOPIS:
Sayatan berwarna putih keabuan (// nicol), dengan bentuk umum dari
mineral hipidiomorf, memiliki kristal inequigranular dengan crystalinity
holokristalin dan granulitas porfiritik. Batuan tersebut memiliki fenokris
sebanyak 45% yang terdiri dari mineral plagioklas, k – feldspar, piroksen
dan kuarsa. Memiliki massa dasar sebanyak 55% yang terdiri dari
mikrokristaline plagioklas.

79
Plagioklas Mineral plagioklas pada batuan tersebut berjumlah 30%,
memiliki warna colourless, pleokroisme tidak ada, indeks
bias n mineral > n medium, relief rendah, bentuk mineral
sub hedral, memiliki belahan 1 arah, terdapat kembar albit
dan karlsbad, memiliki warna interferensi orde 1, orientasi
length fast, sudut pemadaman 220, dengan jenis plagioklas
andesine.

K – Feldspar Mineral k - feldspar pada batuan tersebut berjumlah 7%,


memiliki warna colourless (//nicol), tidak memiliki
pleokroisme, indeks bias n mineral < n medium, relief
rendah, bentuk subhedral, memiliki belahan 1 arah,
terdapat kembar karlsbad, warna interferensi orde 1,
orientasi length fast, sudut pemadaman 80.

Piroksen Mineral piroksen pada batuan tersebut terdiri dari 5%,


memiliki warna colourless, pleokroisme tidak ada, indeks
bias n mineral > n medium, relief tinggi, bentuk mineral sub
hedral, belahan 1 arah, warna interferensi orde 2, orientasi
length fast, sudut pemadaman 580.

Kuarsa Mineral kuarsa pada batuan tersebut berjumlah 3%,


memiliki warna colourless (//nicol), pleokroisme tidak ada,
indeks bias n mineral > n medium, relief rendah, bentuk
subhedral, tidak terdapat inklusi dan tidak memiliki
belahan.

80
C.Plotting Segitiga Streickeisen, 1978

Nama Batuan: Batuan Beku Andesit (Streickeisen, 1978)

81
LOKASI / KOORDINAT

KODE SAMPEL AE 15

NAMA BATUAN Crystal Tuff (Schmid, 1981)

NAMA SATUAN Satuan Tuff (Qt)

A. FOTO MIKROSKOPIS

Paralel Nicol Cross Nicol

Perbesaran 40X, Skala batang 0.1 mm

B.DESKRIPSI MIKROSKOPIS:
Sayatan berwarna putih keabuan (// nicol), dengan grain supported dan
sortasi poorly sorted. Batuan tersebut terdiri dari matriks 30% dan
fragmen 70%. Fragmen batuan tersebut terdiri dari kristal 58%, lithic 5%,
dan gelas 7%.

Matriks Pada batuan tersebut terdapat matriks sebanyak 30%.


Matriks terdiri dari gelas.

82
Plagioklas Mineral plagioklas pada batuan tersebut berjumlah 40%.
Memilki warna colourless (// nicol), pleokroisme tidak ada,
indeks bias n mineral > n medium, relief sedang, bentuk
subhedral, terdapat inklusi mineral opak, belahan 1 arah,
terdapat kembar albit dan karlsbad, tidak memilki zoning
dan tekstur, warna interferensi orde 1, orientasi lengthfast,
sudut pemadaman 200.

Piroksen Mineral piroksen pada batuan tersebut berjumlah 4%.


Memilki warna hijau pucat (// nicol), pleokroisme tidak ada,
indeks bias n mineral > n medium, relief tinggi, bentuk
anhedral, terdapat inklusi mineral opak, belahan 1 arah,
tidak memilki kembar, zoning dan tekstur, warna
interferensi orde 2, orientasi lengthfast, sudut pemadaman
250.

Amfibol Mineral amfibol pada batuan tersebut berjumlah 8%.


Memilki warna coklat (// nicol), pleokroisme kuat, indeks
bias n mineral > n medium, relief tinggi, bentuk euhedral,
tidak memilki inklusi, belahan 1 arah, tidak memilki kembar,
zoning dan tekstur, warna interferensi orde 2, orientasi
lengthslow, sudut pemadaman 510.

Lithic Pada batuan tersebut terdapat fragmen tuff sebanyak 5%.


Fragmen litik merupakan hasil dari rombakan batuan beku.

Gelas Pada batuan tersebut terdapat fragmen gelas yang


berjumlah 7%.

83
C.Plotting Segitiga Schmid, 1981

Nama Batuan: Crystal Tuff (Schmid,1981)

84
LOKASI / KOORDINAT

KODE SAMPEL AE 18

NAMA BATUAN Lithic Arenite (Pettijohn, 1975)

NAMA SATUAN Satuan Batulempung (Tmbl)

A. FOTO MIKROSKOPIS

Paralel Nicol Cross Nicol

Perbesaran 40X, Skala batang 0.1 mm

B.DESKRIPSI MIKROSKOPIS:
Sayatan berwarna putih kecoklatan (// nicol), dengan semen
batulempung, grain morfologi sperical, memiliki fabric grain supported,
dan sortasi poorly sorted. Batuan tersebut memiliki matriks sebanyak 8%
dan komponen 92%. Komponen terdiri dari mineral sebanyak 25% dan
rock fragmen 67%. Mineral terdiri dari plagioklas, k – feldspar, piroksen,
dan kuarsa.

Matriks Jumlah matriks pada batuan ini sebanyak 8%. Matriks


batuan ini merupakan mineral lempung.

Rock Fragmen Jumlah rock fragmen pada batuan ini adalah 67%.

85
Plagioklas Mineral plagioklas pada batuan tersebut berjumlah 10%,
memiliki warna colourless, pleokroisme tidak ada, indeks
bias n mineral > n medium, relief rendah, bentuk mineral
sub hedral, terdapat inklusi mineral opak, memiliki belahan
1 arah, terdapat kembar albit dan karlsbad, tidak memilki
zoning, memiliki warna interferensi orde 1, orientasi length
fast, sudut pemadaman 200.

K – Feldspar Mineral k-feldspar pada batuan tersebut berjumlah 8%,


memiliki warna colourless, pleokroisme tidak ada, indeks
bias n mineral < n medium, relief rendah, bentuk mineral
sub hedral, memiliki belahan 1 arah, memiliki inklusi
mineral opak, terdapat kembar karlsbad, memiliki warna
interferensi orde 1, orientasi length fast, sudut pemadaman
70.

Piroksen Mineral piroksen pada batuan tersebut berjumlah 3%,


memiliki warna hijau pucat (// nicol), pleokroisme tidak ada,
indeks bias n mineral > n medium, relief tinggi, bentuk
subhedral, belahan 1 arah, tidak memiliki kembar, zoning
dan tekstur, memiliki warna interferensi orde 2, orientasi
length fast, sudut pemadaman 370

Kuarsa Mineral kuarsa pada batuan tersebut berjumlah 5%,


memiliki warna colourless (//nicol), pleokroisme tidak ada,
indeks bias n mineral > n medium, relief rendah, bentuk
subhedral, tidak terdapat inklusi dan tidak memiliki
belahan.

86
C.Plotting Segitiga Pettijhon, 1975

Nama Batuan: Lithic Arenite (Pettijohn,1975)

87
ANALISIS FOSSIL PADA STASTIUN AE 19
FORAMINIFERA PLANKTONIK

Globigerinoides trilobus (REUSS)

No. Kotak 1 Cangkang trochospiral biconvex, bagian


tepi membundar, dinding cangkang
berpori, kamar spherical tersusun
dalam tiga putaran, sutura pada posisi
spiral berbentuk melengkung dan
tertekan, aperture primer
interiomarginal, pada umbilicus
membentuk busur yang rendah yang
dibatasi bibir umbilicus rendah.
Umur : N7 – N21

Globorotalia obesa (BOLLI)

No. Kotak 2 Cangkang trochospiral sangat rendah,


berpori kasar, dengan pemukaan
berlubang. Cangkang sangat tebal,
terputar, berkisar dua setengah hingga
tiga putaran, secara umum terdapat
empat kamar pada putaran terakhir,
membesar sangat cepat. Sutura pada
sisi spiral dan umbilical berbentuk
radial, tertekan. Umbilicus cukup lebar
dan dalam. Aperture interiomarginal,
extraumbilical-umbilical, dibatasi oleh
bibir yang ramping.

Umur : N 7 – N 21

Globorotalia multicamerata (CUSHMAN & JARVIS)

No. Kotak 3 Cangkang trochospiral sangat rendah,


bikonveks, tertekan, dengan kell lebar.
Komposisi dinding cangkang
gampingan, cangkang berpori halus.
Kamar tertekan kuat, tersusun atas tiga
88
putaran, dengan tujuh hingga delapan
kamar pada putaran terakhir,
membesar perlahan. Umbilicus sempit,
dangkal. Aperture interiomarginal,
extraumbilical - umbilical, slit-like,
dibatasi bibir jelas. Rugose.

Umur : N 17 – N20

Globorotalia dutertrei (D’ORBIGNY)

No. Kotak 4 Cangkang trochospiral dari rendah


samapi tinggi,equatorial periphery
lobulate, dinding cangkang berpori
sedang sampai kasar, tebal, permukaan
berbintik-bintik, kamar
membulat,tersusun oleh tiga putaran,
lima sampai enam kamar pada putaran
terakhir meningkat dengan tajam,
sutura pada sisi spiral radial sampai
curved,umbilical pada umumnya
radial,umbilicus pada umumnya lebar
dan dalam, aperture interior
marginal,extraumbilical-umbilical.
Umur : N 17 – N 21

Orbulina universa (D’ORBIGNY)

No. Kotak 5 Cangkang globular, pada tahap awal


trochospiral, globigerine-like. Komposisi
dinding cangkang gampingan, cangkang
berpori kasar, permukaan berlubang
sedang. Cangkang terputar, kamar
terakhir berbentuk globular menutupi
kamar-kamar sebelumnya yang semakin
mengecil. Aperture primer
interiomarginal. Apertur sekunder
tambahan terbentuk pada pertemuan
antar sutura, dengan dinding tipis
diantaranya. Ornamentasi spinose.

89
Umur : N 9 – N 21

Globigerinoides obliquus (BOLLI)

No. Kotak 6 Cangkang trochospiral sangat rendah,


berpori kasar, dengan pemukaan
berlubang. Cangkang sangat tebal,
terputar, berkisar dua setengah hingga
tiga putaran, secara umum terdapat
empat kamar pada putaran terakhir,
membesar sangat cepat. Sutura pada
sisi spiral dan umbilical berbentuk
radial, tertekan. Umbilicus cukup lebar
dan dalam. Aperture interiomarginal,
extraumbilical-umbilical, dibatasi oleh
bibir yang ramping.
Umur : N 7 – N 18

FORAMINIFERA BENTONIK

Hoeglandulina elegans (D’ORBIGNY)

No. Kotak 13 Cangkang polythalamus, komposisi


dinding cangkang calcareous hyaline,
mengkellap, berpori halus, cangkang
rotaloid, planoconvex. Cangkang tersusun
atas tiga hingga empat putaran,
membesar perlahan. Sutura tegak dan
melengkung, aperture interiomarginal,
umbilical-extraumbilical, dengan bibir
yang kecil, ornamentasi smooth.
Kedalaman : 200 m

Nuttalides bradyi (PETERSON)

90
No. kotak 14 Cangkang kecil, lenticular, trochospiral,
hampir sama biconvex, berdinding tebal;
sutura sangat miring, limbate, dan
melengkung ke lambung perifer; Pada sisi
umbilikus tidak rata, sutura sedikit
tertekan, hampir radial di sekitar pusat
umbilical, imperforate; dinding perforasi,
septa dan keel imperforate; aperture
interiomarginal.
Kedalaman: 600 m

Siphotextularia flintii (CUSHMAN)

No. Kotak 15 Cangkang segitiga secara garis besar,


secara tidak berurutan dalam tampilan
akhir, agak dikompres secara lateral,
dengan cepat memperbesar ukuran dari
bagian awal; ruang rendah dan luas,
meningkat, dipisahkan oleh sutura yang
agak dalam; dinding halus agglutinated;
Aperture sedikit mencengkeram bagian
dalam bilik terakhir, dengan bibir sedikit
terangkat.
Kedalaman : 600 m

Neritik Batial
Litoral Abisal
Nama Foraminifera Dalam Tengah Luar Atas Tengah Bawah
0 -20 -50 -100 -200 -600 -1000 -2000 -5000
Hoeglandulina elegans
Nuttalides bradyi
Siphotextularia flintii

91
ANALISIS FOSSIL PADA STASIUN AE 18
FORAMINIFERA PLANKTONIK

Hastigerina aequilateralis (BRADY)

No. Kotak 1 Cangkang planispiral, pada tahap awal


trochospiral sangat rendah, kamar sub-
globular agak saling melingkupi,
berkisar tiga putaran, pada putaran
kamar terakhir terdapat empat sampai
lima kamar, sutura pada bagian
umbilical radial dan tertekan, aperture
interiomarginal dan ekstra umbilical.
Umur : N14 - N21

Orbulina bilobata (D’ORBIGNY)

No. Kotak 2 Cangkang bilobate, kamar awal


trochospiral. Dinding berpori,
permukaan berlubang (pitted). Kamar
spherical.
Umur : N 9 – N 21

Globigerinoides immaturus (LEROY)

No. Kotak 3 Cangkang trochospiral, bikonveks tidak


sama, equatorial peripheral membulat,
sumbu pheriperal melingkar lebar,
dinding berpori, permukaannya
berbintik, kamar spherical, tersusun
oleh 3,5 putaran, 3 – 4 kamar pada
putaran terakhir ukurannya bertambah
secara medium, sutura pada sisi spiral
92
melengkung, tertekan, umbilicus
menyempit, apertur utama
interiormarginal, umbilical dengan
busur rendah–medium dibatasi oleh
lingkaran, beberapa kamar terakhir.
Umur : N 7 – N 21

Globigerinoides ruber (D’ORBIGNY)

No. Kotak 4 Cangkang trochospiral, peripheral


equator lobulate, peripheral axial bulat
melebar. Dinding berpori, permukaan
berlubang. Kamar spherical, tersusun
dari tiga setengah sampai empat
putaran, 3 kamar dari putaran terakhir
membesar perlahan, dan terpisah,
sutura pada spiral dan sisi umbulik sub
radial – radial, tertekan.
Umur : N 18 – N 21

Globorotalia obesa (BOLLI)

No. Kotak 5 Cangkang trochospiral biconvex, bagian


tepi membundar, dinding cangkang
berpori, kamar spherical tersusun
dalam tiga putaran, sutura pada posisi
spiral berbentuk melengkung dan
tertekan, aperture primer
interiomarginal, pada umbilicus
membentuk busur yang rendah yang
dibatasi bibir umbilicus rendah.
Umur : N7 – N21

93
Globorotalia plesiotumida (BLOW & BANNER)

No. Kotak 6 Cangkang trochospiral sangat rendah,


tertekan, dengan kell jelas. Komposisi
dinding cangkang gampingan, cangkang
berpori halus. Kamar tertekan, tersusun
atas tiga putaran, dengan lima hingga
enam kamar pada putaran terakhir,
membesar perlahan. Umbilicus sempit
hingga tertutup dan dalam. Aperture
interiomarginal, extraumbilical -
umbilical, dibatasi bibir tebal.
Umur : N 17 – N 18

Umur Miosen
Oligosen Pliosen Kuarter
Awal Tengah Akhir
Nama Foraminifera N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23
Hastigerina aequilateralis
Orbulina bilobata
Globigerinoides immaturus
Globigerinoides ruber
Globorotalia obesa
Globorotalia plesiotumida

FORAMINIFERA BENTONIK

Siphotextularia flintii (CUSHMAN)

No. Kotak 13 Cangkang segitiga secara garis besar,


secara tidak berurutan dalam tampilan
akhir, agak dikompres secara lateral,
dengan cepat memperbesar ukuran dari
bagian awal; ruang rendah dan luas,
meningkat, dipisahkan oleh sutura yang
agak dalam; dinding halus agglutinated;
Aperture sedikit mencengkeram bagian
dalam bilik terakhir, dengan bibir sedikit
terangkat.
Kedalaman : 600 m

Martinottiella sp. (D’ORBIGNY)

94
No. kotak 14 Cangkang memanjang, silindris;
kumparan trochospiral awal dengan
empat sampai lima bilik per whorl,
kemudian dikurangi menjadi triserial,
biserial, dan tahap akhir uniserial yang
memanjang dengan bilik banyak; sutura
tidak jelas; dinding halus arenaceous;
apertural face convex, aperture terminal,
celah arcuate besar dengan bibir
menonjol.
Kedalaman: 500 m

Oolina cf. O. Stelligera (BRADY)

No. Kotak 15 Cangkang pyriform, dengan depresi


melingkar yang dalam di dasar, dikelilingi
oleh rim kira-kira sepertiga diameter
cangkangnya, bervariasi secara
mendalam; sejumlah ribs, memancar dari
rim, beberapa tali ribs dan ribs tidak
beraturan memanjang dalam jarak
pendek di dasar yang membulat, yang
lainnya meluas sampai sekitar dua
pertiga tingginya cangkang; permukaan
halus, sangat halus berlubang; aperture
terminal, pada akhir apikal yang
dihasilkan. Cangkang ini menyerupai
tempat akhir dari sebuah cangkang
uniserial, namun dasarnya selalu
imperforate.
Kedalaman: 600 m

Neritik Batial
Litoral Abisal
Nama Foraminifera Dalam Tengah Luar Atas Tengah Bawah
0 -20 -50 -100 -200 -600 -1000 -2000 -5000
Siphotextularia flintii
Martinottiella sp.
Oolina cf. O. Stelligera

95

Anda mungkin juga menyukai