Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Filariasis disebut juga elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit
yang disebabkan infeksi cacing filaria yang penularanya melalui gigitan nyamuk.
Cacing Filaria menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Gejala klinis
terdiri dari gejala akut dan gejala kronis. Gejala akut (limfadenitis, limfangitis,
adenolimfangitis, demam, sakit kepala, serta abses) dan gejala kronik
(limfedema, lymph scrotum, kiluri, dan hidrokel). Penularan filariasis telah terjadi
di berbagai negara di dunia yang meliputi seluruh daerah tropis dan sub-tropis di
Asia, Afrika, Pasifik Barat, dan bagian dari Karibia dan Amerika Selatan. Pada tahun
2015 kasus filariasis menyerang 1.103 juta orang di 73 negara berisiko filariasis.
Kasus filariasis menyerang 632 juta (57%) penduduk yang tinggal di Asia Tenggara
(9 negara endemis) dan 410 Juta (37%) penduduk yang tinggal di wilayah afrika (35
negara endemis). Sedangkan sisanya (6%) diderita oleh penduduk yang tinggal di
wilayah Amerika (4 negara endemis), Mediterania Timur (3 negara endemis)
(WHO,2016).
Filariasis menyebar diseluruh wilayah Indonesia, di beberapa daerah mempunyai
tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh dinas
kesehatan provinsi dan hasil survei di Indonesia diketahui bahwa jumlah kasus di
Indonesia pada tahun 2015 yaitu sebanyak 13.032 kasus dan merupakan tertinggi di
Asia Tenggara (Kemenkes, 2016).
Filariasis jarang menyebabkan kematian, namun dapat menurunkan
produktivitas penderitanya karena menimbulkan gangguan fisik. Penyakit ini jarang
terjadi pada anak dikarenakan manifestasi klinis timbul bertahun-tahun setelah
infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul disebabkan oleh sumbatan
mikrofilaria pada pembuluh limfe yang terpapar parasit bertahun-tahun, umumnya
pada orang berusia di atas 30 tahun. Akibat paling fatal bagi penderita adalah

1 Universtias Sriwijaya
2

kecacatan permanen yang berdampak terhadap produktivitas (Widoyono, 2005;


Roziyah, 2015).
Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 sebagai penerus Milenium
Development Goals (MDGs), masih menempatkan bidang kesehatan yakni “ensure
healthy lives and promote well-being for all at all ages” sebagai salah satu tujuan
pembangunan dunia. Hal tersebut dirumuskan dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) yang ke-3 yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan
mempromosikan kesejahteraan bagi semua penduduk dalam segala usia. Target
global TPB tersebut pada tahun 2030 yaitu mengakhiri epidemi AIDS, malaria,
tuberkulosis, hepatitis, penyakit tropis yang terabaikan, penyakit bersumber air, dan
penyakit menular lainnya. Salah satu indikatornya yaitu tidak ada lagi orang yang
memerlukan intervensi terhadap filariasis (Bappenas, 2016).
Berdasarkan hasil pemetaan daerah endemis di Indonesia yang dilakukan pada
tahun 2015 diperoleh sebanyak 241 kabupaten / kota merupakan daerah endemis
Filariasis sedangkan daerah non endemis sebanyak 273 kabupaten / kota dari
total 514 kabupaten / kota se-Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hampir
sebagian dari penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis sehingga berisiko
tertular Filariasis. Dari 241 kabupaten / kota endemis Filariasis sebanyak 54%
kabupaten sedang melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal
Filariasis (POMP filariasis) dan 22% telah selesai POPM 5 Putaran. Namun, masih
ada 18% kabupaten / kota yang belum mulai melaksanakan dan 6% putus POPM
Filariasis (Kemenkes, 2015).
Jumlah penderita Filariasis di Provinsi Jambi tercatat sebanyak 341 penderita
kasus kronis dan merupakan peringkat ke-3 di regional Sumatera, setelah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Riau. Kabupaten endemis di
Provinsi Jambi sebanyak 5 kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari, dan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Sari, 2016).

Universitas Sriwijaya
3

Lokalitbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) melakukan


evaluasi melalui penelitian Penentuan Tingkat Endemisitas Filariasis di Wilayah
Pasca Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) pada tahun 2014. Hasil evaluasi
tersebut menunjukan bahwa masih ditemukan kelurahan dengan Mikrofilaria rate
(Mf Rate) >1%. Menurut ketentuan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
bila Mf rate >1% di salah satu atau lebih lokasi survei maka kabupaten / kota tersebut
ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis limfatik. Kabupaten / kota tersebut
wajib melaksanakan pengobatan massal. Penularan filariasis masih terjadi di
wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur meskipun upaya penanggulangan telah
dilakukan dengan pengobatan massal. Kondisi lingkungan di wilayah Kabupaten
Tanjung Jabung Timur yang sebagian besar merupakan daerah perkebunan dan
rawa merupakan tempat yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk vektor
filariasis (Santoso, 2016).
Jumlah penderita filariasis kronis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yaitu
sebanyak 58 orang. Terdapat lima kecamatan yang memiliki penderita filariasis
kronis yaitu Kecamatan Muara Sabak Barat sebanyak 50 orang, Kecamatan Berbak
sebanyak 5 orang, Kecamatan Sadu sebanyak 1 orang, Kecamatan Muara Sabak
Timur sebesar 1 orang dan Kecamatan Rantau Rasau sebanyak 1 orang. Kecamatan
Muara Sabak Barat termasuk ke dalam wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
merupakan wilayah dengan jumlah penderita filariasis kronis terbesar diantara
wilayah kecamatan lain yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Dinkes
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2015).
Faktor yang menyebabkan penularan filariaisis sangat kompleks melibatkan
cacing filaria sebagai agen penyakit, manusia sebagai host, nyamuk sebagai vektor
dan faktor lingkungan baik itu lingkungan fisik, biologik dan sosial, seperti faktor
perilaku dan sosial ekonomi penduduk di wilayah tersebut (Budiarto, 2003).
Berbagai penelitian menunjukan berbagai faktor yang berhubungan dengan filariasis
yaitu: faktor jenis kelamin laki-laki lebih tinggi insidennya (Glantika, 2014), umur
produktif lebih berpotensi terkena filariasis (Kamarudin, 2013, dan Ramli, 2014),
pekerjaan berisiko adalah petani dan yang bekerja malam hari (Astri, 2006, Amelia,

Universitas Sriwijaya
4

2014, Riftiana, 2010), pendidikan yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya
filariasis (Salim, 2016, Ramli, 2014), pengetahuan yang rendah tentang filariasis juga
berpotensi terhadap kejadian filariasis (Amelia, 2014, Salim, 2016), kebiasaan keluar
rumah pada malam hari menjadi faktor risiko kejadian filariasis (Juriastuti, 2010,
Amelia, 2014, Salim, 2016), kebiasaan penggunaan obat nyamuk pada waktu tidur di
malam hari berisiko terhadap kejadian filariasis (Febrianto, 2008), kebersihan
lingkungan rumah juga menjadi faktor risiko terhadap kejadian filariasis (Kamarudin,
2013), genangan air disekitar rumah menjadi faktor risiko kejadian filariasis (Sapada,
2015), keberadaan kandang ternak di sekitar rumah berpotensi mengakibatkan
kejadian filariasis (Febrianto, 2008, Kamarudin, 2014, Widiastuti, 2010), keberadaan
Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) memiliki risiko terhadap penularan
filariasis (Nugraheni, 2011, Santoso, 2014, Widiastuti, 2010)
Berdasarkan data awal dan beberapa penelitian tersebut, faktor-faktor
karakteristik, lingkungan dan perilaku diduga memiliki potensi sebagai faktor risiko
kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat. Sehingga penulis
tertarik untuk meneliti determinan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas
Muara Sabak Barat Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi.

1.2. Rumusan Masalah


Kecamatan Muara Sabak Barat yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Muara
Sabak Barat merupakan salah satu wilayah dengan jumlah penderita filariasis kronis
terbesar. Berbagai upaya penanggulangan penularan penyakit filariasis melalui
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) masih belum berhasil dalam
menurunkan insidensi penyakit ini. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit filariasis, perilaku masyarakat di bidang kesehatan yang masih belum baik,
dan kondisi lingkungan yang sebagian besar merupakan daerah perkebunan dan
rawa merupakan salah satu faktor potensial untuk kejadian penyakit filariasis. Oleh
karena itu, adapun pertanyaan penelitian adalah “Determinan apa saja yang
mempengaruhi kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi?”

Universitas Sriwijaya
5

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Menganalisis determinan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas
Muara Sabak Barat.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran faktor karakteristik, perilaku dan lingkungan yang
ada di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat.
b. Menganalisis hubungan jenis kelamin terhadap kejadian filariasis di
wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
c. Menganalisis hubungan umur terhadap kejadian filariasis di wilayah kerja
Puskesmas Muara Sabak Barat
d. Menganalisis hubungan pekerjaan terhadap kejadian filariasis di wilayah
kerja Puskesmas Muara Sabak Barat.
e. Menganalisis hubungan pendidikan terhadap kejadian filariasis di wilayah
kerja Puskesmas Muara Sabak Barat.
f. Menganalisis hubungan pengetahuan terhadap kejadian filariasis di wilayah
kerja Puskesmas Muara Sabak Barat.
g. Menganalisis hubungan kebiasaan beraktifitas diluar rumah di malam hari
terhadap kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
h. Menganalisis hubungan kebiasaan menggunakan kelambu terhadap
kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
i. Menganalisis hubungan kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk
terhadap kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
j. Menganalisis hubungan aktifitas menyadap karet di kebun terhadap
kejadian filariasis di di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat.
k. Menganalisis hubungan kebiasaan tidur di kebun / sawah pada saat panen
dan saat musim buah-buahan terhadap kejadian filariasis di wilayah kerja
Puskesmas Muara Sabak Barat
l. Menganalisis hubungan Kebiasaan membersihkan lingkungan rumah
terhadap kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat.

Universitas Sriwijaya
6

m. Menganalisis hubungan keberadaan genangan air terhadap kejadian


filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat .
n. Menganalisis hubungan keberadaan kandang ternak terhadap kejadian
filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
o. Menganalisis hubungan keberadaan Saluran Pembuangan Air Limbah
(SPAL) terhadap kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara
Sabak Barat
p. Menganalisis faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian
filariasis di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Dinas Kesehatan dan Puskesmas Muara Sabak Barat
Manfaat bagi dinas kesehatan dan Puskesmas Muara Sabak Barat yaitu
sebagai masukan dalam penyempurnaan kegiatan yang selama ini dilaksanakan
khususnya yang berhubungan dengan upaya eliminasi penyakit filariasis di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat
tentang determinan kejadian filariasis di Puskesmas Muara Sabak Barat.
1.4.3 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Univesitas Sriwijaya
Penelitian ini diharapkan dapat membangun dan mengembangkan kapasitas
sumber daya manusia melalui penelitian dan riset khususnya tentang deteminan
kejadian filariasis serta menjadi referensi dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat.
Diharapakan juga penelitian ini dapat menjalin kerjasama lintas sektoral antara
fakultas kesehatan masyarakat dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Tanjung Jabung
Timur untuk penelitian terkait tentang Filariasis.

Universitas Sriwijaya
7

1.4.4 Bagi Peneliti


Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk memperoleh pengetahuan dan
wawasan serta pemahaman yang lebih tentang determinan kejadian fialriasis di
Puskesmas Muara Sabak Barat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.5.1 Materi
Lingkup materi dalam penelitian ini adalah menganalisa determinan kejadian
filariasis di Puskesmas Muara Sabak Barat meliputi karakterisitik (umur, jenis
kelamin, pekerjaan, pendidikan dan pengetahuan), perilaku (kebiasaan beraktifitas
diluar rumah malam hari, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan
obat anti nyamuk, aktifitas menyadap karet di kebun, kebiasaan tidur di kebun /
sawah pada saat panen atau saat musim buah-buahan) dan lingkungan (keberadaan
genangan air, keberadaan kandang ternak, dan keberadaan Saluran Pembuangan Air
Limbah (SPAL) yang berhubungan dengan kejadian filariasis.
1.5.2 Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan April s.d Mei 2017
1.5.3 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Muara Sabak Barat
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai