Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep kehamilan

2.1.1 Pengertian

Kehamilan adalah suatu keadaan dimana janin dikandung di dalam tubuh

wanita, yang sebelumnya diawali dengan proses pembuahan dan kemudian akan

diakhiri dengan proses persalinan. Kehamilan merupakan suatu keadaan

fisiologis, akan tetapi pentingnya diagnosis kehamilan tidak dapat diabaikan

(Cunningham, 2006).

2.1.2 Proses kehamilan

Untuk terjadi suatu kehamilan harus ada spermatozoa, ovum, pembuahan

ovum (konsepsi), dan nidasi (implantasi) hasil konsepsi. Ovum yang dilepas oleh

ovarium disapu oleh mikrofilamen-mikrofilamen fimbria infundibulum tuba

kearah ostium tuba abdominalis, dan disalurkan terus kearah medial. Kemudian

jutaan spermatozoa ditumpahkan diforniks vagina dan disekitar porsio pada waktu

koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoa dapat terus ke kavum uteri dan

tuba, dan hanya beberapa ratus spermatozoa dapat sampai ke bagian ampula tuba

dimana spermatozoa dapat memasuki ovum yang telah siap untuk dibuahi, dan

hanya satu spermatozoa yang mempunyai kemampuan (kapasitasi) untuk

membuahi. Pada spermatozoa ditemukan peningkatan konsentrasi DNA

Universitas Sumatera Utara


dinukleus, dan kaputnya lebih mudah menembus dinding ovum oleh karena

diduga dapat melepaskan hialuronidase (Sarwono, 2008).

Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum (oosit sekunder) dan

spermatozoa yang biasanya berlangsung diampula tuba. Fertilisasi meliputi

penetrasi spermatozoa ke dalam ovum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri

dengan fusi materi genetik. Hanya satu spermatozoa yang telah mengalami proses

kapasitasi mampu melakukan penetrasi membran sel ovum. Untuk mencapai

ovum, sperma harus melewati korona radiata (lapisan sel diluar ovum) dan zona

pelusida (suatu bentuk glikoprotein ekstraselular), yaitu lapisan yang menutupi

dan mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu spermatozoa.

Spermatozoa yang telah masuk ke vitelus kehilangan membran nukleusnya, yang

tinggal hanya pronukleusnya, sedangkan ekor spermatozoa dan mitokondrianya

berdegenerasi. Itulah sebabnya seluruh mitokondria pada manusia berasal dari ibu

(maternal). Masuknya spermatozoa kedalam vitelus membangkitkan nukleus

ovum yang masih dalam metafase untuk proses pembelahan selanjutnya

(pembelahan mieosis kedua) sesudah anafase kemudian timbul telofase dan benda

kutub (polar body) kedua menuju ruang perivitelina. Ovum sekarang hanya

mempunyai pronukleus yang haploid. Pronukleus spermatozoa juga telah

mengandung jumlah kromosom yang haploid (Sarwono, 2008).

Kedua pronukleus saling mendekati dan bersatu membentuk zigot yang

terdiri atas bahan genetik dari perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat 46

kromosom, ialah 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin; pada seorang

laki-laki satu X dan satu Y. sesudah pembelahan kematangan, maka ovum matang

Universitas Sumatera Utara


mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X. Zigot sebagai hasil

pembuahan yang memiliki 44 kromosom otosom serta 2 kromosom X akan

tumbuh sebagai janin perempuan, sedangkan yang memiliki 44 kromosom otosom

serta 1 kromosom X dan 1 kromosom Y akan tumbuh sebagai janin laki-laki.

Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan

zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung

banyak zat asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi,

pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancar, dan selama tiga hari

terbentuk suatu kelompok sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi berada dalam

stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitelus, sehingga

volume vitelus makin berkurang dan terisi seluruhnya oleh morula. Dengan

demikian, zona pelisida tetap utuh, atau dengan kata lain, besarnya hasil konsepsi

tetap utuh. Dalam ukuran yang sama ini hasil konsepsi disalurkan terus ke pars

ismika dan pars interstisial tuba (bagia-bagian tuba yang sempit) dan terus

disalurkan kearah kavum uteri oleh arus serta getaran silia pada permukaan sel-sel

tuba dan kontraksi tuba.

Selanjutnya pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula

yang disebut blastokista, suatu bentuk yang dibagian luarnya adalah trofoblas dan

dibagian dalamnya disebut massa inner cell ini berkembang menjadi janin dan

trofoblas akan berkembang menjadi plasenta. Dengan demikian, blastokista

diselubungi oleh suatu simpai yang disebut trofoblas. Trofoblas ini sangat kritis

untuk keberhasilan kehamilan terkait dengan keberhasilan nidasi (implantasi),

produksi hormon kehamilan, proteksi imunitas bagi janin, peningkatan aliran

Universitas Sumatera Utara


darah maternal ke dalam plasenta, dan kelahiran bayi. Sejak tropoblas terbentuk,

produksi hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dimulai, suatu hormon

yang memastikan bahwa endometrium akan menerima (resesif) dalam proses

implantasi embrio (Sarwono, 2008).

Setelah proses implantasi selesai, maka pada tahap selanjutnya akan

terbentuk amnion dan cairan amnion. Amnion pada kehamilan aterm berupa

sebuah membran yang kuat dan ulet tetapi lentur. Amnion adalah membran janin

paling dalam dan berdampingan dengan cairan amnion. Amnion manusia pertama

kali dapat diidentifikasi sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan mudigah.

Secara jelas telah diketahui bahwa amnion tidak sekedar membran avaskular yang

berfungsi menampung cairan amnion. Membran ini aktif secara metabolis, terlihat

dalam transpor air dan zat terlarut untuk mempertahankan homeostatis cairan

amnion, dan menghasilkan berbagai senyawa bioaktif menarik, termasuk peptida

vasoaktif, faktor pertumbuhan dan sitoin (Cunningham, 2006).

Pada awal kehamilan, cairan amnion adalah suatu ultrafiltrat plasma ibu.

Pada awal trimester kedua, cairan ini terutama terdiri dari cairan ekstrasel yang

berdifusi melalui kulit janin sehingga mencerminkan komposisi plasma janin.

Volume cairan amnion pada setiap minggu gestasi cukup berbeda-beda. Secara

umum, volume cairan meningkat 10 ml perminggu pada minggu ke-8 dan

meningkat sampai 60 ml perminggu pada minggu ke-21, dan kemudian berkurang

secara bertahap hingga kembali ke kondisi mantap pada minggu ke-33. Dengan

demikian, volume cairan biasanya meningkat dari 50 ml pada minggu ke-12

Universitas Sumatera Utara


menjadi 400 ml pada pertengahan kehamilan dan 1000 ml pada kehamilan aterm

(Cunningham, 2006).

Cairan yang normalnya jernih dan menumpuk di dalam rongga amnion ini

akan meningkat jumlahnya seiring dengan perkembangan kehamilan sampai

menjelang aterm, saat terjadi penurunan volume cairan amnion pada banyak

kehamilan normal. Cairan amnion ini berfungsi sebagai bantalan bagi janin, yang

kemungkinan perkembangan sistem muskuloskletal dan melindungi pertahanan

suhu dan memiliki fungsi nutrisi yang minimal (Cunningham, 2006).

2.1.3 Tanda kehamilan

Banyak manifestasi dari adaptasi fisiologis terhadap kehamilan yang

mudah dikenali dan merupakan petunjuk penting bagi diagnosis dan evaluasi

kemajuan kehamilan. Ada tiga tanda yang menunjukkan telah terjadinya suatu

kehamilan, yang pertama tanda persumtif adalah tanda dugaan seorang wanita

mengalami kehamilan, yang termasuk tanda persumtif ini antara lain adanya mual

dengan atau tanpa muntah, terjadi gangguan berkemih, fatigue (rasa mudah lelah)

dan persepsi adanya gerakan janin. Kedua adalah tanda kemungkinan hamil yang

ditandai dengan terhentinya menstruasi, perubahan pada payudara, adanya

perubahan pada mukosa vagina, selain itu terjadinya peningkatan pigmentasi kulit

dan timbulnya striae abdomen. Ketiga adalah tanda positif hamil yaitu terjadi

pembesaran abdomen, perubahan ukuran, bentuk dan konsistensi uterus, terjadi

perubahan pada serviks, serta adanya kontraksi braxton hiks dan terakhir tanda

pasti kehamilan yang mana akan dapat diidentifikasi kerja jantung janin, adanya

Universitas Sumatera Utara


gerakan janin aktif, dan deteksi kehamilan secara ultrasonografi (Cunningham,

2006).

2.2 Ketuban pecah dini

2.2.1 Pengertian

Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum

persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu

maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Sarwono, 2008).

Menurut Manuaba (2008) Ketuban pecah dini atau premature rupture of

the membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-

tanda persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37 minggu

kehamilan, sedangkan dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuban pecah dini

Meskipun banyak publikasi tentang ketuban pecah dini (KPD), namun

penyebabnya secara langsung masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan

secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat

dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor yang lebih berperan sulit

diketahui (Sualman, 2009). Faktor-faktor predisposisi itu antara lain adalah:

a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis). Korioamnionitis adalah keadaan

pada perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi

bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin,

bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Sarwono, 2008).

Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila

jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan

Universitas Sumatera Utara


sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik

(Sualman, 2009).

Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan

amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus

epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban

pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator

inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya

perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Sualman,

2009).

Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk

melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang

andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau

lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang

menandakan infeksi (Cunningham, 2006).

b. Infeksi genitalia

Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum

yang ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi

serviks oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm belum

jelas. Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan saat

hamil juga mengalami ketuban pecah dini kurang dari satu jam sebelum

persalinan dan mengakibatkan berat badan lahir rendah (Cunningham, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Seorang wanita lebih rentan mengalami keputihan pada saat hamil karena

pada saat hamil terjadi perubahan hormonal yang salah satu dampaknya adalah

peningkatan jumlah produksi cairan dan penurunan keasaman vagina serta terjadi

pula perubahan pada kondisi pencernaan. Keputihan dalam kehamilan sering

dianggap sebagai hal yang biasa dan sering luput dari perhatian ibu maupun

petugas kesehatan yang melakukan pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak

semua keputihan disebabkan oleh infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan

dapat berbahaya karena dapat menyebabkan persalinan kurang bulan

(prematuritas), ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir dengan berat

badan rendah (< 2500 gram). Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan

keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal keputihanya dapat

membahayakan kehamilannya, sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala

gatal yang sangat, cairan berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya.

Dari berbagai macam keputihan yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling

sering adalah kandidiosis vaginalis, vaginosisbakterial dan trikomoniasi.

(Sualman, 2009).

Dari NICHD Maternal-fetal Medicine Units network Preterm prediction

Study melaporkan bahwa infeksi klamidia genitourinaria pada usia gestasi 24

minggu yang dideteksi berkaitan dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini

dan kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri ini

(Cunningham, 2006).

Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes

simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling umum

Universitas Sumatera Utara


yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada kelahiran

preterm dan bayi berat badan rendah. Pecah ketuban sebelum persalinan pada

preterm dapat berhubungan dengan infeksi maternal. Sekitar 30% persalinan

preterm disebabkan oleh infeksi dan mendapat komplikasi dari infeksi tersebut

(Chapman, 2006).

Pada kehamilan akan terjadi peningkatan pengeluaran cairan vagina dari

pada biasanya yang disebabkan adanya perubahan hormonal, maupun reaksi alergi

terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan pembersih vagina dan

bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga dapat terjadi akibat adanya

pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat menimbulkan infeksi didaerah

genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan akan

meningkatkan resiko persalinan prematur dan ketuban pecah dan janinnya juga

mengalami infeksi (Ocviyanti, 2010).

Menurut Sarwono, (2008) persalinan preterm terjadi tanpa diketahui

penyebab yang jelas, infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya

ketuban pecah dini dan persalinan preterm. Vaginosis bakterial adalah sindrom

klinik akibat pargantian laktobasilus penghasil H2O2 yang merupakan flora normal

vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti gardnerella

vaginalis, yang akan menimbulkan infeksi. Keadaan ini telah lama dikaitkan

dengan kejadian ketuban pecah dini, persalinan preterm dan infeksi amnion,

terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,04 yang normalnya nilai

pH vagina adalah antara 3,8-4,5. Abnormalitas pH vagina dapat mengindikasikan

adanya infeksi vagina.

Universitas Sumatera Utara


Herpes simpleks adalah virus menular seksual yang jarang tetapi serius

yang bisa tetap tidak aktif sampai orang mengalami stres atau tidak sehat.

Biasanya merupakan kondisi kronis dan kambuhan serta bisa berat bagi bayi baru

lahir. Infeksi herpes primer biasanya menyebabkan demam ringan dan perasaan

tidak sehat. Muncul lesi yang menimbulkan nyeri sekitar genital internal dan

eksternal/serviks, ulserasi, dan biasanya sembuh dalam tiga minggu (Chapman,

2006).

Herpes aktif bisa terdiagnosa dengan inspeksi klinis didaerah genital untuk

lesi yang tampak (internal/eksternal) pada saat awitan persalinan atau pecah

ketuban spontan. Sectio saeraria merupakan satu-satunya indikasi bila infeksi

masih aktif sehingga lesinya jelas.

c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan

pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan.

Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester

kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti

septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma

bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi

berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Sarwono,

2008).

Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan

membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga

kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan

perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika

Universitas Sumatera Utara


diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan

inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan

berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis

inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,

yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai

awitan persalinan dan pelahiran (Verney, 2006).

Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia

kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul

pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks

berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu

berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau

sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (conization)

(Verney, 2006).

Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester

kedua atau pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter mutlak

diperlukan. Jika seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks,

pembukaan, tekanan panggul, atau perdarahan pervaginam yang sebabnya tidak

diketahui, maka ia perlu segera mendapat penatalaksanaan medis.

d. Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.

Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi

yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi

penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini,

pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya ketuban

Universitas Sumatera Utara


pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak janin misalnya letak

lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul

(PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah

(Sualman, 2009).

Menurut Manuaba (2008) hubungan seksual selama hamil memiliki

banyak dampak terhadap kehamilan. Pada trimester pertama kehamilan biasanya

gairah seks mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat ibu didera mual, muntah,

lemas, malas dan apapun yang bertolak belakang dengan semangat libido. Tetapi

trimester kedua umumnya libido timbul kembali, tubuh ibu telah dapat menerima

kembali, tubuh telah terbiasa dengan kondisi kehamilan sehingga ibu dapat

menikmati aktifitas dengan lebih leluasa dari pada trimester pertama. Mual-

muntah dan segala rasa tidak enak biasanya sudah jauh berkurang demikian pula

urusan hubungan seksual. Ini akibat meningkatnya pengalihan darah ke organ-

organ seksual seperti vagina dan payudara. Memasuki trimester ketiga

minat/libido menurun kembali, tetapi hal ini tidak berlaku pada semua wanita

hamil. Tidak sedikit wanita yang libidonya sama seperti trimester sebelumnya, hal

ini normal sebab termasuk beruntung karena tidak tersiksa oleh kaki bengkak,

sakit kepala, sakit punggung dan pinggul, berat badan yang semakin bertambah

atau keharusan istirahat total.

Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali

seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan

dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi rahim, namun kontraksi ini

berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang persalinan. Selain itu,

Universitas Sumatera Utara


paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen (cairan sperma) juga

memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi

harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko melahirkan prematur. Oleh sebab itu,

Seno, (2008) menjelaskan bahwa pada kehamilan tua untuk mengurangi resiko

kelahiran preterm maupun ketuban pecah adalah dengan mengurangi frekwensi

hubungan seksual atau dalam keadaan betul-betul diperlukan wanita tidak

orgasme meski menyiksa. Tapi jika tetap memilih koitus, keluarkanlah sperma

diluar dan hindari penetrasi penis yang terlalu dalam serta pilihlah posisi

berhubungan yang aman agar tidak menimbulkan penekanan pada perut ataupun

dinding rahim.

Mengurangi frekwensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan orgasme

selain dapat mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula mengurangi

penekanan pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin, sebab

penekanan yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah uri

dapat menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen ke janin.

e. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara adalah

wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan

hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan

kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, ganggua n fisiologis seperti emosi

dan termasuk kecemasan akan kehamilan (Cunninghan, 2006).

Selain itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir

triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan

didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara


multipara adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan

melahirkan anak hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan

mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran

yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini

pada kehamilan berikutnya (Cunningham,2006).

Meski bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun faktor ini

juga diyakini berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini. Yang didukung

satu dan lain hal pada wanita hamil tersebut, seperti keputihan, stress (beban

psikologis) saat hamil dan hal lain yang memperberat kondisi ibu dan

menyebabkan ketuban pecah dini (Cunningham,2006).

f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami

ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara

singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane

sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm

terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini

pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya

wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko

mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami

ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah

rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya

(Cunningham, 2006).

g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi

uterus) misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37

Universitas Sumatera Utara


minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu

lebih sering mengalami ketuban pecah dini (Cunningham, 2006).

Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan

hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu

dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion,

akumulasi berlebihan cairan amnion (> 2 liter), seringkali terjadi disertai

gangguan kromosom, kelainan struktur seperti fistula trakeosofageal, defek

pembuluh saraf dan malformasi susunan sarap pusat akibat penyalahgunaan zat

dan diabetes pada ibu. AFI (amnion fluid indeks) pada kehamilan cukup bulan

secara normal memiliki rentang antara 5,0 cm dan 23,0 cm (Varney, 2006).

Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus,

janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali

pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital

yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi

traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13)

komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin,

ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan

pada ibu (Sarwono, 2008).

Kehamilan kembar juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah

komplikasi yang dihubungakan dengan kehamilan, persalinan dan pelahiran serta

masa nifas pada wanita yang mengandung lebih dari satu janin. Kemungkinan

yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali janin, keguguran

Universitas Sumatera Utara


dini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan pelahiran preterm, diabetes

kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan dengan gangguan.

Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup

posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin

saja menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain

itu, dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya

membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan

pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko

persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan

cermat setiap kali melakukan kunjungan. Wanita dengan kehamilan kembar

beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya

disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena

itu, akan sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati

gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah

(Varney, 2006).

Kehamilan dengan janin kembar juga akan mempengaruhi kenyamanan

dan citra tubuh, kesiapan perawatan bayi dan keuangan, semua faktor ini akan

menimbulkan stres dan hendaknya petugas kesehatan lebih banyak memberi

konseling dan pendidikan kesehatan. Konseling tentang persalinan pretem dan

preeklamsi perlu di upayakan guna memberi perawatan kehamilan dengan janin

kembar yang bermutu (Cunninghan, 2006).

h. Usia ibu yang≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan

keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami

Universitas Sumatera Utara


≥ 35 tahun tergolong usia yang
ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia

terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi

mengalami ketuban pecah dini.

Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan

pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation

(WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan Seno (2008) seorang

ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai

sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani

kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang

dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap.

Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20

tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin

terhambat. Bisa jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan

kesadaran untuk memeriksakan diri dan kandungannya menjadi rendah. Di luar

urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkat akibat

hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita

usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan.

Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah

mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan.

Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan

menjaga kehamilannya secara hati-hati.

Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa

transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan

Universitas Sumatera Utara


kesehatan wanita yang bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau

tidak mau, suka atau tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan

dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan

bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah

usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit.

Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan

pertama di usia lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya

penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang

mungkin mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm

ataupun ketuban pecah dini.

Lebih lanjut Seno (2008) menjelaskan, meningkatnya usia juga membuat

kondisi dan fungsi rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim

yang tak lagi subur. Padahal, dinding rahim tempat menempelnya plasenta.

Kondisi ini memunculkan kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta

tidak menempel di tempat semestinya. Selain itu, jaringan rongga panggul dan

otot-ototnya pun melemah sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga

panggul tidak mudah lagi menghadapi dan mengatasi komplikasi yang berat,

seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu, kondisi hormonalnya tidak seoptimal

usia sebelumnya. Itu sebabnya, resiko keguguran, ketuban pecah, kematian janin,

dan komplikasi lainnya juga meningkat.

Namun secara umum periode waktu dari ketuban pecah dini sampai

kelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah, jika ketuban

Universitas Sumatera Utara


pecah pada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa hari saja sehingga

pelahiran terjadi dibandingkan dengan trimester kedua (Cunningham, 2006).

2.2.3 Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi

uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah

tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior

rapuh, bukan karena selaput ketuban rapuh.

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester tiga

selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ada hubungannya

dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pecahnya ketuban

pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada

kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya

infeksi yang menjalar dari vagina (Sarwono, 2008).

Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi pembukaan prematur serviks dan

membran terkait dengan pembukaan terjadi devolarisasi dan nekrosis serta dapat

diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin

berkurang. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang

mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase (Manuaba, 2008).

Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase

laten, makin panjang fase laten, semakin tinggi kemungkinan infeksi. Semakin

muda kehamilan, makin sulit pula pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas

janin. Oleh karena itu komplikasi ketuban pecah dini semakin meningkat

(Manuaba, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.2.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah

keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis

dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau

menetes, disertai dengan demam/menggigil, juga nyeri pada perut, keadaan seperti

ini dicurigai mengalami amnionitis (Saifuddin, 2002).

Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai

kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di

bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara

(Ayurai, 2010).

Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu ada (kadang-kadang) timbul

pada ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian cairan

tampak diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam. Keadaan lain seperti nyeri

uterus, denyut jantung janin yang semakin cepat serta perdarahan pervaginam

sedikit tidak selalu dialami ibu dengan kasus ketuban pecah dini. Namun, harus

tetap diwaspadai untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin

(Saifuddin, 2002).

2.2.5 Komplikasi

Ada tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini adalah

peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas,

komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu resiko resusitasi, dan yang

ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena

Universitas Sumatera Utara


ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya

penyebab infeksi (Sarwono, 2008).

Sekitar tiga puluh persen kejadian mortalitas pada bayi preterm dengan ibu

yang mengalami ketuban pecah dini adalah akibat infeksi, biasanya infeksi saluran

pernafasan (asfiksia). Selain itu, akan terjadi prematuritas. Sedangkan, prolaps tali

pusat dan malpresentrasi akan lebih memperburuk kondisi bayi preterm dan

prematuritas (Depkes RI, 2007).

Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada ketuban pecah dini,

flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan baik

pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal meningkat

dengan makin rendahnya umur kehamilan.

Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan

korioamnionitis akibat jalan lahir telah terbuka, apalagi bila terlalu sering

dilakukan pemeriksaan dalam. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban

50% wanita yang melahirkan prematur, didapatkan korioamnionitis (infeksi

saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan klinis. Infeksi

janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi

lokal misalnya konjungtivitis (Sualman, 2009).

Selain itu juga dapat dijumpai perdarahan postpartum, infeksi puerpuralis

(nifas), peritonitis, atonia uteri dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan merasa

lelah karena berbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu

badan naik, nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi (Manuaba, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai