Anda di halaman 1dari 9

Ringkasan Eksekutif

Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa:


Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di Perguruan Tinggi Negeri

Setara Institute, 31 Mei 2019

Pendahuluan
Sebagai negara dengan ideologi pluralis nan terbuka yaitu Pancasila, Indonesia harus
terus menerus mewaspadai, mencegah, dan melawan radikalisme yang dapat memecah
belah dan mengganggu keselamatan negara-bangsa. Dalam kontinum ideologis,
radikalisme merupakan simpul kritis yang mengantarkan pihak atau aktor terpapar pada
tindakan teror dan perlawanan fisik-sistemik atas negara. Oleh karena itu, setiap
kesempatan struktural (structural opportunity) (Robert, 2009) dan lingkungan yang
memungkinkan (enabling environment) (Garzon, 2011) bagi radikalisme dan terorisme,
salah satunya di perguruan tinggi, harus memperoleh perhatian memadai dan menjadi
bagian integral penanganan intoleransi, radikalisme dan gerakan perlawanan terhadap
Pancasila.
Penelitian mengenai pemetaan wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi
dilandasi oleh dua konteks. Pertama, konteks makro, dimana pada tingkat nasional dan
lokal terjadi penguatan intoleransi dan konservatisme keagamaan, bahkan violent
extremism (ekstremisme-kekerasan) baik dalam bentuk yang sporadis berupa serangan-
serangan terhadap gereja, pembubaran peribadatan dan lain sebagainya, maupun dalam
bentuk yang terorganisasi seperti aksi teror.
Kedua, konteks mikro, dimana perguruan tinggi sendiri dalam beberapa waktu
belakangan ini secara faktual merupakan target strategis penyebaran narasi-narasi
radikal. Padahal dunia kampus memiliki peran vital dalam pembangunan bangsa dan
penggemblengan generasi masa depan bangsa.
Perguruan tinggi, sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, merupakan lokus
sekaligus institusi yang paling strategis dalam melakukan rekayasa sosial, dibandingkan
dengan pranata sosial lainnya. Singkatnya, sektor pendidikan adalah medium yang
menentukan suatu kondisi sosial masyarakat baik pada masa sekarang maupun di masa
yang akan datang.
Namun demikian, sektor pendidikan dianggap sebagai salah satu masalah utama dalam
pengembangan masyarakat yang toleran. Akenson (2004) berpandangan bahwa sistem
pendidikan merupakan salah satu struktur institusi utama yang melanggengkan
intoleransi sektarian. Melalui sektor pendidikan inilah toleransi dan intoleransi
direproduksi sebagai sebuah siklus ilmu pengetahuan dan menjadi konstruksi sosial
berkelanjutan. Lebih dari itu, perguruan tinggi juga berhadapan dengan konteks umum
penguatan intoleransi, penyebaran radikalisme, menguatnya konservatisme keagamaan,
dan terjadinya ekstremisme kekerasan.

1
Hasil survei yang dilakukan oleh SETARA Institute (2015) terhadap siswa-siswi SMA
(Sekolah Menegah Atas) Negeri di Jakarta dan Bandung tahun 2015, menunjukkan bahwa
ada persoalan di tingkat guru, terutama guru agama, dalam memberikan pemahaman
tentang makna toleransi atau kebhinekaan. Dengan kata lain, bahwa guru tidak optimal
mentransmisikan pengetahuan keagamaan yang plural dan tidak mampu menjadikan
pendidikan kewargaan sebagai sarana efektif memperkuat toleransi. Temuan tersebut
hanya menggambarkan satu soal dari kurang kondusifnya pembelajaran toleransi di
lingkungan pendidikan.
Merujuk pada situasi toleransi siswa seperti dijelaskan di atas, maka episode inkubasi
siswa yang sejak sekolah menengah telah menjadi tidak toleran akan terjadi ketika siswa
menjadi mahasiswa universitas. Temuan-temuan dari beberapa studi tentang radikalisme
mahasiswa di kampus-kampus perlu diteliti secara menyeluruh dan ditulis ke dalam peta
toleransi yang komprehensif, sehingga dapat digunakan sebagai referensi untuk
mempersiapkan kebijakan penghapusan intoleransi dan dan pencegahan radikalisme di
universitas, dengan fokus utama mahasiswa.
SETARA Institute menyadari bahwa radikalisme tidak serta merta muncul dan
berkembang dengan sendirinya, namun ada pihak-pihak yang mengorkestrasi agenda
radikalisasi secara terencana. Salah satu yang kerap menjadi media penyebaran
radikalisme adalah lembaga pendidikan yang merupakan media tradisional atau tempat
yang kerap menjadi ruang persebaran radikalisme (hotspots). Pemanfaatan lembaga
pendidikan sebagai media inkubasi sekaligus penyemaian radikalisme dilatarbelakangi
oleh strategisnya posisi lembaga ini sebagai pranata sosial yang menentukan kondisi
sosial masyarakat di masa kini dan masa mendatang melalui generasi muda yang dididik
di dalamnya. Radikalisasi dalam sektor pendidikan menyasar peserta didik yang secara
psikologis masih dalam masa pencarian jatidiri yang haus akan pengetahuan, dan
kebenaran.
Kekhawatiran adanya radikalisme dalam dunia pendidikan termasuk universitas bukanlah
hal yang berlebihan. Banyak laporan maupun hasil penelitian yang telah memaparkan
betapa ada gejala serius masifnya radikalisasi di perguruan tinggi terutama yang
menyasar mahasiswa. Pada tahun 2018, Badan Nasional penanggulangan Terorisme
(BNPT) merinci ada tujuh perguruan tinggi negeri yang terpapar radikalisme. Pada tahun
yang sama, Badan Intelijen Negara (BIN) juga menyebut ada 39 persen mahasiswa di 15
Provinsi yang terpapar paham radikal. Hasil survei Alvara Research Center (2017) juga
mengindikasikan hal serupa bahwa di kalangan mahasiswa ada kecenderungan
pemahaman dan sikap yang intoleran dan radikal, yang ditunjukkan dengan beberapa
indikator pertanyaan yakni peresentase mahasiswa yang tidak mendukung pemimpin
nonmuslim cukup besar 29,5%; mahasiswa yang setuju dengan negara Islam sebesar
23,5%; dan persentase mahasiswa setuju dengan khilafah 17,8%. Beberapa tahun
sebelumnya pada tahun 2016, LIPI menyebutkan bahwa gerakan radikal telah menyasar
kampus-kampus dalam rangka radikalisasi hingga rekrutmen kader dengan
memanfaatkan diskusi-diskusi dan organisasi mahasiswa di kampus.
Terdapat persoalan serius yang tengah menimpa kampus-kampus di Indonesia yakni
ketidakmampuan menangkal penguatan intoleransi, penyebaran radikalisme, penguatan
konservatisme keagamaan dan afirmasi atas ekstremisme kekerasan di dalam tubuh

2
mereka sendiri. Riset beberapa lembaga sebagaimana diulas sebagian di muka
menjelaskan fenomena itu secara benderang.
Dengan demikian, perhatian serius perlu diarahkan pada eksistensi kampus sebagai
lembaga pendidikan yang idealnya menghasilkan lulusan yang toleran, cinta damai dan
bertanggung jawab sesuai Pancasila dan UUD 1945. Bukan justru menjadi lokus sekaligus
intitusi yang menjadi ruang persemaian narasi-narasi radikal dari kelompok tertentu.
Untuk itu diperlukan suatu penelitian lebih mendalam terhadap kondisi toleransi dan
radikalisme di kampus yang mengungkap lebih jelas mengenai seperti apa dan bagaimana
kondisi intoleransi dan radikalisme di kampus dapat berkembang dengan leluasa. Dalam
penelitian ini, SETARA Institute memfokuskan diri untuk memetakan wacana dan gerakan
keagamaan di kalangan mahasiswa.

Kerangka Konseptual
Konsep kunci dalam penelitian ini perlu secara ringkas disampaikan, baik karena
mengundang ‘academic dispute’ maupun demi mencegah meluasnya pemahaman atas
konsep dimaksud. Terdapat tiga konsep kunci yang penting untuk ditegaskan
pendefinisiannya dalam penelitian ini, yaitu toleransi, radikalisme serta wacana dan
gerakan keagamaan.
Toleransi merupakan ekspresi penerimaan dari satu terhadap yang lain, pengakuan dari
diri (self) akan keberadaan liyan (others), dan kehendak masing-masing identitas yang
berbeda untuk hidup berdampingan secara damai. Dalam kerangka toleransi, jika pun
terdapat ketidaksetujuan terhadap kepercayaan dan keyakinan yang melekat pada
identitas yang berbeda—baik di ranah simbol, tradisi, norma, bahkan ritus—
ketidaksetujuan tersebut dihaluskan (sublimated disapproval) (Little, 2008). Bahkan,
meskipun entitas partikular tertentu percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk ikut
campur terhadap identitas lain yang berbeda, mereka secara sengaja memilih tindakan
untuk menahan diri dari mencampuri pihak yang berbeda (Cohen, 2004), apalagi
mengubah dan mempersekusinya.
Sedangkan radikalisme, dengan mengacu pada konsepsi Omar Ashour (2009) dan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), merupakan paham atau ideologi yang secara
umum memiliki beberapa ciri berikut; Pertama, menggunakan kekerasan atas nama
agama untuk melakukan perubahan atas tatanan yang ada. Kedua, anti demokrasi, NKRI
dan Pancasila, dan ketiga, berpaham takfiri (mengkafirkan orang lain).
Sementara wacana keagamaan mahasiswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
seluruh narasi yang mempengaruhi pandangan dan perilaku keagamaan mahasiswa,
mulai dari sumber bacaan, organisasi, pola-pola interaksi, saluran-saluran formal dan
informal pengajaran agama, serta lingkungan makro perguruan tinggi yang
mempengaruhi wacana keagamaan pada diri mahasiswa. Sedangkan gerakan keagamaan
adalah setiap aktivitas berupa tindakan kelompok yang bersifat formal maupun informal
yang berbentuk organisasi atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu
keagamaan dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan.

3
Kerangka Metodologis
Atas nama kebebasan akademik, masing-masing peneliti di 10 perguruan tinggi diberikan
kemerdekaan untuk menggunakan tool ilmiah yang paling pas bagi riset di masing-masing
kampus. Namun demikian, penelitian mengenai kondisi wacana keagamaan di kalangan
mahasiswa di 10 universitas ini secara umum menggunakan pendekatan kualitatif dalam
penelitiannya. Sementara itu, jenis penelitian yang digunakan di tiap-tiap peneliti di setiap
universitas tidaklah sama persis namun disesuaikan dengan kecenderungan dan keahlian
peneliti di masing-masing universitas. Sehingga, ada beberapa jenis penelitian yang
digunakan dalam keseluruhan penelitian ini seperti penggunaan jenis penelitian studi
kasus untuk penelitian di UGM dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kemudian ada pula
penggunaan metode penelitian Desk Review (kajian dokumen, data statistik, riset
sebelumnya serta textbook) untuk penelitian di Universitas Airlangga serta kombinasi
dengan survei sederhana untuk penelitian di IPB. Ada pula penggunaan metode etnografi
yang digunakan secara kombinatif pada penelitian di beberapa universitas.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan beberapa teknik yang
secara umum meliputi wawancara mendalam (in-depth interview) baik terstruktur
maupun tidak terstruktur, diskusi kelompok terfokus atau Focused Group Discussion
(FGD), pengamatan atau observasi, dan analisis dokumen atau data sekunder. Penelitian
di ITB menggunakan teknik pengumpulan data wawancara jurnalistik yang semi struktural
dan observasi. Kemudian di UNAIR menggunakan teknik pengumpulan data berupa
Wawancara mendalam (Indepth Interview), individual interview, observasi, desk study
atau Studi Literatur, FGD, Policy review, dan autoetnografi. Di UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, teknik pengumpulan datanya menggunakan teknik wawancara mendalam,
pengamatan partisipatif dan dokumentasi. Di Universitas Indonesia menggunakan teknik
wawancara mendalam dan observasi langsung. Di Universitas Brawijaya juga
menggunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam. Lalu di IPB menggunakan
teknik pengumpulan data analisis media dan dest study serta wawancara mendalam.
Untuk waktu dan tempat penelitian, secara umum penelitian dilaksanakan di 10
universitas di Indonesia yakni Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarief
Hidayatullah, Institut Teknologi Bandung, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri
Yogyakarta, Universitas Brawijaya, dan Universitas Airlangga. Penelitian di setiap
universitas berlangsung pada bulan Februari-April 2019.

Beberapa Temuan Kunci


Pertama, secara demografi kemahasiswaan, 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
merupakan miniatur Indonesia muda yang beragam etnis, ras, suku dan agama. Meskipun
demikian, analog dengan demografi penduduk Indonesia, mayoritas mahasiswa di PTN
yang menjadi area riset ini beragama Islam. Secara faktual, kegiatan keislaman lebih
dominan di kalangan mahasiswa. Dampaknya, kegiatan mahasiswa beragama selain Islam
tidak banyak terakomodasi. Dalam potret demikian itulah, praktik-praktik intoleransi
mengemuka, terutama yang berkenaan dengan tata cara berpakaian, terbatasnya akses
minoritas nonmuslim atas aktivitas peribadatan, tidak tersedianya fasilitas tempat ibadah,

4
diskriminasi yang dialami oleh minoritas nonmuslim dalam kegiatan bersama
kemahasiswaan, dan lain sebagainya. Gejala ini ditemukan di seluruh area riset.
Kedua, corak kegiatan keislaman di sebagian besar kampus sebenarnya monolitik,
cenderung homogen, belum mengakomodir kegiatan kelompok-kelompok lain sesama
Islam. Hal itu terlihat dari dominasi kegiatan keislaman tertentu yang diakomodir oleh
lembaga struktural kemahasiswaan seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Lembaga
Dakwah Fakultas (LDF), dan UKM Kerohanian Islam (dengan aneka nomenklatur
organisasi), yang sebenarnya hanya mengakomodasi kegiatan keislaman kelompok-
kelompok Tarbiyah dan Tahririyah (yang belakangan simpul-simpul gerakannya dikuasai
oleh gerakan Tarbiyah). Hampir semua organisasi dan kegiatan keislaman di seluruh
kampus area riset memiliki kecenderungan yang sama.
Ketiga, wacana keagamaan di kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi negeri saat
ini sebagian besar masih dikuasai oleh kelompok tarbiyah dan eks-HTI yang
‘bertransformasi’ menjadi aktivis gerakan tarbiyah. Hal ini terjadi di beberapa kampus
yang menjadi area riset SETARA Institute, yaitu UI, IPB, ITB, UGM, dan UNY. Meskipun
terdapat variasi dan perbedaan fokus, wacana keagamaan yang dikembangkan oleh
mereka bersifat eksklusif, mendukung dan memperjuangkan formalisme syariah Islam di
kampus, sehingga cenderung intoleran terhadap nonmuslim dan resisten terhadap
wacana keagamaan kelompok lain.
Keempat, wacana dominan yang dikembangkan oleh kelompok Islam eksklusif di
kalangan mahasiswa beberapa kampus, khususnya di UI, IPB, ITB, dan UIN Jakarta, antara
lain; (1) Kewajiban umat Islam untuk menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan bermasayarakat. Narasi yang dikembangkan adalah cara pandang bahwa
keselamatan masyarakat hanya dapat dicapai selama masyarakat taat menjalankan
perintah Tuhan yang sudah disampaikan melalui Al Quran dan hadits. (2) Adanya
ancaman terhadap Islam yang datang dari musuh-musuh Islam. Narasi yang direproduksi
adalah perlunya umat Islam bersatu melawan penindasan terhadap Islam yang terus
berkembang secara berkelanjutan oleh kaum kafir atau musuh-musuh Islam, yang
merupakan kombinasi dari kelompok Kristen, Zionisme, imperialisme-kapitalisme Barat,
dan kalangan liberal-sekuler. Kejahatan global atas Palestina merupakan amsal yang
direproduksi secara konstan untuk menguatkan wacana ini. (3) Era sekarang adalah era
perang pemikiran (ghazwul fikr). Narasi yang mendapat penekanan bahwa Islam
ditaklukkan oleh Barat karena penguasaan pemikiran dan kebudayaan. Kombinasi dari
ketiga narasi tersebut adalah terbangunnya sebuah komunitas solid yang eksklusif,
bersikap hati-hati, mencurigai, memusuhi, dan menutup diri dari kalangan lain.
Kelima, gerakan keagamaan di kalangan mahasiswa di berbagai kampus negeri hampir
seluruhnya didominasi oleh gerakan tarbiyah yang dilakukan dengan cara menguasai
organisasi kemahasiswaan intra kampus (di hampir seluruh kampus area riset), masjid
besar Kampus (UI, IPB, ITB, dan Universitas Brawijaya, UNRAM), mushalla-mushalla
Fakultas (di hampir seluruh area riset), dan asrama mahasiswa (IPB). Akibatnya, dinamika
politik mahasiswa di kampus cenderung eksklusif, anti pemimpin organisasi
kemahasiswaan dari kalangan nonmuslim atau bahkan muslim di luar kelompoknya.
Akibatnya, di berbagai organisasi dan kelembagaan mahasisawa, berkembang sikap
bahwa mahasiswa nonmuslim tidak boleh memimpin satu organisasi/kelembagaan

5
mahasiswa intra kampus. Mereka tidak menyetujui pemimpin nonmuslim dalam beragam
dimensi kehidupan kemahasiswaan di kampus. Hal ini tentu saja merupakan buah dari
indoktrinasi keagamaan eksklusif mengenai pemahaman keagamaan yang bersifat
tekstual dan skripturalistik.
Keenam, penguasaan organisasi intrakampus oleh gerakan keagamaan eksklusif di
beberapa kampus dilakukan dengan aneka strategi politik, bahkan dengan menghalalkan
segala cara (machiavellis). Misalnya, dengan merekayasa aturan Panitia Penyelenggara
Pemilu Mahasiswa yang juga mereka kuasai, sehingga calon Ketua BEM hanya satu
(tunggal) dari kelompok mereka, politisasi aturan mengenai syarat dukungan yang sulit
dipenuhi bakal calon dari kelompok lain, dan lain sebagainya. Mereka membayangkan
kontestasi politik mahasiswa seperti daarul harb (wilayah peperangan), sehingga
kebohongan, rekayasa, dan strategi curang-manipulatif menjadi ‘halal’ untuk digunakan.
Ketujuh, wacana dan gerakan keagamaan yang bersifat eksklusif memicu terjadinya
pelanggaran hak dasar bagi minoritas nonmuslim, khususnya hak atas kebebasan
beragama/berkeyakinan. Aktivis kunci Ormawa intrakampus pada umumnya bersifat
permisif terhadap ketidaktersediaan fasilitas tempat ibadah serta fasilitas untuk kegiatan
keagamaan lainnya. Sebagian besar pemimpin Ormawa melakukan labelling bahwa
mahasiswa nonmuslim yang secara jumlah memang tidak banyak tersebut tidak rajin dan
tidak intensif beribadah. Selain itu, pada umumnya mereka beranggapan bahwa minoritas
harus hormat dan tunduk pada aturan mayoritas.
Kedelapan, beberapa medium penyebaran wacana islamisme kelompok Islam eksklusif
dan kontra wacana terhadap paham keagamaan yang berbeda dengan mereka di
kalangan mahasiswa disebarkan melalui berbagai kajian, khutbah jum’at, liqo’, daurah,
halaqoh dan pengkaderan anggota secara rutin. Selain itu, diseminasi wacana keagamaan
mereka juga dilakukan melalui berbagai bacaan buku, majalah dan buletin jum’at.
Kelompok Salafi Wahabi mempunyai Buletin Al Hujjah, HTI punya Kaffah yang disebar
ribuan eksemplar setiap pagi jum’at. Buletin itu biasanya diletakkan di beranda masjid.
Kesembilan, reproduksi wacana dan gerakan keislaman eksklusif di hampir seluruh area
riset dilakukan dengan melakukan penguasaan atas masjid. Ada tiga pola umum
penguasaan yang dilakukan oleh kelompok keislaman eksklusif yaitu sebagai berikut. A)
dengan menjadikan masjid besar kampus sebagai markas utama kaderisasi dan
penguasaan jaringan strategis yang dibutuhkan, termasuk Ormawa intra kampus. Pola
semacam ini ditemukan di IPB, dimana masjid pusat Al-Hurriyyah dijadikan sebagai
markas utama kelompok Tarbiyah dan eks-HTI yang belakangan menyaru ke dalam
gerakan tarbiyah. B) Dengan menguasasi sepenuhnya masjid besar kampus dan mushalla
(atau masjid) fakultas-fakultas dan asrama mahasiswa. Pola ini dapat ditemukan di
sebagian besar perguruan tinggi area risit. C) Menjadikan masjid besar di kampus sebagai
‘central hub’ yang menghubungkan jaringan dengan masjid-masjid ‘tetangga’ di sekitar
kampus. Hal itu yang terjadi di UGM, paling tidak sebelum tahun 2012.
Kesepuluh, wacana dan gerakan keagamaan eksklusif yang berkembang di kalangan
mahasiswa dan politik organisasi kemahasiswaan merembet ke dalam politik kampus
pada umumnya, sebab structural opportunity di lingkungan kekuasaan kampus, baik di
rektorat maupun dekanat, disadari oleh kelompok Islam eksklusif menentukan iklim

6
kaderisasi mereka di kalangan mahasiswa dan menentukan eksistensi dan kekuatan
jaringan mereka di kampus. Kekuatan-kekuatan jejaring politik yang dimiliki dan dilakukan
kelompok bekerja aktif dalam ragam momentum politik di internal kampus, mulai dari
pemilihan Rektor, Dekan, hingga Ketua Jurusan. Fenomena ini tergambar di beberapa
kampus, utamanya di IPB, ITB, dan UI dengan beberapa varian. Dalam konteks itu, perlu
disampaikan bahwa di seluruh area riset, secara riil tidak ada Rektor yang betul-betul
memiliki latar belakang keislaman eksklusif. Namun, berkembangnya keislaman eksklusif
di kampus menunjukkan bahwa kebijakan, absensi kebijakan, atau kelalaian pimpinan
kampus negeri telah melahirkan enabling environment bagi penguatan wacana dan
gerakan keislaman eksklusif di kampus.
Kesebelas, kecuali di UIN Jakarta, UIN Bandung dan UGM (dimana Asistensi Agama Islam
sudah dihapus sejak 2012), program pendampingan pendidikan agama Islam (dengan
aneka nomenklatur program seperti mentoring, tutorial, atau asistensi) diinstrumentasi
oleh gerakan Islamis eksklusif untuk mendoktrinkan wacana keagamaan versi mereka. Di
hampir seluruh area riset, seluruh mahasiswa muslim wajib mengikuti program tersebut
karena memiliki bobot SKS. Dalam spektrum masalah ini, pembelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI) juga rekrutmen dosen pengampunya menjadi mendesak untuk
dilakukan penataan ulang oleh setiap perguruan tinggi negeri.
Keduabelas, minimnya kontestasi dan pengaruh wacana keagamaan di kalangan gerakan
mahasiswa dari kelompok berbasis organisasi massa besar seperti NU dan
Muhammadiyah, juga organisasi-organisasi non-religious based lainnya, merupakan salah
satu faktor yang membuat dominasi wacana keagamaan di berbagai kampus bercorak
eksklusif dan intoleran. Secara umum (kecuali di UIN Jakarta), HMI, PMII, IMM, KMNU,
GMNI dan organ ekstra keagamaan lain tidak banyak memberikan strategi oposisional
terhadap dan gagal menawarkan alternatif bagi gerakan keislaman eksklusif semacam
gerakan tarbiyah, terutama melalui KAMMI yang berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), dan gerakan tahririyah yang sejak 2017 bertransformasi secara terselubung ke
dalam gerakan tarbiyah. Hampir seluruh informan kunci dari kelompok moderat di
kampus-kampus area riset mengonfirmasi situasi tersebut.
Ketigabelas, surutnya iklim diskusi ilmiah di seluruh area riset, mendorong percepatan
tumbuhnya lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) terjadinya dominasi
wacana keagamaan eksklusif ala gerakan tarbiyah dan tahririyah, yang secara aktif
menawarkan forum diskusi alternatif yang menjawab kebutuhan mahasiswa, yang mulai
bertransformasi menjadi masyarakat urban. Pada saat yang sama mereka juga mengalami
kekeringan spiritualitas masyarakat modern dan perkotaan. Gerakan keagamaan eksklusif
tidak hanya menawarkan pemahaman Islam sebagai ‘teologi pascakematian’, tapi juga
membangun ghirah keislaman untuk bangkit dari ketertindasan oleh konspirasi nasional
dan global serta memiliki kewaspadaan yang tinggi dalam perang pemikiran (ghazwul fikr)
yang sedang berlangsung. Dalam suasana perang yang diindoktrinasikan tersebut, mereka
hanya membaca literatur-literatur keislaman tokoh-tokoh mereka, seperti Hasan Albanna
dan Aidh Alqarni. Pemikiran dari kaum Islam pluralis dan pembaharu di Indonesia seperti
Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Maarif, Abdurrahman Wahid, tidak pernah mereka
diskusikan, kecuali dalam konteks indoktrinasi bahaya ancaman pemikiran liberal. Dalam
konteks yang sama, tulisan tokoh-tokoh lain dengan kepakaran agama sangat mumpuni

7
seperti M. Quraish Shihab, Musthafa Bisri (Gus Mus), dan M Zainul Majdi (TGB) tidak
mendapat tempat dalam forum-forum tertutup kelompok Islamis tersebut. Mereka lebih
lebih suka menyimak tulisan atau ceramah Felix Siauw, Salim A Fillah, dan Adi Hidayat.
Keempatbelas, beberapa kampus area riset saat ini telah menampilkan inisiatif untuk
mencegah dan memitigasi radikalisme dan gerakan keislaman eksklusif di perguruan
tinggi negeri. Di antara kampus-kampus area riset, prakarsa untuk meng-counter narasi
dan gerakan keislaman eksklusif yang membahayakan kelembagaan akademik kampus
dan eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara-bangsa adalah Universitas Gadjah Mada
pada Tahun 2012, di era kepemimpinan Rektor Pratikno yang berlangsung sampai
sekarang. Beberapa kampus lainnya mengalami transformasi dan inisiatif serupa. Secara
umum, dengan tidak bermaksud mengecilkan inisiatif-inisiatif lain, beberapa yang dapat
disebut sebagai berikut.
1) Merespons tendensi eksklusivisme yang berkembang di Jamaah Shalahuddin, UGM
telah merestrukturisasi peran dan fungsi Organisasi tersebut sebagai Unit
Kerohanian di UGM dan mengganti namanya menjadi “Unit Kerohanian Mahasiswa
Muslim Gadjah Mada” (UKMM-GM), juga statuta dan peranannya.
2) UGM juga merestrukturisasi pengelolaan Masjid Kampus UGM dan
memposisikannya langsung di bawah rektorat. Hasilnya latar belakang keislaman
para narasumber yang mengisi kegiatan keislaman di masjid kampus lebih beragam
dan lebih moderat.
3) UGM menghapus asistensi agama Islam yang pada praktiknya digunakan kelompok
keislaman eksklusif untuk mendiseminasi wacana dan doktrin keagamaannya,
bahkan sebagai bagian dari simpul kaderisasi.
4) Sejak 2018, pimpinan UI secara serius melakukan program deradikalisasi, terutama
dalam bentuk pengisian jabatan-jabatan penting di kampus dengan tokoh-tokoh
pluralis dan moderat.
5) Di kalangan masyarakat sipil kampus UI, terjadi penguatan organ dan jaringan
moderasi keagamaan dan pemajuan toleransi yang melakukan aksi-aksi strategis
untuk memperkuat kebinekaan di UI.
6) Di IPB, di bawah kepemimpinan Rektor Arif Satria, telah diambil prakarsa untuk
‘membuka’ Masjid Alhurriyyah untuk seluruh paham keislaman, melalui program
subuh berjama’ah, IPB bershalawat, sentralisasi seluruh kegiatan keislaman di
Masjid, dan sebagainya.
7) IPB merupakan satu-satunya di antara kampus area riset yang menyediakan fasilitas
peribadatan untuk seluruh agama selain Islam.
8) Untuk mengantisipasi infiltrasi radikalisme, sejak 2017 UNY di bawah
kepemimpinan Rektor Sutrisna Wibawa melembagakan Pusat Studi Pancasila dan
Konstitusi (PSPK) untuk memperkuat dan memajukan kajian Pancasila dan
pembumian nilai-nilai Pancasila.
9) UNY juga melakukan terobosan kultural untuk membangun iklim kampus dan
masjid yang lebih terbuka. UNY mengadakan konser band di kampus dan event UNY
njathil (Jathilan sering dipandang oleh kelompok Islam eksklusif sebagai tradisi yang
dapat merusak aqidah). Rektor juga mengadakan Tabligh Akbar dengan Pembicara
Gus Muwafiq sekaligus konser Bimbo di Masjid Kampus.

8
Simpulan
Pertama, di berbagai kampus negeri area riset masih berkembang wacana dan gerakan
keagamaan eksklusif yang tidak hanya digencarkan oleh satu kelompok keislaman
tertentu, tapi oleh beberapa kelompok yaitu gerakan salafi-wahabi, gerakan tarbiyah, dan
gerakan tahririyah. Dalam situasi tertentu, kondisi ini sesungguhnya berpotensi menjadi
ancaman bagi Pancasila, demokrasi, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Misalnya,
wacana Islam tertindas oleh musuh-musuh Islam dalam bentuk konspirasi dan ghazwul
fikr yang terus menerus-menerus direproduksi dan diindoktrinasi kepada generasi muda
di perguruan tinggi, akan mengancam harmoni sosial dan integrasi nasional, jika ada
pemicu (trigger) politik yang tepat.
Kedua, pembubaran HTI pada kenyataannya tidak mengurangi derajat eksklusivitas
wacana dan gerakan keislaman di perguruan tinggi, pun tidak menjadi solusi kunci bagi
penyebaran radikalisme di perguruan tinggi atau paling tidak penyebaran narasi
intoleransi. Sebab wacana dan gerakan keislaman eksklusif dengan ragam variannya
sejatinya sudah mengakar sejak lama, sekitar dua dekade yang lalu. Pembubaran HTI
hanya menghilangkan struktur organisasi di permukaan, tapi wacana keislaman eksklusif
yang dikembangkan masih terus berkembang bahkan aktivis dan organisasi onderbouw-
nya seperti Gema Pembebasan secara riil masih eksis di bawah permukaan.
Ketiga, inisiatif yang sudah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi menunjukkan
bahwa aktor-aktor kunci di perguruan tinggi memainkan peran penting dalam
mengurangi structural opportunity dan mendestruksi enabling environments bagi
berkembangnya wacana dan gerakan keislaman eksklusif di kampus, khususnya kampus-
kampus negeri. []

Anda mungkin juga menyukai