Anda di halaman 1dari 11

Skip to main content

catatan perpajakan
tax blog for beginners

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Oleh Raden Agus Suparman - June 10, 2015

gambar dari LewatMana.com


Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak
badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium
wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada
kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh
Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan


operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan
suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita "cirikan" karakteristik konsorsium:

1. kumpulan dua badan atau lebih,


2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.

Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama


proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP
harus dihapus.

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN


Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:

 kewajiban PPh Badan, dan


 kewajiban PPh Potput.

Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU
PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun
direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak.
Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara
Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-
823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT
Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25
atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:

 Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium


(badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).
 Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.

Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti
potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota
konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk


pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini
tahapannya:

1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO


terdaftar.
2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan
Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi
kewajiban JO
5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima,
dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-
masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium
jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative
JO memiliki ciri-ciri:
 kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas
nama JO
 Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO,
bukan pada masing-masing anggota JO
 pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan,
tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing)
sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan
(scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint
Operation Agreement.

Dalam hal konsorsium memiliki "manajemen" dan memiliki laporan keuangan maka
seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini
diperlakukan sebagai subjek pajak.

Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:

 memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium


sesudah dikurangkan dengan biaya.
 penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis
ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan
yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik
entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah.
Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing
menghitung penghasilan neto.

KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES


Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh
konsorsium sebagai pemberi penghasilan:

 memberikan gaji ke buruh,


 menyewa alat berat atau aktiva lain,
 menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,
 membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
 membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.

Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan
subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang
diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian
disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat
bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.

KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja
Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:
Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama
bentuk kerja sama operasi.
Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012
memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut
kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek).
Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint
operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua
transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada
pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:


a. joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada
pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c. apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama
joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek),
maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF
kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak
kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan
(pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek).


Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait


dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara
nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint
operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
JO Objek PPN PKP PPh Pasal 21 PPh Pasal 23 PPh Pasal 26 Subjek PPh
Raden Agus Suparman
Adalah seorang petugas #pajak sejak 1995. Berpengalaman menjadi pemeriksa pajak,
penyidik PNS pajak, pengajar di Pusdiklat Perpajakan, dosen STAN, pembimbing skripsi D4
STAN, narasumber sosialisasi kebijakan pemeriksaan. Dan, tahun 2013, pernah menjadi ahli
pemeriksaan pajak di Pengadilan Negeri Bandung. Sekarang sebagai Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi
.
1 comment

Popular posts from this blog

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Oleh Raden Agus Suparman - October 19, 2016

Pada dasarnya postingan ini adalah salinan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor
PER-16/PJ/2016 tentang pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan
pajak penghasilan pasal 21 dan/atau pajak penghasilan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi. Tapi karena disajikan dalam postingan blog, saya
modifikasi seperlunya. Tujuannya biar enak dibaca. Walaupun demikian, memang masih
terasa membosankan dan bertele-tele.
Baca tulisan lengkap »»»

PPN Jasa Freight Forwarding dan PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding

Oleh raden agus suparman - October 23, 2015

Berhubung banyaknya pertanyaan terkait dengan freight forwarding di postingan


sebelumnya, saya berpikir akan lebih jelas jika pembahasannya dalam satu tulisan antara PPN
dan PPh Pasal 23. Peraturan yang berlaku sekarang ada perbedaan antara PPN dan PPh Pasal
23. Terutama dilihat dari sisi dasar pengenaan atau yang sering disebut DPP. Berikut
pembahasannya.

Baca tulisan lengkap »»»


djponline yang katanya sering maintenance

Oleh raden agus suparman - March 02, 2016

Setiap Wajib Pajak yang datang ke meja saya, selau saya promokan laman djponline. Apa
dan bagaimana djponline. Karena nantinya djponline akan jadi pintu gerbang andalan Wajib
Pajak dan DJP. Dari sekian tamu yang datang, salah seorang tamu bertanya, "DJP itu apa
pak?" Saya ketawa karena orang yang sering datang ke kantor pajak pun tidak tahu
kepanjangan dari DJP. Saya bilang, "Direktorat Jenderal Pajak". Mungkin orang tersebut
tahunya kantor pajak heheheh.
Baca tulisan lengkap »»»
Powered by Blogger
Theme images by konradlew

Berisi tentang apa saja yang terkait dengan perpajakan di Indonesia. Bisa berisi pengalaman,
aturan, maupun tips mengatasi masalah perpajakan.

5 posting teranyar

 Pajak-Pajak Yang Dikenakan di Kerajaan Saudi Arabia


 Mulai 2018, Asrama dan Rumah Kos Tidak Dikenai PPh Final
 Blog Perpajakan Baru di tahun 2018
 Begini Cara Validasi SSP Penjualan Tanah dan Bangunan
 HS Code Wajib Dicantumkan Dalam Faktur Pajak Untuk Penyerahan Ke Kawasan
Bebas

twit #pajak

Archive

Labels

daftarkan email anda untuk berlangganan setiap posting-an baru, dikirim langsung ke alamat
email anda

Delivered by FeedBurner
PPENGERTIAN Joint Operation (JO) dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia
tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut
bahwa JO adalah merupakan bentuk kerja sama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau
lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek.

Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat


penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali
dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.

BERITA TERKAIT +

 Pajak UMKM, Sederhana Tapi Tidak Adil


 Pengenaan PPh Final terhadap UMKM Mengenyampingkan Aspek Keadilan
 UMKM Jadi Target Pemajakan

Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-
Administrative JO.

a. Administrative JO

Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan
pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO
dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya.
Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada
masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek,
pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit
sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of
works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

b. Non-Administrative JO

JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut
sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas
nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat
koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing
anggota.

Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas JO Konstruksi

Kecuali kontrak investasi kolektif (KIK), penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak
secara spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk
Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan
oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak
diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan.

a. Aspek PPh - Administrative JO.

Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-
mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban
memotong PPh pasal 21, pasal 23, pasal 26, pasal 4 ayat 2 dan pasal 15). Kewajiban PPh
Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan
(perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau
penghasilan yang diterimanya.

Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak terutang PPh pasal 4 ayat(2)
atau PPh Final yang dipotong oleh Project Owner pada saat pembayaran uang muka dan
termin atas tahapan penyelesaian pekerjaan konstruksi. Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah
nomor 51 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 40
tahun 2009, atas penghasilan yang diperoleh dari usaha jasa konstruksi seluruhnya telah
dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final dengan tarif:

a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi kecil

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang


dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang


dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh Final tersebut
sebagai bukti pelunasan pajak terutang, dengan menganalogikan perlakuan pada Surat
Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong
PPh pasal 23, maka:

1). Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan / atau pemotongan PPh
Pasal 4 ayat (2), maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong kepada
Project Owner yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama
JO.qq. perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati
sebelumnya.

2). Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 4 ayat(2) atas nama JO, maka JO
dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 4 ayat (2) kepada pihak
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian
dilakukan pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.

Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini)
mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan
Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan
hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Administrative JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK
12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode
equity.
b. Aspek PPh Non-Administrative JO

Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan


pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO.
Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga
diajukan melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 4
ayat (2) tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).

Perlakuan PPN Atas JO

Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143
Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002
diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama
Operasi termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-
Administrative JO yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-
masing anggota, Administrative–JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN.

Inkonsistensi Beberapa Surat Penegasan Dirjen Pajak Tentang Pemajakan Atas JO


Menimbulkan Ketidakpastian

SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23 merupakan satu-
satunya SE Dirjen Pajak yang pernah diterbitkan terkait dengan pemajakan JO. Selebihnya
hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh Wajib Pajak. Karena merupakan Surat (private ruling) maka hal ini tentu saja
”tidak selalu” dapat menjadi acuan umum.

Beberapa surat penegasan yang diterbitkan Dirjen Pajak ternyata tidak konsisten antara satu
dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Hal tersebut terlihat
dalam beberapa contoh Surat Dirjen Pajak berikut ini.

- S-752/PJ.52/1990

Surat ini menegaskan bahwa JO dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila JO
menutup kontrak atas namanya. Apakah kontrak pekerjaan (proyek) dibuat dan
ditandatangani antara Project Owner dengan JO menjadi penentu apakah JO harus menjadi
PKP atau tidak. Dengan kata lain, apabila kontrak ditandatangani oleh Project Owner dengan
masing-masing anggota JO maka JO tidak merupakan PKP dan tentu saja tidak wajib
memiliki NPWP. Dalam hal ini fiskus tampaknya lebih mementingkan bentuk hukum (legal
form).

- S-823/PJ.312/2002

Ditegaskan dalam Surat ini bahwa JO harus memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai PKP
apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas nama JO.
Frase ”secara nyata-nyata” menekankan pentingnya hakekat atau substansi dari transaksi
(substance). Hal ini berbeda dengan S-752/PJ.52/1990 yang lebih menekankan legal form-
nya. Bisa jadi sebagian Wajib Pajak menginterpretasikan bahwa meskipun secara legal
kontrak pekerjaan ditandatangani atas nama JO seperti layaknya Administrative JO, apabila
kenyataannya proyek dikerjakan bukan atas nama JO melainkan oleh masing-masing anggota
sesuai scope pekerjaan yang disepakati layaknya Non-Administrative JO, maka seyogianya
JO tidak harus menjadi PKP. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi antara fiskus
dan Wajib Pajak, antar Wajib Pajak, bahkan mungkin antar aparat pelaksana (fiskus) sendiri.
Jelas dalam hal ini Surat Dirjen Pajak No. S-823/PJ.312/2002 tidak selaras dengan Surat No.
S-752/PJ.52/1990.

- S-956/PJ.53/2005

Surat ini tidak menyinggung masalah bentuk hukum maupun substansinya namun semakin
menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian. Ditegaskan bahwa apabila sebagian anggota
JO melaksanakan pekerjaan atas nama JO maka :

• JO dan anggota JO harus terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak

• Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada Project Owner
terutang PPN dan dilaporkan di SPT Masa PPN atas nama JO sebagai Pajak Keluaran.

• Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO dalam rangka
kerjasama operasi (JO) kepada Project Owner merupakan penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak dari anggota JO kepada JO.

• Penyerahan tersebut terutang PPN dan anggota JO harus membuat Faktur Pajak kepada
JO. Bagi anggota JO, PPN dalam Faktur Pajak itu merupakan Pajak Keluaran dan bagi JO,
PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.

Perlakuan tersebut malah mengacaukan konsep JO sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan


sepertinya mencampuradukkan Administrative JO dan Non-Administrative JO. Keharusan
JO menjadi PKP dan kewajiban melaporkan PPN yang dipungut atas nama JO dalam SPT
Masa PPN adalah merupakan karakteristik dari Administrative JO. Selanjutnya anggota JO
yang melaksanakan pekerjaan atas nama JO tetapi diharuskan juga membuat Faktur Pajak
kepada JO seolah-olah masing-masing anggota JO mengerjakan sendiri scope pekerjaannya
adalah merupakan ciri Non-Administrative JO.

Surat Penegasan tersebut juga akan membawa dampak terhadap aspek pemotongan PPh pasal
23 ( yang berlaku sekarang adalah PPh pasal 4 ayat(2) atau PPh Final khusus untuk
penghasilan dari usaha jasa konstruksi). JO akan memotong PPh pasal 4 ayat (2) atas setiap
pembayaran tagihan pekerjaan konstruksi yang diajukan oleh masing-masing anggota JO.
Selanjutnya pihak Project Owner juga akan melakukan pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) atas
tagihan dari JO yang pada hakekatnya adalah merupakan jumlah tagihan yang sama dengan
yang diajukan oleh anggota JO kepada JO. Singkatnya, terjadi dua kali pemotongan PPh
pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang sama.

Kesimpulan

Beberapa surat penegasan mengenai perlakuan perpajakan JO tidak konsisten antara satu dan
lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO tersebut mengingat
semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi dengan pola kerjasama
operasi saat ini dan di masa mendatang. Apakah memilih substance over form atau form over
substance dalam pemajakan JO haruslah lebih jelas.

Selanjutnya ketentuan pemajakan hendaknya dituangkan secara pasti dalam bentuk


ketentuan hukum yang dapat menjadi acuan umum dalam pelaksanaannya, Hal ini akan
mengurangi permintaan penegasan atau private ruling oleh para Wajib Pajak sekaligus
menghindari terbitnya surat-surat jawaban dari Dirjen Pajak yang justru menimbulkan
ambigu. Khusus untuk penghasilan atas usaha jasa konstruksi yang sekarang seluruhnya telah
terkena PPh Final sebaiknya diterbitkan ketentuan khusus terkait masalah pemecahan bukti
potong karena SE-44/PJ./1994 tidak lagi relevan.

Ruston Tambunan, Ak., M.Si., M.Int.Tax,BKP

CITASCO-Registered Tax Consultants

Anda mungkin juga menyukai