catatan perpajakan
tax blog for beginners
Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU
PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun
direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak.
Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara
Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-
823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.
Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT
Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25
atau PPh Pasal 29.
Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti
potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota
konsorsium.
Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima,
dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-
masing anggota JO.
Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium
jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative
JO memiliki ciri-ciri:
kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas
nama JO
Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO,
bukan pada masing-masing anggota JO
pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan,
tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing)
sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan
(scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint
Operation Agreement.
Dalam hal konsorsium memiliki "manajemen" dan memiliki laporan keuangan maka
seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini
diperlakukan sebagai subjek pajak.
Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis
ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan
yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik
entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah.
Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing
menghitung penghasilan neto.
Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan
subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang
diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian
disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat
bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.
PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek).
Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint
operation.
Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua
transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada
pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint
operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
JO Objek PPN PKP PPh Pasal 21 PPh Pasal 23 PPh Pasal 26 Subjek PPh
Raden Agus Suparman
Adalah seorang petugas #pajak sejak 1995. Berpengalaman menjadi pemeriksa pajak,
penyidik PNS pajak, pengajar di Pusdiklat Perpajakan, dosen STAN, pembimbing skripsi D4
STAN, narasumber sosialisasi kebijakan pemeriksaan. Dan, tahun 2013, pernah menjadi ahli
pemeriksaan pajak di Pengadilan Negeri Bandung. Sekarang sebagai Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi
.
1 comment
Pada dasarnya postingan ini adalah salinan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor
PER-16/PJ/2016 tentang pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan
pajak penghasilan pasal 21 dan/atau pajak penghasilan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi. Tapi karena disajikan dalam postingan blog, saya
modifikasi seperlunya. Tujuannya biar enak dibaca. Walaupun demikian, memang masih
terasa membosankan dan bertele-tele.
Baca tulisan lengkap »»»
PPN Jasa Freight Forwarding dan PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding
Setiap Wajib Pajak yang datang ke meja saya, selau saya promokan laman djponline. Apa
dan bagaimana djponline. Karena nantinya djponline akan jadi pintu gerbang andalan Wajib
Pajak dan DJP. Dari sekian tamu yang datang, salah seorang tamu bertanya, "DJP itu apa
pak?" Saya ketawa karena orang yang sering datang ke kantor pajak pun tidak tahu
kepanjangan dari DJP. Saya bilang, "Direktorat Jenderal Pajak". Mungkin orang tersebut
tahunya kantor pajak heheheh.
Baca tulisan lengkap »»»
Powered by Blogger
Theme images by konradlew
Berisi tentang apa saja yang terkait dengan perpajakan di Indonesia. Bisa berisi pengalaman,
aturan, maupun tips mengatasi masalah perpajakan.
5 posting teranyar
twit #pajak
Archive
Labels
daftarkan email anda untuk berlangganan setiap posting-an baru, dikirim langsung ke alamat
email anda
Delivered by FeedBurner
PPENGERTIAN Joint Operation (JO) dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia
tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut
bahwa JO adalah merupakan bentuk kerja sama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau
lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek.
BERITA TERKAIT +
Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-
Administrative JO.
a. Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan
pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO
dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya.
Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada
masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek,
pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit
sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of
works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
b. Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut
sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas
nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat
koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing
anggota.
Kecuali kontrak investasi kolektif (KIK), penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak
secara spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk
Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan
oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak
diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan.
Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-
mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban
memotong PPh pasal 21, pasal 23, pasal 26, pasal 4 ayat 2 dan pasal 15). Kewajiban PPh
Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan
(perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau
penghasilan yang diterimanya.
Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak terutang PPh pasal 4 ayat(2)
atau PPh Final yang dipotong oleh Project Owner pada saat pembayaran uang muka dan
termin atas tahapan penyelesaian pekerjaan konstruksi. Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah
nomor 51 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 40
tahun 2009, atas penghasilan yang diperoleh dari usaha jasa konstruksi seluruhnya telah
dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final dengan tarif:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi kecil
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh Final tersebut
sebagai bukti pelunasan pajak terutang, dengan menganalogikan perlakuan pada Surat
Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong
PPh pasal 23, maka:
1). Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan / atau pemotongan PPh
Pasal 4 ayat (2), maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong kepada
Project Owner yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama
JO.qq. perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati
sebelumnya.
2). Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 4 ayat(2) atas nama JO, maka JO
dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 4 ayat (2) kepada pihak
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian
dilakukan pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini)
mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan
Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan
hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Administrative JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK
12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode
equity.
b. Aspek PPh Non-Administrative JO
Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143
Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002
diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama
Operasi termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-
Administrative JO yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-
masing anggota, Administrative–JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN.
SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23 merupakan satu-
satunya SE Dirjen Pajak yang pernah diterbitkan terkait dengan pemajakan JO. Selebihnya
hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh Wajib Pajak. Karena merupakan Surat (private ruling) maka hal ini tentu saja
”tidak selalu” dapat menjadi acuan umum.
Beberapa surat penegasan yang diterbitkan Dirjen Pajak ternyata tidak konsisten antara satu
dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Hal tersebut terlihat
dalam beberapa contoh Surat Dirjen Pajak berikut ini.
- S-752/PJ.52/1990
Surat ini menegaskan bahwa JO dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila JO
menutup kontrak atas namanya. Apakah kontrak pekerjaan (proyek) dibuat dan
ditandatangani antara Project Owner dengan JO menjadi penentu apakah JO harus menjadi
PKP atau tidak. Dengan kata lain, apabila kontrak ditandatangani oleh Project Owner dengan
masing-masing anggota JO maka JO tidak merupakan PKP dan tentu saja tidak wajib
memiliki NPWP. Dalam hal ini fiskus tampaknya lebih mementingkan bentuk hukum (legal
form).
- S-823/PJ.312/2002
Ditegaskan dalam Surat ini bahwa JO harus memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai PKP
apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas nama JO.
Frase ”secara nyata-nyata” menekankan pentingnya hakekat atau substansi dari transaksi
(substance). Hal ini berbeda dengan S-752/PJ.52/1990 yang lebih menekankan legal form-
nya. Bisa jadi sebagian Wajib Pajak menginterpretasikan bahwa meskipun secara legal
kontrak pekerjaan ditandatangani atas nama JO seperti layaknya Administrative JO, apabila
kenyataannya proyek dikerjakan bukan atas nama JO melainkan oleh masing-masing anggota
sesuai scope pekerjaan yang disepakati layaknya Non-Administrative JO, maka seyogianya
JO tidak harus menjadi PKP. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi antara fiskus
dan Wajib Pajak, antar Wajib Pajak, bahkan mungkin antar aparat pelaksana (fiskus) sendiri.
Jelas dalam hal ini Surat Dirjen Pajak No. S-823/PJ.312/2002 tidak selaras dengan Surat No.
S-752/PJ.52/1990.
- S-956/PJ.53/2005
Surat ini tidak menyinggung masalah bentuk hukum maupun substansinya namun semakin
menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian. Ditegaskan bahwa apabila sebagian anggota
JO melaksanakan pekerjaan atas nama JO maka :
• Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada Project Owner
terutang PPN dan dilaporkan di SPT Masa PPN atas nama JO sebagai Pajak Keluaran.
• Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO dalam rangka
kerjasama operasi (JO) kepada Project Owner merupakan penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak dari anggota JO kepada JO.
• Penyerahan tersebut terutang PPN dan anggota JO harus membuat Faktur Pajak kepada
JO. Bagi anggota JO, PPN dalam Faktur Pajak itu merupakan Pajak Keluaran dan bagi JO,
PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.
Surat Penegasan tersebut juga akan membawa dampak terhadap aspek pemotongan PPh pasal
23 ( yang berlaku sekarang adalah PPh pasal 4 ayat(2) atau PPh Final khusus untuk
penghasilan dari usaha jasa konstruksi). JO akan memotong PPh pasal 4 ayat (2) atas setiap
pembayaran tagihan pekerjaan konstruksi yang diajukan oleh masing-masing anggota JO.
Selanjutnya pihak Project Owner juga akan melakukan pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) atas
tagihan dari JO yang pada hakekatnya adalah merupakan jumlah tagihan yang sama dengan
yang diajukan oleh anggota JO kepada JO. Singkatnya, terjadi dua kali pemotongan PPh
pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang sama.
Kesimpulan
Beberapa surat penegasan mengenai perlakuan perpajakan JO tidak konsisten antara satu dan
lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO tersebut mengingat
semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi dengan pola kerjasama
operasi saat ini dan di masa mendatang. Apakah memilih substance over form atau form over
substance dalam pemajakan JO haruslah lebih jelas.