Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Tokoh Tokoh Ahli Fiqh dalam Islam

1. IMAM MALIK

Ia bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin
Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah
pada tahun 712-796 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus
sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal
leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut islam mereka
pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah anggota keluarga pertama yang
memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.

Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab
itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu,
karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan
ulama ulama besarnya. Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan
paman pamannya juga pernah berguru pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin
Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al
Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far
AsShadiq.

Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan


dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al
Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama
besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya,
menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal
mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan
rasa hormat murid terhadap gurunya.

Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang
berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan
bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh
Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan
sangsinya yaitu mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam
Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya
melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha’ yang ditulis pada masa
khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah Al Mahdi (775-785 M),
semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah diteliti ulang, Imam malik
hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku Al
Mudawwanah Al Kubra.
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan
Mazhab fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini
sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber
hukum yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah
Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al Maslaha
Al Mursal ( kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu.

2. IMAM HAMBALI

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy
Syaibani. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan rabi’ul Awwal tahun 164 H (780
M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III. Nasab
beliau yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin
Abdullah bin Hajyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzahal Tsa’labah bin akabah bin Sha’ab bin Ali bin bakar bin
Muhammad bin Wail bin Qasith bin Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin Rabi’ah
bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Jadi beliau serumpun dengan Nabi karena yang
menurunkan Nabi adalah Muzhar bin Nizar.Menurut sejarah beliau lebih dikenal
dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi kakeknya). Dan setelah mempunyai beberapa orang
putra yang diantaranya bernama Abdullah, beliau lebih sering dipanggil Abu
Abdullah. Akan tetapi, berkenaan dengan madzabnya, maka kaum muslimin lebih
menyebutnya sebagai madzab Hambali dan sama sekali tidak menisbahkannya dengan
kunyah tersebut.

Sejak kecil, Imam Ahmad kendati dalam keadaan yatim dan miskin, namun
berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi manusia yang teramat
cinta pada ilmu, kebaikan dan kebenaran. Dalam suasana serba kekurangan, tekad
beliau dalam menuntut ilmu tidak pernah berkurang. Bahkan sekalipun beliau sudah
menjadi imam, pekerjaan menuntut ilmu dan mendatangi guru-guru yang lebih alim
tidak pernah berhenti. Melihat hal tersebut, ada orang bertanya, Sampai kapan engkau
berhenti dari mencari ilmu, padahal engkau sekarang sudah mencapai kedudukan
yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin ? Maka beliau
menjawab, Beserta tinta sampai liang lahat. Beliau menuntut ilmu dari banyak guru
yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya
bin Sa’id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah
dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki’ bin Jarah,
Muhammad bin Idris asy Syafi’i dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam
ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal
perawinya.

Meskipun Imam Ahmad seorang yang kekurangan, namun beliau sangat


memelihara kehormatan dirinya. Bahkan dalam keadaan tersebut, beliau senantiasa
berusaha menolong dan tangannya selalu di atas. Beliau tidak pernah gusar hatinya
untuk mendermakan sesuatu yang dimiliki satu-satunya pada hari itu. Di samping itu,
beliau terkenal sebagai seorang yang zuhud dan wara”. Bersih hatinya dari segala
macam pengaruh kebendaan serta menyibukkan diri dengan dzikir dan membaca Al
Qur’an atau menghabiskn seluruh usianya untuk membersihkan agama dan
mengikisnya dari kotoran-kotoran bid’ah dan pikiran-pikiran yang sesat.
Salah satu karya besar beliau adalah Al Musnad yang memuat empat puluh
ribu hadits. Di samping beliau mengatakannya sebagai kumpulan hadits-hadits shahih
dan layak dijadikan hujjah, karya tersebut juga mendapat pengakuan yang hebat dari
para ahli hadits. Selain al Musnad karya beliau yang lain adalah : Tafsir al Qur’an, An
Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al Qur’an, Jawabat al
Qur’an, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash Shaghir, Tha’atu Rasul, Al
‘Ilal, Al Wara’ dan Ash Shalah.

Ujian dan tantangan yang dihadapi Imam Ahmad adalah hempasan badai
filsafat atau paham-paham Mu”tazilah yang sudah merasuk di kalangan penguasa,
tepatnya di masa al Makmun dengan idenya atas kemakhlukan al Qur’an. Sekalipun
Imam Ahmad sadar akan bahaya yang segera menimpanya, namun beliau tetap gigih
mempertahankan pendirian dan mematahkan hujjah kaum Mu’tazilah serta
mengingatkan akan bahaya filsafat terhadap kemurnian agama. Beliau berkata tegas
pada sultan bahwa al Qur’an bukanlah makhluk, sehingga beliau diseret ke penjara.
Beliau berada di penjara selama tiga periode kekhlifahan yaitu al Makmun, al
Mu’tashim dan terakhir al Watsiq. Setelah al Watsiq tiada, diganti oleh al Mutawakkil
yang arif dan bijaksana dan Imam Ahmad pun dibebaskan. Imam Ahmad lama
mendekam dalam penjara dan dikucilkan dari masyarakat, namun berkat keteguhan
dan kesabarannya selain mendapat penghargaan dari sultan juga memperoleh
keharuman atas namanya. Ajarannya makin banyak diikuti orang dan madzabnya
tersebar di seputar Irak dan Syam. Tidak lama kemudian beliau meninggal karena rasa
sakit dan luka yang dibawanya dari penjara semakin parah dan memburuk. Beliau
wafat pada 12 Rabi’ul Awwal 241 H (855). Pada hari itu tidak kurang dari 130.000
Muslimin yang hendak menshalatkannya dan 10.000 orang Yahudi dan Nashrani yang
masuk Islam.

3. IMAM SYAFI’I

Imam Syafi’i dikenal dengan salah satu imam madzhab empat, Ia bernama
lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada
tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih
keluarga jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul
Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi
Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah
menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke
rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang
sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke
mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan
keluarganya secara lebih intensif.

Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan
lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari
Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam
malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i
juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa
tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar
yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni.

Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15
tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum
merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu,
semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru
Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.

Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau
lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada
dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga
beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah
Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan
menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran
dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap
hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman
yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber
tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam
Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum
islam.

Berkaitan dengan bid’ah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi
menjadi dua macam, yaitu bid’ah terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah
tersebut selaras dengan prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam
soal taklid, beliau selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak
menerima begitu saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang
murid muridnya bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah
menyuruh untuk bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat,
sebagaimana ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad
lain yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.

Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup
isi beberapa kitabnya, selain itu juga buku Al Musnadberisi tentang hadis hadis
rasulullahyang dihimpun dalam kitab Umm serta ikhtilaf Al hadis.

4. IMAM ABU HANIFAH

Imam Abu hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi, mempunyai
nama lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di Irak
pada tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani Umayyah Abdul
Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah yang berarti suci dan
lurus, karena sejak kecil beliau dikenal dengan kesungguhannya dalam beribadah,
berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab
fiqihinya dinamakan Mazhab Hanafi.Ayahnya (Tsabit) berasal dari keturunan Persia
sedangkan kakeknya (Zutha) berasal dari Kabul, Afganistan. Ketika Tsabit masih
didalam kandungan, ia dibawa ke Kufah, kemudian menetap sampai Abu Hanifah
lahir. Ketika Zutha bersama anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali bin Abi Thalib
mendo’akan agar kelak keturunan Tsabit menjadi orang-orang yang utama di
zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan kehadiran Imam hanafi, namun tak lama
kemudian ayahnya wafat.

Abu Hanifah tumbuh dan dibesarkan di kota Kufah. Di kota inilah ia mulai
belajar dan menimba banyak ilmu. Ia pun pernah melakukan perjalanan ke Basrah,
Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan memperluas ilmu
pengetahuan yang telah ia peroleh.

Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : {“ Hammad bin Abu
Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738 M]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi
Rabah (W. : [114 H/ 732 M]) faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W. : [104 H/ 723 M])
maula serta pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M]) maula dan
pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang lain-lain. Beliau juga pernah belajar
kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin (79-122
H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]), Ja’far bin
Muhammad Al-Shadiq ([80-148 H/ 699-765 M]) serta Abdullah bin Al-Hasan. Beliau
juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal : Anas bin Malik ([10
SH-93 H/ 612-712 M]), Abdullah bin Abi Aufa ([w. 85 H/ 704 M]) di kota Kufah,
Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi ([8 SH-88 H/ 614-697 M]) di kota Madinah serta bertemu
dengan Abu Al-Thufail Amir bin Watsilah (W. : [110 H/729 M]) di kota Makkah.

Abu Hanifah belajar kepada Hammad selama 18 tahun sampai Hammad wafat.
Dan setelah itu beliau mengganti kedudukan Hammad sebagai pengajar di majelis
ilmu fiqih di kota Kufah dengan gelar Imam ahl al-ra’y yang artinya pemimpin ulama
ahlu al-ra’y. Ia pernah berkata bahwa ia tidak menunaikan shalat kecuali mendoakan
gurunya Hammad dan setiap orang yang pernah mengajarinya (belajar kepadanya).”
Hammad bin Abi Sulaiman adalah seorang guru yang paling berpengaruh dalam
pembentukan karakter intelektual dan corak mazhab Abu Hanifah.

Karya-karya Abu Hanifah yang telah sampai kepada kita adalah Kitab: Al-
Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Risalah, Kitab Kitab Al-Washiyyah, Al-Fiqh Al-Absath dan
Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim. Abu Hanifah tidak menulis karangan dalam bidang
fiqih, akan tetapi murid-muridnya telah merekam seluruh pandangan dan hasil ijtihad
Abu Hanifah dengan lengkap sehingga menjadi madzhab yang dapat diikuti oleh
kaum Muslimin. Diantara murid-muridnya yaitu: Abu Yusuf Ya’qub ibn Muhammad
Al-Anshari ([113-182 H/731-797 M), Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani ([132-
189 H/750-805 M), Zufar ibn Al-Hudzail ([110-157 H/729-774 M) dan Hasan ibn
Ziyad Al-Lu’lu`i (w. [204 H/819 M).

Abu Hanifah telah diakui sebagai ulama besar dengan keluasan ilmu
pengetahuan dalam segala bidang studi keislaman yang ia miliki, sehingga ia
termasuk Imam mujahid besar (al-imam al-a’zham) seorang Imam yang menjadi
panutan bagi kaum Muslimin sepanjang masa. Abu Hanifah pernah berkata :
sesungguhnya aku “mengistinbath” hukum dari Al-Qur’an. Bila tidak didapatkan,
maka aku pun mencarinya dari hadits-hadist dan atsar shahih yang diriwayatkan oleh
periwayat yang “Tsaqiat”, dan apabila aku masih pula belum menemukannya, maka
aku pun mengambil perkataan dari sahabat yang saya kehendaki, jika semuanya itu
telah aku lakukan, walaupun aku menemukan pendapat (dari) Ibrahim Al-Nakha-i
Atau (pendapat dari) Sya’bi Atau (pendapat dari) Sa’id Ibn Musayyab, maka aku
berijtihad sebagaimana mereka itu berijtihad. (Muhammad Musa, t.t.60).

Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Dalam
riwayatnya, Imam Ibnu Katsir mengatakan, Ada enam kelompok besar Penduduk
Baghdad kala itu yang menyolatkan jenazah Abu Hanifah secara bergantian.
Sepeninggal Abu Hanifah, Mazhab fiqihnya terus digunakan oleh kaum muslimin.
Mazhab Hanafi bahkan secara resmi menjadi mazhab yang digunakan oleh
kekhalifahan Abbasiyah, Turki Utsmani serta kerajaan Mughal. Bahkan sampai saat
ini, Mazhab Imam Hanafi banyak digunakan di daerah Turki, Suriah, Mesir, Irak,
Balkan hingga India.

Anda mungkin juga menyukai