Tugas UTS
Tugas UTS
Mata kuliah:
Psikologi Klinis
Dosen pengampu:
Agustini, S.Psi, M.Psi., Psikolog
Disusun oleh:
Luthfiyah Qurratu’ain
46115010118
Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana
Jakarta
2018
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kematian merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehidupan manusia.
Jika seseorang meninggal dunia, peristiwa kematian tersebut tidak hanya
melibatkan dirinya sendiri namun juga melibatkan orang lain, yaitu orang-orang
yang ditinggalkannya, kematian dapat menimbulkan penderitaan bagi orang-orang
yang mencintai orang tersebut (Turner & Helms dalam Cahayasari, Tt). Setiap
orang yang meninggal akan disertai dengan adanya orang lain yang ditinggalkan,
untuk setiap orangtua yang meninggal akan ada anak-anak yang ditinggalkan.
Kematian salah satu atau kedua orangtua akan menyisakan luka yang
mendalam khususnya bagi remaja. Bahkan tidak jarang remaja mengalami shock
dan sangat terpukul. Krisis yang ditimbulkan akibat kehilangan orang tua memiliki
dampak serius dalam tahapan perkembangan remaja. Masa remaja yang merupakan
tonggak penting dalam pembentukan identitas tentunya sangat membutuhkan
dukungan dari orang-orang yang dicintainya, dalam hal ini orang tua. Orang tua
yang menanamkan nilai-nilai dasar, menyediakan kasih sayang, dukungan baik
berupa moril maupun materil, menjadi role model bagi anaknya. Kematian orang
tua menjadi peristiwa yang sangat berarti bagi remaja karena dengan demikian
keluarganya tidak lagi utuh. Akan banyak perubahan dan penyesuaian yang terjadi.
Hal ini juga tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan konflik dalam diri
remaja.
Holmes & Rahe (dalam Fitria, 2013) mengatakan bahwa ketiadaan orang
tua karena kematian adalah perubahan hidup yang menimbulkan stres dan menuntut
individu berespon dalam melakukan penyesuaian diri. Remaja dalam melakukan
penyesuaian diri untuk menghadapi kehidupan baru dan bangkit kembali pasca
kematian orang tua membutuhkan kemampuan untuk beresiliensi. Resiliensi
menurut Reivich & Shatte adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi
ketika menghadapi kejadian berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan
(Dewanti & Suprapti, 2014).
Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual
menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.
Pengertian remaja menurut Papalia dan Olds (dalam Swastika, 2012) menyatakan
bahwa masa remaja adalah transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir
pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
2.3 Resiliensi
2.3.1 Definisi Resiliensi
Resiliensi yaitu: kemampuan seorang individu untuk bangkit kembali dari
tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk
membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan
mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup
tertekan, baik secara eksternal atau internal (Niaz, 2006; Kindt, 2006; Bonano,
2004).
Secara bahasa, resiliensi merupakan istilah yang berasal dari bahasa inggris
dari kata resilience yang artinya daya pegas, daya kenyal atau kegembiaraan (John
Echols., Hasan Shadily. 2003: 480). Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali
oleh Block (dalam klohnen, 1996) dengan nama ego-resillience yang diartikan
sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang
tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Menurut R-G Reed (dalam Nurinayanti dan Atiudina, 2011: 93)
mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas atau kemampuan untuk beradaptasi
secara positif dalam mengatasi permasalahan hidup yang signifikan. Resiliensi
merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam
rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan dan mengukur kapasitas individu
untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse
conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih
(recovery) dari kondisi tekanan (McCubbin,2001:2)
Menurut Reivich dan Shatte (2002: 1), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Secara
sederhana Jackson dan Watkin mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk
beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Wolff (dalam Banaag: 2002) memandang resiliensi sebagai trait.
Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk
melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan
kehidupan. Individu yang mempunyai inteligensi yang baik, mudah beradaptasi,
social temperament, dan berkepribadian yang menarik ada akhirnya memberikan
kontribusi secara konsisten pada pengghargaan pada diri sendiri, kompetensi dan
perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien.
Menurut Reivich dan Shatte (2002: 1), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Secara
sederhana Jackson dan Watkin mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk
beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Samuel (dalam Nurinayanti dan Atiudina, 2011: 93) mengartikan resiliensi
sebagai kemampuan individu untuk tetap mampu bertahan dan tetap stabil dan sehat
secara psikologis setelah melewati peristiwa-peristiwa yang traumatis. Sedangkan
Nurinayanti dan Atiudina (2011: 93) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan
untuk beradaptasi secara positif ketika dalam kondisi yang tidak menyenangkan dan
penuh resiko.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi
adalah kemampuan yang ada dalam diri individu untuk kembali pulih dari suatu
keadaan yang menekan dan mampu beradaptasi dan bertahan dari kondisi tersebut.
Menurut Emmy E Wenner (dalam Desmita. 2009: 227), sejumlah ahli
tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena,
yaitu:
a. Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam
konteks “beresiko tinggi” (high-risk), seperti anak yang hidup dalam
kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua.
b. Kompetensi yang dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang
berkepanjangan, seperti peristiwa-peristiwa disekitar perceraian orang
tua mereka; dan
c. Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang
saudara dan kamp konsentrasi.
Alat bantu dalam pengumpulan data adalah alat perekam suara yang
dimanfaatkan untuk merekam proses wawancara. Alat perekam suara digunakan
untuk membantu peneliti mencapai keakuratan data dan menghilangkan bias karena
keterbatasan yang dimiliki peneliti.
“Iya.. sedih gitu.. kehilangan orang tua, udah engga ada orang tua. Yang dipikirkan
cuma sedih aja…”
Namun subjek tetap masih bisa tersenyum dan tertawa saat kondisi
keterpurukannya walaupun sebenarnya subjek merasakan kesedihan. Sebagaimana
hal ini diungkapkan oleh subjek:
Dimensi resiliensi yang kedua adalah perseverance yaitu perilaku subjek yang
tetap dilakukan walaupun dalam kondisi terpuruk. Walau dalam keadaan telah
kehilangan orang tua, subjek tetap menjalani kehidupannya seperti biasa dan
menyembunyikan rasa sedihnya. Sebagaimana diungkap oleh subjek:
“Aku bilang aku kuat gitu.. percaya sama kemampuan diri sendiri”
Subjek juga bangkit dari keterpurukan dengan dirinya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Sebagaimana diungkap oleh subjek:
“Lebih mandiri untuk diri sendiri. Kalo misalkan bikin sarapan sendiri, makan, makan
sendiri, dirumah sendiri, masak sendiri, pulang pergi sendiri.. Apa-apa sendiri. sama jadi
lebih kuat juga si..”
BAB V
Kesimpulan
B. L., G. S., M. E., Y. G., & C. B. (2007). Psychometric Properties of the Swedish
version of the Resilience Scale. Journal Compilation, 230.
Fitria, A.S. (2013). Grief Pada Remaja Akibat Kematian Orang Tua Secara
Mendadak (Skripsi dipublikasikan). Diakses dari
http://lib.unnes.ac.id/18463/1/1550408014.pdf
Swastika, I. (2012). Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Broken Home (Jurnal
dipublikasikan). Diakses dari
http://publication.gunadarma.ac.id/handle/123456789/3508