Anda di halaman 1dari 20

PENELITIAN KUALITATIF

“GAMBARAN RESILIENSI PADA REMAJA


PASCA KEMATIAN ORANG TUA”

Mata kuliah:
Psikologi Klinis

Dosen pengampu:
Agustini, S.Psi, M.Psi., Psikolog

Disusun oleh:
Luthfiyah Qurratu’ain
46115010118

Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana
Jakarta
2018
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kematian merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehidupan manusia.
Jika seseorang meninggal dunia, peristiwa kematian tersebut tidak hanya
melibatkan dirinya sendiri namun juga melibatkan orang lain, yaitu orang-orang
yang ditinggalkannya, kematian dapat menimbulkan penderitaan bagi orang-orang
yang mencintai orang tersebut (Turner & Helms dalam Cahayasari, Tt). Setiap
orang yang meninggal akan disertai dengan adanya orang lain yang ditinggalkan,
untuk setiap orangtua yang meninggal akan ada anak-anak yang ditinggalkan.

Peristiwa kematian orang tua mempengaruhi proses perkembangan. Orang


tua merupakan peran yang sangat penting di dalam hubungan keluarga.
Perkembangan anak sangat membutuhkan perhatian dari orang-orang yang ada di
sekeliling kehidupan anak, yaitu yang pertama dan terutama adalah orang tua
(Astuti & Gusniarti, 2009). Kematian orang tua akan menimbulkan duka yang
mendalam bagi anak dan rasa duka itu menyebabkan munculnya penolakan, tidak
mampu menerima kenyataan, perasaan bebas, putus asa, menangis, resah, marah,
perasaan bersalah, merasa kehilangan, rindu, perasaan tidak rela. Adapun faktor
yang menyebabkan rasa duka yang dialami anak yaitu hubungan individu dengan
almarhum, proses kematian, jenis kelamin orang yang ditinggalkan, latar belakang
keluarga, dan dukungan sosial.

Kematian salah satu atau kedua orangtua akan menyisakan luka yang
mendalam khususnya bagi remaja. Bahkan tidak jarang remaja mengalami shock
dan sangat terpukul. Krisis yang ditimbulkan akibat kehilangan orang tua memiliki
dampak serius dalam tahapan perkembangan remaja. Masa remaja yang merupakan
tonggak penting dalam pembentukan identitas tentunya sangat membutuhkan
dukungan dari orang-orang yang dicintainya, dalam hal ini orang tua. Orang tua
yang menanamkan nilai-nilai dasar, menyediakan kasih sayang, dukungan baik
berupa moril maupun materil, menjadi role model bagi anaknya. Kematian orang
tua menjadi peristiwa yang sangat berarti bagi remaja karena dengan demikian
keluarganya tidak lagi utuh. Akan banyak perubahan dan penyesuaian yang terjadi.
Hal ini juga tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan konflik dalam diri
remaja.

Holmes & Rahe (dalam Fitria, 2013) mengatakan bahwa ketiadaan orang
tua karena kematian adalah perubahan hidup yang menimbulkan stres dan menuntut
individu berespon dalam melakukan penyesuaian diri. Remaja dalam melakukan
penyesuaian diri untuk menghadapi kehidupan baru dan bangkit kembali pasca
kematian orang tua membutuhkan kemampuan untuk beresiliensi. Resiliensi
menurut Reivich & Shatte adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi
ketika menghadapi kejadian berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan
(Dewanti & Suprapti, 2014).

Melihat bahwa pentingnya peran orang tua bagi perkembangan remaja,


peniliti ingin meninjau lebih lanjut bagaimana gambaran proses resiliensi remaja
pasca kematian orang tua. Hal ini disebabkan karena menurut peneliti seharusnya
orang tua dan remaja (anaknya) memiliki kelekatan yang baik sehingga ketika
kehilangan peran orang tua, remaja akan merasakan dampak yang sangat buruk bagi
kehidupannya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini resiliensi yang dimaksud
adalah kemampuan individu (remaja) untuk mengatasi, beradaptasi serta bangkit
kembali setelah menghadapi peristiwa kematian orang tua.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam
bentuk pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran resiliensi pada remaja
pasca kematian orang tua?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran resiliensi pada remaja pasca kematian orang
tua
1.3 Manfaat Penelitian
Dari penelitian dapat diperoleh beberapa manfaat, antara lain yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam
memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu
mengenai gambaran resiliensi pada remaja pasca kematian orang tua. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian
mengenai psikologi klinis, sehingga hasil penelitian nantinya diharapkan dapat
dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.
b. Manfaat Praktis
Secara umum, hasil penelitian gambaran resiliensi pada remaja pasca
kematian orang tua diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terhadap
pemecahan masalah yang berkaitan dengan resiliensi. Selanjutnya penelitian ini
diharapkan menjadi acuan bagi penyusunan program resiliensi yang efektif.
Manfaat bagi pihak-pihak terkait, yaitu;
1. Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk meningkatkan ketelitian,
kecakapan, berpikir mendalam. Peneliti menjadi berwawasan luas, mampu
mengidentifikasi, dapat mampu membantu resiliensi pada remaja pasca kematian
orang tua.
2. Manfaat bagi subjek
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan
pada subjek, khususnya mengenai mekanisme resiliensi yang telah dilakukannya.
3. Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
gambaran resiliensi pada remaja pasca kematian orang tua serta kendala-kendala
yang dihadapi subjek tersebut dalam situasi dan banyaknya halangan serta
rintangan yang dihadapi sehingga masyarakat dapat memberikan perlakuan yang
lebih baik dan sesuai agar subjek dapat bangkit dari apa yang mereka alami.
BAB II
Landasan Teori
2.1 Teori Remaja
2.1.1 Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescere) (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “Tumbuh” atau “Tumbuh
menjadi dewasa”. Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas, mencakup
kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh
Piaget dengan mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia
dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak
lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual
menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.
Pengertian remaja menurut Papalia dan Olds (dalam Swastika, 2012) menyatakan
bahwa masa remaja adalah transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir
pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

2.1.2 Teori Kelekatan Orang Tua dan Anak


Istilah attachment (kelekatan) pertama kali dikemukakan oleh seorang
psikolog dari Inggris yaitu John Bowlby pada tahun 1958. Kemudian formulasi
yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969.
Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak
melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam
kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Herbert (dalam
Mar’at 2006) mengatakan kelekatan (attachment) mengacu pada ikatan antara dua
orang individua tau lebih, sifatnya adalah hubungan psikologis yang diskriminatif
dan spesifik, serta mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan
ruang tertentu.
Teori kelekatan (attachment) digunakan untuk menjabarkan ikatan afeksi
antara seorang bayi dengan pengasuhannya (caregiver), tetapi konsep kelekatan
(attachment) sekarang telah digunakan untuk meneliti relasi interpersonal yang
lebih luas lagi termasuk di dalamnya relasi hubungan yang intim selama masa
remaja dan dewasa muda (Walker, dalam Liliana, 2009).

Menurut Erik Erikson (dalam Rini, 2002), faktor-faktor penyebab gangguan


kelekatan adalah:

1. Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan pengasuh atau orang


tua, bisa berupa kematian orang tua, orang tua dirawat dirumah sakit
dalam jangka waktu lama, atau anak yang harus hidup tanpa orang
tua karena sebab-sebab lain
2. Penyiksaan emosional atau penyiksaan fisik
3. Pengasuhan yang tidak stabil
4. Sering berpindah tempat atau domisili
5. Ketidakkonsistenan cara pengasuhan
6. Problem psikologis yang dialami orang tua atau pengasuh utama
7. Problem neurologis/syaraf

2.2 Kematian Orang Tua


Fitria (2013) menyatakan bahwa kematian orang tua dapat memberi dampak
yang besar karena remaja telah menghabiskan banyak waktu dengan keluarga.
Kematian orang tua akan menimbulkan konsekuensi terbesar terhadap
perkembangan kesehatan anak-anak yang ditinggalkannya, karena mereka belum
siap ditinggalkan orang tua begitu tiba-tiba dan mereka juga akan merasa akan
menemukan kesulitan yang besar sepeninggal orang tua mereka dan kondisi ini
akan membuat remaja mengadapi resiko lebih tinggi terhadap depresi.

Hubungan seseorang dengan orang yang meninggal sangat mempengaruhi


tanggapan emosional individu terhadap kematian. Jika individu yang ditinggalkan
memiliki hubungan positif dengan orang yang meninggal, maka individu tersebut
akan mengalami rasa berduka yang lebih intens dibandingkan individu yang
hubungannya tidak terlalu positif dengan orang yang meninggal (Astuti &
Gusniarti, 2009).
Kavanaugh (dalam Astuti & Gusniarti, 2009) mengidentifikasi tujuh
perilaku dan perasaan individu sebagai bagian dari proses penganggulangan duka
cita yaitu:

8. Shock dan Penolakan


9. Kekacauan
10. Reaksi yang mudah berubah
11. Rasa Bersalah
12. Kehilangan dan Kesepian
13. Kelegaan
14. Hidup Kembali

2.3 Resiliensi
2.3.1 Definisi Resiliensi
Resiliensi yaitu: kemampuan seorang individu untuk bangkit kembali dari
tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk
membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan
mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup
tertekan, baik secara eksternal atau internal (Niaz, 2006; Kindt, 2006; Bonano,
2004).
Secara bahasa, resiliensi merupakan istilah yang berasal dari bahasa inggris
dari kata resilience yang artinya daya pegas, daya kenyal atau kegembiaraan (John
Echols., Hasan Shadily. 2003: 480). Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali
oleh Block (dalam klohnen, 1996) dengan nama ego-resillience yang diartikan
sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang
tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Menurut R-G Reed (dalam Nurinayanti dan Atiudina, 2011: 93)
mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas atau kemampuan untuk beradaptasi
secara positif dalam mengatasi permasalahan hidup yang signifikan. Resiliensi
merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam
rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan dan mengukur kapasitas individu
untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse
conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih
(recovery) dari kondisi tekanan (McCubbin,2001:2)
Menurut Reivich dan Shatte (2002: 1), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Secara
sederhana Jackson dan Watkin mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk
beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Wolff (dalam Banaag: 2002) memandang resiliensi sebagai trait.
Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk
melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan
kehidupan. Individu yang mempunyai inteligensi yang baik, mudah beradaptasi,
social temperament, dan berkepribadian yang menarik ada akhirnya memberikan
kontribusi secara konsisten pada pengghargaan pada diri sendiri, kompetensi dan
perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien.
Menurut Reivich dan Shatte (2002: 1), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Secara
sederhana Jackson dan Watkin mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk
beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Samuel (dalam Nurinayanti dan Atiudina, 2011: 93) mengartikan resiliensi
sebagai kemampuan individu untuk tetap mampu bertahan dan tetap stabil dan sehat
secara psikologis setelah melewati peristiwa-peristiwa yang traumatis. Sedangkan
Nurinayanti dan Atiudina (2011: 93) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan
untuk beradaptasi secara positif ketika dalam kondisi yang tidak menyenangkan dan
penuh resiko.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi
adalah kemampuan yang ada dalam diri individu untuk kembali pulih dari suatu
keadaan yang menekan dan mampu beradaptasi dan bertahan dari kondisi tersebut.
Menurut Emmy E Wenner (dalam Desmita. 2009: 227), sejumlah ahli
tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena,
yaitu:
a. Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam
konteks “beresiko tinggi” (high-risk), seperti anak yang hidup dalam
kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua.
b. Kompetensi yang dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang
berkepanjangan, seperti peristiwa-peristiwa disekitar perceraian orang
tua mereka; dan
c. Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang
saudara dan kamp konsentrasi.

2.3.2 Aspek-aspek Resiliensi


Aspek-aspek resiliensi menurut Wagnild & Young (1993) yaitu:
1. Ketenangan hati (equanimity)
Ketengangan hati diartikan dalam bentuk berpegang teguh pada pendirian
dalam hidup.
2. Ketekunan/kekerasan hati (perseverance)
Ketekunan/kekerasan hati diartikan dengan keberlanjutan untuk berusaha
keras mengatasi kesulitannya.
3. Kepercayaan diri (self reliance)
Kepercayaan diri meliputi keyakinan seseorang terhadap kemampuannya.
4. Kesendirian (existensial aloneness)
Perasaan sendiri adalah pengungkapan keunikan masing-masing individu
dan keyakinan atas keberlanjutan kehidupannya
5. Spiritualitas (spirituality/meningfulness)
Spiritualitas memiliki peran yang penting dalam resiliensi yaitu melalui
kemampuan individu untuk membangun kesimpulan atas kejadian yang
terjadi pada dirinya juga mencakup kebutuhan individu akan perubahan,
fleksibilitas, dan tumbuh.

2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi


Grotberg (2004) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi
pada seseorang, yaitu:
a. Tempramen
Tempramen adalah pembawaan individu yang bereaksi (Ashari.
1996: 692). Tempramen mempengaruhi bagaimana seorang individu
bereaksi terhadap rangsangan. Apakah individu tersebut bereaksi dengan
sangat cepat atau sangat lambat terhadap rangsangan? Tempramen dasar
seseorang mempengaruhi bagaimana individu menjadi seorang pengambil
resiko atau menjadi individu yang lebih berhati-hati.
b. Inteligensi
Inteligensi berasal dari bahasa inggris dari kata intelligence yang diartikan
sebagai keampuan untuk bertemu dan menyesuaikan pada situasi secara
cepat dan efektif (Ashari. 1996: 296). Inteligensi juga dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk memanfaatkann konsep-konsep abstrak secara
efektif (Ashari. 1996: 296). Banyak penelitian membuktikan bahwa
inteligensi rata-rata atau rata-rata bawah lebih penting dalam kemampuan
resiliensi seseorang. Namun penelitian yang dilakukan oleh Gortberg
(1999) membuktikan bahwa kemampuan resiliensi tidak hanya dipengaruhi
oleh satu faktor, melainkan oleh banyak faktor.
c. Budaya
Perbedaan budaya merupakan faktor yang membatasi dinamika yang
berbeda dalam mempromosikan resiliensi.
d. Usia
Usia anak mempengaruhi dalam kemampuan resiliensi. Anak-anak yang
lebih muda (di bawah usia delapan tahun) lebih tergantung pada sumber
sumber dari luar. Anak-anak lebih tua lebih tergantung pada sumber dari
dalam dirinya.
e. Gender
Perbedaan gender mempengaruhi dalam perkembangan resiliensi.
BAB III
Metode Penelitian
3.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Prihatini, 2012) metodologi kualitatif
didefnisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Melalui pendekatan ini, subjek dianggap sebagai suatu keutuhan (holistik), tidak
mengisolasikan subjek ke dalam variabel hipotesis. Dalam penelitian ini, peneliti
mengumpulkan data deskriptif dan mengamati perilaku subjek agar dapat
memperoleh hasil yang diinginkan, yaitu proses resiliensi remaja pasca kematian
orang tua. Oleh karena itu, penelitian ini cocok untuk menggunakan pendekatan
kualitatif.

3.2 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Prihatini (2012)
menyatakan bahwa pada dasarnya penelitian dengan jenis studi kasus bertujuan
untuk mengetahui tentang sesuatu hal secara mendalam.

3.3 Variabel Penelitian


3.2.1 Resiliensi
Variabel pertama dalam penelitian ini adalah resiliensi yang merupakan
tujuan utama penelitian ini yaitu melihat gambaran resiliensi lebih mendalam
seperti mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi di dalamnya.

3.2.2 Kematian Orang Tua


Variabel kedua dalam penelitian ini adalah kematian orang tua. Tujuan dari
penelitian ini adalah melihat gambaran resiliensi pengalaman seseorang, dimana
kematian orang tua menjadi sebuah penyebab individu menagalami keterpurukan.
3.2.3 Remaja
Variabel ketiga dalam penelitian ini adalah remaja. Pengalaman kematian
orang tua memberikan dampak pada remaja yang pada umumnya memiliki
hubungan kelekatan dengan orang tua.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data menggunakan metode
wawancara. Menurut Banister (dalam Apsari, 2009) wawancara kualitatif
dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang
makna-makna subyektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang
diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang
tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-terstruktur, dimana


menurut Willig (2008) wawancara semi-terstuktur merupakan metode
pengumpulan data yang kompatibel dengan berbagai metode analisis data karena
data wawancara dapat dianalisis dengan berbagai cara. Selain itu, dengan
wawancara semi-terstruktur peneliti diberikan kesempatan untuk mendengar
subyek membicarakan tentang aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman
mereka.

Alat bantu dalam pengumpulan data adalah alat perekam suara yang
dimanfaatkan untuk merekam proses wawancara. Alat perekam suara digunakan
untuk membantu peneliti mencapai keakuratan data dan menghilangkan bias karena
keterbatasan yang dimiliki peneliti.

3.5 Proses Analisis Data


McDrury (Collaborative Group Analysis of Data, 1999) seperti yang dikutip
(Moleong, 2007) tahapan analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:
a) Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang
ada dalam data,
b) Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang
berasal dari data.
c) Menuliskan ‘model’ yang ditemukan.
d) Koding yang telah dilakukan.
Analisis data dimulai dengan melakukan wawancara mendalam dengan
informan kunci, yaitu seseorang yang benar-benar memahami dan mengetahui
situasi obyek penelitian. Setelah melakukan wawancara, analisis data dimulai
dengan membuat transkrip hasil wawancara, dengan cara memutar kembali
rekaman hasil wawancara, mendengarkan dengan seksama, kemudian menuliskan
kata-kata yang didengar sesuai dengan apa yang ada direkaman tersebut
3.6. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti yaitu
dalam penelitian ini adalah remaja. Objek penelitian adalah obyek yang dijadikan
penelitian atau yang menjadi titik perhatian suatu penelitian yaitu resiliensi.
BAB IV
Pembahasan dan Analisis

Tempat Wawancara : Jalan Masjid Baabul Minan Nomor 42


Tujuan : Untuk mengetahui resiliensi interviewee
Tanggal dan Waktu : 20 Juli 2018
Jenis recording : immediate recording

4.1 Identitas Subjek


Nama/Inisial : Dalilah Hasna Husniah
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 14 Tahun
Status : Belum Menikah
Suku Bangsa : Betawi
Pekerjaan : Pelajar

4.2 Pembahasan dan Analisis


Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat resiliensi dari remaja pasca
kematian orang tua. Resiliensi adalah kemampuan yang ada dalam diri individu
untuk kembali pulih dari suatu keadaan yang menekan dan mampu beradaptasi dan
bertahan dari kondisi tersebut (keterpurukan). Resiliensi mempunyai lima dimensi,
yaitu equanimity, perseverance, self-relience, existensial aloness, dan
meaningfullness. Peneliti akan membahasnya satu persatu.
Kondisi keterpurukan yang dialami subjek saat itu terjadi pada 12 Agustus 2013
di Pasuruan, Jawa Timur. Saat itu subjek sedang berliburan setelah merayakan hari
raya idul fitri. Sudah menjadi kebiasaan subjek untuk pergi berpergian keliling
pulau jawa setelah berlebaran, dikarenakan subjek sendiri mengaku tidak
mempunyai kampung halaman. Saat itu sedang boomingnya film 5cm dan membuat
keluarga subjek ingin pergi berliburan ke gunung bromo yang berada di malang.
Akhirnya subjek dan keluarga memutuskan untuk berlibur. Subjek pergi bersama
kedua orang tuanya, kedua kakanya, adiknya, dan pamannya. Setelah sampai
disana, keluarga subjek memutuskan untuk menyewa sebuah homestay. Cuaca pada
saat itu sangat dingin sekali sehingga pemilik homestay menawarkan tungku arang
untuk menghangatkan badan. Sampai malampun tiba dan menjelang shubuh, mobil
jeep yang akan membawa keluarga subjek menuju tempat sunrisepun datang dan
membangunkan mereka. Saat kakak subjek berusaha membangunkan orang tua
mereka, terlihat busa pada mulut ibu subjek dalam keadaan terlentang serta ayah
subjek yang sulit sekali dibangunkan sambil memangku adik subjek. Kakak subjek
melihat adik subjeknya dalam keadaan lidah sudah kaku. Pada saat itu kakak subjek
memanggil semua anggota keluarga dan meminta bantuan kepada orang-orang
disekitar. Saat ada orang dari pegawai puskesmas datang, pegawai tersebut terkejut
dengan adanya tungku arang di kamar kedua orang tua subjek. Sampai akhirnya
orang tua subjek dan adik subjek dibawa ke puskesmas terdekat. Setelah diperiksa
oleh dokter setempat, dokter merangkul subjek beserta kedua kaka subjek sambil
mengatakan bahwa orang tua dan adik mereka telah tiada satu atau dua jam yang
lalu dan disebabkan karena keracunan karbon monoksida yang berasal dari tungku
arang. Subjek saat itu menangis dan memeluk kakak subjek dan kejadian ini sampai
viral sehingga banyak wartawan mengejar subjek dan kakak subjek untuk
diwawancarai.

Kondisi keterpurukan subjek adalah saat subjek harus menerima kenyataan


bahwa kedua orang tua dan adik mereka telah tiada secara bersamaan dan dalam
keadaan mendadak, subjek tidak menyangka kepergian orang tua mereka
disebabkan karena tungku arang dan dalam keadaan keluarga yang sedang
berliburan. Setelah kepergian orang tua, subjek harus menghadapi kedua kakaknya
yang saling egois dan membuat subjek sedih saat itu. Namun saat itu subjek masih
berumur 9 tahun sehingga subjek berusaha untuk mengalihkan dengan bermain
teman sebayanya. Subjek mengaku rasa sedih atas kehilangan orang tua masih
melekat ditambah selama lima tahun berusaha menjalani kehidupan tanpa orang tua
membuat subjek kerap kali ingin marah dan membenci kegiatan yang melibatkan
orang tua.

Dari fenomena diatas, peneliti berusaha menjelaskan bagaimana resiliensi dari


subjek dengan menguraikan masing-masing dimensi dari resiliensi subjek.
Pada dimensi resiliensi terdapat equanimity dimana terdapat pandangan yang
seimbang mengenai kehidupan dan pengalaman subjek. Saat kondisi keterpurukan
terjadi, subjek merasakan sedih karena telah kehilangan orang tua. Sebagaimana
ungkapan subjek:

“Iya.. sedih gitu.. kehilangan orang tua, udah engga ada orang tua. Yang dipikirkan
cuma sedih aja…”

Namun subjek tetap masih bisa tersenyum dan tertawa saat kondisi
keterpurukannya walaupun sebenarnya subjek merasakan kesedihan. Sebagaimana
hal ini diungkapkan oleh subjek:

“Kata orang si kaya ga keliatan sedih, tapi sedih..”

Dimensi resiliensi yang kedua adalah perseverance yaitu perilaku subjek yang
tetap dilakukan walaupun dalam kondisi terpuruk. Walau dalam keadaan telah
kehilangan orang tua, subjek tetap menjalani kehidupannya seperti biasa dan
menyembunyikan rasa sedihnya. Sebagaimana diungkap oleh subjek:

“Jalanin kehidupan kaya biasa aja.. Aku ga nunjukkin kalo sedih.”

Dimensi resiliensi yang ketiga adalah self-reliance dimana subjek meyakini


dirinya dan kemampuannya. Subjek meyakini dirinya kuat dan mampu untuk
melewati ini semua. Sebagaimana diungkapkan oleh subjek:

“Aku bilang aku kuat gitu.. percaya sama kemampuan diri sendiri”

Subjek juga bangkit dari keterpurukan dengan dirinya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Sebagaimana diungkap oleh subjek:

“Sendiri aja gitu ngelawatin ini semua”

Dimensi resiliensi yang keempat adalah existential aloneness dimana subjek


menyadari bahwa jalan hidup orang berbeda-beda. Subjek pernah membandingkan
hidupnya dengan orang lain dan merasakan iri namun subjek tetap menyadari
bahwa jalan hidup orang berbeda-beda dengan menerima keadaannya yang telah
kehilangan orang tua. Sebagaimana diungkapkan oleh subjek:
“Pernah bandingin kehidupan temenku yang punya orang tua, enak aja gitu,
temen pada punya bekal, dianterin dan dijemput orang tua.. tapi ya aku menerima aja kalo
misalkan emang udah ga ada orang tua”

Dimensi resiliensi yang kelima adalah meaningfulness dimana subjek


menyadari bahwa kehidupan memiliki makna. Subjek memaknai peristiwa
kematian orang tuanya dengan menjadikan dirinya lebih mandiri dan kuat.
Sebagaimana diungkap:

“Lebih mandiri untuk diri sendiri. Kalo misalkan bikin sarapan sendiri, makan, makan
sendiri, dirumah sendiri, masak sendiri, pulang pergi sendiri.. Apa-apa sendiri. sama jadi
lebih kuat juga si..”
BAB V
Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian yang sudah


disebutkan di bab pertama penelitian ini. Melalui analisa yang sudah dipaparkan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki hubungan yang lekat
dengan orang tua. Hubungan kelekatan yang baik dengan orang tua, memberikan
dampak yang cukup besar bagi kehidupan subjek ketika orang tuanya meninggal
dunia. Subjek merasakan sedih ketika mengetahui orang tuanya telah meninggal
namun subjek tetap masih bisa tersenyum dan tertawa. Subjek juga tetap menjalani
kehidupannya seperti biasa. Untuk bisa bangkit dari kondisi tersebut, subjek
meyakini dirinya kuat dan mampu untuk melewati ini semua. Pernah suatu waktu
subjek membandingkan hidupnya dengan orang lain dan merasakan iri namun
subjek tetap menyadari bahwa jalan hidup orang berbeda-beda dengan menerima
keadaannya yang telah kehilangan orang tua. Sampai akhirnya subjek memaknai
peristiwa kematian orang tuanya dengan menjadikan dirinya lebih mandiri dan kuat.

Aspek-aspek resiliensi yang terdiri dari equanimity, perseverance, self-


relience, existensial aloness, dan meaningfulness sudah terpenuhi oleh subjek.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa subjek memiliki resiliensi yang cukup atau
dengan kata lain subjek mampu untuk kembali pulih dari suatu keadaan yang
menekan dan mampu beradaptasi dan bertahan dari kondisi tersebut dimana kondisi
kematian orang tua.
Daftar Pustaka
Apsari, I. (2009). Gambaran Konsep Diri Pada Remaja Akhir Indigo (Skripsi
dipublikasian). Diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125230-
155.2%20IND%20g%20%20Gambaran%20konsep%20-%20HA.pdf

Asharaf, Aisha. (2016). Dissociative Identity Disorder: A Pathophysiological


Phenomenon. Journal of Cell Science & Therapy. Vol. 7. Issue 5

Astuti, P. & Gusniarti, U. (2009). Naskah Publikasi: Dampak Kematian Ibu


Terhadap Kondisi Psikologis Remaja Putri (Jurnal dipublikasikan). Diakses
http://psychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi-
04320381.pdf

B. L., G. S., M. E., Y. G., & C. B. (2007). Psychometric Properties of the Swedish
version of the Resilience Scale. Journal Compilation, 230.

Dewanti, A. P & Suprapti, V. (2014). Resiliensi Remaja Putri Terhadap


Problematika Pasca Orang Tua Bercerai (Jurnal dipublikasikan). Diakses dari
http://journal.unair.ac.id/downloadfullpapers-jppp07bfc6d486full.pdf

Fitria, A.S. (2013). Grief Pada Remaja Akibat Kematian Orang Tua Secara
Mendadak (Skripsi dipublikasikan). Diakses dari
http://lib.unnes.ac.id/18463/1/1550408014.pdf

Liliana, A. W., (2009). Gambaran Kelekatan (Attachment) Remaja Akhir Putri


dengan Ibu (Skripsi dipublikasikan). Diakses dari
www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/Artikel_105020
34.pdf
Losoi, H., S. T., M. W., M. H., J. O., J. J., & Otajarvi, E. R. (2013). Psychometric
Properties of the Finnish Version of the Resilience Scale and Its Short Version.
Psychology, community, & health, 1.

Moleong, J. L. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosda Karya.


Prihatini, D. (2012). Profesi Saya Terlarang: Studi Kasus Mengenai Konsep Diri
Mahasiswa yang Berprofesi sebagai Gigolo (Skripsi dipublikasikan). Diakses dari
http://eprints.uny.ac.id/9718/6/Cover%20-07104241010.pdf

Swastika, I. (2012). Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Broken Home (Jurnal
dipublikasikan). Diakses dari
http://publication.gunadarma.ac.id/handle/123456789/3508

Wagnild, & Young. (1993). Development and Psychometric Evaluation of the


Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 165-178.

Willig, C. (2008). Introducing Qualitative Research in Psychology. New York:


ssOpen University Press.

Zolkoski, S. M., & Bullock, L. M. (2012). Resilience in children and youth: A


review. Children and Youth Service Review, 2300.

Anda mungkin juga menyukai