Anda di halaman 1dari 21

6 cm

BIDANG MIRING
(Laporan Praktikum Fisika Dasar I)

Oleh
Nama : Dea Ananda
NIM : 11116061
3 cm
4 cm Kelompok : 3
TPB :20A
Asisten : Mahmud (Fisika)

*Ctatan : sampul ini diprint saja keterangan dimensi logo tinggi 2,5 cm, lebar 2,1 cm]

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN SAINS
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2018

3 cm
Judul Percobaan : Bidang Miring

Tanggal Praktikum : 2 Oktober 2018

Tempat Praktikum : Laboratorium Fisika Dasar Lantai 1

Nama : Dea Ananda

NIM : 1116061

Prodi : Fisika

Jurusan : Sains

Kelompok :3

Anggota Kelompok : Arifin Bahri (NIM. xxxxxxxx)


Kevin (NIM. xxxxxxxx)

Lampung Selatan, tgl buln thn


Mengetahui,

Tanda tangan

Nama Asisten
NIM. xxxxxxxx
BIDANG MIRING

Dea Ananda
Prodi Fisika, Jurusan Sains, Institut Teknologi Sumatera
deaanan@student.itera.ac.id

ABSTRAK

Praktikum ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh sudut terhadap kecepatan,


massa atom gaya berat dengan pertambahan panjang bidang miring dan dapat
menentukan percepatan benda yang bergerak pada bidang miring. Percobaan ini
menggunakan variabel sudut miring 10o , 20o , 30o , 40o , 50o dan 60o . Hasil dari
percobaan menunjukkan bahwa semakin besar suatu sudut yang diberikan,
kecepatan benda akan semakin cepat, dan waktu yang ditempuh akan semakin
kecil. Karena pada sudut yang besar maka bidang miring akan semakin tinggi.
Ditandai dengan benda yang diberikan kemiringan 10o (waktu meluncur 0,12 s),

20o (waktu meluncur 0,78 s), 30o (waktu meluncur 0,62 s), 40o (waktu meluncur

0,44 s), 50o (waktu meluncur 0,22 s), 60o (waktu meluncur 0,19 s).

Kata kunci : bidang miring, percepatan, sudut miring


6 cm

BAB I
[Berisi tentang latar belakang PENDAHULUAN
praktikum (dilengkapi dengan
pustaka yang menunjang)]

A. Latar Belakang
Pada zaman modern ini kehidupan manusia yang begitu berkembang pesat
menurut manusia itu tersendiri untuk menciptakan alat alat kebutuhan sehari hari
yang dapat membantu dalam melakukan suatu pekerjaan.
Dalam pengklasifikasiannya, pesawat terbagi menjadi 2 jenis yaitu
pesawat sederhana dan pesawat rumit. Pesawat sederhana adalah alat mekanik
yang dapat mengubah arah atau besaran dari suatu gaya kerja yang timbul atas
hasil gaya dan jarak. Secara tradisional pesawat sederhana terdiri atas bidang
miring, roda dan gandar, kuas, katrol, baji, sekrup, berporos dan kerekan (Ishaq,
2007).
Sedangkan pesawat rumit yaitu alat yang dapat membantuh pekerjaan

4 cm manusia yang tersusun dari gabungan beberapa pesawat sederhana. Pesawat 3 cm


sederhana bidang miring adalah bidang yang permukaannya miring. Bidang
miring ini dapat mempermudah pekerjaaan manusia karena gaya yang kita
butuhkan lebih kecil daripada mengangkat langsung.

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum tentang bidang miring ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh sudut terhadap kecepatan.
2. Mengetahui massa atom gaya berat dengan pertambahan panjang bidang
miring.
3. Menentukan percepatan benda yang bergerak pada bidang miring.

3 cm
[Berisi tentang materi praktikum
6 cm
yang dipelajari, sumber dapat dari
buku dan jurnal. Minimal dari 4
sumber. Tidak diperkenankan
BAB II mengambil materi yang bersumber

TI NJAUAN PUSTAKA dari internet. Tinjauan pustaka


minimal 2 halaman]

A. Gaya Gesek Pada Bidang Miring


Gaya adalah suatu pengaruh pada suatu benda yang menyebabkan benda
mengubah kecepatannya, atau dipercepat. Sedangkan gesekan yaitu gerakan
berlawanan saat anda melakukan gerakan mendorong. Bidang miring adalah
permukaan rata yang menggabungkan dua tempat yang berbeda ketinggiannya
atau bidang yang permukaannya miring. Bidang miring tidak menciptakan usaha,
oleh sebat itu usaha untuk mengangkat benda tanpa bidang miring sama saja
dengan bidang miring, maka W x h = h x l atau W x h = F x l. Contoh jika
panjang l = 4 m, h =4 m maka F = W x h = 2000 N x 1m = 500N L =4m. maka
dapat disimpulkan bahwa benda yang mulainya tanpa alat harus diangkat dengan
4 orang, setelah dipergunakan bidang miring yang panjangnya 4 m hanya
memerlukan 1 orang (Tipler, 1998).
Keuntungan mekanis untuk bidang miring : KM = i/h
Keterangan :
i = panjang bidang miring
h = tinggi bidang miring dari tanah
Dalam bidang berlaku sebagai berikut :
a. Makin panjang bidang miring, maka makin kecil gaya yang dibutuhkan,
akan tetapi jalan yang dilalui lebih panjang.
b. Makin curang suatu bidang miring, maka makin besar gaya yang
dibutuhkan, akan tetapi jalan yang dilalui lebih pendek.
Dalam fisika kita mengenal yang namanya hukum newton I,II,III. Akan
tetapi apakah kita tau apa pengertiannya, fungsinya dalam kehidupan sehari hari?
Oleh karena itu diadakanlah suatu pratikum suatu analisis tentang kereta luncur
yang berkaitan dengan hukum newton(Ishaq, 2007).

3 cm
3 cm

B. Hukum Newton I
“Jika resultan gaya (jumlah seluruh gaya) pada sebuah benda nol, maka
kecepatan benda tidak berubah (tetap)” (Ishaq, 2007).
Hukum newton pertama berbunyi” setiap benda akan tetap berada dalam
keadaan diam atau bergerak lurus beraturan kecuali jika ia dipaksa untuk
mengubah keadaan itu boleh gaya-gaya yang berpengaruh padanya” (Halliday,
1985).
Hukum newton yang pertama ini memiliki kecenderungan yaitu
kelembaman, sehingga sering juga disebut hukum kelembaman (Tipler, 1998).
Bagi hukum newton yang pertama tidak ada pengaruhnya bagi benda
maupun yang bergerak dengan kecepatan konstan. Pada dasarnya Hukum Newton
menyatakan bahwa sebuah benda secara alami cenderung mempertahankan
keadaannya, kecuali ada gaya yang “mengganggu” keadaan ini. Artinya jika
benda mula-mula diam, maka ia akan tetap diam. Tapi jika semula benda bergerak
dengan kecepatan tetap v, maka akan tetap bergerak dengan kecepatan v juga
(Ishaq, 2007).
Hukum Newton 1 dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :
∑F=0
Maksud dari persamaan di atas yaitu seberapa besar gaya yang bekerja
akan tetap bernilai 0 jika tidak ada pengaruh/ gaya dari luar (Ishaq, 2007).

C. Hukum Newton II
Hukum pertama dan kedua newton juga disebut sebagai definisi gaya,
yaitu pengaruh suatu benda yang menyebabkan benda mengubah kecepatannya.
Arah gaya pun merupakan arah percepatan yang disebabkan jika gaya itu
merupakan satu-satunya gaya yang bekerja pada benda tersebut (Tipler, 1998).
“Jika resultan gaya pada suatu benda tidak nol, maka benda akan
mengalami perubahan kecepatan”. Makna dari hukum kedua newton adalah jika
ada gaya yang tidak berimbang terjadi pada suatu benda (ada gaya netto), maka
benda yang mula-mula diam akan bergerak dengan kecepatan tertentu atau bisa
juga disebut kecepatan nol, bertambah kecepatan atau melambat karena

3 cm
2
3 cm

dipengaruhi gaya luar tadi yang secara matematis dapat ditunjukkan dengan
persamaan :
∑F = m.a
Atau dalam bentuk diferensial
F = m dv/dtm = m d2r/dt2
Perhatikan persamaan di atas, bahwa jika ∑F nol, maka a harus bernilai
nol, karena m tidak mungkin nol. Artinnya jika “tidak ada gaya” maka tidak ada
perubahan kecepatan, dengan kata lain kecepatannya tetap. Jika perhatikan baik-
baik, hukum newton kedua merupakan hukum dinamika yang sangat penting
karena menghubungkan besaran dinamika gaya F dengan besaran kinematika
percepatan a melalui sebuah besaran dinamika lain (Ishaq, 2007).
Hukum kedua newton menetapkan antara besaran dinamika gaya dan
massa dan besaran kinematika percepatan, kecepatan, dan perpindahan. Hal ini
sanagat bermanfaat karena memungkinkan kita menggambarkan aneka gejala
fisika yang relative mudah (Tipler, 1998).
Dari persamaan ∑ F = m.a, maka Hukum Newton II juga berlaku jika a
merupakan percepatan gravitasi bumi (g) dapat diperoleh :
W = m.g
Gaya berat (W) merupakan bentuk dari gaya juga, hal ini berarti ketika
percepatan gravitasi nol, maka benda bermassa tidak memiliki gaya berat (W=0),
kita bisa melihat bahwa astronot dalam ruang hampa udara melayang-layang
tanpa bobot (Ishaq, 2007).

D. Hukum Newton III


Hukum newton ketiga berbunyi “ untuk setiap aksi selalu terdapat reaksi
yang sama besar dan berlawanan arah atau aksi timbal balik satu terhadap yang
lain antara dua benda selalu sama besar dan berarah kebagian yang berlawanan
“(Ishaq, 2007).
Sering kali hukum ketiga newton dinamakan sebagai hukum interaksi atau
hukum aksi-reaksi. Hukum ini menggambarkan sifat penting dari gaya, yaitu
gaya-gaya selalu terjadi berpasangan. Gaya-gaya selalu terjadi dalam pasangan
aksi-reaksi, dan bahwa gaya reaksi adalah sama besar dan berlawanan arah
dengan gaya aksi (Tipler, 1998).

3 cm
3
3 cm

.Setiap gaya (gaya aksi) yang mengenai sebuah benda kedua, maka benda
kedua tersebut akan menghasilkan gaya (gaya reaksi) yang sama besar dan
berlawanan arah pada arah padsa benda pertama.
Sifat pasangan gaya aksi-reaksi adalah sebagai berikut :
1. Besar dari kedua gaya adalah sama,
2. Arah dari gaya aksi dengan reaksi berlawanan,
3. Kedua gaya bekerja pada benda yang berlainan (satu bekerja pada benda
A, yang lain bekerja pada benda B),
4. Kedua gaya terletak dalam satu garis lurus (Ishaq, 2007).

3 cm
4
6 cm

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat


Praktikum Fisika Dasar I tentang Bidang Miring dilaksanakan pada Kamis,
02 Oktober 2018 pukul 10.00 s.d. 11.00 WIB di Laboratorium Fisika Lantai 1
Institut Teknologi Sumatera.

B. Alat dan Bahan


1. Penyangga, berfungsi untuk menyangga papan luncur (mistar).
2. Mistar berfungsi sebagai rel lintasan yang akan dilewati oleh kereta luncur.
3. Stopwatch, berfungsi untuk menghitung waktu yang dicapai kereta luncur
ketika meluncur di papan luncur (mistar).
4. Kereta luncur, berfungsi kereta yang akan meluncur di papan luncur
(mistar).
5. Busur derajat, berfungsi mengukur sudut papan luncur(mistar).
6. Bantalan, berfungsi sebagai penahan papan luncur (mistar) dan tempat
pemberhentian terakhir kereta luncur.

C. Cara Kerja

1. Siapkan peralatan yang akan digunakan.


2. Set-up peralatan seperti bidang miring.

3. Kemudian ukur sudut kemiringannya dari 10o sampai 60o.


4. Kemudian luncurkan kereta dan catat waktu ketika kereta meluncur.

3 cm
6 cm

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Hasil Pengamatan

[Di Data Hasil


praktikum, meliputi hasil Tabel 1. Kondisi laboratorium fisika dasar
kelompok lengkapi
Kondisi Awal Praktikum Akhir Praktikum
dengan tabel dan
gambar sesuai dengan Temperatur ( 28 ± 0.5 )oC ( 29 ± 0.5 )oC
petunjuk dalam
praktikum. Di dalam
Kelembapan ( 80 ± 0.5 )% ( 81 ± 0.5 )%
hasil, hanya
Tekanan ( 695.45 ± 0.025 ) mmHg ( 696.15 ± 0.025 ) mmHg
mendeskripsikan data
hasil pengamatan, bukan
melakukan
pembahasan.]
Tabel 2. Data pengamatan bidang miring dengan sudut 10˚

No. Sudut t (s) t2 (s)


1. 10 1 1

2. 10 1 1

3. 10 1 1

4. 10 1,2 1,44

5. 10 1 1

6. 10 1 1

7. 10 1 1

8. 10 1 1

9. 10 1 1

10. 10 1,2 1,44

θ=10˚ ∑t = 1,04 ∑t2= 1,088

3 cm 6
3 cm

θ=10˚
s = 0,5 m
t=1s

V= = = 0,5 m/s

t= = = 1,04 s

∆t =

∆t =

∆t = = = 0,026 s

Tabel 3. Data pengamatan bidang miring dengan sudut 20˚

No. Sudut t(s) t2 (s)


1. 20 0,8 0,64

2. 20 0,6 0,36

3. 20 0,8 0,64

4. 20 0,8 0,64

5. 20 0,8 0,64

6. 20 1 1

7. 20 0,8 0,64

8. 20 0,6 0,36

9. 20 0,8 0,64

10. 20 0,8 0,64

x 20˚ ∑t = 7,8 ∑t2 = 6,2

θ=20˚

3 cm
7
3 cm

s = 0,5 m
t = 0,8 s

V= = = 0,625 m/s
t= = = 0,62 s

∆t =

t=

Δt =

Δt = = 0,0361 s

Tabel 4. Data pengamatan bidang miring dengan sudut 30˚

No. Sudut t (s) t2 (s)


1. 30 0,6 0,36

2. 30 0,6 0,36

3. 30 0,6 0,36

4. 30 0,6 0,36

5. 30 0,8 0,64

6. 30 0,6 0,36

7. 30 0,6 0,36

8. 30 0,6 0,36

9. 30 0,6 0,36

10. 30 0,6 0,36

x 30˚ ∑t =6,2 ∑t2 =3,88

3 cm
8
3 cm

θ=30˚
s = 0,5 m
t = 0,6 s

V= = = 0,83 m/s
t= = = 0,62 s

∆t =

∆t =

∆t =

∆t =
∆t = 0,02 s

Tabel 5. Data pengamatan bidang miring dengan sudut 40˚

No. Sudut t (s) t2 (s)


1. 40 0,4 0,16

2. 40 0,4 0,16

3. 40 0,6 0,36

4. 40 0,4 0,16

5. 40 0,4 0,16

6. 40 0,4 0,16

7. 40 0,4 0,16

8. 40 0,4 0,16

9. 40 0,6 0,36

10. 40 0,4 0,16

x 40˚ ∑t = 4,4 ∑t2 =2

9
3 cm
3 cm

θ=40˚
s = 0,5 m
t = 0,4 s

V= = = 1,25 m/s
t= = = 0,44 s

∆t =

∆t =

∆t =

∆t =

∆t = 0,026 s

Tabel 6. Data pengamatan bidang miring dengan sudut 50˚

No. Sudut t (s) t2 (s)


1. 50 0,2 0,04

2. 50 0,2 0,04

3. 50 0,4 0,16

4. 50 0,2 0,04

5. 50 0,2 0,04

6. 50 0,2 0,04

7. 50 0,2 0,04

8. 50 0,2 0,04

9. 50 0,2 0,04

10. 50 0,2 0,04

x 50˚ ∑t = 2,2 ∑t2 = 0,52


θ=50˚

3 cm 10
s = 0,5 m
t = 0,2 s

V= = = 2,5 m/s
t= = = 0,22 s

∆t =

∆t =

∆t =

∆t =
∆t = 0,02s

Tabel 7. Data pengamatan bidang miring dengan sudut 60˚

No. Sudut t (s) t2 (s)


1. 60 0,2 0,04

2. 60 0,2 0,04

3. 60 0,2 0,04

4. 60 0,2 0,04

5. 60 0,2 0,04

6. 60 0,2 0,04

7. 60 0,2 0,04

8. 60 0,1 0,01

9. 60 0,2 0,04

10. 60 0,2 0,04


3 cm
x 60˚ ∑t = 1,9 ∑t2 = 0,37
θ=60˚

10
s = 0,5 m
t = 0,2 s

V= = = 2,5 m/s
t= = = 0,19 s

∆t =

∆t =

∆t =

∆t =
∆t = 0,01s

B. Pembahasan
Sebuah pesawat bidang miring pada dasarnya memiliki kecenderungan

[Bahas secara spesifik untuk menurunkan gaya dan menaikan benda ke tempat yang lebih tinggi dan
kemudian diperluas menambah jarak pada gaya yang diberikan pada suatu posisi tujuan. Bidang
sesuai dengan topik miring biasanya digunakan pada alat-alat kehidupan sehari-hari seperti sekrup dan
dari praktikum.
baji. Pada sebuah sekrup, pada dasarnya adalah sebuah bidang miring yang
Pembahasan harus
dibungkus di sekitar tabung. Gaya lurus pada bidang horizontal diubah menjadi
disertai dengan
pustaka yang gaya vertikal. Ketika sekrup kayu diputar, ulir sekrup mendorong kayu. Sebuah
menunjang.] gaya reaksi dari kayu mendorong kembali ulir sekrup dengan cara ini sekrup
bergerak turun meskipun kekuatan memutar sekrup ada pada bidang horizontal.
Pada pesawat sederhana bidang miring ini, bila permukaan sebuah
meluncur di atas permukaan benda lain, masing-masing benda akan saling
melakukan gaya gesekan, sejajar dengan permukaan-permukaan itu. Gaya
gesekan terhadap tiap benda berlawanan arahnya dengan arah geraknya, relatif
terhadap benda “lawan” nya.
Berdasarkan hasil pratikum pada bidang miring yang menghubungkan
antar sudut dengan kecepatan laju gerak benda terletak pada sudut yang

3 cm 11
ditentukan. Semakin b esar suatu sudut yang diberikan, kecepatan benda akan
semakin cepat, dan waktu yang ditempuh akan semakin kecil. Karena pada sudut
yang besar maka bidang miring akan semakin tinggi.
Dari tabel hasil praktikum di atas pada sudut 10º terjadi perbedaan
kecepatan yang seharusnya memiliki kecepatan yang sama. Hal ini dapat terjadi
karena adanya kesalahan saat melakukan pratikum. Apakah hal itu terjadi karena
terlambat menekan stopwatch, terlambat meluncurkan kereta luncur, atau tidak
tepat mengukur sudut atau bahkan karena ketiga hal tersebut.
Pada sudut 20º percepatan yang terjadi semakin cepat karena sudut yang
diberikan semakin besar dari pada sudut sebelumnya dan waktuyang dihasilkan
pun mengalami perbedaan yang sangat siknifikan karena adanya kesalahan yang
sama pada saat melakukan pratikum pada sudut 10º.
Pada sudut 30º percepatan terjadi semakin cepat, waktu yang dihasilkan
pun semakin cepat. Perbedaan waktu tidak mengalami banyak perbedaan.
Pada sudut 40º percepatan semakin cepat, waktu yang ditempuh semakin
cepat, dan rata-rata waktu yang dihasilkan sangat berbeda dengan praktikum
sebelumnya pada sudut 30º.
Pada sudut 50º percepatan yang terjadi semakin cepat, tetapi waktu yang
dihasilkan berbeda karena keterlambatan dalam menekan stopwatch.
Pada sudut 60º percepatan semakin cepat, tetapi waktu yang dihasilkan
berbeda karena adanya kesalahan dalam menekan stopwatch. .

6 cm

12
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum mengenai bidang miring dapat disimpulkan
[ditulis per bahwa :
point (1,2,3)
1. Semakin kecil sudut yang digunakan pada bidang miring, maka semakin
bukan per
paragraf)]
lambat pula kereta luncur itu mencapai titik akhirnya dari bidang miring
tersebut.
2. Sebaliknya semakin besar sudut pada kemiringan yang digunakan, maka
semakin cepat kereta luncur akan mencapai tumbukan titik akhirnya bidang
miring tersebut.
3. Besar kecil sudut dapat mempengaruhi kecepatan luncuran dan juga
mempengaruhi tingga pada bidang miring tersebut.

B. Saran
1. Untuk praktikum berikutnya perlu dilakukan percobaan bidang
miring dengan sudut yang lebih banyak variasinya.
[berisikan
saran yang 2. Perlu dilakukan percobaan dengan jarak yang lebih bervariasi agar
berkaitan dapat membedakan pengaruh jarak terhadap bidang miring.
dengan
prosedur dan
hasil
percobaan]

6 cm
DAFTAR PUSTAKA

Halliday, David. 1985. Fisika Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Ishaq, Muhammad. 2007. Fisika Dasar Edisi 2. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Tipler, Paul A. 1998. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Erlangga. Jakarta.

Zemansky, Sears. 1962. Fisika Untuk Universitas 1. Bina Cipta. Jakarta.

[Sesuai dengan format penulisan pustaka]


Contoh Format Daftar Pustaka

a. Format sumber dari buku :

Nama. Tahun cetak/terbit. Judul Buku ditulis miring. Kota tempat dicetak/terbit.
Jilid. Edisi. Nama Penerbit.

Contoh penulisan :

Timoshenko, Stephen, P., Gere, James M. 1997. Mekanika Bahan. Jakarta. Jilid 1.
Edisi ke Empat. Penerbit Erlangga.

b. Format sumber dari jurnal

Nama. Tahun terbit jurnal. Judul tulisan. Nama jurnal (italic style). Edisi/volume.
Nomor halaman.

Contoh :

Supriadi, Dedi. March 1,1999. Restructuring The School Book Pravision System
in Indonesia: Some Recent Intratives. Junal EPAA.(Online).
(http://www.Epaa.asu.edu/educationpolicyachieves)

Yang L. Azzopardi B,J. 2007. Phase Split Of Liquid-liquid Two Phase Flow at A
Horisontal T-Junction. International Journal of Multiphase Flow. Vol.33. Page
207-216.

Catatan :

a. Urutan penulisan daftar pustaka berdasarkan Abjad nama

b. Pada satu sumber, jarak penulisan 1 spasi.

c. Jarak penulisan antara sumber satu kesumber lain adalah 2 spasi.


LAMPIRAN
Lampiran terdiri dari:
1. Kertas lembar jawaban tugas pendahuluan dan tugas akhir
2. Perhitungan lengkap
3. Data mentah yang telah di setujui oleh asisten
4. Fotokopi lembar tinjauan pustaka (teori dasar) dari buku/jurnal.

Anda mungkin juga menyukai