Anda di halaman 1dari 133

BEDAH

ABSES

Definisi:
Penumpukan pus pada suatu daerah di tubuh.

Manifestasi klinis:
 Penumpukan darah
 Radang
 Kemerahan dan rasa sakit
 Munjul benjolan dikulit dengan nanah
 Sulit bergerak
 Sulit menelan
 Sel darah putih meningkat

Tatalaksana:
 Antibiotik: untuk membantu mengontrol dan menghilangkan bakteri
 Analgetik: untuk mengurangi pembengkakan, kemeraha, nyeri, dll.
 Drainase: membuat sayatan kecil pada abses untuk memungkinkan nanah atau cairan
mengalir keluar
 Operasi
APENDISITIS

Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering
Patogenesis & Patofisiologi
Apendisitis akut disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks yang dapat diakibatkan oleh
penyumbatan lumen apendiks yang dapat diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hyperplasia
limfoid, benda asing, parasit, neoplasma atau striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya.
Obstruksi lumen mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan
bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi(penggelembungan atau pembesaran)
lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Kemudian akan menghambat aliran limfe dan
menimbulkan edema, diapedesis (kemampuan untuk menembus keluar pori -- pori membrane
kapiler dan menuju ke jaringan) bakteri dan ulserasi (peradangan kronis yang terjadi
pada usus besar (kolon) dan rektum. Pada kelainan ini, terdapat tukak atau luka di
dinding usus besar sehingga menyebabkan tinja bercampur dengan darah) mukosa. Terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri periumbilikal.
Sekresi mukus yang terus berlanjut dan tekanan yang terus meningkat menyebabkan obstruksi
vena, peningkatan edema dan pertumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan yang
timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga timbul nyeri di daerah kanan bawah
Pada saat ini terjadi apendisitis supuratif akut
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan timbul infark dinding dan gangrene ( apendisitis
gangrenos apabila pecah menjadi apendisitis perforasi (plg sedikit 48 jam setelah awitan gejala).
Pada anak omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang dan dinding tipis sehingga mudah
terjadi perforasi, pada orang tua perforasi mudah terjadi karena gangguan pembuluh darah.
Manifestasi Klinis
1. Nyeri di periumbilikus dan muntah karena rangsangan peritoneum visceral
2. Dalam waktu 2-12 jam seiring iritasi peritonel nyeri perut berpindah ke kuadran kanan
bawah yang menetap dan diperberat dengan batuk atau berjalan
3. Nyeri semakin progresif akan menunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal
4. Anoreksi, malaise, demam tak terlalu tinggi, konstipasi, diare, mual, muntah
Alur Diagnosis
Anamnesis : Harus dipikirkan sebagai DD pasien dengan nyeri abdomen akut dengan manifestasi
klinis diatas yakni mual muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut kuadran
kanan bawah yang makin progresif
Pemeriksaan Fisis :
a. Tampak kesakitan dan berbaring dengan demam tidak terlalu tinggi
b. Auskultasi : Bising usus menurun/menghilang
c. Palpasi :
 Nyeri tekan dan nyeri lepas (tanda Blumberg) fokal pada daerah apendiks yang
disebut titik McBurney (sepertiga distal garis antara umbilicus dan spina iliaka
anterior superior (SIAS) kanan.
 Iritasi peritoneum ditandai dengan adanya defans muscular, perkusi atau nyeri
lepas.
 Tanda khas :
o Tanda Rosving: nyeri perut kuadran kanan bawah saat palpasi kuadran
kiri bawah
o Tanda Psoas : nyeri pada perut kanan bawah saat ekstensi panggul kanan
(menunjukkan apendiks retrosekal)
o Tanda Obturator: Nyeri perut kanan bawah pada saat rotasi internal
panggul kanan (menunjukkan apendiks pelvis)
o Tanda Dumphy : peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Leukositosis ringan (10.000 – 20.000/uL) dgn peningkatan jumlah neutrophil
 Leukositosis tinggi (>20.000/uL) , bila terjadi perforasi dan gangrene.
 Urinalisis untuk membedakan dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih
 Apendisitis akut didapatkan ketonuria
 Pada perempuan harus dilakukan tes kehamilan bila dd kehamilan ektopik
b. USG = Diameter anteroposterior apendiks > 7mm, penebalan dinding, struktu lumen
yang tidak dapat dikompresi (lesi target), atau terdapat apendikolit
Diagnosis Banding
Dilihat berdasarkan usia:
a. Bayi: stenosis pylorus, obstruksi usus
b. Anak: intusepsi, diverticulitis Meckel, gastroenteritis akut, limfadenitis mesentrik,
inflammatory bowel disease
c. Dewasa : pielonefritis, colitis, diverticulitis, pankreatitis
d. Perempuan usia subur: pelvic inflammatory disease (PID), abses tubo ovarium, ruptur
kista ovarium atau torso ovarium, kehamilan ektopik.

Tata laksana
a. Pre-operatif
 Observasi ketat, tirah baring dan puasa
 Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah dpt diulang secara
periodic
 Foto abdomen dan toraks untuk mencari penyulit lain
 Antibiotik intravena spectrum luas dan analgesic
 Pada perforasi apendiks perlu diberi resusitasi cairan sebelum operasi
b. Operatif
 Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan
bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada diagnosa
yang belum jelas dapat dilakukan insisi subumbikal pada garis tengah.
 Laparoskopi apendektomi : teknik operasi dengan luka dan kemungkinan infeksi
lebih kecil
c. Pasca-operatif
 Observasi tanda vital sbg antisipasi perdarahan dalam,syok,hipertermia atau gang.
Pernapasan
 Pasien dibaringkan dlm posisi Fowler dan slm 12 jam dipuasakan terlebih dhlu
 Pada perforasi atau peritonitis dipasakan hingga fungsi usus normal
 Minum  makanan saring  makanan lunak  makanan biasa

Komplikasi
Perforasi usus, peritonitis umum, abses apendiks, tromboflebitis supuratif sistem portal, abses
subfrenikus, sepsis dan obstruksi usus
Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yg akurat serta pembedahan
 HERNIA
HERNIA UMBILIKALIS

Definisi

Merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang hanya tertutup peritoneum


dan kulit. Hernia ini terdapat pada kira-kira 20 % bayi dan angka ini lebih tinggi lagi pada

bayi prematur. Tidak ada perbedaan angka kejadian antara bayi lelaki dan perempuan2.

Umbilikalis adalah tempat umum hemiasi. Hernia umbilikalis terjadi lebih sering pada wanita.
Kegemukan dengan kehamilan berulang-ulang merupakan prekursor yang umum. Asites selalu
mengeksaserbasi masalah ini. Strangulasi kolon dan omentum umum terjadi. Ruptura terjadi
dalam sirosis asitik kronis, suatu kasus dimana diperlukan segera dekompresi portal atau pintas
nevus peritoneal secara darurat.

Gejala klinis Hernia Umbilikalis

Hernia umbilikalis merupakan penonjolan yang mengandung isi rongga perut yang

masuk melalui cincin umbilikus akibat peninggian tekanan intraabdomen, biasanya ketika bayi
menangis. Hernia umumnya tidak menimbulkan nyeri dan sangat jarang terjadi inkarserasi

Tata laksana Hernia Umbilikalis

Bila cincin hernia kurang dari 2 cm; umumnya regresi spontan akan terjadi sebelum bayi
berumur 6 bulan; kadang cincin baru tertutup setelah satu tahun. Usaha untuk mempercepat
penutupan dapat dikerjakan dengan mendekatkan tepi kiri dan kanan, kemudian memancangnya
dengan pita perekat (plester) untuk 2-3 minggu. Dapat pula digunakan uang logam yang
dipancangkan di umbilikus untuk mencegah penonjolan isi rongga perut. Bila sampai usia satu
setengah tahun hernia masih menonjol, umumnya diperlukan koreksi operasi. Pada cincin hernia
yang melebihi 2 cm jarang terjadi regresi spontan dan lebih sukar diperoleh pentupan dengan
tindakan konservatif.

Hernia umbilikalis umum pada bayi dan menutup secara spontan tanpa terapi khusus jika defek
aponeurosis berukuran 1,5 cm atau kurang. Perbaikan diindikasikan dalam bayi dengan defek
hernia yang diameternya lebih besar dari 2,0 cm, dan dalam semua anak dengan hernia
umbilikalis yang masih tetap ada pada usia 3 atau 4 tahun.

Perbaikan klasik untuk hernia umbilikalis adalah hernioplasti Mayo. Operasi terdiri dari
imbrikasi vest-over-pants dari segmen aponeurosis superior dan inferior. Hernia umbilikalis
besar, lebih suka ditangani dengan prostesis yang mirip dengan perbaikan prostesis untuk hernia
insisional.

Hernia umbilikalis pada orang dewasa merupakan lanjutan hernia umbilikalis pada anak.
Peninggian tekanan karena kehamilan, obesitas, atau asites merupakan faktor predisposisi.
Perbandingan antara lelaki dan perempuan kira-kira 1:3. Diagnosis mudah dibuat seperti halnya
pada anak-anak. Inkarserasi lebih sering terjadi dibandingkan dengan anak-anak. Terapi hernia
umbilkalis pada orang dewasa hanya operatif.

HERNIA INGUINALIS

Faktor yang dipandang berperan kausal adalah2 :

1. Adanya prosesus vaginalis yang terbuka

2. Peninggian tekanan di dalam rongga perut

3. Kelemahan otot dinding perut karena usia.

Diagnosis Hernia Inguinalis

a. Anamnesa

Gejala dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia. Pada hernia reponibel
keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di lipat paha yang muncul pada waktu bediri,
batuk, bersin, atau mengedan, dan menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang dijumpai;
kalau ada biasanya dirasakan di darah epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri viseral karena
regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia.
Nyeri yang disertai mual atau muntah baru timbul kalau terjadi inkarserasi karena ileus atau
strangulasi karena nekrosis atau gangren2.

b. Pemeriksaan Fisik

Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada inspeksi saat pasien
mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul sebagai penonjolan di regio inguinalis
yang berjalan dari lateral atas ke medial bawah. Kantong hernia yang kosong kadang dapat
diraba pada funikulus spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan
sensasi gesekan dua permukaan sutera, tetapi umumnya tanda ini sukar ditentukan. Kalau
kantong hernia berisi organ, tergantung isinya, pada palpasi mungkin teraba usus, omentum
(seperti karet), atau ovarium. Dengan jari telunjuk atau jari kelingking, pada anak, dapat dicoba
mendorong isi hernia dengan menekan kulit skrotum melalui anulus eksternus sehingga dapat
ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau tidak. Dalam hal hernia dapat direposisi, pada
waktu jari masih berada dalam anulus eksternus, pasien diminta mengedan. Kalau ujung jari
menyentuh hernia, berarti hernia inguinalis lateralis, dan kalau bagian sisi jari yang
menyentuhnya, berarti hernia inguinalis medialis. Isi hernia, pada bayi perempuan, yang teraba
seperti sebuah massa padat biasanya terdiri atas ovarium2.
Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat direposisi, atas dasar tidak adanya
pembatasan jelas di sebelah kranial dan adanya hubungan ke kranial melalui anulus eksternus2.
Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat
dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya2.
A. 1. Hernia Inguinalis Indirek
Disebut juga henia inguinalis lateralis, karena keluar dari rongga peritoneum melalui anulus
inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia
masuk ke dalam kanalis inguinalis dan, jika cukup panjang, menonjol keluar dari anulus
inguinalis eksternus. Apabila hernia ini berlanjut, tonjolan akan sampai ke skrotum, ini disebut
hernia skrotalis. Kantong hernia berada di dalam m.kremaster, terletak anteromedial terhadap vas
deferens dan struktur lain dalam tali sperma2.
Hernia ini disebut lateralis karena menonjol dari perut di lateral pembuluh epigastrika inferior.
Disebut indirek karena keluar melalui dua pintu dan saluran, yaitu anulus dan kanalis inguinalis;
berbeda dengan hernia medialis yang langsung menonjol melalui segitiga Hasselbach dan
disebut sebagai hernia direk2. Kantung dari inguinalis indirek berjalan melalui anulus inguinalis
profunda, lateral pembuluh epigastrika inferior, dan akhimya ke arah skrotum5.
Pada pemeriksaan hernia lateralis, akan tampak tonjolan berbentuk lonjong sedangkan hernia
medial berbentuk tonjolan bulat2.
Pada bayi dan anak, hernia lateralis disebabkan oleh kelainan bawaan berupa tidak menutupnya
prosesus vaginalis peritoneum sebagai akibat proses penurunan testis ke skrotum. Hernia geser
dapat terjadi di sebeblah kanan atau kiri. Hernia yng di kanan biasany berisi sekum dan sebagian
kolon ascendens, sedangkan yng di kiri berisi sebagian kolon desendens2.

Hernia inguinalis indirecta yang merupakan hernia paling sering terjadi dan dipercaya bersifat
congenital, menonjol melalui annulus inguinalis profundus, canalis inguinalis dan keluar melalui
annulus inguinalis superficialis ke scrotum atau labium majus. Sesuai dengan bentuk dan
letaknya maka disebut juga hernia inguinalis obliqua/lateralis. Hernia inguinalis indirecta lebih
sering daripada yang directa dan dua puluh kali lebih banyak pada pria daripada wanita,
sepertiganya bilateral serta lebih sering pada sisi kanan. Sesuai dengan mekanisme terjadinya,
diselubungi oleh ketiga lapisan ductus deferens.

Ada dua macam hernia inguinalis indirecta, yaitu yang congenitalis dan acquisita (didapat).
Perbedaannya secara anatomis terletak pada apakah prosesus vaginalis telah atau belum
menutup. Pada yang congenitalis processus vaginalis belum menutup sehingga isi abdomen
(usus) dapat mengisi sampai pada cavum scroti. Pada yang acquisita (didapat) kantong hernia
tidak berhubungan dengan cavum scroti karena processus vaginalis telah menutup. Hernia
inguinalis congenitalis yang sudah terjadi sejak lahir sering tidak diketahui sampai usia anak,
atau bahkan usia dewasa. Kantong hernianya berupa peritoneum, sisa processus vaginalis yang
telah menutup (ligamentum vaginale), lapisan-lapisan fascia spermatica interna, m.cremaster,
dan fascia spermatica externa serta bagi yang congenitalis processus vaginalis tetap terbuka1.
Pada wanita dimana processus vaginalis menetap (canalis Nucki), hernia dapat menuju sampai
labium majus. Jika tempat keluar hernia inguinalis indirecta terletak di sebelah lateralis dari
arteria epigastrica, hernia ingunalis directa menonjol keluar melalui trigonum inguinale di
sebelah medial dari arteria tersebut. Hernia inguinalis directa menembus keluar melalui annulus
inginalis superficialis yang melebar menonjol ke dinding abdomen, ada juga yang berpendapat
bahwa hernia ini tidak melalui annulus inguinalis superficialis, tetapi menonjol melalui “conjoint
tendon” dan mencapai annulus1.
Kantung hernia indirek sebenarnya adalah suatu prosesus vaginalis yang berdilatasi secara
persisten. Hernia ini berjalan melalui anulus inguinalis profunda dan mengikuti selubungnya ke
skrotum. Pada anulus profunda, kantung mengisi sisi lateral dari korda. Lemak properitoneal
sering kali berkaitan dengan kantung indirek dan dikenal sebagai lipoma dari korda, meskipun
lemak tersebut bukan tumor5.
Organ-organ retroperitoneal seperti misalnya kolon sigmoid, sekum, dan ureter dapat tergelincir
ke dalam kantung indirek. Dalam kantung itu, organ-organ tersebut menjadi bagian dari dinding
kantung dan rentan terhadap cedera selama perbaikan. Hernia sliding ini sering kali besar dan
sebagian iredusibel5.

Gambaran Klinis Hernia inguinalis indirek


Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha yang timbul pada
waktu mengedan, batuk, atau mengangkat beban berat, dan menghilang waktu istirahat baring.
Pada bayi dan anak-anak, adanya benjolan yang hilang timbul di lipat paha biasanya diketahui
oleh orang tua. Jika hernia mengganggu dan anak atau bayi sering gelisah, banyak menangis, dan
kadang-kadang perut kembung, harus dipikirkan kemungkinan hernia strangulata2.
Pada inspeksi diperhatikan keadaan asimetri pada kedua sisi lipat paha, skrotum, atau labia
dalam posisi berdiri dan berbaring. Pasien diminta mengedan atau batuk sehingga adanya
benjolan atau keadaan asimetri dapat dilihat. Palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan
hernia, diraba konsistensinya, dan dicoba mendorong apakah benjolan dapat direposisi. Setelah
benjolan tereposisi dengan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak-anak, kadang cincin
hernia dapat diraba berupa anulus inguinalis yang melebar2.
Pada hernia insipien tonjolan hanya dapat dirasakan menyentuh ujung jari di dalam kanalis
inguinalis dan tidak menonjol keluar. Pada bayi dan anak-anak kadang tidak terlihat adanya
benjolan pada waktu menangis, batuk, atau mengedan. Dalam hal ini perlu dilakukan palpasi tali
sperma dengan membendingkan yang kiri dan yang kanan; kadang didapatkan tanda sarung
tangan sutra2.

HERNIA SKROTALIS
Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai skrotum, hernia disebut hernia skrotalis.
Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat direposisi, atau jika tidak dapat direposisi,
atas dasar tidak adanya pembatasan jelas di sebelah kranial dan adanya hubungan ke kranial
melalui anulus eksternus2.
Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat
dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya2.
HERNIA LABIALIS
Hernia labialis ialah hernia inguinalis lateralis yang mencapai labium mayus. Secara klinis
tampak benjolan pada labium mayus yang jelas pada waktu berdiri dan mengedan, dan hilang
pada waktu berbaring. Diagnosis banding hernia labialis adalah hernia femoralis dan kista di
kanalis Nuck yang menonjol di kaudal ligamentum inguinale dan di lateral tuberkulum pubikum.
Kista kanalis Nuck teraba sebagai kista dengan batas jelas di sebelah kraniolateral berlainan
dengan hernia indirek dan tidak dapat direposisi2.

A.2 Hernia Inguinalis Direk


Disebut juga hernia inguinalis medialis, menonjol langsung ke depan melalui segitiga
Hasselbach, daerah yang dibatasi oleh ligamentum inguinale di bagian inferior, pembuluh
epigastrika inferior di bagian lateral dan tepi otot rektus di bagian medial. Dasar segitiga
hasselbach dibentuk oleh fasia transversal yang diperkuat oleh serat aponeurosis m.transversus
abdominis yang kadang-kadang tidak sempurna sehingga daerah ini potensial untuk menjadi
lemah. Hernia medialis, karena tidak keluar melalui kanalis inguinalis dan tidak ke skrotum,
umumnya tidak disertai strangulasi karena cincin hernia longgar2.
Nervus ilioinguinalis dan n.iliofemoralis mempersarafi otot di regio inguinalis, sekitar kanalis
inguinalis, dan tali sperma, serta sensibilitas kulit regio inguinalis, skrotum, dan sebagian kecil
kulit tungkai atas bagian proksimomedial2.
Hernia directa tidak begitu sering seperti hernia indirecta; kurang lebih 15 % dari seluruh hernia
inguinalis dan biasanya bilateral. Biasanya terjadi pada laki-laki berusia lebih dari 40 tahun,
jarang terjadi pada wanita dan terjadi sebagai akibat kelemahan otot-otot abdomen bagian depan,
yang disertai peninggian tekanan intraabdominal. Kantong hernia terdiri dari peritoneum dan
fascia transversalis1.
Kantung dari inguinalis direk menonjol secara langsung melalui dasar kanalis inguinalis,
terhadap pembuluh epigastrika inferior, dan jarang turun ke dalam skrotum5.
Hernia inguinalis direk ini hampir selalu disebabkan peninggian tekanan intraabdomen kronik
dan kelemahan otot dinding di trigoum Hasselbach. Oleh karena itu, hernia ini umumnya terjadi
bilateral, khususnya pada lelaki tua. Hernia ini jarang, bahkan hampir tidak pernah, mengalami
inkarserasi dan strangulasi. Mungkin terjadi hernia geser yang mengandung sebagian dinding
kandung kemih. Kadang ditemukan defek kecil di m. oblikus internus abdominis, pada segala
usia, dengan cincin yang kaku dan tajam yang sering menyebabkan strangulasi. Hernia ini
banyak diderita oleh penduduk Afrika2.
Kantung hernia inguinalis direk berasal dari dasar kanalis inguinalis, yaitu segitiga Hesselbach;
menonjol secara langsung; dan kantung hernia ini tidak mengandung aponeurosis otot obliqus
ekstemus. Hanya pada keadaan yang jarang, hernia ini sedemikian besarnya sehingga mendesak
keluar melalui anulus superfisialis dan turun ke dalam skrotum. Kandung kemih sering menjadi
komponen sliding dari kantung hernia direk5.
Tabel 3. Perbedaan antara hernia inguinalis indirek dan hernia inguinalis direk

Indirek Direk
Usia berapapun, terutama
Usia pasien muda Lebih tua
Penyebab Dapat kongenital Didapat
Bilateral 20 % 50 %
Penonjolan saat batuk Oblik Lurus
Tidak segera mencapai Mencapai ukuran terbesar
Muncul saat berdiri ukuran terbesarnya dengan segera
Reduksi saat berbaring Dapat tidak tereduksi segera Tereduksi segera
Penurunan ke skrotum Sering Jarang
Oklusi cincin internus Terkontrol Tidak terkontrol
Leher kantong Sempit Lebar
Strangulasi Tidak jarang Tidak biasa
Hubungan dengan
pembuluh darah epigastric
inferior Lateral Medial

Tata Laksana Hernia Inguinalis


Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga
atau penunjang utnuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi. Reposisi tidak dilakukan
pada hernia inguinalis strangulata, kecuali pada pasien anak-anak. Reposisi dilakukan secara
bimanual. Tangan kiri memegang isi hernia membentuk corong sedangkan tangan kanan
mendorongnya ke arah cincin hernia dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi
reposisi. Pada anak-anak inkarserasi lebih sering terjadi pada umur dibawah dua tahun. Reposisi
spontan lebih sering dan sebaliknya gangguan vitalitas isi hernia jarang terjadi dibandingkan
orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh cincin hernia yang lebih elastis pada anak-anak. Reposisi
dilakukan dengan menidurkan anak dengan pemberian sedatif dan kompres es di atas hernia. Bila
usaha reposisi ini berhasil, anak disiapkan untuk operasi pada hari berikutnya. Jika reposisi
hernia tidak berhasil, dalam waktu 6 jam harus dilakukan operasi segera2.
Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang telah direposisi dan tidak
pernah menyembuhkan sehingga harus dipakai seumur hidup. Namun, cara yang sudah berumur
lebih dari 4000 tahun ini masih saja dipakai sampai sekarang. Sebaiknya cara ini tidak
dianjurkan karena menimbulkan komplikasi, antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding
perut di daerah yang tertekan sedangkan strangulasi tetap mengancam. Pada anak-anak cara ini
dapat menimbulkan atrofi testis karena tekanan pada tali sperma yang mengandung pembuluh
darah testis2.
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan rasional hernia inguinalis. Indikasi
operasi sudah ada begitu diagnosa ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia terdiri atas
herniotomi dan hernioplastik2.
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan
isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit ikat
setinggi mungkin lalu dipotong2.
Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat
dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik lebih penting dalam mencegah terjadinya
residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplastik, seperti
memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia
transversa, dan menjahitkan pertemuan m.transversus internus abdominis dan m.obliqus obliqus
internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale Poupart
menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia transversa, m.transversus abdominis, m. obliqus
internus abdominis ke ligamentum Cooper pada metode McVay2.
Metode Bassini merupakan teknik herniorafi yang pertama dipublikasi tahun 1887. Setelah
diseksi kanalis inguinalis, dilakukan rekonstruksi dasar lipat paha dengan cara mengaproksimasi
muskulus obliqus internus, muskulus transversus abdominis, dan fasia transversalis dengan
traktus iliopubik dan ligamentum inguinale. Teknik dapat diterapkan, baik pada hernia direk
maupun indirek2.
Kelemahan teknik Bassini dan teknik lain yang berupa variasi teknik herniotomi Bassini adalah
terdapatnya regangan berlebihan dari otot-otot yang dijahit. Untuk mengatasi masalah ini, pada
tahun delapan puluhan dipopulerkan pendekatan operasi bebas regangan. Pada teknik itu
digunakan prostesis mesh untuk memperkuat fasia transversalis yang membentuk dasar kanalis
inguinalis tanpa menjahitkan otot-otot ke inguinal2.
Pada hernia kongenital pada bayi dan anak-anak yang faktor penyebabnya adalah prosesus
vaginalis yang tidak menutup hanya dilakukan herniotomi karena anulus inguinalis internus
cukup elastis dan dinding belakang kanalis cukup kuat2.
Terapi operatif hernia bilateral pada bayi dan anak dilakukan dalam satu tahap. Mengingat
kejadian hernia bilateral cukup tinggi pada anak, kadang dianjurkan eksplorasi kontralateral
secara rutin, terutama pada hernia inguinalis sisnistra. Hernia bilateral pada orang dewasa,
dinajurkan melakukan operasi dalam satu tahap,kecuali jika ada kontraindikasi2.
Kadang ditemukan insufisiensi dinding belakang kanalis inguinalis dengan hernia inguinalis
medialis besar yang biasanya bilateral. Dalam hal ini, diperlukan hernioplastik yang dilakukan
secara cermat dan teliti. Tidak satu pun teknik yang dapat menjamin bahwa tidak akan terjadi
residif. Yang penting diperhatikan ialah mencegah terjadinya tegangan pada jahitan dan
kerusakan pada jaringan. Umumnya dibutukan plastik dengan bahan prostesis mesh misalnya2.
Terjadinya residif lebih banyak dipengaruhi oleh teknik reparasi dibandingkan dengan
faktor konstitusi.Pada hernia inguinalis lateralis penyebab resididf yang paling sering ialah
penutupan anulus inguinalis internus yang tidak memadai, di antaranya karena diseksi kantong
yang kurang sempurna, adanya lipoma preperitoneal, atau kantung hernia tidak ditemukan. Pada
hernia inguinalis medialis penyebab residif umumnya karena tegangan yang berlebihan pada
jahitan plastik atau kekurangan lain dalam teknik2.
Pada operasi hernia secara laparoskopi diletakkan prostesis mesh di bawah peritoneum dinding
perut2.
HEMORROID

 Definisi
Hemoroid adalah penebalan bantalan jaringan submukosa (anal cushion) yang
terdiri dari venula, arteriol dan jaringan otot polos yang terletak di kanalis anal.
 Perdarahan Daerah Anorektal
Drainase daerah anorektal diperankan oleh vena hemoroidales superior dan
inferior.
 Vena hemoroidales superior mengembalikan darah ke v. Mesentrika
inferior dan berjalan dalam lapisan submukosa, mulai dari daerah anorektal
dalam kolumna Morgagni berjalan memanjang secara radier sambil
beranastomosis. Apabila vena ini menjadi varises disebut hemoroid interna.
Lokasi primer hemoroid interna (pada posisi litotomi) terdapat pada tiga
tempat, yaitu: anterior kanan, posterior kanan dan lateral kiri dengan ukuran
lebih kecil dapat timbul diantaranya.
 Vena hemoroidales inferior memulai venuler dan pleksus kecil di daerah
anus dan distal dari garis anorektal. Pleksus ini dibagi menjadi 2 yakni vv.
hemoroidales media yang menuju v. pudenda interna dan vv. hemoroidales
inferior yang menuju v. hipogastrika. Pleksus ini yang apabila menjadi
tonjolan disebut hemoroid eksterna.
 Etiologi
Penyebab timbulnya keluhan hemoroid dapat dipicu oleh pekerjaan, mengedan
berlebihan dan kebiasaan buang air besar yang sulit
 Klasifikasi
Berdasarkan letaknya, hemoroid dapat dibagi menjadi eksterna, interna atau
gabungan keduanya.
 Hemoroid eksterna
Hemoroid eksterna diselubungi oleh anoderm dan terletak disebelah distal
linea dentata. Hemoroid eksterna dapat membengkak dan menimbulkan
rasa tidak nyaman bahkan nyeri apabila trombosis.
 Hemoroid interna
Hemoroid interna terletak di sebelah proksimal linea dentata dan
diselubungi oleh anorektal, biasanya tidak nyeri dan timbul perdarahan
merah terang atau prolaps saat defekasi. Rasa nyeri biasanya berkaitan
dengan fisura, abses, atau trombosis hemoroid eksterna. Hemoroid interna
diklasifikasikan sebagai berikut :
o Derajat I : gejala perdarahan merah segar pada saat
defekasi tanpa adanya prolaps
o Derajat 2 : prolaps anal cushion keluar dari dubur
saat defekasi tetapi masih bisa masuk
kembali secara spontan
o Derajat 3 : seperti derajat 2 namun tidak dapat
masuk spontan, harus didorong kembali
o Derajat 4 : telah terjadi prolaps yang tidak bisa
masuk kembali
 Manifestasi klinis
 Perdarahan : biasanya saat defekasi, warna merah segar, menetes, tidak
bercampur feses, jumlah bervariasi.
 Prolaps : bila hemoroid bertambah besar, pada mulanya hemoroid dapat
tereduksi spontan, tetapi lama kelamaan tidak bisa dimasukkan.
 Rasa tidak nyaman hingga nyeri : bila teregang, terdapat trombosis luas
dengan edema atau peradangan.
 Feses di pakaian dalam : karena hemoroid mencegah penutupan anus
dengan sempurna.
 Gatal : apabila proses pembersihan kulit perianal menjadi sulit atau apabila
ada cairan keluar.
 Bengkak : hanya pada hemoroid intero – eksterna atau eksterna.
 Nekrosis pada hemoroid interna yang prolaps dan tidak dapat direduksi
kembali.
 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang.
 Anamnesis : keluhan yang terdapat pada manifestasi klinis .
 Pemeriksaan fisis : hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi
terutama bila telah terjadi trombosis sedangkan hemoroid interna dapat
diamati apabila mengalami prolaps.
 Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan rektal secara digital dan anoskopi.
 Diagnosis banding
Prolaps rekti, karsinoma kolon, karsinoma rektum, kelainan divertikuler, polip
adenomatosa, kolitis ulseratif dan kelainan lain pada kolon dan rektum.
 Tatalaksana
Tatalaksana hemoroid dapat dibedakan menjadi non bedah dan bedah
(hemoroidektomi). Selain itu, pilihan tatalaksana bergantung pada derajat
hemoroid. Kebanyakan pasien dengan hemoroid derajat 1 dan 2 dapat diobati
dengan tindakan lokal dan modifikasi diet. Pada sebagian derajat 2, derajat 3 dan 4
pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis bedah untuk dilakukan hemoroidektomi.
 Derajat 1 : modifikasi diet dan medikamentosa.
 Derajat 2 : rubber hand ligation, koagulasi, ligasi arteri
hemoroidalis - repair rektoana, modifikasi diet dan
medikamentosa.
 Derajat 3 : hemoroidektomi, ligasi arteri hemoroidalis – repair
rektoanal, hemoroidopexy dengan stapler, rubber hand
ligation dan modifikasi diet
 Derajat 4 : hemoroidektomi (cito untuk kasus trombosis),
hemoroidopexy dengan stapler dan modifikasi diet.

Tatalaksana Non Bedah


 Menjaga higenitas, menghindari pengejanan berlebihan saat defekasi atau
aktivitas berat.
 Modifikasi diet dengan makanan berserat, banyak minum dan mengurasi
konsumsi daging
 Medikamentosa : antibiotik apabila terdapat infeksi, salep rektal/supositoria
untuk anestesi dan pelembab kulit (sediaan supositoria/krim yang
mengandung fluocortolone pivalate dan lidokain) dan pelancar defekasi
(cairan parafin, yal, magnesium sulfat). Pemakaian krim dilakukan dengan
cara dioleskan pada hemoroid dan kemudian dicoba untuk dikembalikan ke
dalam anus.
 Ligasi hemoroid (rubber hand ligation) dengan anoskopi. Mukosa sebelah
proksimal hemoroid dijepit dengan band.
 Fotokoagulasi inframerah, skleroterapi.

Tatalaksana Bedah
Hemoroidektomi dilakukan apabila terapi konservatif tidak berhasil, pada
hemoroid dengan prolaps tanpa reduksi spontan (hemoroid derajat 3 dan 4),
hemoroid dengan strangulasi, ulserasi, fisura, fistula atau pada hemoroid eksterna
dengan keluhan.
 Komplikasi
Perdarahan hebat, abses, fistula perianal,inkaserasi dan striktur ani.
 Prognosis
Keluhan pasien hemoroid dapat dihilangkan dengan terapi yang tepat.
TETANUS

 Definisi  Tetanus adalah suatu penyakit yang tragis, tidak saja karena
keparahannya, tetapi karena ia dapat dicegah seluruhnya dengan imunisasi yang
tepat. Organisme yang berpengaruh adalah Clostridium tetani merupakan batang
Gram positif (+), anaerobik yang membentuk spora.

 Patogenesis  Sebagian besar kasus tetanus terjadi setelah luka tusuk, laserasi,
dan trauma. Organisme tersebut menemukan lingkungan yang menerima dengan
adanya nekrosis jaringan, anoksia serta kontaminasi bakteri lain. Organisme
melepaskan toksin sehingga timbul gambaran klinik, terutama pada pemutusan
hantaran neuromuskular oleh penghambatan pelapasan asetilkolin.

 Gambaran Klinik  Masa inkubasi bervariasi dari hari – minggu. Gambaran


klinik dibagi 3 bagian :
o Tetanus generalisata :
 Trismus : Spasme wajah “Risus sardonikus”  Opistotonus
 Kaku kuduk
 Rigiditas Abdomen
 Spasme tetanik pada ekstremitas
o Tetanus Sefalik : Terjadi pada Otitis Media/Luka dikepala (N.VII)
o Tetanus Lokal : melibatkan otot pada daerah luka.

 Diagnosis
o Berdasarkan gambaran fisik
o Pewarnaan Gram

 Komplikasi : Disfungsi Autonom  Hipertensi, aritmia jantung, dan pneumonia


aspirasi

 Terapi dan Pencegahan lanjutan


Pembersihan/debridemen luka hingga seluruh jaringan nekrotik dan ruang mati
anaerobik  Pemberian TIG 250 U – 500 U  pemberian antibiotika Penisilin G
3jt U/6 Jam IV  (pencegahan spasme otot) Pemberian Kloropramazin/Diazepam
 Pemberian makanan parenteral total.
PERITONITIS

A. Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis atau kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas
pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis
dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemikengan syok sepsis.
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder
(berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi
rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen
dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi
peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis,
perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus
dan kanker, dan strangulasi kolon asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari
trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang
juga dapat terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan
penyebab tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi
noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya
kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis,
kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan
abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin tinggi dengan
adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok
perioperatif, dan transfuse yang pasif.

B. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena
trauma abdomen
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung/dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukan disentri amuba/colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
1. Secara langsung dari luar.
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon
terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan
peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP)
dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi
biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh
limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan
akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites,
semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan
opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella
pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri
gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,
dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi
campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh
perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi
bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari
saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang
setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau
flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis
steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu,
barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ
dalam (Misalnya penyakit Crohn).

C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai
pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal
begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus
serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya
kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi
usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,
pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi
yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan
karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

D. Manifestasi klinik
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan
nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium.
Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau
mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas,
tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral)
yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis
relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi
hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat
biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding
perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada
wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma
cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan
paraplegia dan penderita geriatric.

E. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovolemik.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
d. Abses residual intraperitoneal.
e. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
a. Adhesi.
b. Obstruksi intestinal rekuren.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Test laboratorium
a. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan
dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
b. Hematokrit meningkat
c. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis
didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
e. X. Ray
2. Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
a. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b. Usus halus dan usus besar dilatasi.
c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis
dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari
arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset
dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya
gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya
udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya
air fluid level dan step ladder appearance.

G. Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua
penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama
jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia
progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi,
memburuknya pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi
bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran
cerna yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1. Mengeliminasi sumber infeksi.
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien
untuk tindakan bedah a.l :
1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis a.l :
1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa,
lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah,
dan jaringan yang nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi a.l:
1 Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2 Pemberian antibiotic
3 Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih,
dan tidak ada distensi abdomen.

1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb)
atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-
tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk
menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil
kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus
tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang
selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik
(misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat
masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila
terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada
peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita,
pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu
beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang
mencakup tiga fase yaitu :
a. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk
intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup
aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian
dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun,
aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien
praoperatif ditempat ruang operasi.
b. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau
dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan
dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan
pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga
keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada
menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam
peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas
meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
c. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir
dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan
mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif
langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital
serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan
pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan
memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan
evaluasi diuraikan.
ILEUS PARALITIK

A. Pendahuluan
Ileus paralitik atau adynamic adalah keadaan dimana usus gagal/tidak mampu melakukan
kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit
primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang
berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat0obatan yang dapat mempengaruhi
kontraksi otot polos usus.
Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan
baik, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keadaan otot polos usus, hormon-hormon
intestinal, sistem saraf simpatik dan parasimpatik, keseimbangan elektrolit dan sebagainya.
Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen. Keadaan ini
biasanya hanya berlangsung antara 24-72 jam. Beratnya ileus paralitik pasca operasi
bergantung pada lamnya operasi/nekrosis, seringnya manipulasi usus dan lamanya usus
berkontak dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam lambung, isi kolon, ensim
pankreas, dan urin akan menimbulkan paralisis usus. Pencemaran peritoneum oleh asam
lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah dan urin akan menimbulkan paraliis usus.
Kelainan retroperitoneal seperti hematoma retropritoneal, terlebih lagi bila disertai fraktur
vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat.demikian pula kelainan pada
rongga dada sperti pneumonia paru bagian bawa, empiema, dan infark miokard dapat
disertai paralisis usus. Gangguan elektrolit terutama hipokalemia merupakan penyebab
yang cukup sering.
Penyakit/keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang
tercantum dibawah ini :

Kausa ileus paralitik


- Neurogenik. Pascaoperasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan timbal, kolik ureter,
iritasi persyarafan splanknikus, pankreatitis.
- Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia,
komplikasi DM, penyakit sistemik seperto SLE, sklerosis multiple
- Obat-obatamn. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotazin, antihistamin
- Infeksi. Pneumonia, empiema, urosepsis, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya.
- Iskemia usus

B. Manifestasi Klinis
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention),
anoreksia, mual, dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan
perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung
pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak
disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani
dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada
palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan
adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya
peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis..
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit.
Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum,
glukosa darah, dan amilase. Foto polos abdomen sangat membantu menegakkan diagnosis.
Pada ileus paralitik, akan ditemukan distensi lambung, usus halus dan usus besar. Air fluid
level ditemukan berupa suatu gambarann line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid
level pada ileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga).
Apabila dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan foto abdomen dengan mempergunakan kontras.

D. Pengelolaan
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa
dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektroolit, mengobati kausa atau penyakit
primer dan pemberian nutrisi yang adekuat. Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik
(simpatolitik) atau parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten.
Untuk dekompresi dilakukan pemasangan NGT (bila perlu rectal tube). Pemberian cairan,
koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba
yaitu metakopramis bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus
paralitik pascaoperasi, dan klonididn dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik
karena obat-obatan.

E. Prognosis
Baik bila penyakit primernya dapat diatasi.

ILEUS OBSTRUKTIF

A. Definisi
Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi lumen saluran
cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya sumbatan/hambatan mekanik
yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan
atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen
usus tersebut.

B. EPIDEMIOLOGI
Hernia strangulata adalah salah satu keadaan darurat yang sering dijumpai oleh dokter
bedah dan merupakan penyebab obstruksi usus terbanyak. Sekitar 44% dari obstruksi
mekanik usus disebabkan oleh hernia eksterna yang mengalami strangulasi.
Penyebab tersering obstruksi usus di Indonesia, adalah hernia, baik sebagai penyebab
obstruksi sederhana (51%) maupun obstruksi usus strangulasi (63%).
Adhesi pasca operasi timbul setelah terjadi cedera pada permukaan jaringan, sebagai akibat
insisi, kauterisasi, jahitan atau mekanisme trauma lainnya. Dari laporan terakhir pasien
yang telah menjalani sedikitnya sekali operasi intra abdomen, akan berkembang adhesi satu
hingga lebih dari sepuluh kali. Obstruksi usus merupakan salah satu konsekuensi klinik
yang penting. Di negara maju, adhesi intraabdomen merupakan penyebab terbanyak
terjadinya obstruksi usus. Pada pasien digestif yang memerlukan tindakan reoperasi, 30-
41% disebabkan obstruksi usus akibat adhesi. Untuk obstruksi usus halus, proporsi ini
meningkat hingga 65-75%.

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif atau ileus mekanik dibedakan menjadi,
antara Lain :
1. Ileus obs t rukti f letak t inggi : obs t ruks i mengenai usus halus (dar i gas ter sampai
ileumterminal).
2. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum terminal
sampairectum). Selain itu, ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan
stadiumnya, antara lain :
1) Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian sehingga
makananmasih bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi sedikit.
2) Obst ruksi sederhana ( simple obstruction) : obs t ruks i/ sumbatan yang t idak
disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan aliran darah).
3) Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan
nekrosis ataugangren.

D. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain :
1. Hernia inkarserata :
Usus masuk dan ter jepit di dalam pintu hernia. Pada anak dapat dikelola secara
konservatif dengan posisi tidur Trendelenburg. Namun, jika percobaan reduksi
gaya berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus diadakan herniotomi segera.
2. Non hernia inkarserata, antara lain :
a. Adhesi atau perlekatan usus
Di mana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus. Dapat berupa
perlengketanmungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, bisa setempat
atau luas. Umunya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis
setempat atau umum. Ileus karena adhesi biasanya tidak disertai strangulasi.
b. Invaginasi
Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan agak jarang pada
orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak sering bersifat idiopatik karena
tidak diketahui penyebabnya. Invaginasi umumnya berupa intususepsi
ileosekal yang masuk naik kekolon ascendens dan mungkin terus sampai keluar
dar i rektum. Hal ini dapat mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus
yang masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. Diagnosis invaginasi
dapat diduga atas pemeriksaan fisik, dandipastikan dengan pemeriksaan
Rontgen dengan pemberian enema barium.
c. Askariasis
Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, biasanya jumlahnya
puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi bisa terjadi di mana-mana di usus
halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang merupakan tempat lumen paling
sempit. Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat terdiri atas
sisa makanan dan puluhan ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat
pemberian obat cacing. Segmen usus yang penuh dengan cacing berisiko tinggi
untuk mengalami volvulus, strangulasi, dan perforasi.
d. Volvulus
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus yang abnormal dari
segmen usus sepanjang aksis longitudinal usus sendiri, maupun pemuntiran
terhadap aksis radiimesenterii sehingga pasase makanan terganggu. Pada usus
halus agak jarang ditemukan kasusnya. Kebanyakan volvulus didapat di bagian
ileum dan mudah mengalami strangulasi. Gambaran klinisnya berupa
gambaran ileus obstruksi tinggi dengan atau tanpa gejala dan tanda strangulasi.
e. Tumor
Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus , kecuali jika ia
menimbulkan invaginasi . Proses keganasan, terutama karsinoma ovarium dan
karsinoma kolon, dapat menyebabkan obstruksi usus. Hal ini terutama
disebabkan oleh kumpulan metastasis di peritoneum atau di mesenterium yang
menekan usus.
f. Batu empedu yang masuk ke ileus.
Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran
empedu keduodenum atau usus halus yang menyeb abkan batu empedu masuk
ke t raktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus,
umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan
obstruksi. Penyebab obs truks i kolon yang pal ing ser ing ialah karsinoma, ter
utama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal.

E. PATOGENESIS
Usus di bagian distal kolaps, sementara bagian proksimal berdilatasi. Usus yang berdilatasi
menyebabkan penumpukan cairan dan gas, distensi yang menyeluruh menyebabkan
pembuluh darah tertekan sehingga suplai darah berkurang (iskemik), dapat terjadi
perforasi. Dilatasi dan dilatasi usus oleh karena obstruksi menyebabkan perubahan ekologi,
kuman tumbuh berlebihan sehingga potensial untuk terjadi translokasi kuman.Gangguan
vaskularisasi menyebabkan mortalitas yang tinggi, air dan elektrolit dapat lolosdari tubuh
karena muntah. Dapat terjadi syok hipovolemik, absorbsi dari toksin pada usus yang
mengalami strangulasi.
Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi berlebihan atau ruptur.
Dinding usus besar tipis, sehingga mudah distensi. Dinding sekum merupakan bagian
kolon yang paling tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila terlalu tegang. Gejala dan tanda
obstruksi usus halus atau usus besar tergantung kompetensi valvula Bauhini. Bila terjadi
insufisiensi katup, timbul refluks dari kolon ke ileum terminal sehingga ileum turut
membesar.

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, artinya disertai dengan
pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di dalam lumen usus bagian oral dari
obstruksi,maupun oleh muntah. Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada
perut, disertai kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala
muntah yang banyak, yang jarang menjadi muntah feka walaupun obstruksi
berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan
sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas. Semakin distal sumbatan, maka
muntah yang dihasilkan semakin fekulen.
Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi akibat
kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai demam. Distensi
abdomendapat dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi proksimal dan semakin
jelas pada sumbatan di daerah distal. Bising usus yang meningkat dan “metallic sound”
dapat didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal.
2. Obstruksi disertai proses strangulasi
Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai dengan nyeri
hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila
dijumpai tandatanda strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat,
menetap dan tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah
terjadinya nekrosis usus.
3. Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan -lahan dengan nyeri akibat sumbatan
biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus menerus
menunjukkanadanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus dapat keras dan timbul
sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah gambaran umum obstruksi
komplit. Muntah lebih sering terjadi pada penyumbatan usus besar. Muntah timbul
kemudian dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah refluks. Bila akibat
refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak gangguan pada usus
halus. Muntah feka lakan terjadi kemudian. Pada keadaan valvula Bauchini yang
paten, terjadi distensi hebat dan sering mengakibatkan perforasi sekum karena
tekanannya paling tinggi dandindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan
menunjukkan distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien
yang kurus, dan akan terdengar metallic sound pada auskultasi. Nyeri yang terlokasi,
dan terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi.

G. DIAGNOSIS
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya berupa adhesi
dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Gejala umum berupa syok,oliguri
dan gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan diusus,
hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat
pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu
serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita
tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada
lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan untuk
mencari adanya nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang abnormal. Gejala
permulaan pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar terutama
berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah. Pada
inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya pembesaran
setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat gelombang usus ataupun kontur
usus pada dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal
karena bagian ini mudah membesar.
Dengan stetoskop, diperiksa suara normal dari usus yang berfungsi (bising usus). Pada
penyakit ini, bising usus mungkin terdengar sangat keras dan bernada tinggi, atau tidak
terdengar sama sekali.
Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,
leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi
tegak,terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil
yang mengalami dilatasi dengan air flui level. Pemberian kontras akan menunjukkan
adanya obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa
untuk melakukan pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan
barium inloop) untuk mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia.
Pada saat sekarang ini radiologi memainkan peranan penting dalam mendiagnosis secara
awal ileus obstruktifus secara dini.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai ciri-ciri khusus. Pada urinalisa, berat jenis
bisa meningkat dan ketonuria yang menunjukkan adanya dehidrasi dan asidosis metabolik.
Leukos it normal atau sediki t meningkat , j ika sudah t inggi kemungkinan sudah ter jadi
peritonitis. Kimia darah sering adanya gangguan elektrolit.
Foto polos abdomen sangat bernilai dalam menegakkan diagnosa ileus obstruksi.Sedapat
mungkin dibuat pada posisi tegak dengan sinar mendatar. Posisi datar perlu untuk melihat
distribusi gas, sedangkan sikap tegak untuk melihat batas udara dan air serta letak
obstruksi. Secara normal lambung dan kolon terisi sejumlah kecil gas tetapi pada usus halus
biasanya tidak tampak.
Gambaran radiologi dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air fluid level,distensi
usus bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi usus halus. Obstruksi kolon
biasanya terlihat sebagai distensi usus yang terbatas dengan gambaran haustra, kadang-
kadang gambaran massa dapat terlihat. Pada gambaran radiologi, kolon yang mengalami
distensI menunjukkan gambaran seperti ‘pigura’ dari dinding abdomen.
Kemampuan diagnostik kolonoskopi lebih baik dibandingkan pemeriksaan bariumkontras
ganda. Kolonoskopi lebih sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis neoplasma dan bahkan
bisa langsung dilakukan biopsi.

I. GAMBARAN RADIOLOGI
Untuk menegakkan diagnosa secara radiologis pada ileus obstruktif dilakukan foto
abdomen 3 posisi. Yang dapat ditemukan pada pemeriksaan foto abdomen ini antara lain :
1. Ileus obstruksi letak tinggi :
- Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal junction)
dankolaps usus di bagian distal sumbatan.
- Coil spring appearance
- Herring bone appearance
- Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign)
2. Ileus obstruksi letak rendah :
- Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi
- Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi abdomen
- Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sedangkan pada ileus paralitik
gambaran radiologi ditemukan dilatasi usus yang menyeluruhdari gaster sampai
rectum.
-
J. DIAGNOSIS BANDING
Pada ileus paralitik nyeri yang timbul lebih ringan tetapi konstan dan difus, dan
terjadidistensi abdomen. Ileus paralitik, bising usus tidak terdengar dan tidak terjadi
ketegangan dinding perut. Bila ileus disebabkan oleh proses inflamasi akut, akan ada tanda
dan gejala dari penyebab primer tersebut. Gastroenteritis akut, apendisitis akut, dan
pankreatitis akut juga dapat menyerupaiobstruksi usus sederhana.

K. KOMPLIKASI
Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan
perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan akibat peritonitis
umum.

L. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksiuntuk
mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan
penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh
dengansendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita
penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit.

1. Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi dan
mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan
juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Setelah
keadaanoptimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau
karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif.
2. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi
secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera
mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :-Strangulasi- Obstruksi lengkap-Hernia
inkarserata-Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan
NGT, infus,oksigen dan kateter).
3. Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit.Kita
harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup.Perlu
diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan paralitik.

M. PROGNOSIS
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi, tempatdan
lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinya
terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga
meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan
obstruksi usus halus.
HIRSCPRUNG DISEASE

DEFINISI

Penyakit Hirschsprung”s (PH) adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional yang berupa
aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal dengan panjang segmen
tertentu, setidak –tidaknya melibatkan sebagian rektum. Penyakit Hirschprung (PH) dtandai
dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus auerbach dan meissner.

Insidensi

Insiden PH pada bayi aterm dan cukup bulan diperkirakan sekitar 1:5000 kelahiran dan lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Risiko tertinggi
terjadinya PH biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga PH dan pada pasien
penderita Down Syndrome.

Etiologi

Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai penyebab tersebut yang
banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi ke dalam
dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum. Akibatnya tidak
ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. sehingga menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya
distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus
akut, atau kronis tergantung panjang usus yang mengalami aganglion.

Patogenesis

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan sphincter anus
interna sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal akan mengalami
kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di
bagian proksimalnya. Dasar patofisiologi dari penyakit hirschprung adalah tidak adanya
gelombang propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus yang terkena.

Kerusakan yang terjadi pada Penyakit hirschsprung

Tidak terdapatnya ganglion (aganglion) pada kolon menyebabkan peristaltik usus menghilang
sehingga profulsi feses dalam lumen kolon terlambat yang menimbulkan terjadinya distensi dan
penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah aganglionik sebagai akibat usaha melewati
daerah obstruksi dibawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut, atau
kronis yang tergantung panjang usus yang mengalami aganglion. Obstruksi kronis menimbulkan
distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang disertai iritasi feses sehingga
menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Selanjutnya dapat terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon,
pneumomatosis, sampai perforasi kolon. Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari
ringan sampai berat. Bahkan terjadi sepsis akibat dehidrasi dan kehilangan cairan rubuh yang
berlebihan.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus. Gejala
konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya pengeluaran mekonium dalam waktu 24
jam setelah lahir. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase
usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih tua
maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan
adalah didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif, kita
harus mencurigai adanya enterokolitis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan
pada semua kasus.

Gejala klinik

Pada bayi yang baru lahir manifestasi PH yang khas biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan
dengan keterlambatan pengeluaran mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi
abdomen, dan muntah hijau atau fekal. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama
keluar dalamm usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus PH mekonium keluar
setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah
cukup. Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya, yang merupakan manifestasi
obstruksi usus letak rendah. Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan
merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis PH. Pada beberapa bayi yang baru
lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterokolitis.

Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan makan, distensi
abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. PH dapat juga menunjukkan gejala lain seperti
adanya fekal impaction, demam, diare yang menunjukkan adanya tanda-tanda enterokolitis,
malnutrisi, dan gagal tumbuh kembang.
Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat individual untuk
setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami
beberapa gejala ringan pada minggu atau bulan pertama kehidupan.

Beberapa anak yang lebih besar mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola
makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.
pasien didiagnosis dengan PH karena adanya riwayat konstipasi, distensi abdomen dan
gelombang peristaltik dapat terlihat, sering dengan enterokolitis, dan dapat terjadi gangguan
pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen.
Pada pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.
Tanda-tanda edema, bercak- bercak kemerahan khusus di sekitar umbilikus, punggung, dan
disekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis.
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan PH yang berumur kurang dari 3 bulan. Bila
ditemukan harus dipikirkan gejala enterokolitis yang merupakan komplikasi serius dari
aganglionosis. Enterokolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan PH. Hal ini karena stasis
feses menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga translokasi. Selain itu disertai
perubahan komponen musim dan pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin.
Enterokolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa. Enterokolitis
ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal,
dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat
mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada semua anak dengan
enterocolisis necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan PH. Ada hubungan
erat antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi.

Diagnosis dini PH dan penanganan yang tepat sebelum terjadinya komplikasi merupakan hal
yang penting dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini.

Pemeriksaan penunjang

Diagnostik pada PH dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan pemeriksaan
diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus.

Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran dan
pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik yang baik dalam
memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan akibat penyakit ini. disamping
teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan akibat
diagnosis.

a. Foto polos abdomen

PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis
terlihat kosong tanpa udara (gambar1). Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan
penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom
sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto
polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine ataupun
perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar
tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran
masa feses lebih jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi
usus karena adanya gas.
Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan
adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme,
ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.

b. Barium enema

Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan evakuasi
mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun dengan
pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang.
Tanda klasik khas untuk PH adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen
tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen
dilatasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun 1974
sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat mendiagnosis 60% dari 99 pasien
dengan PH. Dalam literatur dikatakan bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80%
dan spesifisitas 65-100%.

Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona transisi
mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium enema yaitu

1. Abrupt, perubahan mendadak;

2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut;

3. Funnel, bentuk seperti cerobong.

Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium enema dengan
gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar garis-garis lipatan
melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon yang berada dalam keadaan
kosong. Pemerikasaan barium enema tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena
enterokolitis karena adanya resiko perforasi dinding kolon.

c. Foto retensi barium

Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema merupakan hal yang penting
pada PH, khusunya pada masa neonatus. Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan foto polos abdomen untuk elihat retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu
barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion normal. Retensi
barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat semakin ke distal,
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto
enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari penyakit hirschsprung didasarkan pada beberapa penyakit yang
mempunyai gejala obstruksi letak rendah yang mirip penyakit hirschsprung. Pada neonatal gejala
yang mirip dengan penyakit hirschsprung dapat berupa meconium plug syndrome, stenosis anus,
prematuritas, enterokolitis nekrotikans, dan fisura ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih
besar diagnosis bandingnya dapat berupa konstipasi oleh karena beberapa sebab, stenosis anus,
tumor anorektum, dan fisura anus.

Penanganan

Setelah pasti didiagnosis penyakit hirschsprung tindakan harus mutlak dilakukan segera adalah
tindakan dekompresi medik, atau dekompresi bedah dengan pembuatan sigmoidostomi. Terapi
medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada penyakit hirschsprung
merupakan tindakan bedah sementara dan bedah definitf. Prinsip penanganan atau terapi
penyakit hirschsprung umumnya dengan melaksanakan dekompresi yang dilakukan dengan
rectal washing dan diversion(colostomi). Serta terapi definitifnya adalah dengan pembedahan
yaitu dengan mengganti atau membungkus usus yang mengalami aganglion dengan yang
ganglion.
LUKA BAKAR

1. Definisi
Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ketubuh (flash), terkena
air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat
bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn).

2. Patofisiologi Luka Bakar


Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi
elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan
bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan
temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan
konduksi panas. Kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler
keluar dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein
plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang
hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi
hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidak mampuan
menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok.
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ
multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya
kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan
ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan
onkotik dan tekanan cairan intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus
dapat mengakibatkan hipopolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan
terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan perkusi jaringan
maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi orang
organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan
neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi sistem.

3. Etiologi
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah
a. Luka bakar suhu tinggi(Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald),jilatan api
ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak
dengan objek-objek panas lainnya(logam panas,dan lain-lain).
b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga.
c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan.
Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling
rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khusunya tunika intima,
sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada
jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun grown
d. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif. Tipe
injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik
dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu
lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi (Moenadjat, 2001).
4. Klasifikasi Luka Bakar
Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman
a. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering hiperemik,
berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung – ujung syaraf sensorik
teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam waktu 5 -10 hari.
b. Luka bakar derajat II
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan dermis,
berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai pula, pembentukan scar,
dan nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka berwarna merah
atau pucat. Sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal.
 Derajat II Dangkal (Superficial)
- Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.
- Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh.
- Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka
bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan mungkin
terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24 jam.
- Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan basah.
- Jarang menyebabkan hypertrophic scar.
- Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara spontan
kurang dari 3 minggu.
 Derajat II dalam (Deep)
- Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
- Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar
keringat,kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
- Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung biji epitel yang tersisa.
- Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tanpak
berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi cedera karena
variasi suplay darah dermis (daerah yang berwarna putih
mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama sekali,
daerah yg berwarna merah muda mengindikasikan masih ada beberapa
aliran darah )
- Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9 minggu
c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)
Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih dalam, tidak
dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar berwarna putih dan pucat.
Karena kering, letak nya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi
protein pada epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan
hilang sensasi,oleh karena ujung –ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau
kematian. Penyembuhanterjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan
dari dasar luka.
d. Luka bakar derajat IV
Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh dermis, organ-organ kulit
seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat mengalami
kerusakan, tidak dijumpai bula, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat,
terletak lebih rendah dibandingkan kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada
epidemis dan dermis yang dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori
karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan dan kematian.
Penyembuhannya terjadi lebih lama karena ada proses epitelisasi spontan dan rasa
luka
5. Proses Penyembuhan Luka
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut dan
kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–3
minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda-tanda untuk
sembuh dalam jangka lebih dari 4–6 minggu. Pada dasarnya proses penyembuhan luka
sama untuk setiap cedera jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya
luka pada tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan
ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat
tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami
proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan
fase maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat
berkurang, jaringan luka semakin membaik. Tubuh secara normal akan merespon
terhadap luka melalui proses peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda
utama yaitu bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan kerusakan fungi. Proses
penyembuhannya mencakup beberapa fase (Potter & Perry, 2005) yaitu:

 Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama
terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah
kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel
berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh
dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah
yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang
diperlukan pada proses penyembuhan. Pada akhirnya daerah luka tampak
merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah lekosit (terutama
neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah
cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui
proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor
angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir
pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses
penyembuhan. Respon segera setelah terjadi injuri akan terjadi pembekuan
darah untuk mencegah kehilangan darah. Karakteristik fase ini adalah
tumor, rubor, dolor, calor, functio laesa. Lama fase ini bisa singkat jika tidak
terjadi infeksi.
 Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke–21.
Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh
darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas
(menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24
jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan
substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi
luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan
epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
 Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam
struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas
dan meninggalkan garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka
yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan
kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen
yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan.
Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada
aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
 Usia
Sirkulasi darah dan pengiriman oksigen pada luka, pembekuan, respon
inflamasi,dan fagositosis mudah rusak pada orang terlalu muda dan orang
tua, sehingga risiko infeksi lebih besar. Kecepatan pertuumbuhan sel dan
epitelisasi pada luka terbuka lebih lambat pada usia lanjut sehingga
penyembuhan luka juga terjadi lebih lambat.
 Nutrisi
Diet yang seimbang antara jumlah protein, karbohidrat, lemak, mineral dan
vitamin yang adekuat diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap patogen dan menurunkan risiko infeksi. Pembedahan, infeksi luka
yang parah, luka bakar dan trauma, dan kondisi deficit nutrisi meningkatkan
kebutuhan akan nutrisi. Kurang nutrisi dapat meningkatkan resiko infeksi
dan mengganggu proses penyembuhan luka. Sedangkan obesitas dapat
menyebabkan penurunan suplay pembuluh darah, yang merusak
pengiriman nutrisi dan elemen-elemen yang lainnya yang diperlukan pada
proses penyembuhan. Selain itu pada obesitas penyatuan jaringan lemak
lebih sulit, komplikasi seperti dehisens dan episerasi yang diikuti infeksi
bisa terjadi.
 Oksigenasi
Penurunan oksigen arteri pada mengganggu sintesa kolagen dan
pembentukan epitel, memperlambat penyembuhan luka. Mengurangi kadar
hemoglobin (anemia), menurunkan pengiriman oksigen ke jaringan dan
mempengaruhi perbaikan jaringan.
 Infeksi
Bakteri merupakan sumber paling umum yang menyebabkan terjadinya
infeksi. Infeksi menghematkan penyembuhan dengan memperpanjang fase
inflamasi, dan memproduksi zat kimia serta enzim yang dapat merusak
jaringan. Resiko infeksi lebih besar jika luka mengandung jaringan
nekrotik, terdapat benda asing dan suplai darah serta pertahanan jaringan
berkurang.
 Merokok
Merokok dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dan kerusakan
oksigenasi jaringan. Sehingga merokok menjadi penyulit dalam proses
penyembuhan luka .
 Diabetes Melitus
Menyempitnya pembuluh darah (perubahan mikrovaskuler) dapat merusak
perkusi jaringan dan pengiriman oksiken ke jaringan. Peningkatan kadar
glukosa darah dapat merusak fungsi luekosit dan fagosit. Lingkungan yang
tinggi akan kandungan glukosa adalah media yang bagus untuk
perkembangan bakteri dan jamur.

 Sirkulasi
Aliran darah yang tidak adekuat dapat mempengaruhi penyembuhan luka
hal ini biasa disebabkan karena arteriosklerosis atau abnormalitas pada
vena.
 Faktor Mekanik
Pergerakan dini pada daerah yang luka dapat menghambat penyembuhan.
 Steroid
Steroid dapat menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap
cedera dan menghambat sintesa kolagen. Obat obat antiinflamasi dapat
menekan sintesa protein, kontraksi luka, epitelisasi dan inflamasi.
 Antibiotik
Penggunaan antibiotik jangka panjang dengan disertai perkembangan
bakteri yang resisten, dapat menigkatkan resiko infeksi.
FIBROADENOMA MAMAE (FAM)

Definisi: kelainan pada perkembangan payudara normal dimana ada pertumbuhan berlebih
dan tidak normal pada jaringan payudara dan pertumbuhan yang berlebih dari sel-sel yang
melapisi saluran air susu di payudara.

Klasifikasi:
1. Common Fibroadenoma : ukuran 1-3 cm, sering ditemukan pada wanita kelompok
usia 21-25 tahun, benjolan itu biasanya berbentuk oval atau bulat, halus, tegas, dan
bergerak sangat bebas.
2. Giant Fibroadenoma : ukuran > 5 cm, biasanya ditemui pada wanita hamil dan
menyusui.
3. Juvenile Fibroadenoma : biasa terjadi pada usia remaja

Faktor risiko:
 Usia muda
 Riwayat pernikahan terlalu muda
 Paritas dan Riwayat Menyusui Anak
 Penggunaan kontrasepsi yang komponen utamanya adalah estrogen
 Obesitas
 Riwayat keluarga
 Stress

Gejala Klinis:
 Terdapat bagian yang menonjol pada permukaan payudara
 Benjolan memiliki batas yang tegas dengan konsistensi padat dan kenyal
 Benjolan yang tumbuh dapat diraba dan digerakkan dengan bebas
 Umumnya tidak sakit

Pemerikasaan Penunjang:
 Mammografi
 Ultrasonografi (USG)
 Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)

Pencegahan:
 menghindari pemakaian pil kontrasepsi dengan komponen utama estrogen
 menghindari terpapar dengan zat Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) yang
bersifat karsinogenik
 mengkonsumsi zat dan bahan yang dapat menurunkan kejadian FAM antara lain
dengan mengkonsumsi buah dan sayuran
 Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI)

Tatalaksana:
Biopsi eksisi (pembedahan dengan mengangkat seluruh jaringan tumor beserta sedikit
jaringan sehat disekitarnya
Proktitis

Faktor yang mempengaruhi seseorang mendapatkan penyakit ini adalah melakukan hubungan sex
dengan sesama jenis (homosexual) sehingga mendapat infeksi gonorrhoe (kencing nanah), Herpes
Simplex Virus, Treponema pallidum, Human Imunodefficiency Virus, Candida, dan C.
Trachomatis. Proktitis juga dapat disebabkan karena seseorang mengkonsumsi makanan yang
mengandung bakteri Giardia, Entamoeba, Campylobacter, Shigella dan Hepatitis A. Inflammatory
Bowel Diseases, seperti penyakit Crohn’s atau colitis ulseratif (ulkus kronik yang sering berulang
pada usus besar) juga dapat menyebabkan terjadinya Proktitis. Kondisi-kondisi seperti diversion,
iskemia dan terpapar radiasi dapat menyebabkan Proktitis. Penyebab lain yang tidak diketahui
disebut juga Proktitis idiopatik.
Secara garis besar etiologi proktitis dibedakan menjadi:
- Proktitis yang disebabkan radang usus (misalnya, kolitis ulseratif, penyakit Crohn).
- Proktitis infeksius, seperti Clostridium difficile dan Salmonela sp. (Dalam kebanyakan
kasus, inflamasi rektum yang disebabkan oleh infeksi peradangan cenderung menyebabkan
inflamasi pada kolon juga.)
- Proktitis dikarenakan kondisi jinak, seperti diversi, iskemia, dan proctitis radiasi.
Manifetasi klinis
Gejala proktitis berbeda tergantung pada penyebabnya.
- Gejala yang paling umum adalah bahwa adanya dorongan terus untuk buang air besar.
Rektum terasa "penuh" atau bisa mengalami sembelit (tidak dapat memiliki gerakan usus).
- Gejala ringannya seperti nyeri di daerah anus dan iritasi ringan rektum.
- Gejala yang lebih serius dapat terjadi, seperti nanah dan darah pada cairan disertai spasme
dan rasa sakit saat buang air besar.
- Jika mengalami perdarahan berat yang berhubungan dengan proktitis, mungkin
menyebabkan anemia (karena kehabisan darah). Seseorang yang anemia biasanya memiliki
kulit pucat, lekas marah, lemah, pusing , kuku rapuh, dan sesak napas. Perdarahan rektum
cenderung berwarna merah terang dan persisten tetapi jarang parah. Perdarahan bisa
berlangsung selama beberapa minggu atau lebih.
- Perubahan pada kebiasaan buang air besar cenderung terjadi, biasanya dengan penurunan
volume dan peningkatan konten mukoid. Pasien akanmengeluh diare ringan dengan
banyak lendir. Diare ringan adalah keluhan yang paling umum.
- Pasien dapat melaporkan tenesmus atau urgensi fekal.
- Diare berat umumnya jarang terjadi.
- Konstipasi dapat terjadi jika peradangan parah.
- Pasien juga dapat mengeluh kram abdominal. Hal ini disebabkan oleh inflamasi pada
pelvis.

Pemeriksaan colok dubur (rectal toucher)


Pemeriksaan ini sangat penting untuk dapat kita peroleh informasi penting untuk menegakan
diagnosa. Tetapi pemeriksaan ini sering terabaikan. Penemuan pada pemeriksaan fisik mungkin
tidak bermakna. Nyeri tekan abdomen dapatterlihat pada IBD, colitis yang infeksius, dan proktitis
iskemik. Pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan karena nyeri tekan. Jika hal ini terjadi
dan harus diperiksa, diperlukan tindakan di bawah pengaruh anestesi.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Tes darah lengkap
Tes lengkap ini dilakukan untuk mengevaluasi kehilangan darah atau infeksi. Orang dengan
proktitis mungkin memiliki jumlah sel darah putih tinggi yang terjadi bila ada peradangan atau
tubuh memerangi infeksi. Jika mencurigai adanya masalah pembekuan darah, mungkin dilakukan
pemeriksaan darah yang lebih spesifik.
2. Tes tinja
Tes tinja dilakukan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit dan screning PMS ( penyakit menular seksual) yang terkait dengan proktitis. Untuk
pemeriksaan sebaiknya berasal dari defekasi spontan, jika pemeriksaan sangat diperlukan boleh
juga sampel tinja diambil dengan jari bersarung dari rectum. Untuk pemeriksaan biasa dipakai tinja
sewaktu, jarang dipakai tinja 24 jam untuk pemeriksaan tertentu. Jika akan memeriksa tinja,
pilihlah selalu sebagian dari tinja itu yang memberi kemungkinan sebesar-besarnya untuk
menemui kelainan. Selain itu pada test tinja ini dapat dinilai warna, bau, konsistensi, lendir dan
darah. Seperti test darah samar sangat penting sekali untuk mengetahui adanya perdarahan kecil
yang tidak dpat dinyatakan secara makroskopis atau mikroskopis.
3. Biopsi
Dokter juga dapat mengambil biopsi atau sepotong kecil jaringan dari dubur untuk menguji
penyakit atau infeksi. Penemuan histologis biasanya konsisten dengan peradangan. Namun,
penemuan histologis terinci yang menuju etiologi seringkali tidak memungkinkan. Inflamasi yang
parah dapat merusak penemuan histopatologis spesifik dari penyakit-penyakit lain, seperti IBD
atau C difficile. Mengenai etiologi infeksi, colitis diversi, atau proktitis radiasi, histologi inflamasi
tidak bersifat patognomonik. Salah Satu pengecualian adalah kolitis CMV pada pasien dengan
gangguan sistem imun.
Pemeriksaan Radiologi
Umumnya, tidak ada pemeriksaan radiologi yang diperlukan jika inflamasi diketahui terbatas pada
rektum dan anus. Namun, jika terdapat kemungkinan IBD (baik penyakit Crohn ataupun kolitis
ulseratif) atau iskemia, maka diperlukan pemeriksaan radiologi lebih lanjut.
1. Endoscopi
Sebuah tabung cahaya dengan kamera dilewatkan melalui anus dan digunakan untuk melihat
permukaan dubur dan kolon gambar di proyeksikan di layar tv dan diperbesar untuk
mengidentifikasi perubahan.
• Proktoskopi
Deteksi kelainan 8 – 10 cm dari anus
• Rektosigmoidoskopi
Deteksi kelainan 20 – 25 cm dari anus
• Kolonoskopy
Dapat mencapai seluruh kolon

2. Anoscopy
Tes ini memungkinkan pemeriksaan canalis ani dan rektum bawah melalui pembukaan anus
menggunakan alat khusus yang disebut anoskopi.

3. Flexible sigmoidoscopy dan colonoscopy


Kedua tes tersebut digunakan untuk membantu mendiagnosis penyakit Crohn’s. Tes tersebut sama,
tapi pada colonoskopi digunakan untuk melihat secara keseluruhan bagian colon dan rektum,
sedangkan pada sigmoidoskopi digunakan hanya untuk melihat bagian bawah colon dan rektum.
Syarat melakukan pemeriksaan tersebut pasien harus diet rendah cairan selama 1-3 hari sebelum
diperiksa. Pada kedua pemeriksaan ini kita dapat melihat inflamasi, perdarahan, atau ulkus pada
dinding kolon.
4. X-ray abdomen dan pelvis.
Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi barium enema. Dalam proses ini, bahan kontras (barium
cair) dimasukkan ke dalam kolon melalui anus. Setelah kolon dilapisi dengan barium, radiolog
mengambil gambar X-ray dari kolon. Gambar-gambar ini, yang dapat dilihat pada monitor video,
dapat mendeteksi kelainan-kelainan dalam usus besar. Jika dicurigai penyakit Crohn, X-ray
gastrointestinal bagian atas dengan kontras dapat menunjukkan penyakit ileum terminal dan
striktur jejunal-ileum.
5. USG
Tes pencitraan menggunakan gelombang suara untuk menyediakan gambar kolon. Alat ini dapat
membantu dalam mengesampingkan gangguan lain, seperti penyakit inflamasi usus. Untuk
prosedur, alat yang disebut transduser yang memancarkan gelombang suara disepanjang abdomen.
Informasi yang ditangkap oleh transduser tersebut dikirim ke komputer yang menghasilkan
gambar.
6. Abdomen Computerized Tomography (CT) scan.
Terkadang CT-Scan digunakan untuk menyingkirkan kondisi-kondisi lain yang dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan proktitis. Tes ini menggunakan teknologi canggih X-ray
untuk menghasilkan gambar penampang kolon, dan mungkin dapat mendeteksi penebalan dinding
kolon. CT Scan abdomen dan pelvis juga dapat menunjukkan fistel entero-enterika dan penebalan
dinding

Penatalaksanaan Medis
Pengobatan medis proktitis tergantung pada etiologi. Jika idiopatik atau terkait dengan IBD, maka
steroid, sulfasalazine, produk asam 5-aminosalisilat (5- ASA), dan bahkan obat imunosupresif
dapat digunakan. Banyak dari produk- produk ini yang tersedia sebagai obat oral serta enema dan
suposituria. Terapi kombinasi menggunakan kedua-duanya baik obat oral maupun obat topikal,
seperti 5-ASA, telah terbukti lebih efektif daripada modalitas lain yang digunakansebagai obat
tunggal dan dapat juga dilakukan tindakan pembedahan.
INTERNA

FIBRILASI ATRIUM

Definisi:
Kondisi ketika atrium berdenyut tidak beraturan dan cepat.
Manifestasi klinis:
 Kelelahan terutama saat olahraga
 Pusing
 Napas pendek
 Lemah
 Nyeri dada

Etilogi:
 Infeksi virus
 Kelainan jantung bawaan
 Metabolisme kelenjar tiroid yang tidak seimbang
 Penyakit paru, jantung, tek darah tinggi, PJK

Diagnosis:
Peeriksaan darah, EKG dengan treadmill
Pengobatan:
 Antikoagulan: aspirin dan warfarin
 Pengendali denyut jantung: atenolol, biroprolol, metoprolol
 Antiaritmia: defetilide, flecainide
DEMAM TIFOID

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri perut yang
diakibatkan oleh penyebaran kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
Patogenesis
Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh melalui makanan yang
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lagi lolos ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Kemudian kuman akan menembus sel sel epitel dan ke lamina
propia. Disana kuman akan berkembang biak dan difagosis oleh sel fagosit (makrofag). Kuman
dapat hidup dalam makrofag dan dibawa ke plak pyeri ileum distal  kgb mesenterika. Melalui
duktus torasikus kuman dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ organ ini kuman
meninggalkan sel sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid lalu
masuk ke dlm sirkulasi darah lagi menyebabkan bacteremia kedua kalinya disertai dgn tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik. Kuman dpt masuk kdlm kntg empedu, berkembng biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebgian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali karena makrofag telah teraktivasi hiperaktif maka saat
fagositosis kuman akan terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi selama 10-14 hari
Minggu I : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,muntah , obstipasi atau
diare, perasaaan tidak enak perut, batuk, epitaksis
Minggu II: demam, bradikardia relative ( peningkatan suhu 1oC,tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8x/menit), lidah berselaput kotor ( kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor),
hepatomegaly, splenomegaly, meteroismus,somnolen, spoor, koma, delirium, atau psikosis.
Demam meningkat perlahan lahan terutama pada sore hingga malam hari.
Pemeriksaan Fisik
Suhu meningkat
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah Perifer lengkap : Leukopenia(bisa juga normal atau leukositosis),
anemia ringan, trombositopenia
b. Pemeriksaan hitung jenis leukosit: aneosinofilia, lomfopenia
c. Laju endap darah meningkat
d. SGOT/SGPT ↑
e. Uji widal : untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid. Yaitu Aglutinin O (tubuh kuman) & Aglutinin H (flagella kuman). Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
f. Uji Typhidot: Mendeteksi antobodi IgM dan IgG pada protein membrane luar Salmonella
typhi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah infeksi & dpt identifikasi spesifik yg
terdapat pada strip nitroselulosa
g. Uji IgM dipstick:Deteksi IgM spesifik S.typhi pada serum atau whole blood.
Menggunakan strip mengandung antigen lipopolisakarida S. typhoid dan anti IgM
sebagai control. Penilaian dilakukan terhadap garis uji dengan membandingkannya
dengan reference strip.
h. Kultur Darah: Hasil positif memastikan demam tifoid
Penatalaksanaan
a. Istirahat dan perawatan (cegah kompikasi percepat penyembuhan)
b. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
c. Pemberian antimikroba:
1) Kloramfenikol 4x500mg/hari peroral atau intravena (sampai 7 hari bebas panas)
2) Tiamfenikol 4x 500mg/hari (kemungkinan terjadi anemia aplastic lebih rendah)
3) Kotrimoksazol 2x2 tablet diberi selama 2minggu ( 1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg& 80 mg trimethoprim)
4) Ampisilin dan amoksisilin 50 -150 mg/ kgBB selama 2 minggu
5) Sefalosporin generasi ketiga: seftriakson 3 – 4 gram dalam dekstrosa 100cc diberi
slm ½ jam perinfus sekali sehari . DIberi selama 3 – 5 hari.
6) Florokuinolon : Norfloksasin 2x400mg/hari selama 14 hari, Siprofloksasin
2x500mg/hari selama 6 hari, Ofloksasin 2x400mg/hari selama 7 hari, Pefloksasin
400mg/hari selama 7 hari, Fleroksasin 400mg/hari selama 7 hari, Levofloksasin
1x500mg selama 5 hari
7) Azitromisin 2x500 mg bisa oral maupun intravena
8) Kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan deksametason 3x5 mg
9) Obat yang disarankan untuk wanita hamil adalah ampisilin, amoksisilin dan
seftriakson
Kloramfanikol  (pada trimester ke 3)partus premature, kematian fetus
intrauterine dan grey syndrome
Tiamfenikol  (pada trimester ke 1) efek teratogenik pada fetus
Komplikasi
a. Intestinal : Perdarahan, perforasi, ileus paralitik, pankreatitis
b. Ekstra intestinal: Kardiovaskular, darah, paru,ginjal, tulang, neuropsikiatrik
BRONKOPNEUMONIA
Definisi

Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi pada bronkus sampai
dengan alveolus paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya
sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza yang sering
ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi. Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia
di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20% pertahun.

Anak dengan daya tahan atau imunitas terganggu akan menderita bronkopneumonia berulang atau
bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor
imunitas, faktor iatrogen juga memicu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru,
anastesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna. Insiden penyakit ini pada negara
berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko kematian yang
tinggi.
Manifestasi Klinis

Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-gejala klinis tersebut antara lain:
a. Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal
b. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung
c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari
d. Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare
e. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk, beberapa hari
yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
f. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring
g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan predominan PMN
h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan infiltrat
alveolar serta gambaran bronkopneumonia.
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan
pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:
1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,
maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih sanggup minum,
maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yangcepat yakni >60
x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan; >50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1 tahun;
>40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.
4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti di atas, tidak
perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.
Diagnosis pasti dilakukan dengan idientifikasi kuman penyebab pneumonia. Identifikasi kuman
penyebab dapat dilakukan melalui:
a. Kultur sputum/bilasan cairan lambung
b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
c. Deteksi antigen bakteri
Penatalaksanaan

Terapi suportif berupa pemberian O2 1 L/menit. Oksigen diberikan untuk mengatasi hipoksemia,
menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen penting diberikan
kepada anak yang menunjukkan gejala adanya tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang
dalam; SpO2 <90%; frekuensi napas 60 x/menit atau lebih; merintih setiap kali bernapas untuk
bayi muda; dan adanya head nodding (anggukan kepala). Pemberian Oksigen melalui nasal pronge
yaitu 1-2 L/menit atau 0,5 L/menit untuk bayi muda. Untuk kebutuhan cairan, sesuai dengan berat
badan diberikan cairan N4D5 melalui mikrodrip infus dengan 25-30 tetes per menit. N4D5 terdiri
dari 100 cc D5% dengan 25 cc NaCl, dimana kandungan dekstrosa 50 g (200 kkal), Na 38,5
mEq/L, Cl 38,5 mEq/L, Ca 200 mg/dL, dan total Osm 353. Sedangkan untuk mengatasi demamnya
pasien diberikan antipiretik parasetamol yang diberikan selama pasien demam. Dosis yang
digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali pemberian. Dapat diulang pemberiannya setiap 4-6
jam.Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis. Pada
kasus ini, dipilih antibiotik ceftriaxone yang merupakan antibiotik sefalopsorin generasi ketiga
dengan aktivitas yang lebih luas terhadap bakteri gram negatif. Dosis ceftriaxone yaitu 50-100
mg/KgBB/hari, dalam dua dosis pemberian. Antibiotik ceftriaxone diberikan sebanyak 350 mg
dua kali sehari secara intra vena.
HEPATITIS

1. Hepatitis A

Definisi
Penyakit Hepatitis A disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh kotoran/tinja penderita biasanya
melalui makanan (fecal - oral), bukan melalui aktivitas seksual atau melalui darah. Hepatitis A
paling ringan dibanding hepatitis jenis lain (B dan C) dan dapat sembuh secara spontan tanpa
meninggalkan gejala sisa. Penyakit ini bersifat akut, hanya menimbulkan gejala sekitar 1 sampai
2 minggu.

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis A (HAV). Virus ini sangat mudah menular, terutama melalui makanan dan air yang
terkontaminasi oleh tinja orang yang terinfeksi. Kebersihan yang buruk pada saat menyiapkan dan
menyantap makanan memudahkan penularan virus ini. Karena itu, penyakit ini hanya berjangkit
di masyarakat yang kesadaran kebersihannya rendah.

Manifestasi Klinis (Gejala)


Penyakit Hepatitis A memiliki masa inkubasi 2 sampai 6 minggu sejak penularan terjadi, barulah
kemudian penderita menunjukkan beberapa tanda dan gejala terserang penyakit Hepatitis A, antara
lain:
- Demam, demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak seperti demam yang
lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll
- Ikterus (mata/kulit berwarna kuning, tinja berwarna pucat dan urin berwarna gelap)
- Keletihan, mudah lelah, pusing
- Nyeri perut, hilang selera makan, muntah-muntah
- Dapat terjadi pembengkakan hati (hepatomegali), tetapi jarang menyebabkan kerusakan
permanen
- Atau dapat pula tidak merasakan gejala sama sekali

Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium:


1. Stadium pendahuluan (prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam, kehilangan selera
makan dan mual;
2. Stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik);
3. Stadium kesembuhan (konvalesensi).

Diagnosis
- Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan darah terhadap fungsi
hati.
- Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak membesar.
- Untuk memastikan diagnosis dilakukan pemeriksaan enzim hati, SGPT, SGOT.
- Tes serologi untuk mengetahui adanya immunoglobulin M (IgM) terhadap virus hepatitis A
digunakan untuk mendiagnosa hepatitis A akut.
Penatalaksanaan
Virus hepatitis A biasanya menghilang sendiri setelah beberapa minggu. Namun, untuk
mempercepat proses penyembuhan, diperlukan penatalaksanaan sebagai berikut:
1. Istirahat
Bed rest pada fase akut, untuk kembali bekerja perlu waktu berangsur-angsur.
2. Diet
- Makanan disesuaikan dengan selera penderita
- Diberikan sedikit-sedikit
- Dihindari makanan yang mengandung alkohol atau hepatotoksik
3. Medikamentosa (simtomatik)
- Analgetik – antipiretik, bila demam, sakit kepala atau pusing
- Antiemesis, bila terjadi mual/muntah
- Vitamin, untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan

Pencegahan
- Menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan dengan teliti.
- Orang yang dekat dengan penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi
hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin
hepatitis B (Twinrix). Imunisasi hepatitis A dilakukan dua kali, yaitu vaksinasi dasar dan booster
yang dilakukan 6-12 bulan kemudian, sementara imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu
dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A dianjurkan bagi orang yang
potensial terinfeksi seperti penghuni asrama dan mereka yang sering jajan di luar rumah.

Prognosis
Perawatan yang legeartis prognosis baik.

2. Hepatitis B

Definisi
Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang hati dan menyebabkan
peradangan hati akut atau menahun. Penyakit ini dapat menjadi kronis dan akhirnya menjadi
kanker hati.

Adapun beberapa hal yang menjadi pola penularan antara lain penularan dari ibu ke bayi saat
melahirkan, hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, maupun penggunaan alat kebersihan
diri (sikat gigi, handuk) secara bersama-sama.

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis B (VHB)

Manifestasi Klinis (Gejala)


- Gejala hepatitis B akut: demam, sakit perut, mual, muntah dan kuning (terutama pada area mata
yang putih/sklera), hepatomegali.
- Gejala hepatitis B kronik: cenderung tidak tampak tanda-tanda seperti pada hepatitis B akut,
sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.
Diagnosis
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan pemeriksaan fisik.
- Diagnosis pasti hepatatitis B dapat diketahui melalui pemeriksaan: HBsAg (antigen permukaan
virus hepatatitis B)

Penatalaksanaan
Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan maka akan
dilakukan periksaan darah (HbsAg positif). Setelah diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka
pengobatan untuk hepatitis B yaitu pengobatan oral dan injeksi.
a. Obat Oral
- Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal dengan nama 3TC.
Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan
enzyme hati (ALT) untuk itu penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter.
- Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan lebih efektif, tetapi
pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap fungsi ginjal.
- Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita Hepatitis B kronik,
efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala, pusing, letih, mual dan terjadi
peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan pemberian obat ini belum dikatakan
stabil.
b. Injeksi/Suntikan
Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar ß yang akan
menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi Alfa Interferon
(dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN, ROFERON) diberikan secara subcutan dengan
skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian
obat ini adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek
lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal
ini dapat dihilangkan dengan pemberian paracetamol.

Pencegahan
- Tidak berganti-ganti pasangan sex
- Penggunaan jarum suntik hanya untuk sekali pakai
- Vaksin Hepatitis B, terutama pada orang-orang yang beresiko tinggi terkena virus ini, seperti
mereka yang berprilaku sex kurang baik (ganti-ganti pasangan/homosexual), pekerja kesehatan
(perawat dan dokter) dan mereka yang berada didaerah rentan banyak kasus Hepatitis B.

Prognosis
Hepatitis B akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis B kronik (menahun) dan dapat
berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.

3. Hepatitis C

Definisi
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (VHC). Proses
penularannya melalui kontak darah seperti transfusi, penggunaan jarum suntik tidak steril untuk
menyuntikkan obat-obatan, pembuatan tato dan body piercing yang dilakukan dalam kondisi tidak
higienis. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual.
Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis C (VHC)

Manifestasi Klinis (Gejala)


- Sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, walaupun infeksi telah
terjadi bertahun-tahun lamanya.
- Beberapa gejala yang samar diantaranya adalah: lelah, hilang selera makan, penurunan berat
badan, nyeri otot dan sendi, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata menjadi kuning
yang disebut "jaundice" (jarang terjadi).

Diagnosis
Ada beberapa tes diagnostik untuk hepatitis C termasuk: HCV antibodi enzyme immunoassay atau
ELISA, rekombinan uji imunoblot , dan kuantitatif HCV RNA polymerase chain reaction.

Penatalaksanaan
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti: Interferon alfa,
Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan
virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan
stadium akhir penyakit hati.

Pencegahan
Saat ini belum ada vaksin hepatitis C. Oleh karena itu, tindakan pencegahan sangat diperlukan
untuk menghindari penularan virus tersebut. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara
lain:
- Penggunaan jarum suntik dan alat suntik sebelum digunakan harus steril dan sekali pakai
(disposable).
- Meskipun resiko penularan melalui hubungan seksual kecil, disarankan untuk menjalani
kehidupan seks yang aman (tidak berganti-ganti pasangan). Penderita Hepatitis C yang memiliki
lebih dari satu pasangan atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri (misalnya
dengan kondom) untuk mencegah penyebaran Hepatitis C.
- Tidak berbagi alat seperti jarum, alat cukur, sikat gigi, dan gunting kuku, dimana dapat menjadi
tempat potensial penyebaran virus Hepatitis C.
- Bila melakukan manicure, tato dan tindik tubuh pastikan alat yang dipakai steril dan tempat
usahanya resmi.

Prognosis
- Pengobatan pada penderita Hepatitis C memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada
penderita tertentu hal ini tidak dapat menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium awalnya.
- Sebanyak 85% dari kasus, infeksi Hepatitis C menjadi kronis, sekitar 20% pasien penyakitnya
berkembang sehingga menyebabkan sirosis hati atau kanker hati.

4. Hepatitis D

Definisi
Hepatitis D, juga disebut virus delta, adalah virus cacat yang memerlukan pertolongan virus
hepatitis B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang terinfeksi hepatitis
B. Virus hepatitis D (HDV) adalah yang paling jarang tapi paling berbahaya dari semua virus
hepatitis.

Pola penularan hepatitis D mirip dengan hepatitis B. Diperkirakan sekitar 15 juta orang di dunia
yang terkena hepatitis B (HBsAg +) juga terinfeksi hepatitis D. Infeksi hepatitis D dapat terjadi
bersamaan (koinfeksi) atau setelah seseorang terkena hepatitis B kronis (superinfeksi).

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis D (VHD). Menular melalui hubungan intim dengan penderita dan pada
homoseksual. Menggunakan jarum dan obat-obatan secara bersamaan, bayi dari wanita penderita
hepatitis D.

Manifestasi Klinis (Gejala)


- Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi)
atau amat progresif (super-infeksi).
- Biasanya muncul secara tiba-tiba gejala seperti flu, demam, penyakit kuning, urin berwarna
hitam dan feses berwarna hitam kemerahan.
- Pembengkakan pada hati.

Diagnosis
Hepatitis D harus dipertimbangkan pada individu dengan HBsAg positif atau yang
memiliki riwayat pernah terinfeksi HBV (Hepatitis B). Antibodi anti-HDV dideteksi dengan
radioimmunoassay (RIA) atau enzyme immunoassay (EIA).

Penatalaksanaan
Interferon-alfa dan transplantasi hati.

Pencegahan
- Sama dengan pencegahan pada Hepatitis B
- Tidak ada vaksin hepatitis D, namun dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis B maka otomatis
kita akan terlindungi dari virus ini karena HDV tidak mungkin hidup tanpa HBV.

Prognosis
- Prognosis lebih baik pada pasien dengan gejala ko-infeksi. Sebagian besar pasien ko-
infeksihanya mengalami fase akut, infeksi akan hilang dari dalam tubuh dalam waktu beberapa
bulan.
- Untuk pasien dengan super-infeksi, sebesar 60% – 70% kasus hepatitis D menjadi sirosis
hepatis.

5. Hepatitis E

Definisi
Hepatitis E adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis E (HEV).

Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis E (VHE). Hepatitis E mirip dengan hepatitis A. Virus hepatitis E (HEV) ditularkan
melalui kotoran manusia ke mulut dan menyebar melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Tingkat tertinggi infeksi hepatitis E terjadi di daerah bersanitasi buruk yang
mendukung penularan virus.

Manifestasi Klinis (Gejala)


- Biasanya muncul tiba-tiba. Umumnya tidak ada gejala pada anak-anak.
- Pada orang dewasa, gejala mirip hepatitis A: demam, nyeri otot, lelah, hilang nafsu makan dan
sakit perut.
-
Diagnosis
Ditanyakan gejalanya bila ternyata ditemukan hepatitis virus maka akan dilakukan tes darah untuk
memastikan diagnosis dan jenis virus. Bila terjadi hepatitis kronis, maka dianjurkan dilakukan
biopsi.

Penatalaksanaan
Tidak ada. Biasanya akan sembuh sendiri setelah beberapa minggu atau bulan.

Pencegahan
Selalu cuci tangan dengan sabun dan air. Cuci buah dan sayuran sebelum dimakan mentah. Selalu
gunakan air bersih.

Prognosis
Prognosis baik. Penyakit Hepatitis E akan sembuh sendiri (self-limited), keculai bila terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan.
ASMA

a. Definisi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala klinis yang berlangsung secara episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini
hari.Asma adalah satu keadaan yang ditandai dengan terjadinya penyempitan bronkus yang
berulang tetapi reversibel, dan di antara episode tersebut terdapat keadaan ventilasi yang
normal.
Asma akut adalah gejala episodik dengan peningkatan yang cepat berupa sesak nafas,
batuk, mengi atau sesak dada dan penurunan fungsi paru yang cepat.

b. Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma dapat dibagi berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan. Pada umumnya, penderita asma sudah dalam masa pengobatan, dan
pengobatan yang telah berlangsung tetapi tidak adekuat. Pengobatan
berguna untuk mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat
asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu
sendiri.
Klasifikasi asma stabil menurut PDPI:
Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis (penilaian awal sebelum terapi)
Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis (dalam pengobatan)

Klasifikasi asma stabil berdasarkan derajat kendali menurut GINA:


Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit.
Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan
kualitas hidup pasien baik.
Asma terkendali (Well controlled)
Asma terkendali sebagian (Partly controlled)
Asma tidak terkendali (Uncontrolled)
Klasifikasi asma berdasarkan derajat kendali digunakan untuk menilai keberhasilan
tatalaksana yang tengah dijalankan atau untuk penentuan peningkatan (Step Up),
pemeliharaan (Maintenance) atau penurunan (Step Down) tatalaksana yang akan diberikan.
Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi
maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma, termasuk diberikan
glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah
dengan agonis beta-2 kerja lama untuk mengontrol asma, setelah asma terkontrol dosis
diturunkan secara bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan
kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut step down therapy. Pendekatan lain yaitu step up
therapy yaitu memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi secara bertahap
jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.
Tingkat asma terkontrol

Berdasarkan GINA, asma yang terkontrol didefinisikan sebagai berikut:


1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE (Arus Puncak Ekspirasi) kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
Klasifikasi serangan asma akut

c. Patogenesis Asma
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut
(Gambar 2.1). Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak
tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu
fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas
paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot
bantu napas.

Gambar Bronkus pada


Penderita Asma

Gambaran khas inflamasi pada penderita asma ditandai dengan peningkatan jumlah
eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran
pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui penglepasan
berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T subset T helper-2 (Th-2) yang berperan dalam
patogenesis asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-
16 dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating Faktor (GMCSF). 8 Asma dapat terjadi
melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.8,13 Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada
permukaan sel mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang
menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Mediator-mediator yang dikeluarkan adalah
histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Mediator Ini akan
menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi cepat yaitu 10-
15 menit setelah pajanan alergen. Terjadinya spasme bronkus merupakan respons terhadap
mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Berbeda dengan fase cepat, pada fase lambat, reaksi ini terjadi setelah 6-8 jam pajanan
alergen dan akan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang dapat sampai
beberapa minggu. Beberapa sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Selain melalui jalur imunologis, asma juga dapat melalui jalur saraf otonom. Inhalasi
alergen dapat mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
epitel saluran napas. Peregangan vagal dapat menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag dapat membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan juga memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga dapat menyebabkan meningkatnya reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus
oleh mediator-mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Patofosiologi

Inflamasi kronik pada asma melibatkan dan mengaktifasi berbagai sel, diantaranya limfosit
T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus yang
menyebabkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process), menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati/rusak
dengan dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan dan inflamasi ini kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang berupa hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan
nafas, penebalan membran retikuler, hiperfaskuleri, perubahan struktur parenkim,
meningkatnya fibrogenik growth faktor yang menjadikan fibrosis, sehingga hal ini
menyebabkan peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktifiti jalan napas, masalah
distensibiliti, regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
d. Manifestasi Klinis Asma
Diagnosis asma dapat didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala tersebut berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan faktor yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik sudah cukup untuk menegakkan diagnosis pada asma, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibilitas kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Gejala klinis berupa;
 Lebih dari 1 gejala (mengi, batuk, sesak napas, rasa berat di dada), terutama pada orang
dewasa
 Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
 Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
 Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), latihan fisik, paparan alergen, perubahan cuaca,
atau iritasi seperti asap knalpot mobil, rokok atau bau yang kuat
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam gejala klinis pada asma adalah:
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan
Serangan asma ditandai adanya kalor (panas karena vasodilatasi), rubor (kemerahan karena
vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsang
sensoris) dan functio laesa (fungsi terganggu). Gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pada
penderita asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik.
Baik asma yang alergik maupun non alergik ditemukan adanya inflamasi dan hiperaktivitas
saluran napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi),
sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi
paru. Gejala mengi menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan
pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan. Pada serangan asma
yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak
memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini dapat menyebabkan hipoksemia dan
memperberat kerja otot-otot pernapasan serta terjadinya peningkatan produksi CO2 yang
disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan
dapat terjadi asidosis repiratorik atau gagal napas. 13 Pada awal serangan asma, gejala
asma tidak jelas seperti rasa berat di dada dan pada asma alergik mungkin disertai flu.
Selain itu, pada pasien asma alergik dapat memberikan gejala terhadap faktor pencetus non
alergik seperti asap rokok, infeksi saluran napas atas ataupun perubahan cuaca. Keluhan
yang sering timbul berupa batuk di malam hari/dini hari atau sesak dada. Mengi merupakan
suara siulan tinggi melengking saat menghembuskan napas.
e. Faktor Risiko Asma
Faktor pejamu dan lingkungan saling mendukung berkembangnya penyakit asma
a. Faktor pejamu
 Genetik/Atopi
Sebagian besar pada penderita asma ditemukan riwayat alergi,selain itu serangan asma juga
sering dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Pada penderita asma yang mempunyai
komponen alergi, jika ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada
keluarganya. Sehingga hal tersebut menimbulkan pendapat bahwa pada penderita asma
terdapat faktor genetik yang menyebabkan timbulnya asma. Faktor genetik tersebut
cenderung memproduksi IgE yang berlebihan. Seseorang yang mempunyai kecenderungan
ini disebut mempunyai sifat atopi. Ada penderita yang tidak mempunyai sifat atopi dan
juga serangan asmanya tidak dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Asma pada penderita
ini disebut idiosinkratik dan biasanya asmanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan
atas.
 Usia
Berdasarkan penelitian Marice, et al mengenai hubungan penyakit Asma dengan umur
yaitu semakin meningkat umur maka semakin besar pula kemungkinan mendapatkan
penyakit dan kekambuhan Asma. Responden berumur > 60 tahun berisiko 4,5 kali
dibandingkan responden yang berusia 10-19 tahun dengan OR=4,5, 95%CI 4,3-4,8. Umur
responden 50-59 tahun dengan OR=25, 95%CI 2,3-2,8 dan 40-49 tahun dengan
OR=1,895%CI 1,7-1,9.
 Jenis kelamin
Di Amerika dilaporkan tidak ada perbedaan prevalensi asma antara laki-laki dan
perempuan. Prevalensi laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan dengan rasio 3:2
pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa
perbandingan ini berubah menjadi sebanding antara lakilaki dan perempuan pada usia 30
tahun.
 Obesitas
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan tingkat
kontrol asma. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa obesitas berkaitan
dengan peningkatan resistensi paru dan peningkatan inflamasi paru sehingga akan
mempengaruhi tingkat kontrol asma.
b. Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja adalah penyebab utama asma, dengan cara
faktor lingkungan ini pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan
kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan gejala
menetap. Contoh faktor lingkungan menurut Pedoman Tatalaksana Asma DAI 2011:
 Alergen di dalam ruangan: tungau debu rumah, serpihan kulit, bulu binatang (anjing,
kucing, dll), kecoa, jamur, dll.
 Alergen di luar ruangan: tepung sari dan jamur.
 Asap rokok (aktif dan pasif).
 Polusi udara di dalam ruangan: asap dapur, bau yang keras/merangsang dari masakan,
dll.
 Polusi udara di luar ruangan: asap kendaraan, dll.
 Infeksi pernapasan terutama yang disebabkan oleh virus.
 Sensitisasi lingkungan kerja (okupasi).

c. Faktor pencetus
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap
 Alergen di dalam dan luar ruangan Tungau debu rumah adalah hewan
(Dermatophagoides pteronyssinus) yang sangat kecil sekitar 0,5 mm yang umum di jumpai
di tempat tinggal manusia. Tungau debu rumah biasanya berada di karpet dan jok kursi
yang kotor, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan
koran, buku, pakaian yang kotor. Jika tungau debu rumah masuk ke dalam saluran napas
pada penderita asma bronkial dapat merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I
atau reaksi alergi. Tungau Debu Rumah (TDR) adalah alergen inhalan penting yang
berhubungan dengan asma. Kasur yang telah lama tidak dijemur dan tidak dibersihkan akan
menampung TDR dan serpihan kulit manusia yang merupakan makanannya. Selain itu
karpet juga sering menampung alergen seperti TDR.
 Polusi udara di dalam dan luar ruangan Polusi udara adalah suatu keadaan dimana udara
mengandung bahan kimia, partikel, organisme hidup lainnya yang tidak bagus jika dihirup
oleh manusia dan dapat menyebabkan penyakit. Polusi udara di bagi menjadi 2 yaitu:
Polusi udara dalam ruangan dapat menimbulkan ancaman kesehatan yang serius, seperti
semprotan minyak wangi, semprotan nyamuk, debu dalam lemari dan lain-lain. Menurut
Studi EPA (Environment Protecting Agency/Badan Perlidungan Lingkungan Hidup)
menunjukkan bahwa tingkat polusi udara sebanyak 2-5 kali lebih tinggi udara dalam
ruangan dibandingkan udara luar uangan. Tingkat tingginya polusi udara dalam ruangan
menjadi perhatian khusus, karena banyak orang yang menghabiskan sebanyak 90 persen
dari waktu mereka di dalam ruangan. Efek kesehatan polusi udara dalam ruangan bisa
menjadi lebih buruk bagi orang-orang dengan gangguan pernapasan seperti asma. Kualitas
udara di luar ruangan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Di luar
ruangan, seperti polusi akibat zat kimia hasil pabrikan, kendaraan bermotor dan orang yang
bekerja di lingkungan berdebu atau asap dapat memicu serangan sesak napas yang
berkepanjangan. Polusi udara di luar ruangan memberikan efek yang merugikan kesehatan
seperti penyakit jantung, kanker, asma, penyakit pernapasan dan bahkan kematian. Paling
berisiko dari polusi udara di luar ruangan adalah anak-anak, remaja, orang dewasa yang
lebih tua dan orang dengan penyakit paru, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis.
Polutan di luar dan di dalam rumah mempunyai kontribusi perburukan gejala asma dengan
mentriger bronkokonstriksi, peningkatan hiperresponsif saluran napas dan peningkatan
respon terhadap aeroalergen. Ada 2 polutan outdoor yang penting yaitu industrial smog
(sulfur dioxide, particulate complex) dan photochemical smog (ozone dan nitrogen oxides).
Teknologi kontruksi modern telah dicurigai menyebabkan polusi indoor yang tinggi. Pada
gedung-gedung hemat energi ada ± 50% udara bersih pertukarannya kurang terjadi. Polusi
indoor termasuk cooking dan heating fuel exhaust, insulating production, cat, vernis yang
mengandung formaldehid dan isocyanate.
 Infeksi pernapasan (hipotensi higiene) Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak
dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi.
 Asap rokok (aktif dan pasif) Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok
itu sendiri maupun orangorang yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia
menunjukkan bahwa orang dewasa yang terkena asap rokok berpeluang menderita asma
dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak terkena asap rokok.
 Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan) dan obat-obatan Pada penderita
asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang dapat
mengancam jiwa. Makanan yang sering menyebabkan reaksi yang fatal adalah kacang,
ikan laut dan telur. Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu
pencetus asma meskipun penelitian membuktikan 2% - 5% anak dengan asma terjadi
bronkokonstriksi yang disebabkan oleh alergi makanan
d. Tatalaksana Asma
Tujuan penatalaksanaan asma adalah mencapai asma terkontrol yaitu keadaan yang
optimal seperti orang sehat dengan mencegah eksaserbasi, memelihara fungsi paru
seoptimal mungkin, memelihara derajat aktivitas normal termasuk latihan, menghindari
efek tambahan obat asma, mencegah berkembangnya hambatan aliran udara yang
ireversibel dan mencegah kematian akibat asma. Tujuan utama penatalaksanaan asma
adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
7. Mencegah kematian karena asma
Tingkat Kontrol Asma
Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan asma dibagi menjadi tiga kategori
umum, yaitu;
1. Kontroler (controller medication)
Kontroler digunakan secara rutin untuk mengurangi inflamasi jalan nafas, mengontrol
gejala dan mengurangi risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru dimasa depan.
2. Pelega (reliever medication)
Ini diberikan kepada semua pasien untuk meringankan gejala, termasuk saat memburuknya
asma atau serangan asma akut. Terapi ini direkomendasi untuk pencegahan jangka pendek
karena latihan fisikmenyebabkan bronkokonstriksi. Mengurangi dan idealnya,
menghilangkan kebutuhan akan perawatan pelega (reliever medication) merupakan tujuan
penting dalam penanganan asma dan ukuran keberhasilan pengobatan asma.
3. Terapi tambahan (add-on therapy)
Add-on therapy diberikan pada pasien asma berat; dipertimbangkan pada kasus-kasus
dengan gejala persisten dan atau eksaserbasi meski dioptimalkan dengan kontroler
(biasanya ICS dosis tinggi dan LABA) dan terapi untuk memodifikasi faktor risiko.
Program penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2 yaitu pengobatan jangka panjang dan
penatalaksanaan serangan akut.
Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma (pengontrol dan
pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat pelega diberikan pada saat serangan,
obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang
dan terus menerus.
a) Pengontrol
Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol asma,
karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang merupakan
patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai
obat pencegah.
 Glukokortikosteroid inhalasi
 Glukokortikosteroid sistemik
 Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
 Metilsantin
 Agonis β2 kerja lama (LABA)
 Leukotriene modifiers

b) Pelega (reliver) Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas.
 Agonis beta-2 kerja singkat
 Metilsantin
 Antikolinergik (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-lain)
 Adrenalin
c) Add-on therapy;
 Optimalkan dosis ICS/LABA
 Kortikosteroid oral
 Terapi tambahan tanpa phenotyping (Long-acting muscarinic antagonist bronchodilator,
tiotropium dan controller seperti theophylline dan LTRAs)
 Terapi dengan sputum
 Terapi tambahan dengan fenotip (terapi anti-IL5 (mepolizumab, reslizumab) dan LTRAs)
 Terapi non-farmakologi
- Berhenti merokok
- Aktivitas fisik
- Menghindari paparan asma akibat kerja
- Menghindari pengobatan yang dapat membuat asma menjadi memburuk (NSAID
termasuk aspirin)
- Diet yang sehat
- Menghindari alergen yang berasal dari luar dan dalam
- Menurunkan berat badan
- Alergen immunotherapy
- Breathing exercise
- Menghindari polusi udara
- Vaksinasi
- Bronchial thermoplasty

2. Penatalaksanaan serangan akut


Eksaserbasi merupakan perubahan gejala dan penurunan fungsi paru secara progresif.
penurunan aliran udara ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru seperti APE
atau volume ekspirasi paksa detik pertama (VEPₗ). Pengobatan diberikan bersamaan untuk
mempercepat resolusi serangan akut. Terdapat 2 penanganan serangan asma yaitu pada
primary care dan emergency department.
a. Primary care
 Menilai keparahan eksaserbasi, riwayat dan pemeriksaan fisik Jika pasien menunjukkan
tanda-tanda eksaserbasi parah atau mengancam jiwa, pengobatan dengan SABA, kontrol
oksigen dan berikan kortikosteroid sistemik harus dimulai saat transfer pasien yang
mendesak ke fasilitas perawatan dimana pemantauan dan keahlian lebih mudah didapat.
Menilai riwayat penyakit seperti waktu dan penyebab eksaserbasi, tingkat keparahan gejala
asma, gejala anafilaksis, faktor risiko asma yang dapat menyebabkan kematian, semua obat
pelega dan pengontrol saat ini, termasuk dosis, pola kepatuhan, perubahan dosis terbaru
dan respons terhadap terapi saat ini. Pemeriksaan fisik berupa terdapat gejala keparahan
eksaserbasi, pemeriksaan tanda vital, pulse oximetry (saturasinya <90%), komplikasi
(anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks), tanda-tanda kondisi alternatif yang bisa
menjelaskan sesak napas akut (gagal jantung, disfungsi saluran napas bagian atas, benda
asing yang dihirup atau emboli paru).
 Inhaled short-acting beta₂-agonist 4-10 puffs setiap 20 menit (untuk 1 jam pertama).
Setelah 1 jam, berikan 4-10 puffs setiap 3-4 jam hingga 6-10 puffs setiap 1-2 jam. APE >
60-80% diprediksi atau terbaik selama 3-4 jam.
 Kontrol oksigen (jika ada) Kontrol oksigen sampai saturasi oksigen 93-95%.
 Kortikosteroid sistemik OCS diberikan jika pasien mengalami perburukan. Dosis
rekomendasi 1 mg prednisolone/kg/hari atau dosis maksimal 50 mg/hari selama 5-7 hari.
 Antibiotik (tidak direkomendasikan) Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam
eksaserbasi asma kecuali ada bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak purulen
atau bukti radiografi pneumonia). Pemberian kortikosteroid harus dilakukan secara agresif
sebelum antibiotik (dipertimbangkan).
 Lihat responnya dan follow up

Manajemen Asma Akut di Primary


Care
b. Emergency department
 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
Mengindentifikasi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sama seperti pada primary care.
Pada komplikasi, selain anafilaksis, pneumonia dan pneumotoraks di Emergency
department juga dilihat apakah terdapat atelektasis dan pneumomediastinum.
 Penilaian objektif;
- Pengukuran fungsi paru: pemeriksaan ini sangar dianjurkan. Jika memungkinkan, dan
tanpa menunda pengobatan, APE atau VEPₗ harus dicatat sebelum pengobatan dimulai.
- Saturasi oksigen: jika < 90% harus dilakukan terapi segera
- Pengukuran gas darah arteri/AGDA tidak rutin dilakukan. Dilakukan jika APE atau VEPₗ
< 50% atau pada pasien yang tidak respon penanganan awal atau pada pasien yang
mengalami perburukan.
- Rontgen toraks tidak dianjurkan secara rutin.
 Oksigen Berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen 93-95%, oksigen harus
diberikan dengan nasal kanul atau mask.
 SABA inhalasi Terapi SABA inhalasi harus diberikan secara berkala untuk pasien yang
menderita asma akut.
 Epinefrin (untuk anafilaksis) Epinefrin intramuscular diindikasikan sebagai terapi
tambahan standar untuk asma akut yang terkait dengan anafilaksis dan angioedema. Hal
ini tidak secara rutin diindikasikan untuk eksaserbasi asma lainnya.
 Kortikosteroid sistemik Penggunaan kortikosteroid sistemik sangat penting di unit gawat
darurat, jika:1 - Terapi awal SABA gagal mencapai perbaikan gejala yang berlangsung
lama
- Eksaserbasi berkembang saat pasien memakai OCS - Pasien memiliki riwayat eksaserbasi
sebelumnya yang memerlukan OCS Dosis: dosis harian OCS 50 mg prednisolone sebagai
dosis tunggal pada pagi hari atau 200 mg hydrocortisone dalam dosis terbagi adekuat pada
kebanyakan pasien selama 5-7 hari.1  Kortikosteroid inhalasi Di UGD pemberian ICS
dosis tinggi yang diberikan dalam satu jam pertama setelah presentasi mengurangi
kebutuhan rawat inap pada pasien yang tidak menerima kortikosteroid sistemik.
 Terapi lain;
- Ipratropium bromide
- Aminophylline dan theophylline
- Magnesium
- Helium oxygen therapy
- Leukotriene receptor antagonists
- Kombinasi ICS/LABA
- Antibiotik (tidak disarankan) Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi
asma kecuali ada bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak purulent atau bukti
radiografi pneumonia).
- Sedatif
- Non-invasie ventilation (NIV)
 Lihat responnya.

Manajemen asma akut di Emergency


Department
Kriteria rawat inap pada penderita di Unit Gawat Darurat
Pertimbangan untuk memulangkan atau rawat inap pada penderita di gawat darurat,
berdasarkan berat serangan, respon pengobatan baik klinis maupun faal paru. Berdasarkan
penilaian fungsi, pertimbangan pulang atau rawat inap, adalah;
 Penderita rawat inap bila VEPₗ atau APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai
terbaik/prediksi; atau VEPₗ / APE < 40% nilai terbaik / prediksi setelah pengobatan awal
diberikan.
 Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEPₗ / APE 40-60% nilai terbaik /
prediksi setelah pengobatan awal, setelah diyakini faktor risiko pasien dan bersedia untuk
follow up.
 Penderita dengan respon setelah pengobatan awal memberikan VEPₗ / APE > 60% nilai
terbaik / prediksi, direkomendasikan untuk dipulangkan setelah diyakini faktor risiko dan
bersedia untuk follow up.
 Untuk pasien dengan eksaserbasi ≥1 dalam 1 tahun terakhir, dosis rendah
Budesonide/Formoterol atau Budesonide/Formoterol sebagai terapi maintenance dan
reliever lebih efektif daripada terapi ICS/LABA+SABA as needed.
 Salah satu faktor risiko penyebab eksaserbasi asma adalah penggunaan ICS yang tidak
memadai dan penggunaan SABA yang berlebihan.
 GINA 2017 merekomendasikan penggunaan ICS/LABA sebagai maintenance dan
ICS/Formoterol sebagai reliever mulai di step 3. 1 g.

Komplikasi Asma;
 Pneumonia
 Pneumotoraks
 Anafilaksis
 Atelektasis
 Pneumomediastinum
 Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA)
 PPOK
 Sinusitis
 Gagal jantung
HIPERTENSI

Definisi  Peningkatan tekanan darah >140/90 mmHg secara kronis.


Klasifikasi Hipertensi JNC VII
Klasifikasi Tekanan Darah

Normal <120/80 mmHg

Pre Hipertensi 120/80 – 139/89 mmHg

Hipertensi Derajat I 140/90 – 159/99 mmHg

Hipertensi Derajat II >160/100 mmHg

Jenis Hipertensi :
i. Hipertensi sistolik terisolasi : Tekanan darah sistolik >140 mmHg,
diastoliknya < 90 mmHg. Kondisi ini biasanya ditemukan pada usia lanjut.
ii. Hipertensi primer/esensial : Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.
iii. Hipertensi Sekunder : Akibat suatu penyakit (stenosis arteri renalis,
penyakit parenkim ginjal, hipertensi aldosteronisme.

 Patogenesis  Berbagau mekanisme yang berperan dalam peningkatan tekanan


darah :
o Mekanisme Neural : Stress, aktivasi simpatis, variasi diurnal.
o Mekanisme Renal : Asupan natrium tinggi dengan retensi cairan.
o Mekanisme Vaskular : Disfungsi endotel, radikla bebas, dan remodelling
pembuluh darah.
o Mekanisme Hormonal : Sistem renin, angiotensin dan aldosteron
o Faktor genetik, perilaku, dan gaya hidup.

 Gejala Klinis dan Diagnosis


o Nyeri kepala (rasa berputar)
o Pengelihatan kabur
o Berkeringat
o Takikardi
o Faktor risiko : penyakit ginjal, kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
OAINS, dekongestan, merokok, obesitas, DM, dislipidemia, usia >55
tahun, RPK penyakit CVS.
o PEMFIS : TD >140/90 mmHg per 2x pemeriksaan.
o PEM.PENUNJANG : Darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, glukosa
darah, kolesterol, elektrolit, kalsium, as.urat, dan urinalisis, EKG,
funduskopi, USG ginjal, Ro.Thorax, ECG.

 Komplikasi :
o Serebrovaskular : stroke, TIA, demensia vaskular.
o Mata : Retinopati hipertensif
o CVS : Disfungsi/hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner.
o Ginjal : nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis
o Arteri perifer : klaudikasio intermitten
 Terapi dan Pencegahan lanjutan

Semua pasien dengan - Penurunan BB : IMT 18,5 – 22,9 Kg/m2


hipertensi - DASH Diet : buah, sayur, susu low fat
- <6g/hari asupan garam
- Aktivitas fisik min. 30 menit/hari (3
hari/minggu)
Modfikasi gaya hidup - Tidak konsumsi alkohol

Kriteria untuk memulai


antihipertensi

Antihipertensi

Pasien memulai anti hipertensi


Monitoring dan
Evaluasi

Usia < 55 tahun Usia > 55 tahun

Langkah 1 Langkah 1
ACE-I / ARB CCB

Langkah 2
ACE-I/ARB + CCB

Langkah 3
ACE-I/ARB + CCB + Tiazid

Langkah 4
ACE-I/ARB + CCB + Tiazid + Diuretik
lainnya/α Blocker/β Blocker

Monitoring dan Evaluasi


GAGAL JANTUNG

A. Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak
napas dan fatik (saat istirahat dan saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur
atau fungsi jantung.

B. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, EKG/foto toraks,
ekokardiografi Doppler dan kateterisasi seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.

Kriteria Major
- Paroksimal nokturnal dipnea
- Distensi vena leher
- Ronki paru
- Edema paru akut
- Gallop S3
- Peninggian tekanan vena jugularis
- Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
- Edema ekstremitas
- Batik malam hari
- Dispnea e’ffort
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
- Takikardia (>120x/menit)
Major atau minor
Penurunan BB >4.5 kg dalam 5 hari pengobatan Diagnosis gagal jantung ditegakkan
minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Manifestasi klinis Gagal jantung

Klasifikasi Gagal Jantung


TEKNIK DIAGNOSTIK
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi
disfungsi sistolik dan diastolik.

C. Penatalaksanaan
Pada tahap simtomatik dimana sindrom GJ sudah terlihat jelas seperti cepat capek
(fatik), sesak napas (dyspnea in effort, orthopnea), kardiomegali, peningkatan tekanan vena
jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas, maka diagnosis GJ mudah dibuat.
Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel
kiri.LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan diatas yang
hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, EKG
dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal
jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau
Angiotensin Receptor Blockers (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai
dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan
ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmiasupra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT
lainnya) atau ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan, intoksikasi
digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau
kadar kalum rendah (kurang dari 3.5 meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien
dengan hipokalemia dan ada bebrapa studi yang menunjukan penurunan mortalitas dengan
pemberian jenis ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain Natriuretic Peptide
(Nesirtide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat bantu seperti cardiac resychronization
Therapy (CRT) maupun pembedahan pemasangan ICD (intra-cardiac defibrillator) sebagai
alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-iskemia
dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel
dan regenerasi miokard masih terkendala dengan masih minimnya jumlah miokard yang
dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang ruak fan masih memerlukan penelitian
lanjut.
DIABETES MELLITUS (perkeni 2015)

II. Definisi, Patogenesis, Klasifikasi II.1 Definisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang


terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

II.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai
patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta
terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan
sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi
incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan
toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang:

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan
multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi
glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat
organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:


Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4
inhibitor.

2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.

3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidindion.

5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon
GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1
agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya
tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh
obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini
adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

II.3 Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi etiologis DM


III. Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 III.1 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.


Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 3.KriteriaDiagnosis DM

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori
minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga
harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi
tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-
kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat
dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke dalam
kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah
puasa terganggu (GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan

glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan

TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;


 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa

plasma puasa <100 mg/dl

 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT


 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 4. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes.

HbA1c Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam setelah


(%) (mg/dL) TTGO (mg/dL)
Diabetes > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL

Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 < 100 < 140

Tabel 5.Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang cukup) dan
melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak- anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum
larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2
(DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM
(B) yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT > 23kg/m yang disertai
dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.

b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).

c. Kelompok ras/etnis tertentu.


d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan

BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus

gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi

untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL. g. Wanita dengan sindrom
polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas. Catatan:

Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap
1 tahun (E).

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia

fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan


glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah
kapiler seperti pada tabel-6 di bawah ini.

Tabel-6. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM DM


Plasma vena <100 100-199 ≥ 200
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler <90 90-199 ≥ 200
Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) Plasma vena <100 100-125 ≥126
Darah kapiler <90 90-99 ≥100

III.2 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes.
Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM,

memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi

akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat

progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan

mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan

pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara komprehensif.

III.2.1 Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum

Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang meliputi:
1. Riwayat Penyakit

Usiadankarakteristiksaatonsetdiabetes.

 Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan berat badan.
 Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.

Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan
penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan

DM secara mandiri.

Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan
dan program latihan jasmani.

Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia,


hipoglikemia).
Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenital.

Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata, jantung dan
pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.

Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.

Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).

Riwayat penyakit dan pengobatan diluar DM.

Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi. 2. Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tinggi dan berat badan.

Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri
untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.

Pemeriksaan funduskopi.

Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.

Pemeriksaan jantung.

Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular, neuropati, dan


adanya deformitas).

Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi, necrobiosis


diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan insulin).

Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.

3. Evaluasi Laboratorium

 Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam

setelah TTGO.

 PemeriksaankadarHbA1c

4. PenapisanKomplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis DMT2
melalui pemeriksaan:
Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density Lipoprotein (HDL), Low
Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.

Tes fungsi hati

Tes fungsi ginjal : Kreatinin serum dan estimasi-GFR

Tes urin rutin

Albumin urin kuantitatif

Rasio albumin – kreatinin sewaktu.

Elektrokardiogram.

Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung kongestif).

Pemeriksaan kaki secara komprehensif.

Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer. Bila fasilitas belum


tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier.

III.2.2 Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis
dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi
metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau
Tersier.

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya
harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat
dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

III.2.2.1 Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik (B).
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.

a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang meliputi:
o Materi tentang perjalanan penyakit DM.
o Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.

o Penyulit DM dan risikonya.


o Intervensi non-farmakologis dan

farmakologis serta target pengobatan.


o Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia oral atau

insulin serta obat-obatan lain.


o Cara pemantauan glukosa darah dan

pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri
tidak tersedia).

o Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.

o Pentingnya latihan jasmani yang teratur.


o Pentingnya perawatan kaki.
o Cara mempergunakan fasilitas perawatan

kesehatan (B).

b. Materiedukasipadatingkatlanjutdilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekunder dan / atau


Tersier, yang meliputi:

o Mengenal dan mencegah penyulit akut DM. o Pengetahuan mengenai penyulit menahun

DM.
o Penatalaksanaan DM selama menderita

penyakit lain.
o Rencana untuk kegiatan khusus (contoh:

olahraga prestasi).
o Kondisi khusus yang dihadapi (contoh:

hamil, puasa, hari-hari sakit).


o Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini

dan teknologi mutakhir tentang DM.


o Pemeliharaan/perawatan kaki. Elemen

perawatan kaki dapat dilihat pada tabel-7.

Tabel 7. Elemen edukasi perawatan kaki


Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus maupun
neuropati perifer atau peripheral arterial disease (PAD)
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,

kemerahan, atau luka.

3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.


4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan

krim pelembab pada kulit kaki yang kering.

5. Potong kuku secara teratur.


6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar

mandi.

7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada

ujung-ujung jari kaki.

8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.


9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk

menghangatkan kaki.

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran:

Mengikuti pola makan sehat.

Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur

Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan teratur.

Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan hasil


pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.

Melakukan perawatan kaki secara berkala.

Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat.
Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan
penyandang DM.

Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Prinsip yang perlu
diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:

Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan.

Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana dan
dengan cara yang mudah dimengerti.

Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.

Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien.


Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang
diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium.

Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.

Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.

Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.

Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat

pendidikan pasien dan keluarganya.

Gunakan alat bantu audio visual.

III.2.2.2

Terapi Nutrisi Medis (TNM)

TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara komprehensif(A). Kunci
keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM
sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM (A).

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.

A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar

45-65% total asupan energi. Terutama

karbohidrat yang berserat tinggi.


o Pembatasan karbohidrat total

<130 g/hari tidak dianjurkan.

o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan
makanan keluarga yang lain.

o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman
konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).

o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan selingan seperti
buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-

25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

o Komposisi yang dianjurkan:

 lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.


 lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
 selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

o Bahan makanan yang perlu dibatasi

adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan
susu fullcream.

o Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.


Protein
o Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.

o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit,
produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.

o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi.
Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2
g/kg BB perhari.

Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk

penyandang DM sama dengan orang

sehat yaitu <2300 mg perhari(B).


o Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan

natrium secara individual(B).


o Sumber natrium antara lain adalah

garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat
o Penyandang DM dianjurkan

mengonsumsi serat dari kacang- kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat.

o Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan
makanan.

Pemanis Alternatif
o Pemanis alternatif aman digunakan

sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI).

o Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.

o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan
kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.

o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
o Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena dapat meningkatkan kadar
LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung
fruktosa alami.

o Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, neotame.

B. Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang DM, antara
lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.
Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal
adalah sebagai berikut:

Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang dimodifikasi: o Berat
badan ideal =

90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.


o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,

rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) =

(TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal: BB ideal ± 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %

Perhitungan berat badan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat rumus:

IMT = BB(kg)/TB(m)Klasifikasi IMT*


o BB Kurang <18,5
o BB Normal 18,5-22,9 o BB Lebih ≥23,0

ideal dihitung

menurut dengan

Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I 25,0-29,9


Obes II ≥30

*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:Redefining Obesity and its


Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan untuk pria
sebesar 30 kal/kgBB.
Umur
o Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap dekade antara 40 dan
59 tahun.
o Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
o Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.

Aktivitas Fisik atau Pekerjaan


o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.

o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat.

o Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai kantor, guru, ibu
rumah tangga.

o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri ringan, mahasiswa, militer
yang sedang tidak perang.

o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer dalam keadaan
latihan.

o Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak, tukang gali.

Stres Metabolik
o Penambahan 10-30% tergantung dari

beratnya stress metabolik (sepsis, operasi, trauma).

Berat Badan
o Penyandang DM yang gemuk,

kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20- 30% tergantung kepada tingkat kegemukan.

o Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB.

o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk wanita dan 1200-1600
kal perhari untuk pria.

III.2.2.3 Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai
adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara
teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit
perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut (A). Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah
<100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari- hari bukan
termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50- 70%
denyut jantung maksimal)(A) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220 dengan usia pasien.

Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol,
retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan beban) 2-3
kali/perminggu (A) sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM
yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi
intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu.

III.2.2.4 Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti- hiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan
ginjal).

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: adanya gangguan hati
berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.

Tiazolidindion(TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma
(PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-
hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat
yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:

Penghambat Alfa Glukosidase.

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak
digunakan pada keadaan : gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose
Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter
dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

Tabel 8. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

Efek Samping
Golongan Obat Cara Kerja Utama PenurunanHbA1c
Utama
BB naik
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin 1,0-2,0%
hipoglikemia
BB naik
Glinid Meningkatkan sekresi insulin 0,5-1,5%
hipoglikemia
Menekan produksi glukosa hati &
Dispepsia, diare,
Metformin menambah sensitifitas terhadap 1,0-2,0%
asidosis laktat
insulin
Penghambat Alfa- Flatulen, tinja
Menghambat absorpsi glukosa 0,5-0,8%
Glukosidase lembek
Menambah sensitifitas terhadap
Tiazolidindion Edema 0,5-1,4%
insulin
Penghambat DPP- Meningkatkan sekresi insulin,
Sebah, muntah 0,5-0,8%
IV menghambat sekresi glukagon
Penghambat SGLT- Menghambat penyerapan kembali Dehidrasi, infeksi
0,8-1,0%
2 glukosa di tubuli distal ginjal saluran kemih
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dan
agonis GLP-1.

a. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Krisis Hiperglikemia

Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan


perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)

Insulin kerja menengah (Intermediate- acting insulin)

Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

Insulin kerja ultra panjang (Ultra long- acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan menengah
(Premixed insulin)
Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel 10.

Efek samping terapi insulin

 Efek samping utama terapi insulin adalah

terjadinya hipoglikemia

 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat

dilihat dalam bagian komplikasi akut DM

 Efek samping yang lain berupa reaksi

alergi terhadap insulin

Tabel 10. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time Course of
Action)

Lama
Jenis Insulin Awitan (onset) Puncak Efek Kemasan
Kerja
Insulin analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro (Humalog®) Insulin Pen /cartridge
Aspart (Novorapid®) Insulin 5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam Pen, vial
Glulisin (Apidra®) Pen
Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)
Vial, pen /
Humulin® R Actrapid® 30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam
cartridge
Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)
Humulin N® Insulatard® Insuman 8-12 Vial, pen /
1,5–4 jam 4-10 jam
Basal® jam cartridge
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)
Insulin Glargine (Lantus®) Insulin Hampir tanpa 12-24
1–3 jam Pen
Detemir (Levemir®) Lantus 300 puncak jam
Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)
Hampir
30-60 Sampai 48
Degludec (Tresiba®)* tanpa
menit jam
puncak
Insulin manusia campuran (Human Premixed)
70/30 Humulin® (70% NPH, 30%
reguler) 30-60
3–12 jam
70/30 Mixtard® (70% NPH, 30% menit
reguler)
Insulin analog campuran (Human Premixed)
75/25 Humalogmix® (75% protamin
lispro, 25% lispro)
12-30
70/30 Novomix® (70% protamine 1-4 jam
menit
aspart, 30% aspart)
50/50 Premix

NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat disesuaikan dengan
yang tersedia di Indonesia.
*Belum tersedia di Indonesia
A. TUBERCULOSIS

1. Definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti
tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun
tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara
khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru
batuk, bersin atau bicara.

2. Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu :
 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain.
 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
Tb Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
Tb positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negative
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
 Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
tetapi kambuh lagi.
c. Kasus setelah putus berobat (default ) Adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
3. Epidermiologi
a. Personal
1. Umur
Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar
penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data
WHO menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak
terdapat pada umur produktif 15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun
2008 menunjukkan jumlah penderita baru Tb Paru positif 87,6% berasal
dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut
(≤ 55 tahun)
2. Jenis Kelamin
Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, lakilaki dan
perempuan.Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif.
3. Stasus gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh
sistem tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia
untuk memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang
disebabkan oleh `mikroorganisme (1,4).Bila daya tahan tubuh sedang
rendah, kuman Tb paru akan mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan
berkumpul dalam paruparu kemudian berkembang biak.Tetapi, orang yang
terinfeksi kuman TB Paru belum tentu menderita Tb paru. Hal ini
bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut. Apabila, daya tahan
tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh (dormant) dan
tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan tubuh lemah
makan kuman Tb akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit Tb paru
Lebih dominan terjadi pada masyarakat yang status gizi rendah karena
sistem imun yang lemah sehingga memudahkan kuman Tb Masuk dan
berkembang biak3.
b. Tempat
1. Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang ditularkan
melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran Tb paru salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor.
Penderita Tb Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada
lingkungan yang kumuh dan kotor.
.
2. Kondisi sosial ekonomi
Sebagai penderita Tb paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO pada tahun
2011 yang menyatakan bahwa angka kematian akibat Tb paru sebagaian besar
berada di negara yang relatif miskin3
.
c. Waktu
Penyakit Tb paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh pada saat itu kuman
akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya Tb paru 3
4. Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah
penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman
dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Seseorang terinfeksi tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut
5. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,mikrobiologi,
radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti
radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran
yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
6. Gejala
a. Gejala sistemik/umum
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul.
b. Gejala khusus
 Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
 Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
7. Tanda
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan
struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan
tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat
berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya
ronkhi terutama di apeks paru. Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti :
deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada
cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.

8. Pemeriksaan dahak mikroskopis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagisewaktu (SPS).
- S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberculosis datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pada pagi hari kedua.
- P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
- S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan mikroskopis
biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl Nielsen dan pemeriksaan
mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin
(khususnya untuk penapisan)
 3 kali positif atau dua kali positif, 1 kali negative BTA +
 1 kali positif, 2 kali negatif Ulangi BTA 3 kali
 Bila 1 kali positif, dua kali negatif BTA +
 Bila 3 kali negatif BTA –
9. Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik.
Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini
dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik
ini adalah dengan memakai Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).
10. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk
Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam kedua dibutuhkan. Data
ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.
Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan daya tahan tubuh penderita.
LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak
menyingkirkan diagnosa TBC.
11. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi ialah
foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada pemeriksaan
sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan
hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila :
 Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
 Hemoptisis berulang atau berat
 Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +
Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk. Gambaran
radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif:
 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
 Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
 Bayangan bercak milier.
 Efusi Pleura
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif :
 Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.
 Kalsifikasi.
 Penebalan pleura
12. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan
asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat
dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya
antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan
dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki
mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan
penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan
antibakteri lain: Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH,
Rifampisin,Streptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
Kanamisin ,Amikasin, Kuinolon.
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori
Yaitu :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin
tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
 Penderita baru TBC paru BTA positif.
 Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
 Penderita kambuh.
 Penderita gagal terapi.
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif
4. Kategori 4: RHZES
Diber ikan pada kasus Tb kronik .

Kategori Kasus Panduan Obat yang diajurkan Keterangan


I TB paru, BTA+ 2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE / 6 HE
BTA-,lesi luas BTA-,lesi luas
II Kambuh dan gagal - RHZES / 1RHZE / sesuai resist Bila streptomisin
Gagal pengobatan hasil uji resistensi atau 2RHZES alergi, dapat
/ 1RHZE / 5 RHE diganti kanamisin

- 3-6 kanamisin, ofloksasin,


etionamid, sikloserin / 15-18,
ofloksasin, etionamid,sikloserin
atau 2RHZES /1RHZE / 5RHE
III TB paru BTA – 2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE atau
dengan lesi *2RHZE /4 R3H3
minimal.
IV  Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan).

 MDR TB Sesuai uji resistensi+OAT lini


2 atau H seumur hidup

13. Efek samping obat


Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat yaitu :
 Isoniazid (INH) Sebagian besar pasien Tb parudapat menyelesaikan
pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami
efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
 Rifamisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatis ialah:
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
c. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
 Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru
pada keadaan khusus
 Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera
dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang
 Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
 Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi
karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan
tidak perlu khawatir.
 Pirinizamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman Tb paru pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi
(beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
 Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau
30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.
 Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan
tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul
tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.
Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin..
14. Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan
menjadi dua, yaitu 17 :
a. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis,
usus.
b. Komplikasi pada stadium lanjut: Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi
pada penderita stadium lanjut adalah:
 Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau
syok hipovolemik
 Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
 Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan
 jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
 Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep
yang pecah Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
sendi, ginjal, dan sebagainya
15. Length of stay
Menurut data RSUD. Soedarso pada bulan November 2012, lama rawat inap pasien
Tb paru rata-rata adalah 7-12 hari tergantung pada kondisi keparahan pasien Tb
paru . Namun yang terbanyak dari data tersebut adalah pasien dewasa berusia 18-
49 tahun dengan kasus baru. Indikasi-indikasi pasien Tb paru rawat inap adalah
sebagai berikut
a. Batuk darah massif
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
GASTRITIS

Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung atau gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi.
Etiologi
Banyak faktor yang menyebabkan gastritis akut, seperti merokok, jenis obat, alkohol, bakteri,
virus, jamur, stres akut, radiasi, alergi atau intoksitasi dari bahan makanan dan minuman, garam
empedu, iskemia dan trauma langsung. Faktor obat-obatan yang menyebabkan gastritis seperti
OAINS (Indomestasin, Ibuprofen, dan Asam Salisilat), Sulfonamide, Steroid, Kokain, agen
kemoterapi (Mitomisin, 5-fluoro-2 deoxyuridine), Salisilat dan digitalis bersifat mengiritasi
mukosa lambung.
Manifestasi Klinis
Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung, muntah, merupakan salah satu
keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan
melena, kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika dilakukan
anamnesis lebih dalam, terdapat riwayat penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu.
Penatalaksanaan
- Antasida

Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik, membentuk
garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Antasida yang biasa digunakan
adalah garam alumunium dan magnesium. Contoh seperti alumunium hidroksida
(biasanya campuran Al(OH)3 dan alumunium oksidahidrat) atau magnesium
hidroksida (MgOH2) baik tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi. Garam kalsium
yang dapat merangsang pelepasan gastrin maka penggunanaan antasida yang
mengandung kalsium seperti pada Kalsium bikarbonat (CaCO3) dapat menyebabkan
produksi tambahan. Absorbsi natrium bikarbonat (NaHCO3) secara sistemik dapat
menyebabkan alkalosis metabolik sementara. Oleh karena hal tersebut, antasida tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka Panjang. Dosis antasida yang diberikan sebanyak
3x500-1000 mg/hr (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Antasida dapat diminum saat
menjelang tidur, pagi hari dan diantara waktu makan (Depkes, 2007). Obat ini memiliki
2 bentuk sediaan yaitu antasida DOEN I dan DOEN II. Antasida DOEN I terdiri dari
kombinasi alumunium hidroksida 200 mg dan magnesium hidroksida 200 mg adalah
tablet kunyah, sedangkan antasida DOEN II kombinasi dari alumunium hidroksida 200
mg/5 ml dan magnesium hidroksida 200 mg/5 ml adalah suspensi (Depkes,
2008).Golongan obat ini dalam pengkonsumsiannya memang harus dikunyah terlebih
dahulu, hal ini untuk meningkatkan kerja obat dalam menurunkan asam lambung

- H2 Bloker

Meskipun antagonis histamin reseptor H2 menghambat histamin pada semua


reseptor H2 namun penggunaan klinis utamanya ialah sebagai penghambat sekresi
asam lambung.
Empat macam obat yang digunakan yaitu simetidin, ranitidin, famotidin dan nizatidin.
Simetidin dan antagonis H2 lainya diberikan secara per-oral, didistribusikan secara luas
ke seluruh tubuh dan diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat.
Ranitidin memiliki masa kerja yang panjang dan lima sampai sepuluh kali lebih kuat.
Efek farmakologi famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20−50 kali lebih kuat
dibandingkan dengan simetidin dan 3−20 kali lebih kuat dibandingkan ranitidine.

- Proton Pump inhibitor

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+ATPase (pompa proton)
yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI
mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan
rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta
meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs. Pada dosis standar baik
lansoprazol atau omeprazol menghambat sekresi asam lambung basal dan sekresi
karena rangsangan lebih dari 90%. Penekanan asam dimulai 1−2 jam setelah dosis
pertama lansoprazol dan lebih cepat dengan omeprazol. Penelitian klinis
sampai saat ini menunjukkan bahwa lansoprazol dan omeprazol lebih efektif untuk
jangka pendek dibandingkan dengan antagonis H2. Omeprazol digunakan dengan
berhasil bersama obat-obat anti mikroba untuk mengeradikasi kuman H. pylori.
GASTROENTERITIS

Gastroenteritis adalah adanya inflamasi pada membran mukosa saluran pencernaan


dan ditandai dengan diare dan muntah (Chow et al., 2010). Diare adalah buang air besar
(defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair(setengah padat), kandungan
air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam
(Simadibrata K et al., 2009).
Gastroenteritis akut merupakan salah satu penyakit yang sangat sering ditemui.
Penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak. Anak-anak di negara berkembang lebih
beresiko baik dari segi morbiditas maupun mortalitasnya.Penyakit ini mengenai 3-5
miliar anak setiap tahun dan menyebabkan sekitar 1,5-2,5 juta kematian per tahun atau
merupakan 12 % dari seluruh penyebab kematian pada anak-anak pada usia di bawah
5 tahun (Chow et al., 2010). Pada orang dewasa, diperkirakan 179 juta kasus
gastroenteritis akut terjadi setiap tahun, dengan angka rawat inap 500.000 dan lebih
dari 5000 mengalami kematian (Al-Thani et al., 2013).

Etiologi

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit gastroenteritis bervariasi. Berdasarkan salah satu hasil


penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual(93%), muntah(81%) atau
diare(89%), dan nyeri abdomen(76%) adalah gejala yang paling sering dilaporkan
oleh kebanyakan pasien. Tanda-tanda dehidrasi sedang sampai berat, seperti
membran mukosa yang kering, penurunan turgor kulit, atau perubahan status mental,
terdapat pada <10 % pada hasil pemeriksaan. Gejala pernafasan, yang mencakup
radang tenggorokan, batuk, dan rinorea, dilaporkan sekitar 10% (Bresee et al., 2012).

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan tinja Pemeriksaan tinja yang dilakukan adalah pemeriksaan


makroskopik dan mikroskopik, biakan kuman, tes resistensi terhadap berbagai
antibiotika, pH dan kadar gula, jika diduga ada intoleransi laktosa.
b. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah yang dilakukan mencakup pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, pH dan cadangan alkali, pemeriksaan kadar
ureum.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang kita lakukan pada pasien dewasa berdasarkan WGO Guideline
(2012), yaitu :
1. Melakukan penilaian awal
2. Tangani dehidrasi
3. Cegah dehidrasi pada pasien yang tidak terdapat gejala dehidrasi menggunakan
cairan rehidrasi oral, menggunakan cairan yang dibuat sendiri atau larutan oralit.
4. Rehidrasi pasien dengan dehidrasi sedang menggunakan larutan oralit, dan pasien
dengan dehidrasi berat dengan terapi cairan intravena yang sesuai
5. Pertahankan hidrasi dengan larutan rehidrasi oral
6. Atasi gejala-gejala lain
7. Lakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk analisis 8. Pertimbangkan terapi
antimikroba untuk patogen spesifik
PENYAKIT JANTUNG KORONER
1. Definisi
a) Penyakit yang ditandai dengan adanya endapan lemak pada dinding arteri koroner dan
menyumbat aliran darah.
b) Penyakit pada arteri koronaria dimana terjadi penyempitan atau sumbatan pada arteri
koronaria yang disebabakan karena arterosklerosis.
c) Atherosclerosis secara nyata adalah suatu proses panjang yang dimulai jauh sebelum
terjadinya gejala. Istilah ini menggambarkan penampilan kasar bahan plak.

2. Etiologi

Faktor Resiko Ireversibel :

• Usia

Mungkin juga merupakan perkembangan seperti pada usia lanjut dan pembentukan paque
didalam arteri yang berlangsung lama. Penyakit jantung koroner banyak di alami oleh
individu yang berusia 40-70 tahun dengan angka kematian 20 %. (Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan Dep.kes, 1993).
• Jenis kelamin

Pria dan wanita dapat terkena penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner dapat
diturunkan secara turun temurun (keturunan).
• Riwayat Keluarga / genetik

Penyakit jantung koroner dapat diturunkan secara turun temurun (keturunan). Dimana jika
sebelumnya ada Riwayat keturunan penyakit jantung dalam keluarga

• Ras

Penyakit arteri koroner bisa menyerang semua ras, tetapi angka kejadian paling tinggi
ditemukan pada orang kulit putih. Tetapi ras sendiri tampaknya bukan merupakan faktor
penting dalam gaya hidup seseorang.
Faktor Resiko Reversibel / Aterogenik

 Hiperlipidemia, hiperkolesterol,
Resiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat pada peningkatan kadar kolesterol total
dan kolesterol LDL (kolesterol jahat) dalam darah. Jika terjadi peningkatan kadar kolesterol
HDL (kolesterol baik), maka resiko terjadinya penyakit arteri koroner akan menurun.
Makanan mempengaruhi kadar kolesterol total dan karena itu makanan juga mempengaruhi
resiko terjadinya penyakit arteri koroner. Merubah pola makan (dan bila perlu mengkonsumsi
obat dari dokter) bisa menurunkan kadar kolesterol. Menurunkan kadar kolesterol total dan
kolesterol LDL bisa memperlambat atau mencegah berkembangnya penyakit arteri koroner.

 Hipertensi
Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi). Hipertensi dapat mempercepat proses aterosklerosis
apabila disertai dengan hiperlipidemia.

 Angina
Angina atau nyeri dada timbul akibat terganggunya aliran darah ke otot jantung. Ketika aliran
darah di otot jantung terganggu, maka terjadi gangguan masukan oksigen dan zat-zat penting
lain ke otot jantung. Akibatnya otot jantung di lokasi itu tidak dapat bekerja optimal, yang
selanjutnya mengganggu fungsi jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
 Diabetes mellitus
 Obesitas
 Stress psikologik
 Tipe kepribadian
 Kurang aktifitas olahraga
 Merokok

3. Manifestasi Klinis
 Nyeri dada
 Jantung berdebar
 Sesak napas
 Demam
 Mual
 Muyntah
 Perut bagian atas kembung dan sakit
 Debar jantung abnormal
 Tekanan darah rendah
 Pucat
 Kulit basah dan dingin (keringat dingin)
 Kurang semangat
 Pingsan
 Tenaga pikiran lemah
 Ketakutan tidak beralasan
 Nyeri lengan dan punggung
 Akral hangat
 CRT>4 atau CRT=4

4. Komplikasi
 Aritmia
Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung yang disebabkan
oleh konduksi elektrolit abnormal atau otomatis. Aritmia timbul akibat perubahan
elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai
perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel . Gangguan irama
jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk gangguan
kecepatan denyut dan konduksi.
a. Tachycardia

Ditandai dengan denyut jantung melebihi 100 bpm ( beat per minute) dan terdapat
pemulaan takikardia dapat saja dipusat sistem konduksi atau di rongga otot jantung.
b. Bradicardia

Denyut jantung kurang dari 50 bpm. Terjadi bila pusat permulaan dan serat konduksi dari
aktivitas elektrik pada sistem konduksi rusak.
 Gagal Jantung (Heart Failure)
Suatu keadaan yang serius, dimana jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap
menitnya (cardiac output, curah jantung) tidak mampu memenuhi kebutuhan normal tubuh
akan oksigen dan zat-zat makanan
 Perikarditis
Perikarditis adalah peradangan lapisan paling luar jantung (membran tipis yang
mengelilingi jantung). Perikarditis adalah peradangan perikardium parietal, perikardium
viseral, atau kedua-duanya.
 Tromboembolisme
 Jantung berhenti tiba tiba
 Infark miokard (IM)

Infark Miokardiuum adalah perkembangan yang cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan yang kritis antara suplai oksigen dan kebutuhan
myokardium. Ini biasanya merupakan hasil dari ruptur plak dengan trombus dalam
pembuluh darah koroner, mengakibatkan kekurangan suplai darah ke miokardium.
 Syok kardiogenik

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan
curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang
mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah
jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat
didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit
jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak,
atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung

 Aneurisma
Aneurisma adalah suatu penonjolan (pelebaran,dilatasi) pada dinding suatuarteri,
biasanya pada aorta. Penonjolan biasanya terjadi pada suatu daerah yang lemah pada
dinding arteri. Aneurisma bisa terjadi di sepanjang aorta, tetapi 75% aneurisma muncul
pada bagian aorta yang menuju ke perut. Aneurisma bisa berbentuk bulat (sakuler) atau
seperti tabung (fusiformis). Sebagian besar berbentuk fusiformis

 Angina pectoris

Rasa sakit/ tertekan / nyeri ditengah dada karena tidak cukup darah ke otot jantung yang
disebabkan oleh tersumbatnya sebagian pembuluh arteri.
a. Angina pectoris stabil : pola sakit dadanya dapat dicetuskan kembali oleh suatu
kegiatan dan oleh faktor pencetus tertentu., dalam 30 hari terakhir tidak ada perubahan
dalam hal frekuendi lama dan faktor pencetusnya.
b. Angina pectoris tidak stabil : umumnya terjadi perubahan pola: meningkatnya
frekuensi, parahnya dan atau lamanya sakit dan faktor pencetusnya. Sering termasuk
pada saat istirahat, pendeknya terjadi cressendo kearah perburukan gejala gejalanya.
c. Angina prinzmetal (variant) : terjadi karena spasme arteri koronaria

5. Pemeriksaan Diagnostik
a) Elektrokardiografi
Sinyal kecil yang melintas atrium dan ventrikel jantung dan denyut jantung dapat
dicatat oleh elektrode-elektrode yang ditempatkan pada kulit. Sinyal tes kemudian dapat
diperkuat dan dicatat diatas kertas. Teknik ini dikenal sebagai elektrokardiografi dan kertas
pencatatnya disebut elektrokardiogram (EKG).
Suatu EKG dapat menunjukkan:
 Setiap keleinan irama (aritmia)
 Suatu pola abnormalitas tipikal dari pertumbuhan berlebih dari otot jantung,
gangguan sinyal elektrik, dan penipisan dinding otot jantung.

b) Tes Darah

Tes darah jarang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit jantung, tetapi sangat
berkuna karena:
 Pengukuran kadar lemak darah dapat menunjukkan adanya penyakit
jantung koroner.
 Adanya enzim kreatin kinase dalam darah dapat mengindikasikan adanya
Infark Miokard.

c) Foto Toraks
Foto toraks digunakan untuk mendapatkan gambaran dari jantung, menentukan
secara keseluruhan dari ukuran jantung dan untuk mendeteksi bendungan di paru-paru.

d) Elektrokardiografi Ambulator (Monitoring Holter)


Tiga atau empat elektrode diletakkan di dada dan dihubungkan dengan suatu tape
recorder portable yang biasanya dikenakan dengan suatu ikat pinggang yang mengelilingi
perut. Alat ini dapat mencatat denyut jantung selama 24 jam dan dapat diulangi jika
diperlukan. Pita rekaman kemudian dikeluarkan dan diputar ulang melalui analiser yang
dapat mendeteksi dan secara otomatis mencetqk aritmia.

e) TMT (Treadmill Test)


Rekaman jantung dalam keadaan istirahat (EKG) sering tidak dapat mengungkap
adanya penyempitan pada arteri koroner (PJK) secara jelas, kecuali sudah dalam taraf yang
agak parah. Dengan memberikan beban fisik (berjalan di atas alat Treadmill) sesuai umur
dan kemampuan pasien, kebutuhan jantung akan oksigen dipicu dan bila ada penyempitan
akan tampak gambaran EKG pada tampilan layar monitor saat pasien dalam keadaan
beraktifitas.
TMT bisa mendeteksi adanya tekanan darah tinggi tersembunyi (Reactive
Hipertension) bila dibarengi dengan penukuran tekanan darah secatra terus menerus saat
pasien berjalan di atas alat. Manfaat lain TMT adalah mengukur dan menentukan jenis
kegiata atao olahraga yang aman bagi pasien.

f) Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan USG untuk jantung yang dapat
mengungkapkan presentase fungsi jantung, ukuran pembengkakan jantung, kerusakan
katup jantung serta kemungkinan kelainan jantung bawaan.

g) Gambar Nuklir/Tes Nuklir


Alat yang digunakan adalah kamera gama dak isotop radioaktif. Sejumlah kecil zat
radioaktif disuntikkan ke dalam pembuluh vena dan masuk ke dalam aliran darah,
kemudian klien diletakkan di bawah kamera gama yang dapat menangkap radaiasi dari zat
radioaktif tersebut pada saat melintas di dalam sirkulasi darah.
Penggunaan utama gambar nuklir untuk kelainan jantung adalah:
 Untuk visualisasi kerja pompa ventrikel jantung.
 Untuk memperkirakan aliran darah yang melalui otot jantung.

h) Kateterisasi Jantung dan Angiografi


Pada kateterisasi jantung, dimasukkan suatu pipa halus (kateter) melalui pembuluh
nadi dan atau pembuluh vena (di daerah lipat paha atau siku) ke dalam ruangan jantung.
Namun, pemasangan kateter jantung menimbulkan rasa tidak nyaman, dapat menyebabkan
ketakutan dan juga berarti klien harus tinggal di rumah sakit.
i) GCS
Memberikan skor dalam kisaran 3-15. Pasien dengan skor 3-8 dikatakan dalam
jedaan KOPR. Nilai total adalah jumlah skor dalam 3 kategori. Untuk orang dewasa,
nilainya sebagai berikut :
Eye Opening
- Mata membuka secara spontan 4 point
- Mata membuka saat direspon oleh suara 3 point
atau perintah
- Mata membuka dengan rangsang nyeri 2 point

- Tidak ada respon 1 point


Verbal Response
- Orientasi baik, contoh : pasien dapat 5 point
menyebutkan nama, menyadari situasi
disekitarnya
- Pembicaraan membingungkan, tidak 4 point
dapat memberikan jawaban yang
informatif, memberikan jawaban yang tidak
berhubungan dengan pertanyaan
- Pasien berkata-kata tetapi kacau, tidak 3 point
dalam susunan kalimat, dapat bersifat makian
atau teriakan
- Suara yang tidak berarti ( keluhan atau 2 point
omongan ) tetapi bukan suatu kata
- Tidak berespon 1 point

Motoric response
- Secara spontan menggerakan anggota 6 point
badan sesuai perintah
- Melokalisir nyeri (menjangkau dan 5 point
menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
- Menghindar atau menarik ekstrimitas 4 point
atau tubuh, menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri
- Tangan satu atau keduanya posisi kaku 3 point
diatas dada dan kaki ekstensi saat diberi
rangsang nyeri
- Tangan satu atau keduanya ekstensi di 2 point
sisi tubuh, dengan jari mengepal dan kaki
ekstensi saat diberi rangsang nyeri
- Tidak berespon 1 point

6. Penatalaksanaan
c. Farmakologi
1. Aspirin (ex Aspilet)
Aspirin adalah obat wajib untuk penderita PJK, terlebih bagi mereka yang sudah
melewati prroses pemasangan stent atau operasi bypass. Aspirin harus segera diberikan
kepada penderita jantung untuk dikunyah.
Indikasi : Mencegah perlekatan keping-keping darah agar lancar dan
mengalir dan mencegah terbentuknya gumpalan darah
Dosis : mulai dari 75 mg sampai 325 mg. Dosis rendah sudah cukup ampuh
untuk menghambat penggumpalan keping darah.
Efek samping : Nyeri ulu hati, dan pendarahan. Obat ini harus diminum bersama
makanan untuk mencegah ulu hati
2. Obat Nitrat (Isosobrid Mononitrat) ex Elantan, Pentacad
Indikasi : Profilaksis anginaa, tambahan pada gagal jantung kongestif
Dosis : dosis awal 20 mg, 2-3 kali sehari, atau 40 mg 2 kali sehari
Efek samping : sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensipostural,
takikardi
3. Obat Statin
Stati adalah obat yang digunakan untuk mengatasi gangguan lemak darah, terutama
peningkatan kadar LDL.
Indikasi : mengatasi gangguan lemak darah, terutama peningkatan kadar
LDL
Dosis : sesuai dengan rencana target penurunan kadar kolesterol

# 40 mg
#10 mg
Efek samping : menekan proses inflamasi dalam pembuluh darah yang memicu
kerapuhan plak
4. KCl
Indikasi : Kalium klorida atau KCl adalah obat yang mengatasi kekurangan
atau penurunan kalium darah
Dosis : 25 meq dalam 4 jam pertama
Efek samping : gangguan pencernaan seperti kontipasi
5. Ca glukonas (pemberian infus)
Indikasi : mengatasi hipokalsemia ( kadar kalsium darah yang rendah)
Dosis : ca-glukonas 10%, 30-60 ml dalam 1000ml selama 6-12 jam
Efek samping :
6. Fortanest (golongan benzodiapine)
Indikasi : menghambat susunan saraf pusat
Dosis : 30 mg/30 cc
Efek samping : depresi pernafasan, apneu

d. Non Farmakologi
1. Diit atau pola makan
 tidak merokok
 tingkat masukan kalori sesuai untuk mencegah kegemukan
 konsumsi lemak 30 %
 konsumsi maksimal 8-10% kalori dari asam lemak jenuh
 konsumsi maksimal 10% dari total kalori berasal dari asam lemak tak jenuh
 serat yang larut = 20-30 gram/hari
 stanol/sterol asal tumbuh-tumbuhan = 2 gram/hari
2. Olahraga
Olahraga merupakan bagian dari usaha menjaga kebugaran termasuk jantung dan
pembuluh darah, dan sebagai bagian dari program rehabilitasi, yaitu salah satu bentuk
upaya dari penyembuhan dari mereka yang telah menderita masalah jantung. Secara
umum olahraga membuat fisik dan mental bertambah baik.
Manfaat olahraga utuk kesehatan jantung:
1. Memperbaiki metabolisme lipoprotein dan karbohidrat
2. Menurunkan kerja otot jantung dan keperluan akan oksigen
3. Kerja sistem listrik jantung
4. Meningkatkan kebugaran jasmani
5. Sikap kejiwaan lebih mantap

7. Peran Perawat
 Sebagai Educator
Yang memberikan penjelasan secara terperinci mengenai penyakit yang dialami
klien.
1. Jelaskan penyakit yang ada dalam tubuh klien dan bahaya yang terjadi jika
perawatan tidak adekuat.
2. Anjurkan pada klien untuk melakukan pemeriksaan kesehatan setelah
hospitalisasi secara rutin dan teratur.
3. Anjurkan pada klien untuk meminum obat sesuai autran dan tidak
menghentikannya sendiri tanpa anjuran dokter.
4. Ajarkan dan bantu klien untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan risiko terjadinya penyakit jantung dan menerapkan paradigma hidup
sehat dengan menjauhi dan mengubah faktor risiko yang dimiliki, sehingga
dapat meningkatkan pertukaran gas vital.

8. Pengkajian Fokus Secara Teori


 Aktivitas atau istirahat
 Sirkulasi
 Tanda-tanda vital
 Integritas ego
 Eliminasi
 Makanan atau cairan
 Higiene
 Neurosensori
 Sistem kardio
 Sistem gastrointestinal
 Nyeri atau kenyamanan
 Pernapasan
 Keamanan
 Interaksi sosial
Hiperlipidemia Kolesterol merokok stress Latihan fisik Usia

Arterioskelerosis CO ↑→ Hb mengikat CO Degenerasi


Adrenalin ↑
Ateroma → O2 ↓→ As. Nikotorat pembuluh arteri
→ pelepasan katekolamin
Spasme → kontriksi arteri
pembuluh darah
Merangsang
pertumbuhan
Aliran darah trombus
tersumbat

Aliran O2 ke
arteri koroner
menurun

9. PATOFISIOLOGI PJK
Suplai darah
menurun

O2 ke jantung
menurun

Iskemia miokard

Kerusakan otot Infark Miokard


miokardium

Ketidakseimbang Fungsi venttrikel


Perubahan EKG an Kebutuhan O2 kiri↓ dan gg. Tek ventrikel kiri
ST elevasi kontraktilitas

Metabolism Kongesti
Sindrom koroner anaerob pulmonal
Perubahan
akut (ACS) meningkat
hemodinamik
Tek. Hidrostatik Perembesan
Perfusi ↓ > Tek.osmotik cairan ke alveoli
Pembentukan
energy menurun
Gg. Perfusi
Syok kardiogenik Edema
Jaringan
Produksi asam Kontraksi jantung
laktat meningkat menurun
Risiko kematian

Beban jantung
Stimulasi ujung meningkat Mual, muntah Ansietas
saraf

Hipertropi Stimulasi Saraf


Angina pektoris ventrikel kiri simpatis

Gg. Rasa Lelah Intoleransi


nyaman nyeri Penurunan HR↑
curah aktivitas
jantung
Kondisi &
progress penyakit

Anda mungkin juga menyukai