Anda di halaman 1dari 32

PENETASAN ARTEMIA DENGAN METODE DEKAPSULASI

LAPORAN PRAKTIKUM
Disusun Untuk Memenuhi Laporan Praktikum Budidaya Pakan Alami

Disusun oleh:

Kelompok 6/Perikanan A

Nabila Mayangsari 230110170001


Fitri Andayani 230110170013
Fikry Ingdrya G 230110170026
Iqbal 230110170043
Hagi Nuansa Febriani 230110170053

PROGRAM STUDI PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat-Nya penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan laporan
praktikum Budidaya Pakan Alami yang berjudul “Penetasan Artemia dengan Metode
Dekapsulasi”.
Tujuan dan pembuatan laporan ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai kegiatan praktikum Budidaya Pakan Alami di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjadjaran dan memberikan ilmu pengetahuan mengenai
penetasan Artemia dengan metode dekapsulasi.
Laporan ini dapat tersusun tak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tim dosen mata kuliah Budidaya Pakan Alami
2. Tim asisten laboratorium mata kuliah Budidaya Pakan Alami
Semoga laporan ini dapat menuntun ke arah yang lebih baik lagi dan mampu
menambah kemampuan penulis dalam meningkatkan ketelitian. Kritik dan saran demi
laporan ini selanjutnya sangat dinantikan.

Jatinangor, Oktober 2018

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

BAB Halaman
DAFTAR GAMBAR .................................................................... iv
DAFTAR TABEL ....................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... vi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ............................................................... 1
1.3 Tujuan ..................................................................................... 2
II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Artemia ................................................................................... 3
2.2 Kandungan Nutrisi Artemia ................................................... 3
2.3 Siklus Hidup dan Kemampuan Reproduksi Artemia .............. 4
2.4 Teknik Penetasan .................................................................... 5
2.5 Metode Dekapsulasi ................................................................ 6

III BAHAN DAN METODE


3.1 Tempat dan Waktu ................................................................. 7
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................... 7
3.2.1 Alat Praktikum ........................................................................ 7
3.2.2 Bahan Praktikum ..................................................................... 7
3.3 Prosedur dan Tahapan Praktikum ........................................... 8
3.4 Parameter yang diamati........................................................... 8
3.4.1 Kondisi Media Pemeliharaan (Suhu, pH, Salinitas) ............... 8
3.4.2 Hatching Rate (HR) ................................................................ 9
3.4.3 Ukuran Artemia dan Ciri Fisiologi ......................................... 10
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tabel Hasil Praktikum ............................................................ 11
4.2 Pengaruh Chlorin ................................................................... 12
4.3 Hatching Rate (HR) Kista Artemia......................................... 13
4.4 Faktor Penghambat Rangkaian Praktikum.............................. 13

V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................ 14
5.2 Saran ...................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 15

ii
LAMPIRAN ................................................................................... 18

iii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


1. Hasil pengamatan kista Artemia ......................................................... 11

iv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


1. Artemia sp ............................................................................................ 3
2. Siklus hidup Artemia ........................................................................... 5

v
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


1. Alat yang digunakan ............................................................................. 18
2. Bahan yang digunakan .......................................................................... 20
3. Dokumentasi Kegiatan .......................................................................... 21
4. Prosedur Kerja ....................................................................................... 22

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budidaya ikan di Indonesia sudah menjadi profesi besar dan merupakan bisnis
dengan tingkat keuntungan cukup besar. Namun di Indonesia sendiri pembudidaya
ikan terutama benih ataua larva ikan masih cukup tinggi tingkat kegagalannya
dikarenakan dari beberapa faktor yang salah satunya berupa pakan. Pakan yang cocok
untuk benih atau larva ikan berupa pakan alami. Pakan alami yang cocok untuk larva
atau benih ikan adalah beberapa jenis dari fitoplankton dan zooplankton. Pakan alami
yang berasal dari zooplankton yang paling populer adalah artemia.
Artemia merupukan jenis pakan alami yang harus dikulturkan terlebih dahulu.
Artemia memili kandungan gizi yang cukup tinggi untuk larva ikan. proses
pengkulturan artemia sering disebut penetasan kista artemia. Butuh adanya
pembinaan untuk proses pengkulturan itu sendiri agar bisa membantu para
pembudidaya benih atau larva ikan dan mengurangi tingkat kegagalan panen
benihnya.
Metode dekapsulasi merupakan metode yang dilakukan dengan mengupas
bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan
hidup embrio, dekapsulasi tidak umum digunakan pada benih ikan maupun udang,
namun untuk meningkatkan daya tetas dan menghilangkan penyakit yang dibawa
oleh kista.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Bagaimana cara-cara penetasan Artemia dengan metode dekapsulasi ?
2. Berapa hatching rate yang bias didapat dari penetasan dengan metode
dekapsulasi?
3. Bagaimana parameter yang oprimal untuk penetasan kista artemia dengan
metode dekapsulasi?

1
2

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui cara-cara penetasan kista Artemia dengan metode
dekapsulasi
2. Untuk mengetahui hatching rate dari proses pengkulturan.
3. Untuk mengetahui parameter yang optimal dalam pengkulturan kista Artemia
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Artemia
Artemia merupakan zooplankton dari anggota crustacea menurut Bougis
(1979) dalam Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) sistematika Artemia sp. adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Species : Artemia sp.

Gambar 1. Artemia sp

Galebert (1991) dalam Umbas (2003) menyatakan bahwa Artemia digunakan


sebagai pakan alami lebih dari 85% spesies hewan budidaya, Artemia mempunyai
nilai gizi tinggi, dapat menetas dengan cepat, ukurannya relatif kecil dan pergerakan
lambat serta dapat hidup pada kepadatan tinggi (Tyas 2004).
Artemia secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu antara 25-30oC,
berbeda dengan kista Artemia kering yang dapat tahan pada suhu -273 hingga 100oC
(Mudjiman 1989). Artemia dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi yang

3
4

biasa disebut dengan brain shrimp. Kultur biomassa Artemia yang baik pada
kadar garam antara 30-50 ppt. Untuk Artemia yang mampu menghasilkan kista
membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Kadar
oksigen terlarut yang dibutuhkan agar Artemia dapat tumbuh dengan baik ialah
sekitar 3 ppm. Media untuk penetasan kista, diperlukan air yang pH nya lebih dari 8,
jika pH kurang dari 8 maka efisiensi penetasan akan menurun atau waktu penetasan
menjadi lebih panjang (Mudjiman 1989).

2.2 Kandungan Nutrisi Artemia


Artermia memiliki kandungan gizi yang lengkap dan tinggi protein 52,7 %
karbohidrat 15,4 % lemak 4,8 % air 10,3 % dan abu 11,2 % (Marinati dan Nilawati
2013). Dua kandungan vitamin, EPA dan DHA yang merupakan asam lemak tak
jenuh, tidak dapat diproduksi oleh tubuh Artemia karena hanya dapat diperoleh dari
asupan makanan. Kandungan asam lemak essensial Artemia yakni EPA berkisar 0,24
% - 0,39 % dan DHA tidak dapat diketahui (Suprayudi 2002).

2.3 Siklus Hidup dan Kemampuan Reproduksi Artemia


Chumaidi et al., (1990) dalam Tyas (2004) menyatakan bahwa
perkembangbiakan Artemia ada dua cara, yakni partenogenesis dan biseksual. Pada
Artemia yang termasuk jenis parthenogenesis populasinya terdiri dari betina semua
yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi,
sedangkan pada Artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina
yang berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang
dibuahi.
Secara umum, Artemia mempunyai dua tipe reproduksi yaitu ovivar dan
ovovivipar. Artemia dewasa hanya akan memproduksi kista ketika keadaan
lingkungan memburuk, misalnya ketika kadar garam lebih dari 150 ppt dan
kandungan oksigen rendah kemudian kista akan menetas menjadi larva jika
lingkungan membaik atau kembali seperti semula (Mudjiman 1989).
5

Gambar 2. Siklus hidup Artemia

Larva yang baru saja menetas disebut nauplis. siklus hidup artemia bisa
dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15–20 jam pada suhu 25°C kista
akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan
tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan
perkembangannya kemudian brubah menjadi naupli yang sudah akan berenang bebas.
Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklaan akibat masih mengandung
kunimg telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan
anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan
ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai
makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Naupli
akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari.
Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian biomasanya
akan mencapai 500 kali dibandingkan biomasa pada fase naupli (Purwakusuma
2008).

2.4 Teknik Penetasan


Sutaman (1993) menyatakan bahwa penetasan kista Artemia dapat dilakukan
dengan 2 cara, non dekapsulasi yaitu penetasan langsung dan penetasan dengan cara
dekapsulasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista
Artemia yang keras (korion).
6

2.5 Metode Dekapsulasi


Metode dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista
menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio,
dekapsulasi tidak umum digunakan pada benih ikan maupun udang, namun untuk
meningkatkan daya tetas dan menghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista
Artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo dan Sofiati 2004).
Mulyadi (2004) menyatakan bahwa langkah-langkah penetasan dengan cara
dekapsulasi adalah sebagai berikut:
1. Kista Artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1- 2 jam
2. Kista disaring menggunakan plankton net 120μm dan dicuci bersih
3. Kista dicampur dengan larutan kaporit atau klorin dengan konsentrasi 1,5 ml
per 1 gram kista, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata
4. Kista segera disaring menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas
menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, kista siap untuk ditetaskan
5. Kista akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara
mematikan aerasi untuk memisahkan kista yang tidak menetas dengan naupli
Artemia.
Menurut Pramudjo dan Sofiati (2004) kista hasil dekapsulasi dapat segera
digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0oC - 4oC dan digunakan sesuai
kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al (1990) dalam
Tyas (2004) menyatakan bahwa kista setelah dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt)
akan mengalami hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio
yang aktif, sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang
masih dibungkus dengan selaput. Wadah penetasan Artemia dapat dilakukan dengan
wadah kaca, polyetilen (ember plastik) atau fiber glass. Ukuran wadah dapat
disesuaikan dengan kebutuhan, mulai dari volume 1 liter sampai dengan volume 1 ton
bahkan 40 ton (Sorgeloos 1996 dalam Hasyim 2002).
BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu


Praktikum mengenai penetasan kista Artemia dengan metode dekapsulasi
bertempat di Laboraturium Akuakultur, Gedung 2 Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjadjaran pada hari Rabu, 03 September 2018 pukul 13.00
WIB s.d 15.00 WIB.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat Praktikum
Alat yang digunakan pada praktikum kultur artemia adalah sebagai berikut :
1. Botol bekas untuk wadah media kultur artemia
2. Cawan petri untuk tempat menghitung artemia
3. Hand counter untuk menghitung kepadatan artemia
4. Mikroskop untuk mengamati ukuran artemia
5. Pipet tetes untuk mengambil sampel kista artemia
6. Plankton net untuk menyaring kista artemia
7. Sendok untuk mengambil takaran garam dan menghomogenkan larutan garam
8. Tabung reaksi untuk menyimpan larutan chlorin
9. Timbangan untuk menimbang kista artemia dan menimbang garam.

3.2.2 Bahan Praktikum


Bahan yang digunakan pada praktikum kultur artemia adalah sebagai berikut :
1. Chlorin untuk menipiskan lapisan korion pada kista artemia
2. Garam untuk salinitas media kultur artemia
3. Kista artemia sebagai sampel yang akan diamati

7
8

3.3 Prosedur Praktikum


3.3.1 Prosedur Penetasan Artemia
Prosedur praktikum penetasan kultur artemia sebagai berikut :
1. Ditimbang sebanyak 1 gram kista artemia, 30 gr garam, dan 15 ml chlorin
2. Kista artemia dicuci dengan air tawar (1 menit)
3. Kista artemia direndam menggunakan chlorin (15 menit) sampai berubah
warna
4. Kista artemia dicuci dengan air tawar sampai pengaruh chlorin hilang
5. Dimasukkan 30 gr garam ke 1 liter air, hitung kepadatannya 2 ml, 3x
pengulangan, ambil rata-ratanya dikali 500
6. Dihitung pH nya dan catat hasilnya
7. Kista artemia dipanen setelah 20 jam

3.3.2 Prosedur Pemanenan Artemia


Prosedur praktikum pemanenan kultur artemia sebagai berikut :
1. Artemia dipanen setelah 20 jam
2. Diambil 3 sampel untuk dihitung kepadatannya, masing-masing sebanyak
2ml
3. Dimasukkan kedalam cawan petri dan dihitung kepadatan artemianya. Catat
hasilnya
4. Diambil satu artemia letakkan pada object glass untuk diamati ukurannya
dan catat hasilnya.

3.4 Parameter yang Diamati


3.4.1 Kondisi Media Pemeliharaan (Suhu, pH, Salinitas)
Suhu merupakan parameter kualitas air yang penting pada masa
pemeliharaan. Setiap perubahan suhu mempengaruhi proses-proses biologi terutama
pada respon struktural dan fungsional. Suhu air yang meningkat dapat berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung pada perkembangan, pertumbuhan, proses
biologi meliputi metabolisme, osmoregulasi, dan respirasi Romimoharto (1999)
9

dalam Nurmalasari (2007). Tetapi Artemia mempunyai toleransi yang cukup luas
terhadap suhu yaitu 6-35oC (Harefa 1997). Selanjutnya Mudjiman (1998) dalam
Aditiyana D. (2007) bahwa temperatur optimal yang dibutuhkan berkisar antara 25-
30oC.
Keasaman atau pH adalah salah satu faktor lingkungan yang tidak dapat di
tolerir oleh artemia (Harefa 1997) dalam Nurmalasari (2007). Media air laut yang
digunakan pertumbuhan optimal adalah 7-8,5 Utomo (2002), dalam Nurmalasari
(2007). Selanjutnya menurut Harefa (1997) dalam Nurmalasari (2007) penurunan Ph
dibawah 7 dapat menyebabkan kematian, penetasan kista memerlukan pH yang
sedikit basa yaitu 8-9.
Gusrina (2008) kista artemia dapat ditetaskan pada media yang mempunyai
salinitas 5-35 ppt, walaupun habitatnya dapat hidup pada salinitas yang tinggin.
Sedangkan menurut Mudjiman (1989) dan Mal Soni (2004), dalam Atdjas (2011) jika
kondisi perairan normal dengan salinitas yang rendah <60 ppt dan kandungan oksigen
cukup maka induk betina akan melahirkan banyak larva.
Dalam praktikum mengenai penetasan Artemia dengan metode dekapsulasi,
kelompok 6 menggunakan parameter suhu, pH dan salinitas yang berturut- turut yaitu
suhu 30o C pada saat penetasan, pH sebesar 6,8 dan salinitas yang digunakan adalah
30ppt.

3.4.2 Hatching Rate (HR)


Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat penetasan menurut
Gusrina (2008), yaitu dengan menggunakan rumus :
𝑁
HR = × 100%
𝐶
Dimana :
HR : daya tetas
N : jumlah telur menetas
C : jumlah total telur yang ditetaskan
10

3.4.3 Ukuran Artemia dan Ciri Fisiologi


Pertama kali menetas larva artemia disebut Instar I.Nauplius stadia I (Instar
I) ukuran 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 15 mikrongram, berwarna orange
kecoklatan. Setelah 24 jam menetas, naupli akan berubah menjadi Instar II,
Gnatobasen sudah berbulu, bermulut, terdapat saluran pencernakan dan dubur.
Tingkatan selanjutnya, pada kanan dan kiri mata nauplius terbentuk sepasang mata
majemuk. Bagian samping badannya mulai tumbuh tunas-tunas kaki, setelah instar
XV kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang. Nauplius menjadi artemia dewasa
(Proses instar I-XV) antara 1-3 minggu (Mukti, 2004). Telur artemia yang kering atau
kista berbentuk bulat cekung, berwarna coklat, berdiameter 200 – 300 mikron dan di
dalamnya terdapat embrio yang tidak aktif.
Artemia dewasa berukuran 1 – 2 cm dengan sepasang mata majemuk dan 11
pasang thoracopoda. Setiap thoracopoda mempunyai eksopodit, endopodit dan
epipodit yang masing-masing berfungsi sebagai alat pengumpul pakan, alat berenang
dan alat pernapasan. Pada yang jantan, antenna II berkembang menjadi alat penjepit
dan pada bagian belakang perut terdapat sepasang penis. Pada yang betina, antenna
menjadi alat sensor dan pada kedua sisi saluran pencernaan terdapat sepasang ovari.
Telur-telur yang telah masak dipindahkan dari ovari ke dalam sebuah kantong telur
atau uterus (Sumeru, 1984).
Setelah terjadi penetasan Artemia, diameter Artemia diamati dan diukur
menggunakan mikroskop karena ukuran Artemia yang kecil, kemudian didapatkan
hasil pengukuran dari Artemia yang menetas yaitu memiliki ukuran panjang 20 mµ
dan lebar 5µm serta apabila dilihat menggunakan mikroskop Artemia tersebut
memiliki ciri-ciri berbentuk bulat memanjang, berlekuk, warnanya coklat, sudah
terdapat kaki, antena, dan antenulla.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1 Tabel Hasil Praktikum


Berikut table hasil pengamatan mengenai penetasan kista Artemia yang dilakukan
oleh kelompok 6 Perikanan A:
Tabel 1. Hasil pengamatan kista Artemia
Jumlah Chlorin 15 ml
Berat ciste Artemia 1 gram
Jumlah ciste Artemia (2 ml) 386 321 273
Kepadatan per Liter 163.000
Jumlah Garam 30 gram
Suhu Penetasan 30OC
Waktu Tetas 20 jam
Jumlah Artemia (2 ml) 83 87 58
Ukuran L= 5µm P=20µm
PH 6.8
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah chlorin yang digunakan pada
penetasan kista Artemia dengan metode dekapsulasi sebanyak 15 ml, berat kista
Artemia 1 gram, jumlah kista Artemia dalam 3x pengulangan pada 2 ml berturut-turut
adalah 386, 321 dan 273, sehingga didapatkan kepadatan kista Artemia per liter
sebanyak 163.000. Jumlah garam yang digunakan sebanyak 30 gram dengan suhu
penetasan 30OC, pH 6,8 dan waktu tetas selama 20 jam. Kemudian setelah 20 jam
dilakukan pengamatan kista Artemia yang sudah menetas, didapatkan data dalam 3x
penghitungan pada 2 ml didapatkan data secara berturut-turut yaitu 83,87 dan 58.
Setelah dihitung kepadatan Artemia yang menetas, kemudian dihitung diameter
Artemia menggunakan mikroskop dengan hasil yaitu lebar Artemia yang diamati
adalah 5µm dan panjangnya P=20µm.

11
12

1.2 Pengaruh Chlorin terhadap Waktu Tetas dan Jumlah Tetas Artemia
Dekapsulasi adalah metode penetasan dengan cara menipiskan lapisan korion
pada kista Artemia dengan larutan hipoklorin agar daya tetas kista lebih singkat.
Menurut Mudjiman (1999), cangkang Artemia sp. terdiri dari lipoprotein yang
mengandung banyak hematin (semacam hemoglobin). Senyawa ini ternyata dapat
dilarutkan oleh bahan-bahan oksidator yaitu senyawa hipoklorit, baik berupa NaOCl
(natrium hipoklorit) maupun Ca(OCl)2. Kaporit ini selain berfungsi sebagai pendekap
kista Artemia sp., juga berfungsi sebagai disinfektan.
Dengan ditambahkannya larutan klorin kedalam kista Artemia maka akan
menyebabkan lapisan korion menjadi tipis sehingga daya tetas kista Artemia menjadi
lebih singkat, selain itu chlorin juga dapat membuat kista Artemia lebih kebal
terhadap penyakit. Namun keberhasilan penggunaan chlorin sendiri masih menjadi
masalah besar, karena apabila pencucian chlorin tidak benar maka chlorin tersebut
justru akan menjadi penyebab kista Artemia tidak menetas menjadi nauplii
(Mudjiman 1989).

1.3 Hatching Rate (HR) Kista Artemia


𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑖𝑠𝑡𝑎 𝑎𝑟𝑡𝑒𝑚𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
HR = × 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑖𝑠𝑡𝑎 𝑎𝑟𝑡𝑒𝑚𝑖𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
38000
= 𝑥 100% = 23.3%
163000

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan oleh kelompok 6 mengenai


penetasan kista Artemia dengan metode dekapsulasi didapatkan hasil Hatching Rate
(HR) sebesar 23.3%. Hasil ini sangat jauh dari target yang seharusnya yaitu sebanyak
85% sehingga bisa dikatakan penetasan kista artemia dengan metode dekapsulasi
dikatakan gagal. Penetasan kista Artemia yang tidak sesuai dengan target tetas
tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu, waktu tetas yang terlalu lama,
tidak adanya aerasi sehingga kista artemia kekurangan oksigen dan pH yang tidak
optimal untuk perkembangan nauplius.
13

Sorgeloos (1996), mengatakan bahwa pH air media pemeliharaan Artemia


berkisar antara 7−8,5 dan untuk penetasan kista Artemia mencapai optimal pada pH
8−9, karena pada pH tersebut enzim penetasan bekerja optimal Vos dan Rosa (1980)
menyatakan bahwa pada pH< 7 Artemia dewasa tidak dapat tumbuh optimal dan
pertumbuhan nauplius menurun, sedangkan pada pH 8−8,5 pertumbuhan optimal.

1.4 Faktor Penghambat Rangkaian Praktikum


Tujuan awal dilakukan dekapsulasi adalah meningkatkan daya tetas kisa
Artemia atau biasa disebut dengan peningkatan heatching rate (Hareta 1997). Akan
tetapi, hasil praktikum ini bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, heatching
rate (HR) kista Artemia yang mendapat perlakuan dekapsulasi memiliki HR yang
rendah. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya suhu, aerasi atau
oksigen terlarut, kepadatan kista, salinitas air, intensitas cahaya, kualitas kista
Artemia serta ketebalan lapisan korion kista.
Sedangkan pada praktikum ini penyebab banyaknya kista yang tidak menetas
adalah akibat dari pencucian dan deaktifasi larutan Chlorin yang tidak sempurna.
Deaktifasi larutan chlorin yang tidak sempurna dapat membahayakan bagi nauplii
karena senyawa chlorin merupakan racun bagi nauplii Artemia, sehingga dapat
menyebabakan nauplii banyak yang mati sebelum keluar dari korion. Selama
perlakuan, larutan dekapsulasi bereaksi terhadap korion kista. Akibat reaksi tersebut,
terbentuk beberapa senyawa organo kiorin yang melekat pada kistahasil dekapsulasi
yang dapat mengurangi kualitas dan kegunaan kista yang didekapsulasi (Sumeru dan
Anna 2008 ).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum mengenai penetasan Artemia
dengan metode dekapsulasi adalah sebagai berikut:
1. Hatching Rate (HR) sebesar 23.3%, hasil ini sangat jauh dari target yang
seharusnya yaitu sebanyak 85% sehingga bisa dikatakan penetasan kista
artemia dengan metode dekapsulasi dikatakan gagal.
2. pH yang digunakan adalah 6,8 dan bukan merupakan pH yang optimal untuk
penetasan kista Artemia. Sedangkan untuk salinitas dan suhu yang digunakan
sudah optimal.

5.2 Saran
Untuk kedepannya, sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu parameter-parameter
pada setiap jenis yang akan dikulturkan agar praktikan memahami faktor apa saja
yang dapat mengalami kegagalan pengkulturan pakan alami.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aditiyana, D. 2007. Pemanfaatan Berbagai Jenis Silase Ikan Rucah Pada Produksi
Biomassa Artemia Franciscana. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Sebelas Maret. Surakarta.

Atdjas, C. 2010. Pengaruh salinitas terhadap waktu penetasan artemia. Proposal


penelitian. FPIK : Universitas Padjadjaran

Bougis, P. 1979. Marine Plankton Ecology. American Elseiver Publishing Company,


New York.

Chumadi. MS. 1990. Petunjuk Teknik Budidaya Pakan Alamai Ikan Dan Udang
Pusat Penelitian dan pengembangan Perikanan. PHP/KAN/12/1990 Jakarta.

Galebert, R. 2003. Bioenkapsulasi pada Artemia : II. Pengaruh dari Konsentrasi


Partikel pada Proses Pengkayaan (diterjemahkan: A. F. M. Soni). Aquaculture
216:143-153.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 3. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan. Departemen Pendidikan Nasional. PT. Macan Jaya Cemerlang.
Jakarta.

Harefa. 2003. Pembudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. PT. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Hareta, Fa’akhododo. 1997. Pembudidayaan Artemia untuk Pakan Udang dan Ikan.
Jakarta : Penebar Swadaya.

Hasyim, B.A. 2002. Pengaruh Artemia yang Diperkaya dengan Minyak Ikan, Minyak
Kelapa dan Minyak jagung Trehdap Pertumbuhan, Sintasan dan 36 Volume
Otak Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Bogor. Skirpsi. Program Stusi
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Intitut Pertanian
Bogor. 39 hlm.

15
16

Isnansetyo, A dan Kurniastutu. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton.


Kanisius. Yogyakarta. 116 hal.
Lavens, P., and P. Sorgeloos, 1996. Manual on the production and use of live food for
aquaculture, fisheries technical paper, food and agriculture. Organization of
The United Nation, Rome.

Marihati, Muryati, dan Nilawati. 2013. Budidaya Artemia salina sebagai diversifikasi
produk dan biokatalisator percepatan penguapan di ladang 25 garam. Peneliti
Madaya Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri. Jurnal
Agromedia 31 (1): 57-66.

Mudjiman, A. 1988. Udang Renik Air Asin (Artemia salina). Bhratara Niaga Media,.
Makanan Ikan. Penebar swadaya, Jakarta

Mulyadi, 2004.Budidaya Ikan Jilid 1, 2 dan 3 untuk SMK. Jakarta : Direktorat


Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Nurmalasari, D, M. 2007. Pemanfaatan Silase Ikan Sebagai Pakan Terhadap Produksi


Kista Artemia Pada berbagai penebaran. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Sebelas Maret.
Surakarta.

Pramudjo dan Sofiati, 2004.Prospek Teknik Produksi Cyste Brine Shrimp (Artemia
salina LEACH) di Indonesia. Fakultas Perikanan, Unsrat-Manado.

Purwakusuma. W. 2008. Artemia salina. http://fish.com//pakanIkan/Artemia.php.


Diakses pada tanggal 30 Oktober 2018 pukul 11.17 WIB

Setiawati, M. dan M. A. Suprayudi. 2003. Pertumbuhan dan Efisiensi PakanIkan Nila


Merah (Oreochromis sp.) yang Dipelihara pada Media Bersalinitas.Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

16
17

Sorgeloos,P. 1996. Manual on the Production and Use of Live Food for Aquaculture
FAO Fisheries Technical Paper. No. 361. Rome, FAO

Sumeru, Sri Umiyati dan Suzzy Anna. 2008. Penyediaan NaupliiArtemia


http://hobiikan.blogspot.com/2008/10/penyediaan-nauplii-artemia.html .
Diakses pada hari Selasa, 30 Oktober 2018 pukul 20.20 WIB

Sutaman. 1993. Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Tyas, I. K. 2004. Pengkayaan Pakan Nauplius Artemia dengan Korteks Otak Sapi
untuk Meningkatkan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan Daya Tahan
Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon. Fab) Stadium PL 5-PL 8.
Skripsi.Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta.

Vos J.and N. L. Rosa. 1980. Manual on Artemia the Philippines.


www.fao.org/.Production In Salt Ponds In 12/12/2011.

17
LAMPIRAN
18

Lampiran 1. Alat yang digunakan

Plankton net Pipet Tetes

Sendok Hand counter

Cawan Petri Tabung Reaksi

Botol Bekas Timbangan


19

Mikroskop
20

Lampiran 2. Bahan yang digunakan

Kista Artemia
Larutan Chlorin

Garam
21

Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan

Kista Artemia ditimbang sebanyak 1 gr Garam ditimbang sebanyak 30 gram

Chlorin diukur sebanyak 15 ml Kista Artemia dicuci menggunakan air

Kista Artemia direndam dengan Kista Artemia dibersihkan dari


Chlorin selama 10 menit pengaruh Chlorin

Kista Artemia dimasukkan kedalam


Garam dilarutkan kedalam wadah
wadah
22

2 ml diambil setiap 3x penghitungan


Kista Artemia dihomogenkan
untuk menentukan kepadatan kista

Salinitas dihitung pH dihitung

Kista Artemia di aerasi Kista Artemia dipanen setelah 20 jam

Artemia yang menetas dihitung dengan


Ukuran diameter Artemia diamati
pengambilan 2ml sebanyak 3x
pengulangan
23

Lampiran 4. Prosedur Kerja

Kista artemia dan garam ditimbang

Larutan Chlorin diambil sebanyak 15 ml

Artemia dicuci menggunakan air

Kista artemia direndam dengan Chlorin selama 10 menit

Kista artemia dibersihkan dari larutan Chlorin

1 L air dengan garam sebanyak 30 g dilarutkan

Kista artemia dimasukkan kedalam larutan garam

Larutan garam dihomogenkan dengan kista artemia

Ambil sebanyak 2ml untuk menghitung kepadatan kista

Salinitas dan pH dihitung


24

Kista artemia diaerasi selama 20 jam

Artemia yang menetas dipanen

Diamati dan dihitung perentasenya

Artemia yang menetas diukur menggunakan mikroskop

Anda mungkin juga menyukai