Hiponatremi
Pendahuluan
Ensefalopati adalah istilah untuk setiap penyakit menyebar dari otak yang mengubah
fungsi otak atau struktur. Ensefalopati dapat disebabkan oleh agen infeksi (bakteri, virus, atau
prion), atau mitokondria disfungsi metabolisme, tumor otak atau peningkatan tekanan dalam
tengkorak, kontak yang terlalu lama untuk unsur-unsur beracun (termasuk pelarut, obat-
obatan, radiasi, cat, bahan kimia industri, dan tertentu logam), trauma progresif kronis, gizi
buruk, atau kekurangan oksigen atau aliran darah ke otak. Ensefalopati dapat juga disebabkan
oleh penyakit parah dan negara-negara maju, infeksi, atau sebagai akibat dari mengkonsumsi
obat-obatan tertentu.1
Tiga penyebab utama dari ensefalopati adalah penyakit hati, penyakit ginjal, dan
kekurangan oksigen di otak. Gejala-gejala yang terkait dapat mencakup perubahan
kepribadian halus, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kelesuan, progresif kehilangan
memori dan kemampuan berpikir, kehilangan kesadaran progresif, dan gerakan spontan yang
abnormal. Gejala bervariasi dengan keparahan dan jenis ensefalopati.1
Ensefalopati dapat bervariasi dalam tingkat keparahan dari hanya perubahan halus
dalam kondisi mental ke keadaan yang lebih maju yang dapat menyebabkan koma. Penyebab
utama kematian terkait termasuk sepsis, runtuh peredaran darah, dan kegagalan otak yang
berhubungan dengan sindrom meliputi edema serebral, rusak darah-otak-hambatan,
meningkatkan tekanan intrakranial, batang otak herniasi, dan / atau neurotoksin bocor ke otak
dan membunuh sel-sel otak. Selain itu, pasien dengan ensefalopati berat biasanya
mengembangkan hipertensi intrakranial, yang dapat menghasilkan iskemia serebral dan
herniasi otak cedera.1
Ciri ensefalopati adalah kondisi mental berubah. Tergantung pada jenis dan tingkat
keparahan ensefalopati, gejala neurologis progresif umum adalah hilangnya memori dan
kemampuan kognitif, perubahan kepribadian halus, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi,
kelesuan, dan kehilangan kesadaran progresif. Gejala-gejala neurologis lainnya termasuk
nystagmus, tremor, otot atrofi dan kelemahan, demensia, kejang, dan kehilangan kemampuan
untuk menelan atau berbicara. Tes darah, cairan tulang belakang pemeriksaan, pencitraan,
electroencephalograms, dan studi diagnostik yang sama dapat digunakan untuk membedakan
berbagai penyebab ensefalopati.1
Sistem saraf tersusun menjadi susunan saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan
medulla spinalis dan susunan saraf tepi (SST), yang terdiri dari seratserat saraf yang
membawa informasi antara SSP dan bagian tubuh lain (perifer). System saraf tepi dibagi lagi
menjadi divisi aferen dan eferen. Divisi aferen membawa informasi ke SSP, member tahu
tentang lingkungan eksternal dan aktivitas internal yang sedang diatur oleh susunan saraf.
Instruksi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke organ efektor-otot dan kelenjar yang
melaksanakan perintah agar dihasilkan efek yang sesuai. Sistem saraf terdiri dari jaringan
saraf, yang selnya padat dan ketat dan saling terkait. Meskipun sangat kompleks, jaringan
saraf hanya terdiri dari dua jenis sel utama, yaitu neuron (sel-sel saraf) dan neuroglia (sel
pendukung/insulator/pelindung sel saraf).2
Ensefalopati
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak
menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi
kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga
beberapa hari), secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal,
halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum
meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan
perubahan umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma.Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang
menunjukkan penyebab dari kelainan otak tersebut.Beberapa jenis ensefalopati berdasarkan
penyebabnya:
d) Ensefalopati wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin (vitamin B1),
biasanya pada orang yang keracunan alcohol.
e) Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan darah tinggi yang
kronis.
f) Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan bakteri Salmonella penyebab
sakit tipus.2
Epidemiologi
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan
pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan
bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran
hidup atau berkisar 2,64%.(1)Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur
menunjukkan angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.
Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi
60% pada negara berkembang berkaitan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.2
Etiologi
Klasifikasi
Patofisiologi
Teori Amonia Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung
jawab dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan
termasuk ginjal dan otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang
berasal dari bakteri pada kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang
normal, berkisar 80-90% ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama. Ekskresi
berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik maupun akut. Mekanisme
hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih belum terlalu jelas, penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia pada sel hepatosit yang
mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga
menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada astrosit
menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya
pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika
adanya pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar serum
ammonia lebih dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan
perbaikan tingkat ensefalopati hepatik. Penelitian eksperimental menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara kadar glutamine pada cairan serebro spinal dengan
derajat ensefalopati hepatik, tetapi kerusakan fungsi kognitif seperti memori episodik,
perhatian berkesinambungan yang terjadi pada ensefalopati hepatik menunjukkan hubungan
dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa dengan tes psikometrik komputer.2
Gejala Klinis
Penatalaksaan
Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah
perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang mempercepat,
mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi
jangka panjang. Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu infeksi. Kultur
cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites sebaiknya dilakukan
parasentesis diagnostik. Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya
adalah keseimbangan cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik,
karena adanya hidrasi yang kurang 16 maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan
yang sering dilakukan pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari
maintenance.Status hidrasi sebaiknya dimonitor dengan menggunakan tekanan vena
sentral,dengan target 6-8cm H2O.Monitoring urin juga diperlukan untuk memonitoring
hidrasi,dan indikator fungsi renal.Pemberian cairan secara intra vena sebagai media
pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan ensefalopati terganggu.2
Pencegahan
Prognosis
Ensefalopati hepatik merupakan penyakit hati stadium terminal dengan tanda
prognostik yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam waktu
satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga tiga tahun2
Uremikum/uremia
Adalah kelainan otak organik yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut
maupun kronik. Di Indonesia jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50 orang
per satu juta penduduk. Pasien wanita 51 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 5
hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien diobservasi di unit gawat darurat (UGD)
selama 2 hari. Pasien tidak sadar dan demam sepanjang hari disertai keringat di malam hari.
Pasien tidak buang air besar dan buang air kecil mengompol. Pasien dipasang kateter namun
jumlah urin hanya sedikit. Pasien dianjurkan menjalani cuci darah segera selama 2 jam atas
indikasi keadaan klinis yang buruk dan uremia. Pasien telah menjalani cuci darah selama 1
jam dan kondisi pasien menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran koma,
tekanan darah 80/60 mmHg, nadi: 112 x/menit, pernafasan: 36x/menit, suhu: 38,7 °C,
pemeriksaan laboraturium dengan hasil Hb: 11,9 gr%, LED: 10 mm/jam, Leukosit:
15.050/uL, ureum: 289, kreatinin: 5,3, LFG: 7,95. Pasien didiagnosa dengan penurunan
kesadaran et causa (ec) ensefalopati uremikum + Gagal Ginjal Kronis (GGK) + Syok sepsis.
Pada pasien diberikan tatalaksana suportif dan medikamentosa.3-5
Hypoglikemik
Hiponatremia
Respons fisiologis dari hiponatremia (osmolalitas plasma rendah, kurang dari 290
mosm/kg H20) adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin
meningkat oleh karena saluran air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes berkurang
(osmolalitas urin rendah, kurang dari 100 mosm/kg H20). Hiponatremia terjadi bila : a).
Jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi, b). Ketidakmampuan menekan sekresi
ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis
hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate ADH secretion) Berdasarkan prinsip di
atas maka hiponatremia dapat dikelompokkan atas Hiponatremia dengan osmolalitas plasma
rendah . serta ADH meningkat .Pada keadaan ini terjadi gangguan pemekatan di nefron
sehingga osmolalitas urin meningkat, lebih dari 100 mosm/kg H20. ADH yang meningkat
oleh karena deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada muntah, diare, pendarahan, jumlah
urin meningkat, pada gagal jantung, sirosis hati, insufisiensi adrenal, hipotiroidisme - ADH
yang meningkat pada SIADH Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah . serta ADH
tertekan fisiologis. Pada keadaan ini tidak ada gangguan pemekatan di nefron sehingga
osmolalitas urin rendah, kurang dari . 100 mosm/kg H20. .Polidipsia primer atau gagal ginjal
merupakan keadaan di mana ekskresi air lebih rendah dibanding dengan asupan air yang
menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH Hiponatremia dengan osmolalitas
plasma normal atau tinggi Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemi atau
pemberian manitol intra vena menyebabkan air intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi
cairan ekstrasel yang - menyebabkan hiponatremia Pemberian cairan isoosmotik tidak
mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai
osmolalitas - plasma normal, Pseudohiponatremia, pada keadaan hiperlipidernia atau
hiperproteinemia dimana menyebabkan volume air plasma berkurang. Jumlah natrium
tetap,osmolalitas normal akan tetapi secara total dalam cairan intravaskular kadar natrium
jadi berkurang Pada hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH meningkat,
dapat dibagi dalam Volume sirkulasi efektif turun. - Na keluar berlebihan dari tubuh. 1).
Melalui ginjal: diuretik akut, renal salt wasting, muntah akut hipoaldosteron. 2). Melalui non-
ginjal: diare dan muntah lama yang - Peningkatan volume air bebas elektrolit (hipervolemia).
1). gagal jantung. 2). sirosis hati 3).hipoalbuminemia Volume sirkulasi efektif tidak turun. 1).
SIADH (Syndrome Inappropriate of ADH secretion).2). Adrenal insufisiensi. 3).
Hipotiroidisme.6
Penatalaksanaan Hiponatremia
Hipernatremia
Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium. Misalnya
pada pengeluaran air melalui 'insensible water loss'atau keringat keinginan minum.
Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya da latihan olahraga yang berat,
asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga meningkat dan air dari
ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam waktu
5-15 menit setelah istirahat.
Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah mengalami hipernatremia, karena
respons haus yang dalam timbul akan dijawab dengan asupan air yang meningkat sehingga
tidak terjadi hipernatremia. Hipernatrem bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik
misalnya pada orang dengan usia lanjut, diabetes insipidus (volume urin dapat 10 L) ia terjadi
plasma dan ka Kedua jantung Dalam keadaan hipotalamus yang normal serta fungsi ginjal
normal, hipernatremia akan menyebabkan osmolalitas urin menjadi lebih dari 700-800
mosmol/kg Dalam kaitan dengan hipernatremia, kita harus membedakan antara hipovolemia
dengan dehidrasi. Hipovolemia adalah keluarnya air bersama natrium HIPO cara seimbang
(isotonik) dari cairan ekstraselular tanpa perubahan kadar natrium plasma. Dehidrasi adalah
keluarnya air tanpa natrium (cairan hipotonik) Diseb kuran dari cairan ekstraseluler yang
mengakibatkan timbulnyag hipernatremia. Dengan kata lain, hipovolemia disertai engan
normonatremia sedang dehidrasi disertai dengan Pe Asupa berleb 3 Kali hipernatremia Gejala
Klinis cerna.6
Gejala Klinis
Timbul pada keadan peningkatan natrium plasma secara akut hingga di atas 158 meq/L.
Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar dari dalam
sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal
di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas, nasogast twitching,
kejang dan akhirnya koma. Kenaikan akut di atas bikarbona 180 meq/L dapat menimbulkan
kematian.6
Patogenesis.
Endotoksin.
Gejala Klinis
Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi sepsis berat dan menyebabkan kegagalan
multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat
kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status
konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada
pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi
dan deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis,
dan banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor.
Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan
resisten yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul
pada ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang
terjadi dan harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang mungkin.2
Diagnosis
Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran penyebab lain
yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG merupakan merupakan
salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas
walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini
tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik.
CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk
menyingkirkan adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh hipoksik/iskemik.
Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya ensefalopati
septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang
dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh selastroglial. S100B akan meningkat pada
serum dan cairan serebrospinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik
intrasitoplasmik enolase yang dapat ditemukan pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan
meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian sel saraf.2
Penatalaksanaan Pengobatan
ensefalopati septik secara khusus masih belum ada, penanganannya dilakukan dengan
penanganan sepsis pada umumnya.(7)Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu
lingkungan yang hangat, memberi pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan
demam. Kemudian dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif selama kurang
lebih 14 hari.2
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien
sirosis hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga
memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian
penting dalam perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas independen
pada pasien dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus yang berat dapat menjadi koma
atau meninggal. Mortalitas sangat tinggi pada EH dengan edema serebral. Mortalitas 1 tahun
pada pasien dengan EH berat di ICU adalah 54%, dengan pemberian dukungan inotropik, dan
acute kidney injury diidentifikasi sebagai prediktor independen pada kematian di ICU dan
mortalitas 1 tahun. Terapeutik terbaru dan strategi terapi telah dikembangkan sejak the
American College of Gastroenterology mengeluarkan guidelines mereka untuk manajemen
EH. EH adalah sebuah gangguan pada sistem saraf pusat sebagai akibat insufisiensi hepar,
setelah menyingkirkan penyebab lain, seperti metabolik, infeksi, vaskular intrakranial, atau
space-occupying lesions. EH merupakan suatu sindrom atau spektrum abnormalitas
neuropsikiatri pada pasien dengan disfungsi hepar, setelah menyingkirkan penyakit otak
lainnya. EH ditandai dengan perubahan personalitas, gangguan intelektual, dan penurunan
tingkat kesadaran. EH juga terjadi pada pasien tanpa sirosis dengan shunt portosistemik
spontan atau dibuat dengan bedah. EH yang mendampingi onset akut dari disfungsi sintetik
hepatik berat, merupakan ciri khas fulminant hepatic failure (FHF). Gejala ensefalopati pada
FHF dibagi derajatnya memakai skala yang sama dengan penilaian gejala ensefalopati pada
sirosis. Ensefalopati sirosis dan FHF memiliki banyak kesamaan mekanisme patogenik. Akan
tetapi, edema otak lebih berperan pada ensefalopati FHF daripada ensefalopati sirosis. Edema
otak pada FHF merupakan akibat dari peningkatan permeabilitas blood-brain barrier (BBB),
gangguan osmoregulasi otak, dan peningkatan cerebral blood flow (CBF). Sebaliknya, edema
otak jarang dilaporkan pada pasien dengan sirosis.1,2,6,7
Stroke
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global/general) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskuler.8,9
Epidemiologi
Insidens serangan stroke pertama sekitar 200 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden
stroke meningkat dengan bertambahnya usia. Konsekuensinya, dengan semakin panjangnya
angka harapan hidup, termasuk di Indonesia, akan semakin banyak pula kasus stroke
dijumpai. Perbandingan antara penderita pria dan wanita hampir sama. Prevalensi stroke
berkisar 5-12 per 1000 penduduk. yang meneliti prevalensi dari berbagai jenis penyakit
susunan saraf menemukan prevalensi stroke sebesar 800 per 100.000 penduduk.8
Ada beberapa macam klasifikasi stroke. Salah satu yang sering digunakan adalah
klasifikasi modifikasi Marshall, yang membagi stroke atas:
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya 1. Stroke Iskemik a. Transient
Ischemic Attack b. Trombosis serebri c. Emboli serebri 2. Stroke Hemoragik a.
Perdarahan intraserebral b. Redarahan subarakhnoid
Stroke iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli
serebri dan pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran
darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal. Emboli serebri
adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam
pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah. Pengurangan perfusi sistemik
dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses
perdarahan atau hipovolemik. Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah baik
di dalam jaringan otak yang mengakibatkan perdarahan intraserebral, atau di ruang
subarakhnoid yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid.8
Faktor Risiko
Faktor risiko stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk
menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama ditentukan
secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat
dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke
dalam keluarga dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok
yang kedua merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor
risiko utama yang termasuk kelompok kedua adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok,
hiperlipidemia dan intoksikasi alkohol. Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa
stroke adalah suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu
hal yang terjadi begitu saja, sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan.
Penelitian epidemiologis membuktikan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan
risiko seseorang untuk menderita stroke.8
Pemerisaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap untuk mendeteksi leukositosis, yang mungkin
menunjukkan penyebab infeksi dan menentukan apakah terdapat anemia. (Anemia
dapat berkontribusi pada keparahan perubahan mental.)
2. Pemeriksaan kalsium serum, fosfat, dan kadar PTH untuk menentukan adanya
hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan hiperparatiroidisme yang parah, yang
menyebabkan ensefalopati metabolik.
3. Kadar magnesium serum mungkin meningkat pada pasien dengan insufisiensi ginjal,
terutama jika pasien mengkonsumsi magnesium yang mengandung antasida.
Hipermagnesemia mungkin bermanifestasi sebagai ensefalopati.
4. Elektrolit, BUN, kreatinin, dan glukosa
a. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin terlihat pada ensefalopati uremik.
b. Pemeriksaan elektrolit serum dan pengukuran glukosa untuk menyingkirkan
hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan sindrom hiperosmolar
sebagai penyebab ensefalopati.
5. Kadar obat dalam darah
a. Menentukan kadar obat karena obat dapat terakumulasi pada pasien dengan
gagal ginjal dan berkontribusi untuk ensefalopati (misalnya, digoxin, lithium).
b. Beberapa obat tidak dapat dideteksi dan diekskresikan oleh ginjal. Ini juga
dapat terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal, sehingga terjadinya
ensefalopati (misalnya, penisilin, cimetidine, meperidin, baclofen).3
Pemeriksaan Radiologi
1. Pasien dengan gejala ringan, awalnya pasien diobati dengan dialisis dan diamati untuk
perbaikan neurologis.
2. Pasien dengan gejala parah
a. Pemeriksaan MRI atau CT scan kepala untuk pasien uremik dengan gejala
neurologis yang parah untuk menyingkirkan kelainan struktural (misalnya,
trauma serebrovaskular, massa intrakranial).
b. CT scan tidak menunjukkan adanya temuan karakteristik ensefalopati uremik.3
Pemeriksaan Lain
1. Elektroensefalogram
a. Pemeriksaan EEG biasanya dilakukan pada pasien dengan ensefalopati
metabolik. Temuan biasanya meliputi:
1. Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha
2. Disorganisasi
3. Semburan intermiten gelombang theta dan delta dengan aktivitas
latar belakang lambat.
b. Pengurangan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan penurunan fungsi
ginjal dan perubahan dalam fungsi otak. Setelah periode awal dialisis,
stabilisasi klinis mungkin terjadi saat temuan EEG tidak membaik. Akhirnya,
hasil EEG bergerak ke arah normal.
c. Selain dari EEG rutin, evoked potentials (EP) (yaitu, sinyal EEG yang terjadi
pada waktu reproduksi setelah otak menerima stimulus sensorik [misalnya,
visual, auditori, somatosensorik]) dapat membantu dalam mengevaluasi
ensefalopati uremik.
d. Gagal ginjal kronis memperpanjang waktu dari respon visual-evoked kortikal.
Respon auditory-evoked umumnya tidak berubah dalam uremia, tapi
keterlambatan dalam potensi kortikal dari respon somatosensory-evoked
memang terjadi.
2. Tes fungsi kognitif: Beberapa tes fungsi kognitif yang digunakan untuk mengevaluasi
ensefalopati uremik.
a. Uremia dapat mengakibatkan hasil buruk pada tes membuat-keputusan, yang
mengukur kecepatan psikomotor, tes memori terus menerus, yang mengukur
rekognisi jangka pendek, dan tes waktu reaksi pilihan, yang mengukur
membuat keputusan sederhana.
b. Perubahan dalam waktu reaksi pilihan tampaknya berkorelasi baik dengan
gagal ginjal.
3. Punksi lumbal
a. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan, namun dapat diindikasikan untuk
menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status mental pasien tidak
membaik setelah dialisis dimulai.
b. Tidak ada temuan CSF spesifik menunjukkan ensefalopati uremik.3
Penatalaksanaan
Hospitalisasi dan perawatan emergensi
Di rumah sakit, para staff akan menangani problem yang menyebabkan kondisi pasien
saat itu. Akan dilakukan pembuangan atau penetralisiran toksin yang ada dalam aliran darah.
Tujuannya adalah mengembalikan kondisi seperti semula. Namun, kerusakan otak masih
mungkin terjadi. Dalam beberapa kasus bahakan kerusakannya bersifat permanen.10
Medikamentosa
menetralisir toksin, menangani kondisi pasien, mencegah rekurensi. Tidak ada obat yang
spesifik untuk pengobatan ensefalopati, Pengobatan simtomatik untuk menurunkan gejala
seperti risperidon, citicolin, ulsafat, novalgin.10
Pantangan Diet
Pemberian makan melalui NGT ( Naso Gastric Tube ) diperlukan pada padien koma.10
Esefalopati uremik pada pasien dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis
merupakan indikasi untuk inisiasi terapi dialisis (yaitu, hemodialisis, dialisis peritoneal).
Setelah mulai dialisis, pasien umumnya membaik secara klinis, meskipun temuan EEG tidak
segera membaik. Pada pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal (ESRD), kelainan EEG
umumnya membaik setelah beberapa bulan tetapi mungkin tidak normal sepenuhnya.
Mengatasi faktor-faktor berikut ketika merawat ensefalopati uremik, yang juga termasuk
dalam perawatan standar dari setiap pasien dengan ESRD: Kecukupan dialysis, Koreksi
anemia, Pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat.3
Komplikasi
Pembengkakan otak, Kerusakan sistem saraf permanen, Peningkatan risiko gagal
jantung, gagal ginjal, kegagalan pernafasan dan sepsis (keracunan darah), Sepsis, Koma.3
Prognosis
Dengan terapi dialisis yang cepat kadar mortalitas adalah rendah.
Kesimpulan
Daftar Pustaka