Anda di halaman 1dari 20

Penegakkan Diagnosis serta Tatalaksana Metabolic Ensefalopati ec

Hiponatremi

Jerrymias Salimulyo Nugroho 102013416

Raditya Karunia Linanda 102016046

Ali Hanapiah 102016237

Riska Cerlyan Mustamu 102013302

Tezalonika Daranindra 102016021

Riska Devi Limbong 102016053

Elisa Violeta Siman 102016137

Audrey Fidelia 102016200

Nurul Iffah Syahirah Binti Amar 102016264

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida Semester V Angkatan2016


Jalan Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat
E-mail : Hanapiahali3@gmail.com
Abstrak
Ensefalopati adalah istilah untuk setiap penyakit menyebar dari otak yang mengubah
fungsi otak atau struktur. Ensefalopati dapat disebabkan oleh agen infeksi (bakteri, virus, atau
prion), atau mitokondria disfungsi metabolisme, tumor otak atau peningkatan tekanan dalam
tengkorak, kontak yang terlalu lama untuk unsur-unsur beracun (termasuk pelarut, obat-
obatan, radiasi, cat, bahan kimia industri, dan tertentu logam), trauma progresif kronis, gizi
buruk, atau kekurangan oksigen atau aliran darah ke otak. Tiga penyebab utama dari
ensefalopati adalah penyakit hati, penyakit ginjal, dan kekurangan oksigen di otak. Beberapa
jenis ensefalopati berdasarkan penyebabnya: Ensefalopati hepatik, yaitu ensefalopati akibat
kelainan fungsi hati. Ensefalopati uremik, yaitu ensefalopati akibat gangguan fungsi ginjal.
Ensefalopati hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan oksigen pada otak. Ensefalopati
wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin (vitamin B1), biasanya pada orang
yang keracunan alcohol. Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan
darah tinggi yang kronis. Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan bakteri
Salmonella penyebab sakit tipus.
Kata kunci: Ensefalopati, Penyebab Ensefalopati
Abstract
Encephalopathy is the term for every disease that spreads from the brain that
changes brain function or structure. Encephalopathy can be caused by infectious agents
(bacteria, viruses, or prions), or mitochondrial metabolic dysfunction, brain tumors or
increased pressure in the skull, prolonged exposure to toxic elements (including solvents,
drugs, radiation, paint, ingredients industrial chemistry, and certain metals), chronic
progressive trauma, poor nutrition, or lack of oxygen or blood flow to the brain. The three
main causes of encephalopathy are liver disease, kidney disease, and lack of oxygen in the
brain. Several types of encephalopathy are based on the cause: hepatic encephalopathy,
encephalopathy due to liver function abnormalities. Uremic encephalopathy, encephalopathy
due to impaired renal function. Hypoxic encephalopathy, encephalopathy due to lack of
oxygen in the brain. Wernicke encephalopathy, which is encephalopathy due to lack of
thiamine (vitamin B1), usually in people who are poisoned by alcohol. Hypertensive
encephalopathy, encephalopathy due to chronic high blood pressure. Salmonella
encephalopathy, which is encephalopathy caused by Salmonella bacteria that causes typhoid.

Keywords: encephalopathy, causes of encephalopathy

Pendahuluan

Ensefalopati adalah istilah untuk setiap penyakit menyebar dari otak yang mengubah
fungsi otak atau struktur. Ensefalopati dapat disebabkan oleh agen infeksi (bakteri, virus, atau
prion), atau mitokondria disfungsi metabolisme, tumor otak atau peningkatan tekanan dalam
tengkorak, kontak yang terlalu lama untuk unsur-unsur beracun (termasuk pelarut, obat-
obatan, radiasi, cat, bahan kimia industri, dan tertentu logam), trauma progresif kronis, gizi
buruk, atau kekurangan oksigen atau aliran darah ke otak. Ensefalopati dapat juga disebabkan
oleh penyakit parah dan negara-negara maju, infeksi, atau sebagai akibat dari mengkonsumsi
obat-obatan tertentu.1

Tiga penyebab utama dari ensefalopati adalah penyakit hati, penyakit ginjal, dan
kekurangan oksigen di otak. Gejala-gejala yang terkait dapat mencakup perubahan
kepribadian halus, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kelesuan, progresif kehilangan
memori dan kemampuan berpikir, kehilangan kesadaran progresif, dan gerakan spontan yang
abnormal. Gejala bervariasi dengan keparahan dan jenis ensefalopati.1

Ensefalopati dapat bervariasi dalam tingkat keparahan dari hanya perubahan halus
dalam kondisi mental ke keadaan yang lebih maju yang dapat menyebabkan koma. Penyebab
utama kematian terkait termasuk sepsis, runtuh peredaran darah, dan kegagalan otak yang
berhubungan dengan sindrom meliputi edema serebral, rusak darah-otak-hambatan,
meningkatkan tekanan intrakranial, batang otak herniasi, dan / atau neurotoksin bocor ke otak
dan membunuh sel-sel otak. Selain itu, pasien dengan ensefalopati berat biasanya
mengembangkan hipertensi intrakranial, yang dapat menghasilkan iskemia serebral dan
herniasi otak cedera.1

Ciri ensefalopati adalah kondisi mental berubah. Tergantung pada jenis dan tingkat
keparahan ensefalopati, gejala neurologis progresif umum adalah hilangnya memori dan
kemampuan kognitif, perubahan kepribadian halus, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi,
kelesuan, dan kehilangan kesadaran progresif. Gejala-gejala neurologis lainnya termasuk
nystagmus, tremor, otot atrofi dan kelemahan, demensia, kejang, dan kehilangan kemampuan
untuk menelan atau berbicara. Tes darah, cairan tulang belakang pemeriksaan, pencitraan,
electroencephalograms, dan studi diagnostik yang sama dapat digunakan untuk membedakan
berbagai penyebab ensefalopati.1

Anatomi Sistem Saraf

Sistem saraf tersusun menjadi susunan saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan
medulla spinalis dan susunan saraf tepi (SST), yang terdiri dari seratserat saraf yang
membawa informasi antara SSP dan bagian tubuh lain (perifer). System saraf tepi dibagi lagi
menjadi divisi aferen dan eferen. Divisi aferen membawa informasi ke SSP, member tahu
tentang lingkungan eksternal dan aktivitas internal yang sedang diatur oleh susunan saraf.
Instruksi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke organ efektor-otot dan kelenjar yang
melaksanakan perintah agar dihasilkan efek yang sesuai. Sistem saraf terdiri dari jaringan
saraf, yang selnya padat dan ketat dan saling terkait. Meskipun sangat kompleks, jaringan
saraf hanya terdiri dari dua jenis sel utama, yaitu neuron (sel-sel saraf) dan neuroglia (sel
pendukung/insulator/pelindung sel saraf).2
Ensefalopati

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak
menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi
kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga
beberapa hari), secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal,
halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum
meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan
perubahan umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma.Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang
menunjukkan penyebab dari kelainan otak tersebut.Beberapa jenis ensefalopati berdasarkan
penyebabnya:

a) Ensefalopati hepatik, yaitu ensefalopati akibat kelainan fungsi hati.

b) Ensefalopati uremik, yaitu ensefalopati akibat gangguan fungsi ginjal.

c) Ensefalopati hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan oksigen pada otak.

d) Ensefalopati wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin (vitamin B1),
biasanya pada orang yang keracunan alcohol.

e) Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan darah tinggi yang
kronis.
f) Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan bakteri Salmonella penyebab
sakit tipus.2

Epidemiologi

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan
pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan
bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran
hidup atau berkisar 2,64%.(1)Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur
menunjukkan angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.
Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi
60% pada negara berkembang berkaitan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.2

Etiologi

Penyebab ensefalopati keduanya banyak dan beragam. Beberapa contoh penyebab


ensefalopati meliputi : a) menular (bakteri, virus, parasit, atau prion). b) anoxic (kekurangan
oksigen ke otak, termasuk penyebab traumatis), c) beralkohol (toksisitas alkohol). d) hepatik
(misalnya, gagal hati atau kanker hati). e) uremik (ginjal atau gagal ginjal). f) Penyakit
metabolik (hiper atau hipokalsemia, hipo- atau hipernatremia, atau hipo- atau hiperglikemia).
g) tumor otak. h) banyak jenis bahan kimia beracun (merkuri, timbal, atau amonia). i)
perubahan tekanan dalam otak (sering dari perdarahan, tumor, atau abses). j) gizi buruk
(vitamin yang tidak memadai asupan B1 atau penarikan alkohol).2

Klasifikasi

Ensefalopati akibat metabolik

Definisi dan Klasifikasi Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai dasarnya


merupakan masalah baik bagi neonatus maupun anak, dengan outcome fungsional
bergantung pada waktu dan intervensi yang hati-hati. Ensefalopati metabolik adalah
pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan: 1) Penurunan kesadaran sedang
sampai berat. 2) Gangguan neuropsikoatrik kejang, lateralisasi. 3) Kelainan fungsi
neurotransmitter otak. 4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas. Gangguan
metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi renal dan gangguan
metabolik. Gangguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi hepar, sehingga yang
dibahas dalam referat kali ini adalah ensefalopati hepatik. Kerusakan genetik dari
metabolism dapat menimbulkan bayi dengan ensefalopati yang berat dari hanya
hiperammonemia saja. Ketika kerusakan metabolik terjadi setelah beberapa bulan hingga
tahun kemudian, derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit kerusakan metabolik tersebut.
Pada hepatitis akut maupun fulminan karena beberapa etiologi (misalnya infeksi, obat,
toksik) peningkatan ammonia serum mungkin hanya sedang tapi faktor lain yang
berkontribusi terjadinya ensefalopati yang dapat terjadi dalam beberapa hari. Varian ketiga,
ensefalopati berat dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik. Edema serebral yang sangat
berkaitan dengan ketoasidosis diabetik.2-4

Patofisiologi

Teori Amonia Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung
jawab dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan
termasuk ginjal dan otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang
berasal dari bakteri pada kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang
normal, berkisar 80-90% ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama. Ekskresi
berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik maupun akut. Mekanisme
hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih belum terlalu jelas, penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia pada sel hepatosit yang
mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga
menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada astrosit
menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya
pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika
adanya pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar serum
ammonia lebih dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan
perbaikan tingkat ensefalopati hepatik. Penelitian eksperimental menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara kadar glutamine pada cairan serebro spinal dengan
derajat ensefalopati hepatik, tetapi kerusakan fungsi kognitif seperti memori episodik,
perhatian berkesinambungan yang terjadi pada ensefalopati hepatik menunjukkan hubungan
dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa dengan tes psikometrik komputer.2

Teori kesalahan neurotransmiter Neurotransmiter serebral diregulasi oleh


konsentrasi asam amino dan prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan
disfungsi hepar berat, konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatik (AAA) yaitu
triptopan, tyrosin dan phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai
ganda (leucine,isoleucine dan valine) menurun, akibatnya terjadi produksi neurotransmiter
yang salah (octopamide dan phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi
ensefalopati hepatik.2

Gejala Klinis

Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan berdasarkan


kriteria. West Haven berkisar dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi kognitif dan
koma dalam.2

Penatalaksaan

Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah
perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang mempercepat,
mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi
jangka panjang. Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu infeksi. Kultur
cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites sebaiknya dilakukan
parasentesis diagnostik. Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya
adalah keseimbangan cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik,
karena adanya hidrasi yang kurang 16 maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan
yang sering dilakukan pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari
maintenance.Status hidrasi sebaiknya dimonitor dengan menggunakan tekanan vena
sentral,dengan target 6-8cm H2O.Monitoring urin juga diperlukan untuk memonitoring
hidrasi,dan indikator fungsi renal.Pemberian cairan secara intra vena sebagai media
pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan ensefalopati terganggu.2

Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolik adalah terutama dengan memberi


pengobatan sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati. Selain itu bila memiliki
penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan rutin untuk mencegah terjadinya
enefalopati.2

Prognosis
Ensefalopati hepatik merupakan penyakit hati stadium terminal dengan tanda
prognostik yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam waktu
satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga tiga tahun2

Berdasarkan Penyebab Metabolik Ensefalopati

Uremikum/uremia

Adalah kelainan otak organik yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut
maupun kronik. Di Indonesia jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50 orang
per satu juta penduduk. Pasien wanita 51 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 5
hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien diobservasi di unit gawat darurat (UGD)
selama 2 hari. Pasien tidak sadar dan demam sepanjang hari disertai keringat di malam hari.
Pasien tidak buang air besar dan buang air kecil mengompol. Pasien dipasang kateter namun
jumlah urin hanya sedikit. Pasien dianjurkan menjalani cuci darah segera selama 2 jam atas
indikasi keadaan klinis yang buruk dan uremia. Pasien telah menjalani cuci darah selama 1
jam dan kondisi pasien menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran koma,
tekanan darah 80/60 mmHg, nadi: 112 x/menit, pernafasan: 36x/menit, suhu: 38,7 °C,
pemeriksaan laboraturium dengan hasil Hb: 11,9 gr%, LED: 10 mm/jam, Leukosit:
15.050/uL, ureum: 289, kreatinin: 5,3, LFG: 7,95. Pasien didiagnosa dengan penurunan
kesadaran et causa (ec) ensefalopati uremikum + Gagal Ginjal Kronis (GGK) + Syok sepsis.
Pada pasien diberikan tatalaksana suportif dan medikamentosa.3-5

Hypoglikemik

Metabolisme otak merupakan metabolisme oksidatif yang mendapatkan energinya


dari glukosa untuk membentuk ATP dan phosphocreatine yang memberikan energi untuk
kerja potensial membran, transmisi impuls neuronal, dan sintesis protoplasma. Kurangnya
asupan glukosa akan menyebabkan penurunan produksi energi untuk metabolisme neuron,
yang akan mengakibatkan hilangnya mekanisme pompa membran, sehingga menyebabkan
terjadinya pembengkakan sel dan disfungsi mitokondria dimana sampai titik tertentu
kerusakan ini akan bersifat irreversible. Karakteristik koma hipoglikemia ini dituangkan
dalam TRIAS WHIPPLE, yaitu :
1. Gejala – gejala hipoglikemia
- Gejala adrenergik : takikardia, palpitasi, tremor, berkeringat, midriasis
- Gejala neurogenik : mengantuk, delirium, stupor, koma, kejang, sulit
berbicara, inkoordinasi, perilaku yang berbeda, gangguan visual
- Gejala tambahan : Sakit kepala, mual
2. Kadar gula darah yang rendah pada saat gejala
3. Gejala klinis akan membaik bila kadar gula darah kembali normal
Kadar gula darah dibawah 65 mg/dl mulai menimbulkan gangguan kesadaran yang ringan
(confusion), bila kondisi ini terus berlanjut hingga dibawah 40 mg/dl kesadaran akan semakin
menurun dan kejang dapat timbul. Penurunan kadar gula darah dibawah 10 mg/dl akan
menyebabkan neuron – neuron menjadi tidak berfungsi dan menyebabkan koma. Kondisi ini
disebut sebagai neuroglycopenia. Mekanisme kerusakan neuron secara permanen tidak
diketahui secara pasti, namun penelitian menunjukan bahwa disfungsi metabolisme
asetilkolin atau peningkatan level aspartat menuju menyebabkan eksitasi neuron secara
berlebihan. Eksitasi ini akan menyebabkan influx calcium dan memulai terjadinya cascade
nekrosis dan apoptosis neuron. Mekanisme lain yang dapat terjadi adalah terjadinya bengkak
otak yang bersifat vasogenik ataupun sitotoksik. Ketidak hati-hatian dalam menangani
hipoglikemia sering mengakibatkan stupor dan koma yang bila tidak ditangani dengan baik
akan meyebabkan kerusakan permanen sel – sel saraf.2

Hiponatremia

Respons fisiologis dari hiponatremia (osmolalitas plasma rendah, kurang dari 290
mosm/kg H20) adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin
meningkat oleh karena saluran air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes berkurang
(osmolalitas urin rendah, kurang dari 100 mosm/kg H20). Hiponatremia terjadi bila : a).
Jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi, b). Ketidakmampuan menekan sekresi
ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis
hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate ADH secretion) Berdasarkan prinsip di
atas maka hiponatremia dapat dikelompokkan atas Hiponatremia dengan osmolalitas plasma
rendah . serta ADH meningkat .Pada keadaan ini terjadi gangguan pemekatan di nefron
sehingga osmolalitas urin meningkat, lebih dari 100 mosm/kg H20. ADH yang meningkat
oleh karena deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada muntah, diare, pendarahan, jumlah
urin meningkat, pada gagal jantung, sirosis hati, insufisiensi adrenal, hipotiroidisme - ADH
yang meningkat pada SIADH Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah . serta ADH
tertekan fisiologis. Pada keadaan ini tidak ada gangguan pemekatan di nefron sehingga
osmolalitas urin rendah, kurang dari . 100 mosm/kg H20. .Polidipsia primer atau gagal ginjal
merupakan keadaan di mana ekskresi air lebih rendah dibanding dengan asupan air yang
menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH Hiponatremia dengan osmolalitas
plasma normal atau tinggi Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemi atau
pemberian manitol intra vena menyebabkan air intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi
cairan ekstrasel yang - menyebabkan hiponatremia Pemberian cairan isoosmotik tidak
mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai
osmolalitas - plasma normal, Pseudohiponatremia, pada keadaan hiperlipidernia atau
hiperproteinemia dimana menyebabkan volume air plasma berkurang. Jumlah natrium
tetap,osmolalitas normal akan tetapi secara total dalam cairan intravaskular kadar natrium
jadi berkurang Pada hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH meningkat,
dapat dibagi dalam Volume sirkulasi efektif turun. - Na keluar berlebihan dari tubuh. 1).
Melalui ginjal: diuretik akut, renal salt wasting, muntah akut hipoaldosteron. 2). Melalui non-
ginjal: diare dan muntah lama yang - Peningkatan volume air bebas elektrolit (hipervolemia).
1). gagal jantung. 2). sirosis hati 3).hipoalbuminemia Volume sirkulasi efektif tidak turun. 1).
SIADH (Syndrome Inappropriate of ADH secretion).2). Adrenal insufisiensi. 3).
Hipotiroidisme.6

Penatalaksanaan Hiponatremia

Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab terjadinya hiponatremia


dengan cara .Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah penggunaan diuretis,
penggunaan manitol) . Pemeriksaan fisis yang teliti (antara lain apakah ada tanda tanda
hipovolemi atau bukan), Langkah selanjutnya adalah melakukan pengob Perlu dibedakan
apakah kejadian hiponatremia, aku yang tepat sasaran. atau kronik. . Tanda atau penyakit lain
yang menyertai hiponatre perlu dikenali (hipovolemia, dan hipervolemia pada gagal jantung,
gagal ginjal) . Hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan sec cepat dengan pemberian larutan
natrium hipert onik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar
natrium awal dalam waktu 1 jam. Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1
meq/L setiap 1 jam sampai kadar natrium darah mencapai 130 meq/L. Rumus yang dipakai
untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberikan adalah 0,5
x Berat Badan (kg) x delta Na. Delta natrium adalah selisih antara kadar natrium yang
diinginkan denga kadar natrium awal. . Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara
perlahan yaitu sebesar 0,5 meq/L setiap 1 jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam. Bila delta
Na sebesar 8 meq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai
adalah sama dengan di atas. Natrium yang diberikan dapat dalam bentuk natrium hipertonik
intravena atau natrium oral.6

Hipernatremia

Respons fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH dari


hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran air (AQP2) di bagian
apikal duktus koligentes bertambah sehingga osmolalitas urin meningkat.2

Hipernatremia terjadi bila:

Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium. Misalnya
pada pengeluaran air melalui 'insensible water loss'atau keringat keinginan minum.

Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan m tubuh misalnya koreksi


bikarbonat berlebihan ada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi deplesi volume
sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan dalam urin menyebabkan kadar Na
dalam urin lebih dari 100 meq/L.

Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya da latihan olahraga yang berat,
asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga meningkat dan air dari
ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam waktu
5-15 menit setelah istirahat.

Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah mengalami hipernatremia, karena
respons haus yang dalam timbul akan dijawab dengan asupan air yang meningkat sehingga
tidak terjadi hipernatremia. Hipernatrem bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik
misalnya pada orang dengan usia lanjut, diabetes insipidus (volume urin dapat 10 L) ia terjadi
plasma dan ka Kedua jantung Dalam keadaan hipotalamus yang normal serta fungsi ginjal
normal, hipernatremia akan menyebabkan osmolalitas urin menjadi lebih dari 700-800
mosmol/kg Dalam kaitan dengan hipernatremia, kita harus membedakan antara hipovolemia
dengan dehidrasi. Hipovolemia adalah keluarnya air bersama natrium HIPO cara seimbang
(isotonik) dari cairan ekstraselular tanpa perubahan kadar natrium plasma. Dehidrasi adalah
keluarnya air tanpa natrium (cairan hipotonik) Diseb kuran dari cairan ekstraseluler yang
mengakibatkan timbulnyag hipernatremia. Dengan kata lain, hipovolemia disertai engan
normonatremia sedang dehidrasi disertai dengan Pe Asupa berleb 3 Kali hipernatremia Gejala
Klinis cerna.6
Gejala Klinis

Timbul pada keadan peningkatan natrium plasma secara akut hingga di atas 158 meq/L.
Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar dari dalam
sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal
di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas, nasogast twitching,
kejang dan akhirnya koma. Kenaikan akut di atas bikarbona 180 meq/L dapat menimbulkan
kematian.6

Ensefalopati akibat infeksi

Definisi Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis, meningoensefalitis,


ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri menyebabkan
meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi dan pada
pasien yang mengalami imunosupresi. Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan,
dimana pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi
langsung di dalam parenkim otak. Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global
seperti koma atau status epileptikus. Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik atau
antiviral yang sesuai menjadi penting.2

Patogenesis.

Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan diajukan


sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin dan
mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan cairan serebrospinal,
perubahan asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stress oksidatif dan eksitotoksisitas
akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya adalah multifaktorial.2

Endotoksin.

Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah satu penyebab


disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan
akan bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak dilindungi
oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor
menyerupai toll, menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan nitrit okside dari
mikroglia dan astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi
sitokin inflamasi, IL-6 dari monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan
menginduksi ekspresi mediator inflamasi.Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit
perifer akan mensekresi sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL-1, TNF α, dan IL-6 yang
memegang peranan penting dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator
tersebut dapat menginduksi cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis
prostaglandin E2 yang bertanggung jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-
adrenal akan berlaku demam dan perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade komplemen,
diantaranya anafilaktoksin C5a juga dikaitkan dengan disfungsi otak selama sepsis,
kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan sawar darah otak. Mereka akan menginduksi
ekspresi dari molekul adhesi pada sel endotelial mikrovasel otak, mereka juga menginduksi
sekresi sitokin proinflamasi dan nitrit oxide syntase (NOS). Aktifasi endotelial
menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan kerusakan sawar darah otak dengan
konsekuensi selanjutnya akan terbentuk edema otak vasogenik. Kaki astrosit disekitar
pembuluh darah korteks akan mengalami pembengkakan dan akan terjadi ruptur
membran dan melepaskan dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki astrosit
merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah otak. Edema otak yang
terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan dengan hilangnya autoregulasi
dibandingkan dengan kerusakan sawar darah otak meskipun jika edema vasogenik awal
dapat menjadi edema sitotoksik.2

Gejala Klinis

Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi sepsis berat dan menyebabkan kegagalan
multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat
kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status
konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada
pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi
dan deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis,
dan banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor.
Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan
resisten yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul
pada ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang
terjadi dan harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang mungkin.2

Diagnosis
Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran penyebab lain
yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG merupakan merupakan
salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas
walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini
tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik.
CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk
menyingkirkan adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh hipoksik/iskemik.
Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya ensefalopati
septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang
dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh selastroglial. S100B akan meningkat pada
serum dan cairan serebrospinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik
intrasitoplasmik enolase yang dapat ditemukan pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan
meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian sel saraf.2

Penatalaksanaan Pengobatan

ensefalopati septik secara khusus masih belum ada, penanganannya dilakukan dengan
penanganan sepsis pada umumnya.(7)Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu
lingkungan yang hangat, memberi pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan
demam. Kemudian dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif selama kurang
lebih 14 hari.2

Ensefalopati hepatik (EH)

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien
sirosis hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga
memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian
penting dalam perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas independen
pada pasien dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus yang berat dapat menjadi koma
atau meninggal. Mortalitas sangat tinggi pada EH dengan edema serebral. Mortalitas 1 tahun
pada pasien dengan EH berat di ICU adalah 54%, dengan pemberian dukungan inotropik, dan
acute kidney injury diidentifikasi sebagai prediktor independen pada kematian di ICU dan
mortalitas 1 tahun. Terapeutik terbaru dan strategi terapi telah dikembangkan sejak the
American College of Gastroenterology mengeluarkan guidelines mereka untuk manajemen
EH. EH adalah sebuah gangguan pada sistem saraf pusat sebagai akibat insufisiensi hepar,
setelah menyingkirkan penyebab lain, seperti metabolik, infeksi, vaskular intrakranial, atau
space-occupying lesions. EH merupakan suatu sindrom atau spektrum abnormalitas
neuropsikiatri pada pasien dengan disfungsi hepar, setelah menyingkirkan penyakit otak
lainnya. EH ditandai dengan perubahan personalitas, gangguan intelektual, dan penurunan
tingkat kesadaran. EH juga terjadi pada pasien tanpa sirosis dengan shunt portosistemik
spontan atau dibuat dengan bedah. EH yang mendampingi onset akut dari disfungsi sintetik
hepatik berat, merupakan ciri khas fulminant hepatic failure (FHF). Gejala ensefalopati pada
FHF dibagi derajatnya memakai skala yang sama dengan penilaian gejala ensefalopati pada
sirosis. Ensefalopati sirosis dan FHF memiliki banyak kesamaan mekanisme patogenik. Akan
tetapi, edema otak lebih berperan pada ensefalopati FHF daripada ensefalopati sirosis. Edema
otak pada FHF merupakan akibat dari peningkatan permeabilitas blood-brain barrier (BBB),
gangguan osmoregulasi otak, dan peningkatan cerebral blood flow (CBF). Sebaliknya, edema
otak jarang dilaporkan pada pasien dengan sirosis.1,2,6,7

Stroke

Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global/general) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskuler.8,9

Epidemiologi

Insidens serangan stroke pertama sekitar 200 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden
stroke meningkat dengan bertambahnya usia. Konsekuensinya, dengan semakin panjangnya
angka harapan hidup, termasuk di Indonesia, akan semakin banyak pula kasus stroke
dijumpai. Perbandingan antara penderita pria dan wanita hampir sama. Prevalensi stroke
berkisar 5-12 per 1000 penduduk. yang meneliti prevalensi dari berbagai jenis penyakit
susunan saraf menemukan prevalensi stroke sebesar 800 per 100.000 penduduk.8

Klasifikasi dan Penyebab Stroke

Ada beberapa macam klasifikasi stroke. Salah satu yang sering digunakan adalah
klasifikasi modifikasi Marshall, yang membagi stroke atas:
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya 1. Stroke Iskemik a. Transient
Ischemic Attack b. Trombosis serebri c. Emboli serebri 2. Stroke Hemoragik a.
Perdarahan intraserebral b. Redarahan subarakhnoid

II. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu 1. Transient Ischemic Attack 2. Stroke in


evolution 3. Completed stroke

III. Berdasarkan sistem pembuluh darah 1. Sistem karotis 2. Sistem vertebro-basiler

Stroke iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli
serebri dan pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran
darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal. Emboli serebri
adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam
pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah. Pengurangan perfusi sistemik
dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses
perdarahan atau hipovolemik. Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah baik
di dalam jaringan otak yang mengakibatkan perdarahan intraserebral, atau di ruang
subarakhnoid yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid.8

Faktor Risiko
Faktor risiko stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk
menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama ditentukan
secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat
dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke
dalam keluarga dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok
yang kedua merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor
risiko utama yang termasuk kelompok kedua adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok,
hiperlipidemia dan intoksikasi alkohol. Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa
stroke adalah suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu
hal yang terjadi begitu saja, sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan.
Penelitian epidemiologis membuktikan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan
risiko seseorang untuk menderita stroke.8

Pemerisaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap untuk mendeteksi leukositosis, yang mungkin
menunjukkan penyebab infeksi dan menentukan apakah terdapat anemia. (Anemia
dapat berkontribusi pada keparahan perubahan mental.)
2. Pemeriksaan kalsium serum, fosfat, dan kadar PTH untuk menentukan adanya
hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan hiperparatiroidisme yang parah, yang
menyebabkan ensefalopati metabolik.
3. Kadar magnesium serum mungkin meningkat pada pasien dengan insufisiensi ginjal,
terutama jika pasien mengkonsumsi magnesium yang mengandung antasida.
Hipermagnesemia mungkin bermanifestasi sebagai ensefalopati.
4. Elektrolit, BUN, kreatinin, dan glukosa
a. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin terlihat pada ensefalopati uremik.
b. Pemeriksaan elektrolit serum dan pengukuran glukosa untuk menyingkirkan
hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan sindrom hiperosmolar
sebagai penyebab ensefalopati.
5. Kadar obat dalam darah
a. Menentukan kadar obat karena obat dapat terakumulasi pada pasien dengan
gagal ginjal dan berkontribusi untuk ensefalopati (misalnya, digoxin, lithium).
b. Beberapa obat tidak dapat dideteksi dan diekskresikan oleh ginjal. Ini juga
dapat terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal, sehingga terjadinya
ensefalopati (misalnya, penisilin, cimetidine, meperidin, baclofen).3

Pemeriksaan Radiologi

1. Pasien dengan gejala ringan, awalnya pasien diobati dengan dialisis dan diamati untuk
perbaikan neurologis.
2. Pasien dengan gejala parah
a. Pemeriksaan MRI atau CT scan kepala untuk pasien uremik dengan gejala
neurologis yang parah untuk menyingkirkan kelainan struktural (misalnya,
trauma serebrovaskular, massa intrakranial).
b. CT scan tidak menunjukkan adanya temuan karakteristik ensefalopati uremik.3

Pemeriksaan Lain

1. Elektroensefalogram
a. Pemeriksaan EEG biasanya dilakukan pada pasien dengan ensefalopati
metabolik. Temuan biasanya meliputi:
1. Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha
2. Disorganisasi
3. Semburan intermiten gelombang theta dan delta dengan aktivitas
latar belakang lambat.
b. Pengurangan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan penurunan fungsi
ginjal dan perubahan dalam fungsi otak. Setelah periode awal dialisis,
stabilisasi klinis mungkin terjadi saat temuan EEG tidak membaik. Akhirnya,
hasil EEG bergerak ke arah normal.
c. Selain dari EEG rutin, evoked potentials (EP) (yaitu, sinyal EEG yang terjadi
pada waktu reproduksi setelah otak menerima stimulus sensorik [misalnya,
visual, auditori, somatosensorik]) dapat membantu dalam mengevaluasi
ensefalopati uremik.
d. Gagal ginjal kronis memperpanjang waktu dari respon visual-evoked kortikal.
Respon auditory-evoked umumnya tidak berubah dalam uremia, tapi
keterlambatan dalam potensi kortikal dari respon somatosensory-evoked
memang terjadi.
2. Tes fungsi kognitif: Beberapa tes fungsi kognitif yang digunakan untuk mengevaluasi
ensefalopati uremik.
a. Uremia dapat mengakibatkan hasil buruk pada tes membuat-keputusan, yang
mengukur kecepatan psikomotor, tes memori terus menerus, yang mengukur
rekognisi jangka pendek, dan tes waktu reaksi pilihan, yang mengukur
membuat keputusan sederhana.
b. Perubahan dalam waktu reaksi pilihan tampaknya berkorelasi baik dengan
gagal ginjal.
3. Punksi lumbal
a. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan, namun dapat diindikasikan untuk
menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status mental pasien tidak
membaik setelah dialisis dimulai.
b. Tidak ada temuan CSF spesifik menunjukkan ensefalopati uremik.3

Penatalaksanaan
Hospitalisasi dan perawatan emergensi

Di rumah sakit, para staff akan menangani problem yang menyebabkan kondisi pasien
saat itu. Akan dilakukan pembuangan atau penetralisiran toksin yang ada dalam aliran darah.
Tujuannya adalah mengembalikan kondisi seperti semula. Namun, kerusakan otak masih
mungkin terjadi. Dalam beberapa kasus bahakan kerusakannya bersifat permanen.10

Medikamentosa

Obat-obatan yang digunakan adalah untuk :

menetralisir toksin, menangani kondisi pasien, mencegah rekurensi. Tidak ada obat yang
spesifik untuk pengobatan ensefalopati, Pengobatan simtomatik untuk menurunkan gejala
seperti risperidon, citicolin, ulsafat, novalgin.10

Pantangan Diet

Dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan rendah protein untuk menurunkan level


amonia dalam darah karena tubuh memproduksi amonia saat metabolisme dan menggunakan
protein. Diet lainnya disesuaikan dengan kondisi dan penyebab.

Pemberian makan melalui NGT ( Naso Gastric Tube ) diperlukan pada padien koma.10

Esefalopati uremik pada pasien dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis
merupakan indikasi untuk inisiasi terapi dialisis (yaitu, hemodialisis, dialisis peritoneal).
Setelah mulai dialisis, pasien umumnya membaik secara klinis, meskipun temuan EEG tidak
segera membaik. Pada pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal (ESRD), kelainan EEG
umumnya membaik setelah beberapa bulan tetapi mungkin tidak normal sepenuhnya.
Mengatasi faktor-faktor berikut ketika merawat ensefalopati uremik, yang juga termasuk
dalam perawatan standar dari setiap pasien dengan ESRD: Kecukupan dialysis, Koreksi
anemia, Pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat.3

Komplikasi
Pembengkakan otak, Kerusakan sistem saraf permanen, Peningkatan risiko gagal
jantung, gagal ginjal, kegagalan pernafasan dan sepsis (keracunan darah), Sepsis, Koma.3

Prognosis
Dengan terapi dialisis yang cepat kadar mortalitas adalah rendah.

Kesimpulan

Daftar Pustaka

1. Kaur R, ENSEFALOPATI, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran


Unifersitas Hasanuddin Makassar, 2010.
2. Ensefalopati. [serial 101262]. 2013. [cited] 29 Oktober 2018. Diunduh dari : Charles
Patrick Davis http://www.medicinenet.com.encephalopath.
3. Lohr JW. Uremic Encephalopathy. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview.

4. Katpar AA. Uremic Encephalopathy. Diunduh dari


http://www.slideshare.net/dkatpar/uremic-encephalopathy.
5. Hasianna SFR,Sari MI. Ensefalopati Uremikum pada Gagal Ginjal Kronis, J Medula
Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017...............................................
6. Suyoso, Mustika S, Achmad H. Ensefalopati Hepatik pada Sirosis Hati: Faktor
Presipitasi dan Luaran Perawatan di RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, No. 4, Agustus 2015
7. Caropeboka MD. Ensefalopati Hepatikum pada Pasien Sirosis Hepatis. Medula,
Volume 1, Nomor 4, Oktober 2013
8. Aldy S. Rambe Stroke: Sekilas Tentatng Definisi, Penyebab, Efek, dan Faktor Risiko.
Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik, Medan.
9. Riyadina W, Rahajeng E. Determinan Penyakit Stroke, Artikel Penelitian. Kesmas,
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 7, Februari 2013.
10. Roslan NB. Ensefalopati Metabolik. Ilmu penyakit syaraf rumah sakit Umum
Frmawati, Universitas Trisakti 11 Mey 2013.

Anda mungkin juga menyukai