Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada
anak dan semakin hari kejadiannya semakin meningkat. Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi
baik indoor maupun outdoor. Keadaan ini meningkatkan hiperesponsif saluran nafas,
rinitis alergi dan atopi akibat zat polutan dan secara tidak langsung meningkatkan
terjadinya asma baik prevalens, morbiditas dan mortalitasnya. Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada
usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama(1).
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas yang
mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga apabila terangsang oleh
faktor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena
konstriksi bronkus, sumbatan mukus, dan meningkatnya proses radang(2).
Gejala batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman,
setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun
keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma. Untuk sampai
pada diagnosis asma perlu suatu pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau
pemberian obat bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk melihat respons
pengobatan, bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus dengan
histamin atau metakolin(1).
Faktor pencetus asma terdiri dari faktor pencetus alergenik dan non alergenik.
Faktor pencetus alergenik berupa tungau debu rumah dan makan tertentu, umumnya
lebih banyak terdapat pada anak. Faktor pencetus non-alergenik berupa polusi udara
(asap rokok), perubahan cuaca , latihan fisik (exercise), emosional, biasanya lebih
banyak pada dewasa(3).

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny.F
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Sawah Lama
Tanggal Pemeriksaan : 12 Maret 2019

2.2 Anamnesa
 Keluhan Utama : Sesak nafas
 Keluhan Tambahan : Batuk
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas Kampung Sawah dengan keluhan sesak nafas
sejak 1 hari sebelumnya. Sesak nafas timbul akibat cuaca dingin dan setelah
melakukan aktivitas berat. Sesak nafas dirasakan berkurang saat istirahat.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 1 hari yang lalu. Batuk terutama timbul
pada malam hari yang menyebabkan pasien sering terbangun di malam hari,
batuk berdahak dan dahak berwarna kekuningan. Riwayat demam disangkal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita asma dengan pemicu aktivitas berat dan cuaca dingin, ≤
1 kali serangan dalam seminggu.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang menderita hal yang sama dengan pasien.
 Riwayat pemakaian obat
Salbutamol

2
2.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Heart rate : 98 x / menit
Respiratory rate : 38 x / menit, vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
whezing (+/+), stridor (-/-)
Temperatur : 36.9˚C
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 158 cm
Status gizi : Gizi baik

b. Status General
Kulit
Warna : Coklat
Turgor : Kembali cepat
Ikterus : (-)
Pucat : (-)
Kepala
Mata : Konjungtiva pucat (- /-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+)
Telinga : Normotia, Serumen (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), NCH (+/+)
Mulut : Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Lidah : Beslag (-)
Geligi : Karies (-)
Faring : Hiperemis (-)
Leher : Retraksi suprasternal (-),Pembesaran KGB (-)

3
Paru – Paru
Depan Kanan Kiri
Simetris, retraksi Simetris , retraksi
Inspeksi
epigastrium (+) epigastrium (+)
Palpasi Fremitus (N) Fremitus (N)
Perkusi Sonor Sonor
Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Auskultasi Rhonchi (-) Rhonchi (-)
Wheezing (+) Wheezing (+)
Belakang Kanan Kiri
Inspeksi Simetris Simetris
Palpasi Fremitus (N) Fremitus (N)
Perkusi Sonor Sonor
Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Auskultasi Rhonchi (-) Rhonchi (-)
Wheezing (+) Wheezing (+)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICR V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJ I > BJ II, Reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris, Distensi (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (-)
- Lien : Tidak teraba
- Hepar : Tidak teraba
Perkusi : Timpani usus (+)
Auskultasi : Peristaltik (N)
Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-)

4
Ekstremitas :
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri

Sianosis (-) (-) (-) (-)


Edema (-) (-) (-) (-)
Pucat (-) (-) (-) (-)

2.4 Resume
Pasien datang ke Puskesmas Kampung Sawah dengan keluhan sesak nafas
sejak 1 hari sebelumnya. Sesak nafas timbul akibat cuaca dingin dan setelah
melakukan aktivitas berat. Sesak nafas dirasakan berkurang saat istirahat. Pasien
juga mengeluhkan batuk sejak 1 hari yang lalu. Batuk terutama timbul pada malam
hari yang menyebabkan pasien terbangun di malam hari, batuk berdahak dan dahak
berwarna kekuningan. Riwayat demam disangkal. Riwayat Asma sebelumnya (+).
2.5 Diagnosa
Asma Bronkial Persisten Ringan
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Suportif
 O2 2 lpm nasal kanul
2.6.2 Medikamentosa
 Nebule Salbutamol 2,5 mg
 Salbutamol 2 x 1 tab
 Guaifenesin 3 x 1 tab
 Vit B Complex 2 x 1 tab
 Loratadin 1 x 1 tab
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo Sanactionam : dubia ad bonam

5
BAB III
ANALISA KASUS

Anamnesis didapatkan adanya keluhan berupa sesak yang dipengaruhi oleh


aktivitas berat, dan sesak berkurang dengan istirahat. Pasien punya riwayat asma dengan
pemicu aktivitas berat dan dingin. Hal ini sesuai dengan penyakit asma yaitu suatu
penyakit dimana saluran nafas menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena
konstriksi bronkus, sumbatan mukus, dan meningkatnya proses radang(2)
Hambatan udara pada saluran nafas akan membuat kurangnya O2 yang masuk
sehingga tubuh kita mengkompensasi dengan mempercepat laju pernafasan dan
memperbesar usaha untuk bernafas. Gejala sesak nafas muncul akibat adanya pemicu
oleh alergenik atau non alergenik seperti aktivitas berat (exercise) dan perubahan cuaca.
Sesak bersifat reversibel yang bisa sembuh dengan pengobatan atau secara spontan(1).
Asma merupakan suatu penyakit yang berkaitan dengan faktor genetik, dan dapat kita
tegakkan diagnosa asma jika pasien atau keluarga pernah menderita asma atau atopi,
seperti rhinitis alergi, dan dermatitis atopi. Asma adalah penyakit yang diturunkan telah
terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma
memberikan bakat/kecenderungan untuk terjadinya asma pada generasi berikutnya(1).
Pemeriksaan fisik didapatkan bunyi wheezing, Wheezing merupakan suatu
bunyi bernada tinggi yang disebabkan oleh obstruksi parsial pada saluran nafas.
Keadaan ini biasa disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa, hilangnya
penyokong elastik, dan berliku-likunya saluran nafas. Asma menyebabkan
bronkospame yang menyebabkan pada auskultasi kita mendengar wheezing(4).
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan
bronkus akibat berbagai macam pencetus yang disertai dengan timbulnya penyempitan
luas saluran nafas bagian bawah yang dapat berubah ubah derajatnya secara spontan
atau dengan pengobatan(5).
Serangan asma dapat berupa sesak nafas ekspiratoir yang paroksismal, berulang-
ulang dengan mengi (wheezing) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi atau spasme
otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang berlebihan(5).

6
Asma ditandai dengan 3 kelainan utama pada bronkus yaitu bronkokonstriksi
otot bronkus, inflamasi mukosa dan bertambahnya sekret yang berada di jalan nafas.
Pada stadium permulaan terlihat mukoosa jalan nafas pucat, terdapat edema dan sekresi
lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat
kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil bahkan juga dalam sekret di dalam
lumen saluran nafas. Bila serangan terjadi sering dan lama atau dalam stadium lanjut,
akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan membran hialin basal, hiperplasi serat
elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan jumlah sel goblet bertambah. Kadang-
kadang pada asma menahun atau pada serangan yang berat terdapat penyumbatan
bronkus boleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil(5).
Patogenesis asma adanya pencetus akan merangsang sel plasma atau sel
pembentuk antibodi lainnya untuk menghasilkan IgE yang akan menempel pada
reseptor yang sesuai pada sel mast. Sel mast ini disebut sel mast tersensitisasi. Bila ada
pencetus serupa alergen akan menempel pada sel mast yang tersensitisasi dan kemudian
terjadi degranulasi sel mast. Sel mast akan mengelurkan mediator inflamasi yang dapat
mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (edema), peningkatan produksi
mukus dan konstriksi otot polos secara langsung atau melalui persarafan simpatis
(nervus vagus).(5)

7
Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik dan
pemeriksaan tambahan
1. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak
dada, kesulitan bernafas,
2. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran
nafas, alergen , aktivitas fisik dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia,
infeksi dan alergen.
3. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada
saat inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka posisi
duduk. Tanda-tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan hiperinflasi
torak,
4. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau
bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis
asma(1).

8
Klasifikasi asma yaitu
1. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi
alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang
yang sehat.
2. Asma intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal
dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kondisi lingkungan yang
buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan.
Pedoman pelayanan medik dalam konsensus nasional membagi asma anak
menjadi tiga tingkatan berdasarkan kriteria:
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan
beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
1. Asma Intermiten (asma jarang)
a. gejala kurang dari seminggu
b. serangan singkat
c. gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
d. FEV 1 atau PEV > 80%
e. PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%
2. Asma mild persistent (asma persisten ringan)
a. gejala lebih dari sekali seminggu
b. serangan mengganggu aktivitas dan tidur
c. gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
d. FEV 1 atau PEV > 80%
e. PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30%
3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
a. gejala setiap hari
b. serangan mengganggu aktivitas dan tidur
c. gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu

9
d. FEV 1 tau PEV 60% – 80%
e. PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
4. Asma severe persistent (asma persisten berat)
a. gejala setiap hari
b. serangan terus menerus
c. gejala pada malam hari setiap hari
d. terjadi pembatasan aktivitas fisik
e. FEV 1 atau PEF = 60%
f. PEF atau FEV variabilitas > 30%
Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan
derajat serangan asma yaitu:
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat,
bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi,
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,
lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -
kadang terdengar pada saat inspirasi,
3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk
bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat
nyaring terdengar tanpa stetoskop,
4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak
terdengar mengi dan timbul bradikardi.
Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma. Seorang
penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma ringan.
Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma
berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan kematian.(6)
Latihan fisik (Exercise) mekanisme yang menyebabkan asma yang diinduksi
latihan fisik belum sepenuhnya diketahui. Teori hiperosmolaritas mengemukakan
bahwa hilangnya air dari cairan permukaan saluran napas selama latihan fisik
menyebabkan hipertonisitas cairan permukaan saluran napas dan kondisi hiperosmolar
dalam sel saluran napas. Keadaan ini dapat menyebabkan pelepasan mediator pro-
inflamasi yang menyebabkan bronkokontriksi; mediator ini termasuk histamin,

10
prostaglandin, faktor kemotaksis, dan leukorin, yang berpotensi terhadap kerusakan
saluran napas kronik melalui inflamasi. Serangan asma terjadi 5 sampai 15 menit
setelah latihan fisik dimulai dan puncaknya dalam 6 sampai 8 menit. Gejala asma
perlahan-lahan menghilang dalam waktu 30 sampai 60 menit setelah latihan fisik.
Interval ini dikenal sebagai periode refrakter (refractory period).(3)
Tatalaksana pada Asma:
1) Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma ringan cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan kerja
pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan.2 Anjuran ini tidak mudah
dilakukan berhubung obat tersebut mahal. dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di
samping itu pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler) memerlukan pelatihan yang
benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang
juga tidak selalu ada dan mahal harganya.7 Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat
digunakan maka beta-agonis diberikan peroral. Sebenarnya kecenderungan saat ini
teofilin makin kurang perannya dalam tata laksana asma karena batas
keamanannyabsempit. Namun mengingat di Indonesia obat betaagonis oral tidak selalu
ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek
samping. Di samping itu penggunaan beta-agonis oral tunggal dengan dosis besar
seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal ini dapat dikurangi dengan
mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.(7)
2) Asma episodik sering (asma sedang)
Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa
menghitung penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari
sekali dalam sebulan, maka penggunaan antiinflamasi sebagai pengendali sudah
terindikasi.2 Antiinflamasi lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan
dosis minimal 10 mg 3-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian
dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi
menjadi 2-3 kali perhari.(7)
3) Asma persisten (asma berat)
Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-agonis
hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk berat.

11
Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan. Cara pemberian
steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau
sebaliknya dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung
pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat,
dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek
(3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai optimal. Steroid hirupan
biasanya efektif dengan dosis rendah. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid
dengan dosis 200 mg/hari, belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka
panjang. Dosis yang masih dianggap aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya
pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai berpengaruh
terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan.
Efek sistemik steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat bantu berupa
perenggang (spacer) yang akan meningkatkan deposisi obat di paru dan mengurangi
deposisi di daerah obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga
mengurangi absorbsi sistemik. Setelah dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi
paru yang optimal atau klinis perbaikan yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis
steroid dapat dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan beta-agonis sebagai obat pereda
tetap diteruskan.(7)
4) Asma sangat berat
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum terkendali
maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari Asma Tetapi jika
dengan steroid hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum terkendali,
maka perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau beta-
agonis lepas terkendali, atau teofilin lepas lambat.6 Dahulu beta-agonis dan teofilin
hanya dikenal sebagai bronkodilator saja. Namun akhir-akhir ini diduga mereka juga
mempunyai efek anti-inflamasi Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya tetap
belum terkendali, obat tersebut diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan, bahkan
mungkin perlu diberikan steroid oral. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari
asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai

12
dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis
terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. (7)
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa
(metered dose inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.(7)

1) Penanganan Serangan Asma di Klinik atau Instalasi Gawat Darurat (IGD).


Penanganan awal asma adalah pemberian b2-agonis secara nebulisasi yang dapat
diulang dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat
ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi
sebagai penapis untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis
tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Pada serangan asma berat, KNAA
menganjurkan pemberian b2-agonis bersama-sama dengan ipatropium bromida.
Pemberian dengan cara nebuliser untuk usia 18 bulan – 4 tahun dianjurkan
menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk menghindari deposisi obat di
muka dan mata. Obat-obat b2-agonis yang sering dipakai dalam tata laksana serangan
asma berat adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol.Dosis inhalasi salbutamol 0,1-
0,15 mg/kg berat badan/kali, maksimal 5 mg/dosis, dapat diberikan 3 kali dengan
interval 20 menit. Dosis inhalasi terbutalin 2,5 mg (1 respules)/kali. Dosis inhalasi
fenoterol 0,1 mg/kg berat badan/kali. Pemberian b2-agonis secara intravena secara teori
berguna pada serangan asma berat yang tidak memberikan respon dengan pemberian
secara inhalasi. Tetapi pada beberapa penelitian tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada efek bronkodilatasi dari pasien-pasien yang diberi b2-agonis secara

13
intravena maupun inhalasi.Kombinasi antara inhalasi b2-agonis dan antikolinergik
(ipatropium bromida) akan memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik.Kombinasi
ini sebaiknya diberikan terlebih dulu sebelum diberikan metil-xantin. Dosis ipatropium
bromida yang dianjurkan adalah 8-20 tetes (usia >6 tahun) dan 4-10 tetes (usia ≤ 6
tahun) larutan NaCL 0,025%. Efek bronkodilatasi golongan metil-xantin setara dengan
inhalasi b2-agonis, tetapi karena efek samping yang lebih banyak dan batas keamanan
yang sempit maka golongan metil-xantin hanya dianjurkan jika pemberian kombinasi
inhalasi b2-agonis dan ipatropium bromida tidak memberikan respons. Metil-xantin
(aminofilin) diberikan secara intravena dengan dosis awal 4-6 mg/kg berat badan
dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dan diberikan
dalam 20-30 menit. Aminofilin rumatan diberikan dengan dosis 0,5- 1 mg/kg berat
badan/jam. Bila pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),
maka dosis diberikan setengahnya. Pada kasus ini, pemberian aminofilin intravena
diberikan setelah pemberian kombinasi inhalasi b2-agonis dan ipatropium bromida tidak
memberikan respons. Pemberian kortikosteroid sistemik akan mempercepat perbaikan
dari serangan asma. Kortikosteroid sistemik diberikan jika pada terapi awal serangan
(dengan menggunakan inhalasi b2-agonis) gagal mencapai perbaikan, tetap terjadi
serangan walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid oral, atau pada serangan
asma sebelumnya pasien telah menggunakan kortikosteroid oral. Kortikosteroid dapat
diberikan secara intravena. Metil prednisolon merupakan pilihan utama, dosis yang
dianjurkan 1 mg/kg berat badan tiap 4-6 jam. Hidrokortison 4 mg/kg berat badan tiap 4-
6 jam.Deksametason 0,5-1 mg/kg berat badan bolus dilanjutkan dengan 1 mg/kg berat
badan/hari tiap 6-8 jam. Kortikosteroid tetap diberikan hingga perbaikan klinis pasien
pada hari ke-3. Pasien yang datang dengan serangan asma berat yang disertai dehidrasi
dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu
respons yang kurang baik terhadap nebulisasi b2- agonis. Pasien seperti ini cukup
dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat
intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya. Dehidrasi yang terjadi dapat
disebabkan baik oleh karena asupan cairan yang tidak adekuatmaupun peningkatan
insensible water lost karena takipne. Cairan yang diberikan untuk koreksi dehidrasi
biasanya cukup 1-1,5 kali kebutuhan rumatan. Pada kasus ini untuk mengatasi dehidrasi

14
yang timbul akibat asupan cairan yang tidak adekuat maupun peningkatan insensible
water lost karena takipne diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan rumatan.(8)
2) Penanganan di Ruang Rawat Inap
a) Pemberian oksigen diteruskan
b) Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena
dan dikoreksi asidosisnya.
c) Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.
d) Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
e) Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
 bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis
awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam
fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
 jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
1/2nya.
 sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
 selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
f) Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24
jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral.
g) Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48
jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat
Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.(7)
3) Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif
Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda
ancaman henti napas langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif (ICU). Secara ringkas
kriterianya adalah:
 Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.

15
 Adanya kebingungan, pusing, dan tanda lain ancaman henti napas, atau
hilangnya kesadaran.
 Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku diRuang Rawat Inap.
 Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, walaupun tentu saja gagal
napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).(7)

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Supriyatno, Bambang. Diagnosis dan Penanganan Terkini Asma pada Anak .


Maj Kedokt Indon. 2005; 55(1)
2. Almazini, Prima. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma
Berat. Cermin Dunia Kedokteran. 2012; 39(1)
3. Herdi. Gambaran Faktor Pencetus Serangan Asma Pada Pasien Asma Di
Poliklinik Paru Dan Bangsal Paru Rsu Dr. Soedarso Pontianak. Pontianak:
Universitas Tanjungpura .2011
4. Swartz, Mark. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. 2002
5. Hassan, Rusepno dan Husein Alatas. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta: FKUI. 2007
6. Purnomo. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma
Bronkial Pada Anak ( Studi Kasus di RS Kabupaten Kudus ). Semarang:
Universitas Diponegoro. 2008
7. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri. 2000; 2(1)
8. Pribadi, Ariz dan Darmawan BS. Serangan Asma Berat pada Asma Episodik
Sering. Sari Pediatri. 2004; 5(2). Hal.171 - 177
.

17

Anda mungkin juga menyukai