Anda di halaman 1dari 29

PERCOBAAN 1

EKSTRAKSI

Tujuan

Untuk menarik kandungan senyawa kimia yang ada di dalam tumbuhan obat.

Teori

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan


menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam
sel tanaman. Jenis-jenis metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:

Maserasi. Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara
ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan dengan
memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang
tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam
sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan
penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu,
pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa
hilang. Selain itu, beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar.
Namun di sisi lain, metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa
yang bersifat termolabil.

Ultrasound Assisted Solvent Extraction Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi


dengan menggunakan bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz).
Wadah yang berisi serbuk sampel ditempatkan dalam wadah ultra-sonic dan
ultrasound. Hal ini dilakukan untuk memberikan tekanan mekanik pada sel hingga
menghasilkan rongga pada sam-pel. Kerusakan sel dapat menyebabkan peningkatan
kelarutan senyawa dalam pelarut dan meningkatkan hasil ekstraksi.

1
Perkolasi
Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah
perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya). Pela-
rut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan
pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh
pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak
homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga
membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu.
Soxhlet
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung selulosa
(dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang ditempatkan di atas labu dan di
bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas
diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang
kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak
membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah
senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh
terusmenerus berada pada titik didih.
Reflux dan Destilasi Uap
Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam labu yang
dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik didih. Uap
terkondensasi dan kembali ke dalam labu.Destilasi uap memiliki proses yang sama dan
biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa
menguap). Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2
bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan
kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil
dapat terdegradasi

2
LEMBAR KERJA

Prosedur Ekstraksi:

3
Alasan Pemilihan Metode Ekstraksi

Randemen ekstrak:

4
Pola Kromatogram Ekstrak:

5
Pembahasan

6
PERCOBAAN 2
STANDARDISASI EKSTRAK

Tujuan

Untuk menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak)
mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu.

Teori
Standardisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran
yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu
dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan
(batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain,
pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat,
ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan
ditetapkan terlebih dahulu. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak
yaitu faktor biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan
obat tersebut.

Standardisasi ekstrak terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter


standar non spesifik (Depkes RI, 2000). Penentuan parameter spesifik adalah aspek
kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kima yang bertanggung
jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu. Parameter spesifik ekstrak
meliputi :

1. Identitas (parameter identitas ekstrak) meliputi : deskripsi tata nama, nama ekstrak
(generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian
tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb) dan nama Indonesia tumbuhan.
2. Organoleptis : Parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana
seobjektif mungkin.

7
3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu : melarutkan ekstrak dengan pelarut
(alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa
kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut
dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol.
4. Kandungan kimia ekstrak
a. Pola kromatogram
Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola
kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi
kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT, KCKT). (Depkes, 2000)
b. Kadar kandungan kimia tertentu
Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama
ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat
dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat
digunakan adalah densitometri, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang sesuai.
Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa
identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi (Depkes,
2000) .
Penentuan parameter non spesifik ekstrak yaitu penentuan aspek kimia, mikrobiologi
dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas. Parameter non
spesifik ekstrak menurut buku “Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat”
(Depkes RI, 2000), meliputi :
a. Bobot jenis
Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume yang diukur pada suhu kamar
tertentu (250C) yang menggunakan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya
adalah memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang
merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih
dapat dituang, bobot jenis juga terkait dengan kemurnian dari ekstrak dan kontaminasi
(Depkes RI, 2000).

b. Kadar air

8
Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan,
yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air dalam bahan (Depkes Ri, 2000).
c. Kadar abu
Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa
organik dan turunanya terdestruksi dan menguap. Sehingga tingga unsur mineral dan
anorganik, yang memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang
berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu ini terkait
dengan kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak (Depkes RI, 2000).
d. Sisa pelarut
Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu yang
mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa
selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh
ada (Depkes RI, 2000). Pengujian sisa pelarut berguna dalam penyimpanan ekstrak dan
kelayakan ekstrak untukformulasi
e. Cemaran mikroba
Parameter cemaran mikroba adalah penentuan adanya mikroba yang patogen secara
secara analisis mikrobiologis. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa ekstrak
tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non
patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak
dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
f. Cemaran aflatoksin
Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur. Aflatoksik sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan),
mutagenik (mutasi gen), tertogenik (penghambatan pada pertumbuhan janin) dan
karsinogenik (menimbulkan kanker pada jaringan) . Jika ekstrak positif mengandung
aflatoksin maka pada media pertumbuhan akan menghasilkan koloni berwarna hijau
kekuningan sangat cerah.

9
Prosedur:
1. Penetapan Kadar Air
Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas
bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluen dibiarkan mendingin selama 30
menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml.
Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 gram ekstrak etanol yang telah
ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen
mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian
besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik.
Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi
dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada
suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan
ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air
yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen.
Volume II - Volume I
Kadar air  x 100%
Berat Sampel
2. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Sebanyak 5 gram ekstrak etanol dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-
kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat
sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam,
kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam
cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan
pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam ,persen sari yang larut dalam air
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
Berat Sari x 100
Kadar sari larut air  x 100%
Berat Sampel x 20
3. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Sebanyak 5 gram ekstrak etanol yang telah dikeringkan, dimaserasi selama 24
jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6
jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk
menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam
cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan
pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol
96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

10
Berat Sari x 100
Kadar sari larut etanol  x 100%
Berat Sampel x 20

4. Penetapan Kadar Abu Total


Sebanyak 2 gram ekstrak etanol yang telah digerus dan ditimbang seksama
dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus
dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600 oC selama 3
jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

5. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam


Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam
klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan dengan
disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya lalu sisa dipanaskan,
didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

Lembar Kerja
A. Parameter Spesifik
1. Identitas
Nama tumbuhan:
Bagian tumbuhan yang digunakan:
Nama ekstrak:

11
2. Organoleptis
Warna:
Bau:
Rasa:
Konsistensi:

3. Uji kandungan kimia ekstrak


a. Pola kromatogram

b. Kadar kandungan senyawa kimia tertentu (densitometri/GC-MS/HPLC)

12
4. Senyawa terlarut dengan pelarut tertentu
a. Penetapan kadar sari larut air

Penimbangan P1 (g) P2 (g) P3(g)


Berat Sampel
Berat cawan kosong
Berat cawan + sari
Berat sari

13
b. Penetapan kadar sari larut etanol

Penimbangan P1 (g) P2 (g) P3(g)


Berat Sampel
Berat cawan kosong
Berat cawan + sari
Berat sari

14
B. Parameter Non Spesifik
a. Penetapan Kadar Air

Penimbangan P1 (g) P2 (g) P3(g)


Berat Sampel
Berat cawan kosong
Berat cawan + sari
Berat sari

15
b.Penetapan kadar abu total

Penimbangan P1 (g) P2 (g) P3(g)


Berat Sampel
Berat krus silikat kosong
Berat kertas saring
Berat krus silikat+ kertas
saring + sampel
Berat abu

16
c. Penetapan Kadar abu tak larut asam

Penimbangan P1 (g) P2 (g) P3(g)


Berat Sampel
Berat krus silikat kosong
Berat kertas saring
Berat krus silikat+ kertas
saring + sampel
Berat abu

17
d. Cemaran Aflatoksin

e. Cemaran mikroba

18
Pembahasan

19
PERCOBAAN 3
FORMULASI SEDIAAN FARMASI

Tujuan
Memformulasikan ekstrak bahan alam kedalam bentuk sediaan farmasi yang
tepat

Teori
Suatu ekstrak bahan alam dapat dikembangkan menjadi beberapa bentuk
sediaan farmasi yaitu sediaan padat (granul, serbuk, kapsul, tablet), sediaan cair
(larutan, sirup, emulsi, suspensi), semi solid (krem, salap, gel, supositoria) dan bentuk
lainnya (aerosol, medicinal patch, jam, inhaler stick, patches).
Pada pembuatan sediaan padat, digunakan ekstrak padat, tetapi pada
umumnya ekstrak bersifat higroskopis sehingga pada pembuatannya perlu dilakukan
granulasi atau diisikan kedalam kapsul gelatin lunak. Tahap granulasi merupakan tahap
yang kritis dari pembuatan semua sediaan padat yang mengandung ekstrak. Untuk
mengatasi masalah higroskopisitas ini diperlukan penambahan silica gel, suatu eksipien
dengan porositas tinggi. Jika dalam pencampuran, granulasi dan pengeringan dilakukan
cara-cara klasik, maka sebagai pengikat sebaiknya digunakan senyawa turunan selulosa
atau polivinil pirolidon dalam pelarut organik sebagai pengikat. Jika digunakan larutan
air dan senyawa air, seperti mucilago amyli, hal ini dapat menimbulkan beberapa
masalah selama proses, terutama jika kadar ekstrak cukup tinggi. Senyawa gula dan
saponin akan terlarut ke dalam air yang digunakan untuk proses, dan hal ini akan

20
mempersulit pengeringan granul. Kesukaran lain dalam membuat tablet menggunakan
cara granulasi dengan pelarut air adalahtablet yang dihasilkan akan semakin mengeras
dan sukar hancur seiring dengan lamanya penyimpanan. Dengan menggunakan pelarut
organik untuk proses granulasi, dapat dihasilkan granul yang apat dicetak langsung
dengan penambahan MCC, pelincir yang bersifat absorbsi seperti aerosil, dan sejumlah
kecil pelincir magnesium stearat.
Pada pembuatan sediaan cair, bahan baku ekstrak yang digunakan dapat
berbentu cair, kental, kering dan tinktura. Masalah utama dalam pengembangan
sediaan cair yang mengandung ekstrak adalah masalah kelarutan. Ekstrak harus
diencerkan dalam larutan atau dilarutkan kembali jika berbentuk kering di dalam
sistem pelarut sirup atau drop. Masalah ini adalah masalah yang selalu timbul dan
terkadang sulit diatasi dalam proses manufaktur. Masalah ini terjadi beberapa waktu
setelah terbentuknya endapan atau terjadi kekeruhan yang disebabkan pelarutan yang
tidak sempurna dari bahan aktif atau komponen sekunder. Untuk mencegah
terbentuknya endapan, dapoat dilakukan hal berikut:
1. Pelarut yang digunakan untuk pembuatan sediaan sama komposisinya dengan
menstruum yang digunakan untuk pembuatan ekstrak tanaman sehingga
merupakan pelarut terbaik untuk melarutkan kembali ekstrak kering, atau untuk
mengencerkan ekstrak cair atau suatu tinktura.
2. Perubahan pH dan hal-hal lain yang tidak konsisten harus dicegah apabila
melakukan rekonstitusi ekstrak, terutama dalam mencampur ekstrak dengan obat
lain atau sediaannya. Hal ini berlaku terutama untuk produk yang mengandung
alkaloid.
3. Dalam beberapa kasus, penambahan kosolven membantu menstabilkan larutan.
Alkohol polivalen seperti 1,2 propilenglikol, gliserol, sorbitol, PEG berbobot molekul
rendah dan sirop glukosa dapat digunakan.
Sediaan yang berasal dari ekstrak tumbuhan seringkali mengandung nutrien untuk
pertumbuhan mikroba, terutama ragi dan jamur. Pengawetan dapat dilakukan dengan
penambahan alkohol dalam campuran atau penambahan pengawet (p-hidroksi
benzoat, asam sorbat, dan asam benzoat).

21
Pada pembuatan sediaan untuk tujuan penggunaan lokal, ekstrak kering atau
ekstrak kental digunakan untuk bentuk sediaan suppositoria menggunakan eksepien
pengemulsi sendiri (self emulsifying). Jika ekstrak tidak larut dalam eksipien dan
berdasarkan pertimbangan stabilitas, maka sebaiknya digunakan eksipien lemak.
Ekstrak didisperikan dalam eksipien. Ekstrak kental dan kering digunakan pula dalam
sediaan bentuk krem. Tidak ada masalah pada pembuatan krem emulsi M/A, namun
masalah akan timbul pada pembuatan krem tipe A/M yang mengandung banyak
saponin. Saponin sering terdapat dalam ekstrak dan keberadaannya dapat
mempengaruhi nilai HLB dari krem. Masalah lainnya pada pengembangan sediaan
krem berbasis ekstrak adalah kandungan air yang tinggi dan bila nilai pH tidak
dikendalikan secara baik, hal tersebut akan menimbulkan hidrolisis, polimerisasi dan
sebagainya.

22
Lembar Kerja
1. Studi praformulasi bahan aktif
Tabel 1. Hasil Studi Pustaka Bahan Aktif

No Bahan Efek Karakteristik Karakteristik


Aktif Utama Fisik Kimia

Bentuk sediaan farmasi yang akan dirancang:

Alasan pemilihan bentuk sediaan :

Target organ yang dituju :

23
Tujuan terapi : Lokal/sistemik

2. Susunan Formula dan Komposisi Bahan yang direncanakan

Tabel 2. Rancangan Formula per Satuan Kemasan


No. Bahan Fungsi Jumlah

3. Prosedur Pembuatan:

24
4. Prosedur Evaluasi Sediaan

25
5. Rancangan Etiket, Brosur dan Kemasan

26
6. Hasil dan Pembahasan

27
7. Kesimpulan

28
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, guswin. (2007 ).Teknologi Bahan Alam. Cetakan 1. Penerbit ITB. Cetakan 1.
Ditjen POM. (1986). Sedian Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Ditjen POM. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penterjemah: Soedani Noerono S.


Cetakan ke-2. Yogyakarta: Penerbit UGM Press.

Stahl, E. (1985). Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopik. Bandung: Penerbit
Institut Teknologi Bandung.

29

Anda mungkin juga menyukai