Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Solusi :
Pertama, sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank Global transparan dan menerapkan
dengan seksama asas good corporate governance.
Kedua, seperti dilansir Investor Daily Online (14/12/2004), bahwa kehancuran Bank Global
sangat boleh jadi disebabkan oleh sebuah kolusi antara pengelola Bank Global dengan
Prudence Asset Management (PAM).
Ketiga, kasus Bank Global menarik diikuti karena kasus ini mencoreng citra reksadana,
sebuah instrumen pasar modal yang mengalami pertumbuhan pesat selama dua tahun
terakhir.
Keempat, kasus Bank Global mencerminkan lemahnya pengawasan BI dan Bappepam.
Uraian/ Penjelasan
General market risk merupakan resiko yang disebabkan oleh suatu kebijakan yang dilakukan
oleh lembaga terkait yang mana kebijakan tersebut mampu memberi pengaruh bagi seluruh
sektor bisnis (Agus Sucipto: Manajemen Risiko). Sehatnya sebuah bank tidak hanya
berpatokan pada aset (modal) semata, tetapi juga harus memperhitungkan faktor manajemen
risiko yang meliputi delapan faktor, yakni risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko
operasional, risiko hukum, risiko strategi, risiko kepatuhan dan risiko reputasi. Tidak sedikit
para bankir yang tidak bisa mengelola manajemen risiko dengan baik, sehingga terjadi
pelanggaran prinsip kehati-hatian bank. Yang terpenting dari kasus-kasus pembekuan bank
adalah pembelajaran bagi pemilik maupun pengurus bank untuk bercermin diri dalam
pengelolaan keuangan dan manajemen perbankan agar tidak menyimpang dari ketentuan-
ketentuan yang ada, serta diharuskan menerapkan prudent banking. Lebih khusus lagi, bagi
para nasabah agar tidak gegabah dan senantiasa berhati-hati jika ingin menempatkan dananya
pada lembaga perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.
Salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yaitu PT Gudang Garam sempat
menjadi perusahaan yang juga mendapat dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat yang melanda Indonesia, seperti berita yang dilansir oleh
liputan6.com berikut ini.
Dampak Pelemahan Rupiah Mulai Terasa ke Emiten
Pelemahan mata uang rupiah dalam beberapa hari terakhir mempengaruhi laba-laba
perusahaan yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan data
Bloomberg, nilai tukar rupiah pada hari ini, Rabu (21/8/2013) sudah menyentuh ke level Rp
10.963 per dolar Amerika Serikat (AS). Pergerakan nilai tukar rupiah yang terjadi hari ini
sangat mempengaruhi emiten-emiten yang sudah melantai di bursa.
Kepala Strategi Riset dan Ekuitas Bahana Sekuritas me Harry Su mengatakan, akibat
dampak pergerakan pelemahan rupiah, banyak emiten yang terkena dampak dari pelemahan
rupiah tersebut."Jelaslah, pelemahan rupiah itu sangat jelek untuk pasar.Tapi emiten yang
mempunyai utang berdasarkan mata uang dolar AS," ujar Harry ketika ditemui dalam acara
Halal bi Halal Bahana Group dan Market Update di Graha Cimb Niaga, Jakarta, Rabu
(21/8/2013).
Menurut Harry, selain faktor pelemahan rupiah yang mempengaruhi laba bersih di
setiap emiten, dan juga kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Adapun saham
yang sangat terpengaruh terhadap pelemahan nilai tukar rupiah adalah, PT Indosat Tbk
(ISAT). Saham telekomunikasi tersebut terkena dampak 17,9% dari laba bersih, sedangkan
pengaruh BI Rate hampir sebesar 24% dari raihan laba bersih.
Selain ISAT, laba bersih perusahaan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) juga megalami
penurunan hingga 0,9%. Laba PT Bakrie Telekomunikasi Tbk (BTEL) juga mengalami
penurunan hingga 5,9% dan laba bersih PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) mengalami
penurunan 5,9%.
Lanjut Harry, pelemahan rupiah juga menurunkan laba bersih emiten, tapi juga
memberikan dampak pada keuntungan emiten. PT Timah Tbk (TINS) mengalami penurunan
keuntungan hingga 5,2%, sedangkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) mengalami
penurunan laba bersih hingga 3,4%. "Pelemahan mata uang rupiah juga berdampak pada PT
Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) mengalami penurunan laba bersih hingga sebesar
3,9%," tegasnya. Ditambahkannya, pelemahan rupiah yang semakin tajam, memang
mempengaruhi kinerja emiten, khususnya yang berpendapatan mata uang dolar AS.
Berdasarkan berita diatas PT Gudang Garam menjadi salah satu perusahaan yang mengalami
penurunan laba bersihnya sebesar 0,9% akibat melemahnya nilai rupiah.
Hal ini dialami oleh PT Gudang Garam karena perusahaan membutuhkan bahan baku
utama berupa tembakau dan cengkeh yang berkualitas untuk produk mereka, sementara
kualitas panen tembakau dan cengkeh lokal yang menjadi bahan baku utama tersebut
sangatlah bergantung pada cuaca, faktor cuaca yang kini sering tidak menentu mengakibatkan
penurunan kualitas panen kedua bahan baku tersebut. Sehingga perusahaan terpaksa harus
mengimpor persediaan bahan baku mereka dari luar negeri agar kualitas atas produk yang
dihasilkan tetap terjaga. Inilah yang menyebabkan menurunnya pendapatan dan laba bersih
perusahaan.
Selain itu penurunan pendapatan dan laba bersih Gudang Garam dapat disebabkkan
juga oleh aturan pemerintah, karena sebelumnya industri rokok diberatkan dengan aturan
pemerintah yaitu regulasi mengenai rokok, PP Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif berupa produk Tembakau bagi kesehatan yang dikeluarkan
pemerintah tahun 2012 kemarin yang mengacu pada Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC) yang dicanangkan oleh WHO pada tahun 2003, salah satu aturannya yang
berupa kenaikan bea pita cukai yang secara terus menerus dan juga kewajiban menampilkan
gambar - gambar seram dari bahayanya rokok pada kemasan dan iklan rokok.
Biaya pita cukai dan PPN Gudang Garam pada tahun 2013 mencapai 29 triliun, atau
setara 67% dari total beban biaya pokok penjualan Gudang Garam. Dan jika dibandingkan
dengan pendapatan penjualan, biaya pita cukai Gudang Garam tahun 2013 setara dengan 54%
hasil pendapatan penjualan perusahaan. Artinya, 54% dari total pendapatan penjualan
Gudang Garam tahun 2013 digunakan untuk membayar bea pita cukai dan PPN. Dan jika
dilihat dalam beberapa tahun belakang, kontribusi biaya pita cukai dan PPN tersebut nilainya
selalu diatas 50% dari total pendapatan penjualan Gudang Garam. Bagaimana pun itu
perusahaan harus tetap mengeluarkan dana untuk membayar besarnya biaya pita cukai sesuai
aturan.
Serta kewajiban perusahaan menampilkan gambar-gambar dari bahaya dan dampak
negatif rokok pada kemasan serta iklan produk secara tidak langsung akan mengurangi minat
para konsumen untuk merokok, hal ini tentu saja akan menurunkan penjualan rokok,
termasuk rokok Gudang Garam itu sendiri, dan dampak lainnya dari ketatnya aturan
pemerintah dalam industri rokok adalah Gudang Garam harus mengurangi dan menghemat
biaya perusahaan yang lainnya.
ANALISIS
Specific market risk merupakan risiko yang hanya dialami secara khusus pada sektor
atau sebagian bisnis saja tanpa bersifat menyeluruh (Agus Sucipto: Manajemen Risiko).
Kasus ini termasuk dalam kebijakan yang diberlakukan pada sektor Industri, yaitu rokok.
Sesuai dengan pembahasan studi kasus diatas, PT Gudang Garam ikut merasakan dampak
dari penurunan nilai tukar rupiah yang berakibat menurunnya laba bersih perusahaan yang
akan berdampak pada membagian deviden kepada para pemegang saham, serta peraturan
pemerintah yang dapat menurunkan penjualan produk serta pendapatan perusahaan. Salah
satu cara yang dilakukan oleh PT Gudang Garam untuk menanggulangi risiko tersebut adalah
dengan melakukan kebijakan penawaran pensiun dini kepada para karyawannya terutama
karyawan borongan sigaret kretek tangan (SKT) dan operasional dengan alasan untuk
mengantisipasi dampak buruk yang akan terjadi pada perusahaan dimasa mendatang akibat
bertambah ketatnya peraturan industri rokok yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Studi Kasus
Setiap perusahaan pasti memiliki risiko dalam menjalankan kinerja perusahaanya,
salah satu risiko yang akan dihadapi perusahaan adalah risiko kredit. Risiko kredit adalah
risiko yang dihadapi sebuah perusahaan karena pendanaan eksternal yang di usahakan oleh
perusahaan.
Dalam pengukuran risiko kredit kita membagi ke dalam penilaian risiko kredit secara
kualitatif, dan penilaian risiko kredit secara kuantitatif. Penilaian kualitatif pada risiko kredit
berkaitan dengan penggunakan kerangka 3R dan 5C. Sedangkan penilaian kuantitatif pada
risiko kredit yaitu dengan menggunakan analisis kuantitatif untuk mengukur risiko kredit.
Ada beberapa metode penilaian kuantitatif, yaitu model scoring kredit, RAROC, yield
income, mortality rate, credit metrics, dan kerangka opsi.
Penilaian Kualitatif
Penggunaan penilaian kualitatif risiko kredit berdasarkan 3R dan 5C adalah sebuah
usaha pendekatan untuk mendapatkan nilai pengukuran risiko kredit yang dialami oleh
perusahaan.
Return;
Repayment Capacity;
Risk Bearing Ability.
Character;
Capacity;
Capital;
Collateral;
Condition.
Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa penilaian secara kualitatif ini di
dasarkan pada pencintraan terhadap perusahaan di dalam hal ini PT. Astra Honda Motor
dalam perspektif 3R ataupun 5C.
Pedoman 3R
Return (pendapatan) yaitu menilai apakah PT. Astra Honda Motor mempunyai
pendapatan yang memadai dalam mencukupi atau melunasi hutang dan bunganya.
Repayment Capacity (kemampuan mengembalikan pinjaman) yaitu menilai apakah
PT. Astra Honda Motor mempunyai kapasitas/kemampuan dalam mengembalikan
pinjaman dan bunganya pada saat jatuh tempo.
Risk-bearing Ability yaitu menilai kemampuan PT. Astra Honda Motor dalam
menanggung risiko kegagalan atau ketidakpastian yang berkaitan dengan penggunaan
kredit.
Pedoman 5 C
Solusi:
Risiko Tingkat suku bunga di PT. Astra Honda Motor ini dapat dilihat dengan
mengetahui utang perusahaan dan membandingkannya dengan modal sendiri perusahaan
yang terhubung dalam struktur modal. Dengan melihat perbandingan antara keduanya, maka
kita bisa melihat bagaimana perusahaan tersebut mempunyai risiko perubahan tingkat suku
bunga yang besar atau rendah.
Kemudian untuk mengantisipasi terjadinya risiko suku bunga, upaya-upaya yang
perlu dilakukan oleh PT. Astra Honda Motor antara lain: Mengelompokkan aktiva dan pasiva
berdasarkan tingkat kepekaannya dan menyusun perkiraan tingkat suku bunga melalui
berbagai metode sehingga didapat perkiraan yang lebih baik. Selain itu juga PT. Astra Honda
Motor harus tanggap dalam menghadapi perubahan yang potensial akan merugikan
perusahaan.
OPERATIONAL RISK
KODAK
Liputan6.com, New York: Setelah Eastman Kodak Corporation dinyatakan pailit, muncul
beragam penelitian tentang penyebab kebangkrutan perusahaan pelopor film fotografi
tersebut.
Menurut sejumlah pengamat, seperti dikutip laman timesofindia.com, Senin (23/1),
perusahaan pelopor fotografi tersebut tak sanggup melawan arus digital yang semakin
berkembang setiap tahun.Tidak seperti IBM dan Xerox Corp, yang sukses menciptakan arus
pendapatan baru saat bisnis mereka menurun.
Mereka menilai kesalahan Kodak membuang proyek-proyek baru terlalu cepat yang
menyebarkan investasi digital terlalu luas, dan puas pada penilaian Rochester, New York,
yang membutakan perusahaan untuk berinovasi pada teknologi lain.
"Kodak sangat puas dengan penilaiain Rochester dan tak pernah mengembangkan kehadiran
teknologi baru di pusat-pusat dunia," ujar Rosabeth Kanter, Profesor Administrasi Bisnis
Arbuckle di Harvard Business School."Ini seperti mereka tinggal di museum," sindirnya.
Sejak 1888, George Eastman menciptakan sebuah mesin yang menangkap gambar pada pelat
kaca besar.Tak puas dengan terobosan itu, dia melanjutkan untuk mengembangkan film roll
dan kemudian kamera Brownie.Selanjutnya pada 1960, Kodak mulai mempelajari potensi
komputer dan membuat terobosan besar di tahun 1975, saat salah satu insinyur, Steve Sasson,
menemukan kamera digital.
Namun, Kodak tak segera mencium potensi pasar tersebut dan tak fokus pada high-end
kamera bagi pasar niche.Para eksekutif juga takut mengorbankan penjualan film initi mereka.
"Ketika (George Eastman) meninggal, ia menyisakan pengaruh pada perusahaan, yang salah
satunya Kodak akan terus terikat dalam nostalgia," kata Nancy Westt, seorang profesor yang
menulis sejarah Kodak dari University of Missouri. "Nostalgia memang indah, tapi itu tidak
memungkinkan orang untuk bergerak maju." tandasnya.
Selain itu, penyebab kebangkrutan Kodak karena perusahaan tersebut melewatkan peluang
bisnis.Di Consumer Electronics Show di Las Vegas tahunan pekan lalu, Perez dan Kodak
memperkenalkan dua kamera baru yang diyakini bisa terhubung secara nirkabel dengan
printer dan posting foto ke Facebook.Namun beberapa pengulas gadget mengatakan kamera
baru tidak bisa terhubung ke web tanpa membonceng pada smartphone atau koneksi Wi-Fi.
"Orang tidak hanya tertarik dengan fitur baru, kecuali sesuatu yang revolusioner, dan ini
adalah fitur tambahan,"ujar Suzanne Kantra, Editor Blog Teknologi Techlicious dan matan
Editor Teknologi Popular Science.
Analis mengatakan Kodak bisa menjadi sebuah kelompok media sosial jika telah berhasil
meyakinkan konsumen untuk menggunakan layanan online untuk menyimpan, berbagi, dan
mengedit foto-foto mereka.Sebaliknya, Kodak berfokus terlalu banyak pada perangkat dan
kalah dalam pertempuran online untuk jaringan sosial seperti Facebook.
George Eastman yang putus sekolah SMA dari kawasan utara New York, mendirikan
perusahaan ini pada 1880 dan mulai membuat piringan-piringan fotografis. Untuk
mengembangkan bisnisnya, dia menggunakan mesin bekas untuk membuat piringan-piringan
foto. Dalam delapan tahun, nama Kodak menjadi trademark. Perusahaan ini lalu
mengenalkan kamera tenteng, lalu film roll-up.Eastman juga mengenalkan "Wage Dividend"
dalam mana perusahaan memberi bonus kepada karyawan berdasarkan kinerjanya.
Kodak lalu membuat kamera-kamera seperti Brownie yang diluncurkan pada 1900 dan
Instamatic pada 1963.Di lamannya, perusahaan ini mengatakan bahwa sebuah kamera Kodak
telah digunakan pada misi Apollo 11 tahun 1969. "Kamera Kodak telah digunakan oleh para
astronot untuk memfilmkan pendaratan di bulan hanya dalam jarak beberapa inchi," kata
NASA. Film Kodak telah digunakan pada 80 film pemenang Oscar untuk Film Terbaik.
Pada 1975, Kodak menemukan kamera digital seukuran pemanggang roti. Kamera digital ini
terlalu besar untuk saku fotografer amatir yang kantongnya kini bisa dipenuhi kamera-kamera
digital buatan Canon, Casio dan Nikon.Namun Kodak malah mencampakkan kamera digital
dan bertahun-tahun hanya menyaksikan pesaing-pesaingnya merampas pangsa pasar digital.
Pada 1994, Kodak men-spin off bisnis kimia-nya, Eastman Chemical Co, yang terbukti
berhasil. Kejatuhan Kodak di depan mata ketika September lalu, investor menarik 160 juta
kreditnya sehingga membuat keuangan perusahaan menjadi kering. Belum jelas benar
bagaimanakah Kodak akan menangani kewajiban pensiunya, yang kebanyakan
mengambilnya berdekade-dekade lalu ketika perusahaan-perusahaan AS malah menawarkan
paket pensiun dan kesehatan yang lebih menarik.
ANALISIS
1. Mengapa perusahaan berhutang untuk menjalankan bisnis dan operasionalnya?
Perusahaan Kodak melakukan pinjaman selain untuk memdapatkan modal untuk melakukan
produksi, meminjam modal pada investor juga dapat memperluas penggunaan produk dan
nilai paten dari produk agar perusahaan bisa berkerjasama dengan beberapa perusahaan yang
terkait
2. Kepada siapa perusahaan berhutang tersebut?
Perusahaan Kodak mendapat pinjaman modal dari investornya yang berupa beberapa
perusahaan terkait dan diantaranya secara langgsung menggunakan produk yang dikeluarkan
oleh perusahaan seperti Wal-Mart Stores Inc, Target Corp, Sony Corp dan Walt Disney Co.
3. Bagaimana perusahaan melakukan pembayaran utang tersebut?
Perusahaan akan melunasi kewajibannya kepada investor jika perusahaan mendapatkan laba
dari penjualan produk, karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit, sehingga
perusahaan harus menjual beberapa assetnya serta melaporkan kepailitannya kepada
pemerintah agar mendapat bantuan dalam melunasi utang-utangnya tersebut
4. Apa saja risiko yang dihadapi oleh perusahaan?
Risiko Operasional
Perusahaan Kodak yang bergerak didunia tekonologi tentu akan banyak mengalami
perubahan dan kemajuan zaman, namun perusahaan ini tidak mampu untuk memproduksi
produk maupun itu menciptakan produk baru ataupun memperbarui produk lama mereka
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para konsumen dan masyarakat luas, sehingga
perusahaan harus menghadapi masalah bahwa produk mereka tertinggal serta kalah bersaing
dengan produk lain dan menimbulkan kerugian pada perusahaan
Risiko Likuiditas
Perusahaan memiliki risiko tidak dapat melunasi seluruh utang dan kewajibannya kepada
sejumlah perusahaan dan investornnya, apalagi perusahaan mengalami pailit karena produk
yang dijual tidak bisa menhasilkan keuntungan pada perusahaan
Risiko Reputasi
Perusahaan terancam memiliki reputasi yang buruk karena banyak pengamat bisnis yang
meramalkan bahwa perusahaan tidak mampu lagi beroperasi karena harga saham perusahaan
yang terus menurun
Risiko Tenaga Kerja
Karena perusahaan secara terus menerus mengalami kerugian maka perusahaan harus
mengurangi banyak tenaga kerjanya serta permasalahan untuk membayar gaji dan biaya
pensiun bagi para karyawannya yang masih berkerja
Risiko Bisnis
Persaingan bisnis didunia tekonologi sangatlah pesat, pesaing selalu mengeluarkan produk
terbaru dan lebih canggih, sehingga lebih digemari oleh konsumen dan laku dipasaran, risiko
ini menjadi salah satu risiko yang tidak bisa dilalui oleh perusahaan Kodak.
5. Bagaimana cara agar perusahaan dapat mengembangkan usahanya tanpa melakukan
kredit atau berhutang?
Karena Perusahaan Kodak sebenarnya sudah lama bergelut didunia teknologi dan fotograpi,
perusahaan juga sudah punya nilai paten atas beberapa produk yang mereka ciptakan serta
sudah mendapat banyak kepercayaan dari beberapa perusahaan yang menggunakan
produknya tersebut tentu saja perusahaan seharusnya sudah punya banyak pengalaman
tentang sektor ini. Sebaiknya perusahaan membangun kerjasama dengan perusahaan lain
masih terkait dengan dunia fotografi dan teknologi jika memang perusahaan sudah tidak
mampu untuk memproduksi sendiri produk yang dapat laku dipasaran. Dengan berkerjasama
dengan perusahaan lain Kodak masih bisa menggunakan pengalamannya dan berbagai
assetnya yang masih dimiliki untuk keperluan operasional, tanpa harus meminjam modal dari
pihak lain.
Selain itu perusahaan juga dapat beralih ke bidang media sosial seperti yang telah disarankan
oleh analis, selain karena sedang majunya bisnis dalam dunia online, modal yang harus
dikeluarkan jumlahnya pun tidak sebanyak untuk memproduksi perangkat keras yang
biasanya dilakukan oleh Kodak selama ini.
Sumber:
http://94genia.blogspot.co.id/2016/02/studi-kasus-manajemen-risiko-berserta.html
RISIKO LIKUIDITAS
Masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang
diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat
terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian
Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah
menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
BLBI dan Hukum yang Bungkam
Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah
menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat
Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian
utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas
pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus
korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48
bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam
penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara
langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI
menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan
penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku
korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum
bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus
ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai
sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan
terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah
lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah
sesuatu yang berlebihan bila dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang
kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan
dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-
kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari
kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam
berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI.Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu
merupakan sesuatu yang berada dalam tataran hukum keperdataan, atau apakah kasusnya
kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum
pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah
menimbulkan berbagai kontrovesri. Tulisan ini mencoba memberikan solusibagi keduanya,
namun tidaklah dimaksudkan untuk membahasnya secara tuntas, melainkan hanya beberapa
bagian yang dianggap relevan.
ANALISIS
A. Kasus BLBI
BLBI telah berjalan kurang lebih selama 10 (sepuluh) tahun sejak krisis moneter
tahun 1997/1998. Langkah penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan
pengambil kebijakan pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi
lainnya di SP3-kan oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum. Pemerintah
telah menetapkan kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar pengadilan dengan
payung hukum UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan Payung Politik TAP MPR RI
kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang mengesahkan perjanjian
MSAA, MRNIA, APU, dan SKL. Konsekuensi dari Inpres tersebut adalah dihentikannya
penyidikan kasus BLBI (SP3) oleh kejaksaan agung namun tidak merujuk kepada ketentuan
KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor yang
diharapkan kooperatif (melunasi seluruh kewajibannya) tidak memberikan hasil maksimal
untuk kepentingan Negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Mei 2008
yang telah membatalkan SP3 Kejaksaan Agung yang telah dikeluarkan atas nama Kasus SYN
(BDNI) tertanggal 14 Juni tahun 2004 merupakan bukti bahwa payung hukum di atas tidak
memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.
Sedangkan pengembalian atas kerugian Negara tidak mencapai 10 % dari total dana BLBI
yang telah disalurkan.
B. Analisis Hukum Kasus BLBI
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh
Bank Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan
likuiditas yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu
ditempuh adalah untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran
yang dipastikan akan berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi persoalannya
kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima
fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai
dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam
jumlah yang sangat besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank
penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan,
karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau
kontrak sebagai kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan
pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi
penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah
untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk
membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh
bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya
tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan
hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana.
Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup
memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan
untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI
sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus
yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur
hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan
BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
1. pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya.
2. konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI.
3. pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
4. penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi
bentuk-bentuk penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh
penerima secara menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan
memindahkan asset ke luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk
operasionalisasi bank, serta untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group
perusahaan penerima BLBI). Studi hukum
1. membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi.
2. membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.
3. membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo.
4. membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban
yang timbul dari transaksi PUAB.
5. membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang
sudah ada.
6. bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti:
a. pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada bank
b. penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas.
c. pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus
operandi yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya
dilakukan. Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi
yang merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti
ditanggapi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan
hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan.
Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10 tahun
1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauhmana dan dalam hal-hal
apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan
terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.
Pembuat UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
1. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan.
2. tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank.
3. tindak pidana perbankan di bidang pengawasan.
4. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi managemen).
5. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi.
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun
yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu
kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan
menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK : Mencari Celah Tangani Kasus BLBI
Kewenangan KPK dalam menangani kasus BLBI dipertanyakan, bahkan oleh
Antasari Azhar selaku mantan Ketua KPK itu sendiri. Menurut hemat penulis, dengan
terungkapnya kasus penyuapan jaksa Urip dalam penanganan kasus Sjamsul Nursalim
(BDNI) dapat meretas jalan bagi KPK untuk melanjutkan penanganan kasus BLBI. Memang,
hal ini merupakan tugas yang tidak ringan buat KPK. Apalagi, terdapat ketentuan dalam UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tidak memberlakukan azas retroaktif dalam
penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK. Akan tetapi, kasus BLBI sudah merusak
sendi-sendi keadilan dalam masyarakat sehingga sudah seharusnya jika ada “political will”
yang kuat dari KPK, Presiden, Kejaksaan Agung, dan DPR untuk mengusut tuntas kasus
tersebut.
Laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000 menyebutkan
adanya penyimpangan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar
Rp 138,4 triliun dari total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya
peyelewengan penyalahgunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedrajad Djiwandono, dianggap bertanggung jawab
dalam pengucuran BLBI. Tersangka dari BI adalah para direkturnya, Hedrobudiyanto, Paul
Sutopo dan Heru Soepraptomo dan masing-masing telah divonis tiga tahun, dua setengah
tahun, dan tiga tahun. Dari pihak BLBI, ada beberapa debitur yang diproses secara hukum, di
antaranya Sjamsul Nursalim (BDNI) yang kasusnya telah dihentikan oleh pihak Kejaksaan
Agung dengan alasan tidak cukup bukti adanya perbuatan korupsi.
Meskipun penghentian penyidikan atas kasus Sjamsul Nursalim oleh Kejaksaan
Agung tidak serta merta dapat diterima oleh masyarakat dan menyisakan pertanyaan besar
yang belum terjawab, kita tiba-tiba dikejutkan oleh kasus jaksa Urip yang tertangkap tangan
oleh KPK atas dugaan menerima suap. Hal ini tentu saja semakin memojokkan posisi
Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus tersebut yang dianggap tidak tuntas dan tidak
bersih.
Penulis mencermati bahwa dari awal, sebenarnya keinginan pihak Kejaksaan Agung
untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ditanganinya patut mendapat acungan jempol.
Bahkan, mantan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pun terkesan tidak mau melepaskan
penanganan kasus BLBI yang akan diambil alih oleh KPK. Hal ini terungkap dalam
pemberitaan di harian Suara Karya, 10 Maret 2006 : ”Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
(Arman) berubah sikap. Dia menyatakan keberatan jika kasus-kasus korupsi yang terkatung-
katung di kejaksaan diambil-alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Padahal,
(Rabu, 8 Maret 2006), dia mengaku tidak bermasalah dengan perintah Presiden Susilo
Bambang Yudhono itu. "Kasus-kasus korupsi yang sudah ditangani kejaksaan sebaiknya
tidak dialihkan ke KPK," ujar Arman kepada wartawan saat rehat rapat koordinator menteri-
menteri di lingkungan Polhukam dengan tim Pemantau Kasus Poso, di Gedung DPR-RI,
Jakarta.
Di lain pihak, KPK sendiri juga terlihat tidak terlalu bernafsu untuk mengambil alih
penanganan kasus korupsi yang terkatung-katung di Kejaksaan Agung. Padahal, KPK sendiri
sudah menegaskan akan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan
Agung dan Polri bila penanganan itu berlarut-larut. Hal itu disampaikan Ketua KPK yang
pada saat itu dijabat oleh Taufiqurahman Ruki seusai menandatangani Keputusan Bersama
antara KPK dan Jaksa Agung tentang kerja sama dalam rangka pemberantasan dan tindakan
korupsi, di Jakarta. Acara tersebut dihadiri antara lain oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara, Taufiq Effendi, Ketua BPK Anwar Nasution, dan Ketua Komisi III DPR Trimedya
Panjaitan. “KPK mempunyai tugas supervisi dan KPK akan ambil alih bila jaksa atau polisi
berlarut-larut dalam menangani kasus korupsi. Memang agak susah kalau tindak pidana
korupsi dengan bukti lengkap tetapi lama ditangani,” demikian kata Ruki. (Kompas, 7/12/05).
Jadi, kalau MOU antara KPK dan Jaksa Agung tidak dapat memberikan dampak apa-apa
dalam penanganan kasus-kasus tersebut (termasuk kasus BLBI), tentu saja harus dicari
terobosan lain untuk penuntasan kasus BLBI.
Sumber:
http://lastiani16.blogspot.co.id/2014/06/masalah-bantuan-likuiditas-bank.html
RISIKO FRAUD
STUDI KASUS PELANGGARARAN PROFESI AKUNTANSI
“Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia Farma Tbk”
Permasalahan
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di
Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan
adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta
& Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba
bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang,
pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated),
karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru,
keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6
milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri
Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit
Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit
Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar
dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada
dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur
produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1
dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan
dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001.
Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya
pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang
tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan
Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah
mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain
itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa
Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di
PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam
laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar
Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 –
Khusus huruf m – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan
Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis,
kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan
atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk
periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum
periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian
dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa
transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
Sanksi dan Denda
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang
Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun
1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi
administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan
membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas
Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan
per 31 Desember 2001.
2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor
PT Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak
berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia
Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai
dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya
unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena
dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di SPAP
SA Seksi 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04
Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang
dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan
pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
ANALISIS
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP
HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma
Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana
ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan
dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata
yang tidak mampu melakukanreview menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi
lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan
penggelembungan nilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu
tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan
ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah
KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata
pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko
seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan
pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor
Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada
kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi
laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus
manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat
diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko
etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan
stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian
risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
a) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja parastakeholder yang
berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan
apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian
dalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan
junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
b) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan
menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.
c) Mengutamakan reputasi KAP HTM
Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas,
reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam
melakukan perbandingan.
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM
dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk
menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil
keuntungan dari kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis
dengan stakeholder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi
kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang
dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan
para stakeholder HTM.
PEMBAHASAN KASUS
A. Kasus di atas merupakan Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI yang dilakukan oleh
Manajemen PT KAI dan Ketidakmampuan KAP dalam mengindikasi terjadinya manipulasi.
B. Analisis 5 Question Approach:
Profitable
1. Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan perusahaan
seolah-olah baik (laba Rp 6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita kerugian Rp 63 M.
Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus dari “laba semu” tersebut.
2. Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana dimungkinkan
memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
Legal
1. PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal “Dalam kegiatan
perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung:
a) Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b) Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c) Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan
fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang
terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau
menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi
Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.”
PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang
menyatakan:
“Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau
menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin,
persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).”
2. KAP S. Manan & Rekan melanggar Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)
Fair
Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.
1) Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga
keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak akurat/salah
2) Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak yang diterima
pemerintah lebih kecil.
Right
1) Hak-hak Publik; dirugikan karena investor memperoleh informasi yang menyesatkan,
sehingga keputusan yang diambil menjadi salah/tidak akurat.
2) Pemerintah; dirugikan karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil.
Suistainable Development
1) Rekayasa yang dilakukan manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan jangka
panjang, karena hanya menginginkan keuntungan/laba untuk kepentingan pribadi/manajemen
(motivasi bonus).
C. Prinsip Etika Yang Dilanggar:
Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal
pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya
menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab
profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional,
kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika akuntan yang
dilanggar antara lain :
6. Perilaku profesional ;
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan
kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan
(mencoreng nama baik) profesinya.
7. Standar teknis ; Akuntan
dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan
standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati,
akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama
penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini
akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan
sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia
telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu,
pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi
keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
D. Sikap Yang Diambil :
1. Manajemen PT KAI
a) Melakukan koreksi atas salah saji atas: pajak pihak ketiga yang dimasukkan sebagai asset;
penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan yang belum dibebankan; bantuan
pemerintah yang seharusnya disajikan sebagai bagian modal perseroan.
b) Meminta maaf kepada stakeholders melalui konferensi pers dan berjanji tidak mengulangi
kembali di masa datang.
2. KAP S. Manan & Rekan & Rekan
a) Melakukan jasa profesional sesuai SPAP, dimana tiap anggota harus berperilaku konsisten
dengan reputasi profesionalnya dengan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesioreksi
b) Melakukan koreksi atas opini yang telah dibuat
c) Melakukan konferensi pers dengan mengungkapkan bahwa oknum yang melakukan
kesalahan sehingga menyebabkan opini atas Laporan Keuangan menjadi tidak seharusnya
telah diberikan sanksi dari pihak otorisasi, dan berjanji tidak mengulang kembali kejadian
yang sama di masa yang akan datang.
E. Rekomendasi Agar Kasus Serupa Tidak Terulang
1) Membangun kultur perusahaan yang baik; dengan mengutamakan integritas, etika profesi
dan kepatuhan pada seluruh aturan, baik internal maupun eksternal, khususnya tentang
otorisasi.
2) Mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan publik.
3) Merekrut manajemen baru yang memiliki integritas dan moral yang baik, serta
memberikan siraman rohani kepada karyawan akan pentingnya integritas yang baik bagi
kelangsungan usaha perusahaan.
4) Memperbaiki sistem pengendalian internal perusahaan.
5) Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka
mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate
governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
6) Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya
adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk
memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat
dan melindungi perusahaan dari kerugian.
7) Retrospective Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk
mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
8) Investigation and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik
adalah menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat kefatalan
fraud, tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap kebijakan
perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan keuangan
atau penyalahgunaan asset.
9) Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk
jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap strategis
dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi (enforcement) tanpa ada
pengecualian yang tidak masuk akal
10) Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil
dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama dan
adil untuk “terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak “berkenan”
dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan logis untuk
menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran profesionalisme dikedepankan
11) Akuntabilitas dan Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar memungkinkan
monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum dapat
diketahui dan diberikan sangsi tanpa kompromi.
ANALISIS:
Dari kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu merupakan
suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun tersebut yang terjadi
karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan pada laporan keuangan PT KAI
tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan yang menyesatkan banyak pihak seperti
investor tersebut. seharusnya PT KAI harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada asas-
asas etika profesi akuntansi.
Sumber:
http://praatiwii.blogspot.co.id/2014/11/kasus-manipulasi-laporan-keuangan-pt-kai.html
RISIKO KREDIT
PT KIANI KERTAS
Prabowo dan 'Kebocoran' di PT.Kiani Kertas
Kembali, lebih dari 1000 orang karyawan PT. Kiani Kertas (Kertas Nusantara)
dijadwalkan akan demo di depan kantor pemkab Berau Kalimantan Timur karena tunggakan
gaji yang tidak diterima karyawan selama lebih dari 5 bulan. Pembayaran ini sudah ditunggak
sejak bulan Agustus tahun lalu, karena kondisi keuangan perusahaan kertas terbesar di Asia
tersebut dalam kondisi kritis. Ada apa dengan PT. Kiani Kertas? Bukankah dulu perusahaan
ini berkibar dan sangat menguntungkan?Mengapa kini dalam kondisi terengah-engah? Salah
kelola seperti apa? Apa ada yang bocor? Menurut Suyadi, Ketua DPC SBSI Berau Kaltim,
sebelum diambil alih oleh Prabowo, kondisi PT. Kiani sangat sehat. Pabrik berjalan dengan
baik, karyawan sejahtera, penduduk sekitar yang memiliki pohon diuntungkan juga dengan
menyuplai ke PT. Kiani Kertas.Sebelum diambil alih oleh Prabowo, perusahaan itu sangat
bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan berhasil meningkatkan taraf perekonomian di
Berau.Tetapi sekarang, walupun mesin-mesin masih baik, suplai kayu sudah ada (dari
masyarakat sekitar yang menanam pohon kayu di HTI), tetapi mengapa justru produksi
dihentikan?Pengambil Alihan PT. Kiani Kertas dari Bob Hassan ke Prabowo Dulu
perusahaan ini merupakan perusahaan milik Bob Hassan. Perusahaan ini diambil alih oleh
BPPN terkait penyelesaian hutang Bank Umum Nasional milik Bob Hassan senilai Rp 8,9
Trilyun. Berarti dalam hitungannya ketika itu tentu nilai PT. Kiani Kertas senilai Rp 8,9
Trilyun. Tahun 2002, BPPN menawarkan kepada perusahaan milik Prabowo Subianto, PT.
Voyala, yang kemudian membeli semua saham PT. Kiani senilai Rp 7,1 Trilyun. Dari nilai
tersebut, US$ 230 juta (sekitar Rp 2,3 Trilyun) merupakan kredit dari Bank Mandiri. Tetapi
kemudian PT. Kiani terjerat dalam kredit macet tidak mampu membayar hutangnya ke Bank
Mandiri.
Pada tahun 2005, Prabowo dipanggil oleh Kejagung sebagai saksi penyaluran kredit
dari Bank Mandiri ke PT. Kiani Kertas, karena ada temuan dari Kejagung dan BPK terdapat
perbuatan melawan hukum dalam penyaluran kredit Rp 1,89 Trilyun yang berpotensi
menimbulkan kerugian negara. Tetapi tahun 2011, kasus ini di SP3kan oleh Kejagung.
Penyelamat Prabowo dalam masalah kredit macet PT. Kiani Kertas adalah Hasyim
Joyohadikusumo, yang pada tahun 2007 menyetorkan uang ke Bank Mandiri senilai US$ 50
juta, sehingga PT. Kiani bisa melakukan restrukturisasi hutang. Pada tahun 2011, PT. Kiani
digugat pailit ke PN Jakpus karena tidak mampu membayar hutang dengan no register
perkara 31/Pailit/2011/PN Niaga Jakpus.
PT.Kiani lolos dari gugatan pailit setelah 89% atau 120 kreditur dari 143 setuju
memberikan perpanjangan masa pembayaran hutang. Keputusan ini diambil dari rapat
pemungutan suara yang diadakan untuk memutuskan atau menolak proposal perpanjangan
hutang oleh perusahaan milik Prabowo tersebut. Perpanjangan masa pembayaran terhitung
mulai 2013, selama 15 tahun untuk kreditur separatis dan 20 tahun untuk kreditur konkuren
Data kurator kepailitan menunjukkan bahwa hutang perusahaan terdiri dari :
1. Rp 7,94 Trilyun kepada kreditur separatis (kreditur utama atau pemegang jaminan
kebendaan atau asset, prioritas mendapatkan pembayaran penjualatan kepailitan)
2. Rp 5,6 Trilyun kepada kreditur konkuren yang diakui
3. Rp 734 milyar kepada kreditur konkuren yang diakui sementara
Yang mengherankan, ternyata Prabowo meminjam kepada asing. Jadi kreditur
separatis senilai Rp 7,94 Trilyun itu adalah JP Morgan Europe Ltd, Credit Suisse
International, Boshendal Investment Ltd, Langass Offshore Inc. Lah, ini sami mawon donk,
dimana letak nasionalismenya? Tidak semua kreditur menyetujui proposal perpanjangan
hutang tersebut. Salah satunya adalah Allied Ever Investmen Ltd, yang menyatakan bahwa
proposal dibuat sederhana. Padahal hutang yang dibuat oleh PT. Kiani Kertas ini dulu Rp
14,3 Trilyun. Kuasa hukumnya menyatakan: 'Banyak hal yang seharusnya diperiksa dan
dipelajari. Apalagi laporan keuangan mereka juga tidak diaudit.Yang diaudit baru
disampaikan kemarin.'Dana yang dipinjam memang sangat besar sekali.Nilainya trilyunan
rupiah.Jika perusahaan tetap sekarat, cashflow perusahaan untuk bergerak tidak ada,
bukankah penzaliman namanya terhadap karyawan yang ada beserta masyarakat sekitar yang
menumpukan hidupnya dengan keberadaan perusahaan ini?Kemana larinya hasil produksi
dulu yang sempat sangat baik?Dan kini, perusahaan itu masih berdarah-darah.Apakah
Prabowo tidak berminat menutup kebocoran disini dengan serius pembenahan manajemen di
PT. Kiani Kertas alias Kertas Nusantara ini?
ANALISIS
1. Mengapa perusahaan berhutang untuk menjalankan bisnis dan operasionalnya?
Perusahaan terlibat utang untuk keperluan bisnis karena ada pemindah alihan kepemilikan
perusahaan dari Bob Hasan ke PT. Voyala, perusahaan milik Prabowo Subianto yang
membeli seluruh saham PT. Kiani yang senilai Rp 7,1 Trilyun namun dari nilai tersebut, US$
230 juta (sekitar Rp 2,3 Trilyun) merupakan kredit dari Bank Mandiri
2. Kepada siapa perusahaan berhutang tersebut?
PT. Kiani menjadi terlibat utang kepada Bank Mandiri, dan kepada beberapa pihak kreditur
lainnya yang berupa kreditur separatis, kreditur konkuren yang diakui, kreditur konkuren
yang diakui sementara, serta kreditur asing seperti JP Morgan Europe Ltd, Credit Suisse
International, Boshendal Investment Ltd, Langass Offshore Inc.
3. Bagaimana perusahaan melakukan pembayaran utang tersebut?
Karena perusahaan tidak mampu untuk membayar kewajibannya kepada para kreditur unuk
saat ini, maka perusahaan sempat digugat pailit oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun
perusahaan berhasil lolos dari gugatan tersebut dan mendapat perpanjangan waktu untuk
melunasi kewajibannya dari para kreditur
4. Apa saja risiko yang dihadapi oleh perusahaan?
Risiko Likuiditas
Perusahaan memiliki risiko tidak dapat melunasi seluruh utang dan kewajibannya kepada
bank dan sejumlah pihak yang menjadi krediturnya meskipun sudah mendapat perpanjangan
waktu karena perusahaan tidak beroperasi dengan baik.
Risiko Operasional
Perusahaan memiliki risiko operasional karena ada perubahan kepemilikan perusahaan yang
secara langsung merubah dan mengganggu sistem operasional serta manajemen internal
perusahaan menjadi tidak berfungsi dengan baik dan menimbulkan masalah
Risiko Tenaga Kerja
Perusahaan yang tidak produktif dengan baik seperti sebelumnya menghasilkan risiko kepada
perusahaan tidak bisa membayar gaji para tenaga kerjanya dengan sesuai.
5. Bagaimana cara agar perusahaan dapat mengembangkan usahanya tanpa melakukan
kredit atau berhutang?
Karena sebelum pemindah alihan kepemilikan perusahaan, PT Kiani Kertas sudah dapat
beroperasi dengan baik tanpa terlilit oleh utang, maka dari itu perusahaan seharusnya bisa
tetap mempertahankan sistem manajemen dan operasional mereka dengan baik agar
perusahaan tetap berproduksi dengan lancar dan perusahaan bisa mendapatkan keuntungan.
Sistem manajemen internal yang baik, mengurangi pengeluarkan perusahaan yang tidak
penting, memaksimalkan penggunaan asset yang dimiliki perusahaan serta memanfaatkan
sumber daya dari lingkungan sekitar perusahaan untuk kebutuhan produksi dapat menghemat
biaya perusahaan daripada perusahaan harus meminjam dana kepada kreditur untuk
kebutuhan produksi.
Langsung ke konten utama
MUHAMAD YASIR
Oktober 04, 2017
Sejarah
PT Astra Honda Motor (AHM) merupakan pelopor industri
sepeda motor di Indonesia. Didirikan pada 11 Juni 1971 dengan
nama awal PT Federal Motor, yang sahamnya secara mayoritas
dimiliki oleh PT Astra International. Saat itu, PT Federal
Motor hanya merakit, sedangkan komponennya diimpor dari Jepang
dalam bentuk CKD (completely knock down).
Visi
Misi
Pendahuluan
Setiap perusahaan pasti memiliki risiko dalam menjalankan
kinerja perusahaanya, salah satu risiko yang akan dihadapi
perusahaan adalah risiko kredit. Risiko kredit adalah risiko
yang dihadapi sebuah perusahaan karena pendanaan eksternal
yang di usahakan oleh perusahaan.
Penilaian Kualitatif
Penggunaan penilaian kualitatif risiko kredit berdasarkan
3R dan 5C adalah sebuah usaha pendekatan untuk mendapatkan
nilai pengukuran risiko kredit yang dialami oleh perusahaan. .
Return;
Repayment Capacity;
Risk Bearing Ability.
Character;
Capacity;
Capital;
Collateral;
Condition.
Pedoman 3R
Return (pendapatan) yaitu menilai apakah PT. Astra Honda
Motor mempunyai pendapatan yang memadai dalam mencukupi
atau melunasi hutang dan bunganya.
Repayment Capacity (kemampuan mengembalikan pinjaman)
yaitu menilai apakah PT. Astra Honda Motor mempunyai
kapasitas/kemampuan dalam mengembalikan pinjaman dan
bunganya pada saat jatuh tempo.
Risk-bearing Ability yaitu menilai kemampuan PT. Astra
Honda Motor dalam menanggung risiko kegagalan atau
ketidakpastian yang berkaitan dengan penggunaan kredit.
Pedoman 5C
Risiko Dampak
Batasan-batasan dalam Besar
industri yang menyebabkan
kehilangan peluang dan
pendapatan
Penjelasan: