Anda di halaman 1dari 15

Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 52- 66 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.

2019, 52 -66
ISSN: 1412-8004

PERANAN AGENS HAYATI DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT


JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET
The Role Of Biocontrol Agents To Control White Root Disease In Rubber

WIDI AMARIA, KHAERATI, dan RITA HARNI


Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops
Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Indonesia
E-mail: w_amaria@yahoo.com

ABSTRAK
Kata kunci: Hevea brasiliensis, pengendalian hayati,
jamur akar putih
Penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh
Rigidoporus microporus merupakan penyakit penting
ABSTRACT
pada tanaman karet (Hevea brasiliensis). Daerah
serangan cukup luas dan menyebabkan kerugian
White root disease (WRD) caused by Rigidoporus
ekonomi mencapai 1,8 trilliun rupiah. R. microporus
microporus is an important disease in rubber (Hevea
merupakan patogen tular tanah yang menginfeksi
brasiliensis). The area of attack was quite extensive and
mulai pembibitan sampai tanaman dewasa di lapang
caused economic losses up to 1.8 trillion rupiahs. R.
melalui proses mekanis dan enzimatis. Patogen R.
microporus is a soil-borne pathogen that infects from
microporus menginfeksi Rhizomorf R. microporus cepat
seedlings to mature plants in the field through
berkembang dan mampu bertahan selama bertahun-
mechanical and enzymatic processes. Rhizomorph able
tahun di dalam tanah. Pengendalian dengan
to spreads and survives for years in the soil. Control
menggunakan fungisida kimia secara terus menerus
using chemical fungicides continuously affects the
dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Upaya
environment stability. The efforts to reduce are
mengurangi dampak negatif tersebut, dilakukan
conducted through the application of biological control
melalui penerapan teknologi pengendalian hayati
technology with the use of antagonistic biological
dengan pemanfaatan agens hayati. Keunggulan
agents. The benefits of antagonistic biological agents
penggunaan agens hayati antagonis adalah mudah
include: easy to develop and adapt to the environment,
berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan,
reducing pathogen inoculum, easily obtained and
mengurangi inokulum patogen, mudah didapatkan
reproduced, and safe for the environment. The
dan diperbanyak, serta aman untuk lingkungan. Agens
antagonistic biological agents to control WRD include
hayati antagonis yang telah digunakan untuk
fungus: Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium,
mengendalikan penyakit JAP, antara lain dari
Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, Eupenicillium,
kelompok jamur Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus,
bacteria: Bacillus and Pseudomonas, and actinobacteria:
Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces,
Streptomyces. The mechanism of biological agents that
dan Eupenicillium, kelompok bakteri adalah Bacillus
suppress R. microporus infections with the competition,
dan Pseudomonas, serta kelompok aktinobakteri dari
antibiosis, hyperparasitism, and lysis. The effectiveness
marga Streptomyces. Mekanisme agens hayati menekan
and stability of biological agents need to be formulated
infeksi R. microporus dengan kompetisi, antibiosis,
into biofungicide using carriers and additives. The
hiperparasitisme, dan lisis. Keefektifan dan kestabilan
successful application of biofungicide is strongly
agens hayati perlu diformulasi dalam bentuk
influenced by environmental factors such as
biofungsida dengan menggunakan bahan pembawa
temperature, humidity, and pH. It is also supported by
dan tambahan tertentu. Keberhasilan aplikasi
the cultivation techniques and environmental
biofungisida sangat dipengaruhi oleh faktor
sanitation, including inoculum source.
lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan pH. Selain
itu, juga didukung oleh komponen budi daya tanaman,
Keywords: Hevea brasiliensis, biological control, white
seperti penggunaan pupuk organik, dan sanitasi
root disease
lingkungan dengan pemusnahan sumber inokulum.

52 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :52 - 66


PENDAHULUAN sedangkan pada bagian atas tanaman
memperlihatkan daun menjadi kusam, layu,
Penyakit jamur akar putih (JAP) yang menguning, kering, dan menyebabkan kematian
disebabkan oleh Rigidoporus microporus syn. tanaman (Amaria dan Wardiana 2014; Omorusi et
Rigidoporus lignosus merupakan penyakit penting al. 2014; Omorusi 2012). Kondisi ini banyak
pada tanaman karet. Infeksi R. microporus ditemukan pada kebun karet yang kurang
mengakibatkan penurunan produksi dan terpelihara dengan baik, kebersihan maupun
kematian tanaman. Kehilangan hasil akibat budi daya tanaman kurang diperhatikan
penyakit ini secara ekonomis cukup tinggi, tidak sehingga selain kondisi lingkungan yang
hanya kehilangan produksi akibat infeksi mendukung perkembangan penyakit, tanaman
penyakit tetapi mahalnya biaya yang diperlukan juga mudah terserang.
dalam pengendalian. Di Indonesia, kerugian Teknologi pengendalian JAP sudah banyak
finansial akibat kematian tanaman mencapai 1,8 dilaporkan salah satunya adalah pengendalian
triliun rupiah per tahun dengan perkiraan hayati. Pengendalian hayati merupakan salah
keparahan penyakit sebesar 3% di perkebunan satu pengendalian organisme pengganggu
besar dan 5% di perkebunan rakyat (Situmorang tanaman (OPT) ramah lingkungan, terutama
et al. 2007). Selanjutnya Natawijaya (2007) memanfaatkan agens hayati berupa jamur,
melaporkan dari 12 provinsi di Indonesia dengan bakteri, maupun aktinobakteri yang bersifat
kejadian penyakit JAP seluas 80.204 hektar, antagonis. Soesanto (2008) mengemukakan,
diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar pengendalian hayati sangat dianjurkan terutama
10,39 milyar rupiah. Luas serangan JAP dari untuk mencegah dan menekan infeksi patogen
tahun ketahun mengalami peningkatan, seperti tular tanah karena agens hayati lebih mudah
yang diungkapkan Muklasin dan Matondang berkembang dan beradaptasi dalam tanah. Di
(2010), pada tahun 2009 luas serangan 12.535,06 samping itu, keuntungan lainnya adalah agens
ha, meningkat menjadi 26.539,47 ha pada tahun hayati mudah diperoleh dan diperbanyak,
2010, dan tahun 2011 menjadi 16.251,49 ha. kompatibel dengan komponen pengendalian lain,
Kejadian penyakit JAP bahkan mencapai 100% serta mendukung keanekaragaman hayati.
dengan keparahan penyakit 52,50% seperti yang Pengendalian ini akan lebih efektif jika dalam
diungkapkan Rahayu et al. (2017) di Kecamatan aplikasinya dikombinasikan dengan teknologi
Air Batu Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. budi daya yang direkomendasikan, seperti
Patogen menginfeksi semua stadia umur pemupukan dan sanitasi lingkungan.
tanaman karet, namun gejala penyakit lebih Dampak aplikasi agens hayati tidak
banyak ditemukan pada fase tanaman belum langsung terlihat dalam waktu singkat, namun
menghasilkan (TBM). Menurut Situmorang et al. membutuhkan waktu panjang untuk
(2007), umur tanaman 2-4 tahun merupakan fase memberikan kestabilan lingkungan dalam
yang rentan terhadap infeksi R. microporus. menekan perkembangan infeksi patogen serta
Infeksi terjadi melalui proses patogenesis mulai menurunkan intensitas penyakit. Agens hayati
dari kontak patogen dengan permukaan jaringan yang telah digunakan untuk pengendalian JAP,
inang, penetrasi, invasi dan kolonisasi, sampai di antaranya dari kelompok jamur adalah
dengan menimbulkan gejala penyakit. Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium,
Keberhasilan infeksi juga ditentukan oleh Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, dan
peranan cell wall degrading enzyme (CWDE) yang Eupenicillium (Amaria et al. 2013; Amaria dan
dihasilkan oleh patogen (Omorusi et al. 2014; Wardiana 2014; Fairuzah et al. 2014; Kaewchai
Omorusi 2012). dan Soytong 2010; Kusdiana et al. 2015; Ogbebor
Miselium yang menginfeksi inang, banyak et al. 2015; Ubogu 2013), dari kelompok bakteri
ditemukan di sekitar leher akar, pangkal batang, adalah Bacillus dan Pseudomonas (Muharni dan
dan di daerah perakaran. Infeksi tersebut Widjajanti 2011; Nasrun dan Nurmansyah 2015),
menyebabkan batang dan akar tanaman dan aktinobakteri adalah Streptomyces (Nakaew et
menghitam, membusuk, lunak, mudah patah, al. 2015).

Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 53
dan RITA HARNI)
Penggunaan agens hayati untuk sumber nutrisinya (Nandris et al. 1987; Omorusi
mengendalikan JAP telah dilaporkan oleh et al. 2014). Kemampuan hidup di dalam tanah
Amaria et al. (2015), T. harzianum, T. virens, T. tersebut menyebabkan rizomorf mampu bertahan
amazonicum, T. atroviride mempunyai daya dalam tanah dalam waktu yang lama, selama
hambat tinggi (>70%) terhadap R. microporus dan bertahun-tahun sehingga mudah menyebar dan
mampu mencegah perkembangan infeksi JAP melakukan penularan dengan melekat langsung
pada bibit karet. Selanjutnya Ogbebor et al. (2015) di permukaan akar tanaman (attachment) atau
menggunakan Hypocrea jecorina efektif melalui kontak akar sakit dengan akar sehat.
menghambat R. lignosus 86,83%, sementara P. R. microporus bersifat polifag, mempunyai
fluorescens dan Bacillus sp. dapat menekan kisaran inang yang luas. Selain menginfeksi
intensitas penyakit JAP 80,95%−82,91% (Nasrun tanaman perkebunan dan tanaman hutan, seperti
dan Nurmansyah 2015). karet, kopi, kakao, teh, kelapa sawit, cengkeh,
Dalam menyusun strategi pengendalian mangga, nangka, jambu mete, jati, sengon,
hayati JAP pada tanaman karet, perlu diketahui cemara, meranti, akasia, patogen ini juga
tentang bioekologi patogen, faktor-faktor yang menginfeksi tanaman penutup tanah jenis
mempengaruhi perkembangan penyakit, serta kacang-kacangan yang menjalar (Semangun
evaluasi agens hayati yang digunakan terutama 2008).
dalam formula biofungsida agar sesuai dengan
lingkungan dan memiliki kemampuan yang Mekanisme Infeksi dan Gejala Penyakit JAP
tinggi dalam menekan penyakit JAP. Tujuan
Mekanisme infeksi R. microporus pada proses
penulisan adalah mengkaji bioekologi patogen R.
patogenesis, dilakukan secara mekanis dengan
microporus, serta mengulas tentang teknologi
membentuk struktur infeksi untuk menembus
pengendalian hayati JAP pada tanaman karet
permukaan jaringan tanaman. Selain mekanis,
yang sampai saat ini sedang dikembangkan.
juga dengan enzimatis, yaitu menghasilkan
CWDE berupa kutinase, selulase, hemiselulase,
BIOLOGI DAN EKOLOGI PATOGEN pektinase, dan ligninase yang masing-masing
PENYEBAB PENYAKIT JAMUR AKAR memiliki fungsi mendegradasi sesuai dengan
PUTIH dinding sel inang.
Nandris et al. (1987), Omorusi (2012), dan
Patogen Penyebab Penyakit Omorusi et al. (2014) menjelaskan bahwa setelah
Patogen penyebab JAP adalah R. microporus rizomorf menempel pada permukaan akar
(Swartz: Fr.) van Ov. sinonim dari R. lignosus tanaman karet, hifa patogen mengalami
(Kloztch) Imazeki, Polyporus lignosus Klotzch, dan diferensiasi membentuk struktur infeksi, yaitu
Fomes lignosus (Klotzch) Bres. Jamur ini termasuk hifa penetrasi yang mampu menembus masuk ke
dalam kelas Basidiomycetes yang menghasilkan dalam jaringan inang melalui lentisel, luka, atau
badan buah (basidiokarp), mempunyai dinding secara langsung. Patogen menghasilkan CWDE
sel mengandung kitin dan glukan (Nicole dan kutinase untuk mendegradasi kutin yang
Benhamou 1991; Semangun 2008). R. microporus merupakan halangan pertama di permukaan
bersifat saprofit yang mampu bertahan hidup jaringan inang. Rizomorf masuk dalam jaringan
pada food base berupa tunggul atau bekas pohon inang dengan menekan epidermis dan korteks.
tumbang dan sisa-sisa tanaman, serta sebagai Tahap kolonisasi secara intra dan interseluler
parasit apabila bertemu inang dan menyebabkan dengan bantuan CWDE mampu mendegradasi
kematian tanaman. pektin dan lignin yang terdapat pada lamela
Rizomorf (kumpulan miselium yang tengah, mengakibatkan bagian ini hancur.
kompak) berwarna putih sampai jingga, tumbuh Kolonisasi juga meluas sampai ke jaringan xylem,
menjalar, bercabang seperti akar pada dan mendegradasi dinding sel secara progresif.
permukaan tanaman. Miselium dengan ketebalan Enzim yang berperan dalam mendegradasi lignin
1–2 mm ini, mampu berada di dalam tanah yang adalah lakase, Mangan Peroksidase, dan Lignin
bebas dan terlepas dari akar atau kayu sebagai Peroksidase, yang mengakibatkan akar tanaman

54 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66


membusuk, kecokelatan, lunak, lapuk, serta Omorusi et al. (2014) bahwa kondisi ini dapat
basah. Oghenekaro et al. (2015) menambahkan mendukung terjadinya kontak akar tanaman
bahwa pada saat proses delignifikasi oleh R. sakit dengan yang sehat. Oleh karena itu, pohon
microporus, dinding sel inang akan menipis karet atau pohon lain yang mati/tumbang di
karena hilangnya lignin, serta terjadinya sekitar lokasi harus segera dimusnahkan atau
pemisahan fiber (serat kayu). Hal ini disingkirkan dari kebun sampai dengan
menyebabkan jaringan inang yang mengandung perakarannya. Pada saat dilakukan pengolahan
kayu mudah remah dan patah. Lebih lanjut tanah untuk peremajaan karet juga perlu
dijelaskan, CWDE lakase diproduksi dalam diperhatikan karena sisa-sisa akar tanaman
jumlah tinggi oleh patogen karena sangat terinfeksi patogen di dalam tanah, jika dibiarkan
berperan dalam mendegradasi lignin jaringan akan menjadi sumber inokulum yang dapat
inang serta terlibat dalam berbagai proses menginfeksi dan menyebabkan kematian bagi
biologis. tanaman lainnya.
Infeksi R. microporus ditentukan dari sumber Gejala penyakit JAP baik pada bibit maupun
inokulum, baik berasal dari kebun karet maupun tanaman dewasa di lapang mempunyai
lokasi di sekitarnya. Sumber inokulum JAP dapat kesamaan, yaitu rizomorf yang melekat kuat
berupa tunggul bekas pohon tumbang (Gambar pada perakaran, leher akar, dan pangkal batang.
1a), sisa-sisa kayu dan ranting (Gambar 1b), Hasil penelitian Amaria dan Wardiana (2014)
daun-daun karet kering (Gambar 1c) yang gugur menunjukkan bahwa gejala penyakit JAP muncul
di sekitar tanaman, pohon tumbang (Gambar 1d), pada 24 hari setelah inokulasi (HSI), dan bibit
badan buah dan miselium R. microporus (Gambar karet akan mengalami kematian pada 60 sampai
1e), serta. Sumber inokulum yang merupakan 100 HSI. Gejala JAP pada bibit karet diawali
sisa-sisa akar terinfeksi di dalam tanah juga munculnya miselium berwarna putih di
perakaran, yaitu akar tunggang dan lateral
sangat menentukan penyebaran rizomorf
(Gambar 2a), rizomorf melekat kuat pada
patogen. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh

b c
a

e
d

Gambar 1. Sumber infeksi JAP di sekitar kebun karet: (a) tanggul, (b) ranting, (c) daun kering, (d) pohon
tumbang, (e) badan buah dan miselium R. microporus (Sumber: Koleksi penulis)

Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 55
dan RITA HARNI)
Gambar 2. Gejala penyakit JAP pada bibit karet: (a) miselium putih, (b) rizomorf, (c) pembusukan akar
(Sumber: Koleksi penulis)

menunjukkan rizomorf melekat di permukaan


akar dan pangkal batang disertai dengan
munculnya warna hitam yang menyebabkan
pembusukan, tekstur remah, rapuh, dan mudah
patah. Apabila infeksi R. microporus meningkat
maka ditandai dengan kolonisasi rizomorf, dan
a b pada pohon karetc akan tampak badan buah di
sekitar leher akar atau pangkal batang (Gambar
3b). Perkembangan badan buah diikuti dengan
pembusukan jaringan tanaman di dalamnya. Hal
ini menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat sehingga menyebabkan pohon
a b tumbang atau kematian tanaman.

Gambar 3. Gejala lanjut JAP pada pohon karet di Faktor-faktor yang Mempengaruhi
lapang: (a) daun kusam, menguning, Perkembangan Penyakit
kering, dan gugur; (b) badan buah R. Potensi kejadian penyakit JAP pada suatu
microporus, (Sumber: Koleksi penulis) areal ditentukan oleh kondisi vegetasi
sebelumnya, tekstur, atau struktur tanah,
keasaman tanah (pH), kadar air tanah, curah
permukaan akar tunggang (Gambar 2b), hujan per tahun, dan topografi (Tabel 1).
selanjutnya menghitam dan membusuk (Gambar Curah hujan yang tinggi lebih dari 4.000
2c). mm/tahun dapat meningkatkan kejadian
Pada tanaman dewasa di lapang, gejala pada penyakit karena kelembapan udara dan tanah
tajuk tanaman, yaitu daun kusam, menguning, juga meningkat sehingga patogen R. microporus
serta batang dan daun mengering (Gambar 3a) cepat berkembang. Pada curah hujan kurang dari
karena translokasi air, mineral, dan nutrisi
2.500 mm/tahun atau sampai 4.000 mm/tahun,
terganggu. Gejala pada bagian perakaran
kelembapan udara berkurang, namun jika

56 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66


Tabel 1. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian penyakit JAP pada tanaman karet
Faktor lingkungan
Potensi
Tanah asal Struktur/tekstur pH Lengas Hujan Topografi
kejadian
tanah tanah (%) (mm/tahun)
Ringan Rumput, semak- Lempungan/padat 3-4 <50 < 2.500 Berbukit
semak
Sedang Hutan sekunder Lempungan/ sedang 4-5 50-80 2.500-4.000 Bergelombang
Berat Lahan replanting Berpasir/gembur 5-7 80-90 >4.000 Datar
karet/hutan
primer
Sumber: Wijewantha (1964), Basuki (1981), Peries dan Liyange (1983) dalam Situmorang et al. (2007)

kelembapan tanah masih tinggi maka patogen larangan pembakaran pada saat persiapan lahan
juga tetap dapat menginfeksi perakaran. oleh pemerintah, tunggul dan sisa-sisa akar
Kondisi topografi kebun yang datar atau ditumpuk di areal gawangan. Tumpukan
landai, menyebabkan air hujan mudah tergenang tersebut juga berpotensi menjadi sumber
sehingga mendukung perkembangan penyakit. inokulum pada pertanaman yang baru dan
Demikian juga dengan tekstur tanah gembur atau kondisi ini akan meningkatkan tingkat kejadian
berpasir, meningkatkan kemampuan rizomorf penyakit JAP (Situmorang et al. 2007).
untuk menembus tanah berpori. Selain itu,
menurut Situmorang (2004), sumber inokulum AGENS HAYATI UNTUK
dari bekas kebun karet tua dan hutan primer, MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR
yaitu akar-akar tunggul dalam tanah yang AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET
berongga, akan mempermudah pergerakan
rizomorf sehingga mempercepat terjadinya Agens Hayati
infeksi dan penyebaran patogen.
Faktor-faktor lainnya seperti kelembapan Agens hayati pengendali JAP dapat
tinggi di atas 80%, kandungan bahan organik diperoleh dari sampel yang diambil di sekitar
tinggi, aerasi yang baik, dan pH 5–7 dapat perakaran tanaman (rizosfir), atau di dalam tanah
meningkatkan infeksi R. microporus (Sinulingga dengan kedalaman tertentu, serta jaringan
dan Eddy 1989). Basuki (1986) dalam Setyawan et tanaman (endofit) terutama bagian perakaran.
al. (2013) melaporkan hasil pengamatan di Sampel tersebut selain berasal dari ekosistem
laboratorium, bahwa R. microporus mudah tanaman karet (indigenous), juga dapat berasal
berkembang secara optimal pada pH netral (5,5– dari tanaman lain.
6,5), sedangkan pada pH asam pertumbuhannya Berbagai jenis agens hayati baik dari
semakin terhambat dan tidak berkembang pada kelompok jamur, bakteri, maupun aktinobakteri
pH 4. telah dimanfaatkan untuk menghambat
Persiapan lahan merupakan faktor penting perkembangan R. microporus baik in vitro maupun
yang mempengaruhi intensitas penyakit JAP di pada tanaman karet. Kelompok jamur adalah A.
perkebunan karet. Pada perkebunan rakyat niger, Chaetomium bostrychodes, Ch. cupreum, T.
umumnya dilakukan tanpa adanya hamatum, T. harzianum, Botryodiplodia theobromae
pembongkaran tunggul, hanya ditebang, dan mampu menghambat pertumbuhan koloni
diikuti dengan pembakaran lahan. Oleh karena patogen lebih dari 50% (Kaewchai dan Soytong
itu, sisa-sisa akar yang tertinggal di dalam tanah 2010; Ubogu 2013). Hasil penelitian lain, T.
merupakan food base R. microporus. Berbeda pada harzianum, T. virens, T. amazonicum, T. atroviride
perkebunan besar, persiapan lahan telah mempunyai daya hambat tinggi terhadap R.
dilakukan dengan baik agar tunggul dan sisa-sisa microporus di atas 70% dan mampu mencegah
akar dicabut dan dibersihkan secara mekanik perkembangan infeksi JAP pada bibit karet
kemudian dibakar. Namun, dengan adanya (Amaria et al. 2015; Amaria et al. 2013; Amaria

Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 57
dan RITA HARNI)
dan Wardiana 2014). Demikian juga, Hypocrea tersebut, sesuai yang dijelaskan Harman (2000),
jecorina efektif menghambat R. lignosus sampai yaitu agens hayati dapat bersaing dan bertahan
86,83% (Ogbebor et al. 2015). Potensi kelompok di dalam lingkungan tertentu, berkoloni dan
bakteri yang mampu menghambat R. microporus berproliferasi pada tempat aplikasi, serta mampu
adalah Bacillus sp. dan B. apiarus asal rizosfir bersimbiosis dengan tanaman. Mekanisme agens
tanaman karet, P. fluorescens dari akar kunyit dan hayati menentukan keberhasilan aktivitas dalam
karet (Damiri et al. 2019; Muharni dan Widjajanti mencegah perkembangan infeksi patogen.
2011). Rizobakteria P. fluorescens dan Bacillus sp., Mekanisme secara langsung dengan antibiosis,
dapat diaplikasikan di daerah endemik JAP pada kompetisi, hiperparasitisme, lisis (enzim litik),
tanaman karet berumur 5 tahun dengan dan tidak langsung misalnya dengan induksi
penekanan intensitas penyakit 80,95%−82,91% ketahanan tanaman dan plant growth promoting.
(Nasrun dan Nurmansyah 2015). Sementara itu, Penelitian tentang mekanisme agens hayati
dari jenis aktinobakteri Streptomyces asal rizosfir dalam menekan perkembangan R. microporus
tanaman kunyit dan jahe dapat menekan yang banyak dihasilkan adalah kompetisi,
intensitas penyakit JAP hingga 20% lebih tinggi antibiosis, hiperparasitisme, dan lisis (Tabel 2).
dibandingkan fungisida kimia sintetik (Nakaew Menurut Pal dan Gardener (2006),
et al. 2015). mekanisme antibiosis menghasilkan senyawa
antibiotik yang dapat menyebabkan hifa patogen
Mekanisme Agens Hayati abnormal (malformasi). Senyawa antibiotik
termasuk 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazines,
Setiap jenis agens hayati mempunyai satu
cyclic lipopeptides, pyoluteorin, pyrrolnitrin,
atau lebih mekanisme penting dalam mencegah,
viscosinamide dan 2,4-diacetyl phloroglucinol, di
menghalangi, ataupun menghambat
antaranya dihasilkan oleh Pseudomonas spp.,
perkembangan infeksi patogen. Komponen dasar
Bacillus siamensis, dan B. amylolyquifaciens,
yang penting dalam keberhasilan penghambatan

Tabel 2. Mekanisme agens hayati dalam mengendalikan JAP


No Mekanisme Agens hayati Referensi
1 Kompetisi T. virens, Amaria et al. (2015); Yulia et al. (2017)
T. hamatum,
T. amazonicum,
H. atroviridis, Trichoderma sp.

2 Antibiosis Trichoderma sp. Damiri et al. (2019); Yulia et al. (2017)

B. siamensis Damiri et al. (2019); Hardiyanti et al. (2018)


B. amylolyquifaciens
P. fluorescens
3 Hiperparasitisme T. virens, Amaria et al. (2015); Suwandi (2008)
H. atroviridis,
Chaetomium sp. Hardiyanti et al. (2018)
Penicillium sp.
4 Lisis (enzim litik)
Kitinase Trichoderma sp. Herath et al. (2017)
Penicillium sp.
B. apiarus Muharni dan Widjajanti (2011)
Bacillus sp.
Pseudomonas sp. Maiden et al. (2017); Nakaew et al. (2015)
Burkholderia sp.
Streptomyces sp.
Glukanase Trichoderma sp. Herath et al. (2017)
Penicillium sp.
Aspergillus sp.
Protease Streptomyces sp. Nakaew et al. (2015)

58 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66


N-asetil-glukosamin, β-glukanase menghidrolisis
ikatan β-1,3-glukan dan β-1,4-glukan, sedangkan
protease mampu menguraikan protein menjadi
monomer peptida dan asam amino. Secara
umum, penghambatan oleh agens hayati dengan
cara merusak struktur atau dinding sel patogen,
mempengaruhi permeabilitas membran sel,
sebagai inhibitor enzim sehingga aktivitas
a b
metabolisme patogen terganggu, dan sintesis
Gambar 4. Mekanisme agens hayati: (a) hifa protein terhambat, selanjutnya menyebabkan
patogen abnormal; (b) hifa patogen pertumbuhan dan perkecambahan patogen
lisis (Sumber: Amaria et al. 2015) terhambat. Agens hayati yang menghasilkan
enzim litik di antaranya Trichoderma spp., Bacillus
spp., dan Streptomyces spp., memproduksi
sedangkan Trichoderma spp. menghasilkan kitinase, glukanase, dan protease untuk
viridin, trikomidin, dan gliotoksin untuk mendegradasi dinding sel R. microporus (Muharni
menghambat R. microporus (Damiri et al. 2019; dan Widjajanti 2011; Nakaew et al. 2015; Pal dan
Hardiyanti et al. 2017; Pal dan Gardener 2006). Gardener 2006). Demikian juga hasil seleksi
Hiperparasitisme yang melibatkan kontak Maiden et al. (2017) yang membuktikan
langsung antara hifa agens hayati dengan hifa penghambatan sembilan isolat kitinolitik dari
patogen, serta dibantu dengan mekanisme lain marga Pseudomonas, Burkholderia, dan
yang menghasilkan senyawa tertentu untuk Streptomyces terhadap perkembangan miselium
menghambat perkembangan patogen. Sebagai R. microporus mencapai 31,69–91,63%.
contoh hifa T. virens, H. atroviridis, Chaetomium sp. Kemampuan setiap jenis agens hayati
dan Penicillium sp. memparasit hifa patogen R. dalam menekan perkembangan patogen berbeda-
microporus (Amaria et al. 2015; Hardiyanti et al. beda. Satu jenis agens hayati dapat mempunyai
2017; Suwandi 2008). Kemampuan lebih dari dua mekanisme penting. Seperti yang
hiperparasitime T. virens, selain melilit hifat telah diuraikan sebelumnya bahwa marga
patogen juga menghasilkan senyawa antifungal Trichoderma mempunyai beberapa mekanisme
trichodermin, gliotoxin, dan gliovirin. Sementara penting, yaitu antibiosis, hiperparastisme,
itu, H. atroviridis membentuk kumparan yang maupun menghasilkan enzim litik. Contoh lain
mengelilingi hifa patogen dan dibantu enzim β- adalah dari jenis aktinobakteri yang berpotensi
1,3-glucanases, β-1,6-glucanases, kitinase, dan untuk mengendalikan JAP pada tanaman karet
protease yang menyebabkan dinding sel patogen adalah dari marga Streptomyces. Aktinobakteri
lisis (Gupta et al. 2014) tersebut mempunyai beberapa mekanisme
Lebih lanjut Pal dan Gardener (2006) penting, yaitu antibiosis, produksi CWDE
menjelaskan mekanisme enzim litik, yaitu (kitinase, glukanase, selulase, dan protease),
memproduksi enzim seperti kitinase, glukanase, siderofor, fitohormon IAA, serta sebagai pelarut
dan protease. Enzim ekstraseluler tersebut fosfat (Nakaew et al. 2015).
dihasilkan oleh mikrob, bekerja mendegradasi
dengan cara menghidrolisis struktur dinding sel TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAYATI
patogen yang mengandung kitin, glukan, dan
protein sehingga dinding sel mengalami lisis Berbagai teknik pengendalian hayati sampai
(hancur atau rusak). Menurut Harman (2000) saat ini terus dikembangkan, bahkan menjadi
enzim yang menghidrolisis dinding sel patogen rekomendasi utama dalam kegiatan
akan menghambat sintesis selaput dinding sel pengendalian OPT. Keunggulan penggunaan
sehingga menyebabkan menurunnya teknik pengendalian ini karena dapat
kemampuan patogen dalam menginfeksi meminimalisir aplikasi pestisida kimia sintetis,
tanaman. Degradasi enzim kitinase dengan cara menjaga keberlangsungan ekosistem, serta
menghidrolisis polimer kitin menjadi monomer mendukung keanekaragaman hayati. Untuk

Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 59
dan RITA HARNI)
meningkatkan keefektifan agens hayati dan fermentasi Trichoderma dalam media ragi molase
mempermudah aplikasi maka agens hayati perlu mampu memproduksi klamidospora yang
dibuat dalam bentuk formula biofungisida. berlimpah. Penggunaan klamidospora lebih
Formula adalah memformulasi agens hayati efektif dibandingkan dengan konidia. Sementara
dengan komposisi tertentu untuk meningkatkan itu, produksi konidia Trichoderma di media padat
keefektifan dan kestabilannya. juga berhasil dilakukan oleh Cavalcante et al.
(2008), mengungkapkan bahwa penggunaan
Formula Biofungisida gandum dedak mampu memproduksi konidia T.
harzianum, T. viride, dan T. polysporum empat kali
Biofungisida merupakan salah satu
lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan
komponen pendukung pengendalian hayati yang
beras pada kondisi kelembapan terbaik.
banyak dikembangkan. Kondisi ini dibuktikan
Tahap formulasi merupakan kegiatan
semakin meningkatnya penelitian maupun
mencampur bahan aktif agens hayati, bahan
munculnya produk-produk biofungisida
pembawa, serta tambahan dalam kadar dan
komersial yang telah terbukti keunggulannya
bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja
dalam mengendalikan penyakit tanaman.
sesuai dengan tujuan. Bahan aktif agens hayati
Formula biofungisida dibuat dengan komposisi
mempunyai kemampuan selektif tinggi terhadap
tertentu menggunakan bahan pembawa (carrier)
patogen, tidak bersifat toksik atau toksisitasnya
dan tambahan (additive). Komposisi dalam
rendah terhadap manusia dan hewan
formula berpengaruh terhadap shelf-life agens
dibandingkan dengan fungisida kimia sintetik.
hayati selama di penyimpanan sehingga juga
Sementara itu, bahan pembawa yang dipilih
mempengaruhi keefektifan serta kestabilannya.
tidak secara langsung mempengaruhi penekanan
Komposisi yang sesuai menyebabkan agens
patogen, namun berpengaruh terhadap shelf-life
hayati dalam formula biofungisida mampu
agens hayati selama penyimpanan dan kestabilan
beradaptasi dan bekerja dengan baik sesuai
pada saat efikasi biofungsida (Fravel et al. 1998).
dengan mekanisme dalam menekan
Pengembangan formula biofungisida telah
perkembangan infeksi patogen.
berhasil dilakukan untuk jenis jamur dan bakteri.
Tahap pertama sebelum formulasi adalah
Formula tepung (powder) digunakan dalam
produksi massal agens hayati dengan fermentasi
formulasi T. asperellum dengan menggunakan
media cair atau padat. Agens hayati yang
bahan pembawa talk, efektif mengendalikan
diperbanyak dalam bentuk propagul mikrob
penyakit busuk pangkal batang Thielaviopsis
(misalnya konidia, miselium, dan klamidospora)
paradoxa (Wijesinghe et al. 2011). Bahan pembawa
ataupun metabolit sekunder. Media yang dipilih
talk juga digunakan dalam formulasi
sebaiknya dengan harga terjangkau, tersedia, dan
biofungisida T. harzianum dan T. viride untuk
mempunyai keseimbangan nutrisi yang tepat
mengurangi kejadian penyakit layu Fusarium.
(Nakkeeran et al. 2018). Media cair yang
Biofungisida ini dapat disimpan 6-12 bulan (Patel
digunakan antara lain molase, ragi molase,
dan Patel 2014; Sriram et al. 2011). Widodo dan
kedelai molase, ekstrak kentang gula, V-8 juice,
Wiyono (2012) juga memformulasi bakteri
dan limbah cair sulfat (Amaria et al. 2015; Harni et
antagonis dengan komposisi bahan pembawa
al. 2017; Mukesh et al. 2016; Nakkeeran et al.
talk dan tambahan tepung cangkang rajungan
2018). Media padat seperti sorgum, jagung,
0,25% pada kadar air 20%. Biofungisida yang
dedak, gandum, serbuk gergaji, ampas tebu yang
disimpan selama 8 bulan mampu
dibasahi, padi sekam, empulur sabut busuk,
mempertahankan populasi P. fluorescens dan B.
pupuk kandang, dan substrat lain yang kaya
polymixa serta efektif untuk diaplikasikan. Selain
selulosa (Nakkeeran et al. 2018). Produksi massal
formula tepung, bentuk cair menggunakan
sangat penting untuk diperhatikan karena
minyak jagung untuk formulasi T. virens dapat
kesesuain media, pH, dan suhu menentukan
memperpanjang masa inkubasi P. palmivora serta
jumlah propagul maupun metabolit yang
menurunkan kejadian penyakit busuk buah
dihasilkan. Papavizas dan Lewis (1989) dalam
kakao (Chamzurni et al. 2014).
Nakkeeran et al. (2018) mengemukakan bahwa

60 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66


Formula biofungisida yang telah diaplikasikan pada saat persiapan tanam, saat
diaplikasikan dan efektif mengendalikan tanam, maupun untuk pengendalian sesuai
penyakit JAP, antara lain oleh Amaria et al. dengan perkembangan infeksi.
(2016), masing-masing dengan bahan aktif T. Pada makalah ini, diberikan contoh
virens dan T. amazonicum yang diformulasi keberhasilan aplikasi biofungisida dengan bahan
menggunakan bahan pembawa talk. Populasi aktif Trichoderma untuk mengendalikan JAP pada
Trichoderma dapat dipertahankan selama tanaman karet yang sampai saat ini paling
penyimpanan 4 bulan dengan penambahan banyak dikembangkan. Keunggulan Trichoderma
gliserol di media perbanyakan. Benny et al. (2013) sebagai agens hayati adalah mempunyai daya
menggunakan Bacillus sp. sebagai bahan aktif adaptasi dan perkembangan yang baik, mampu
biofungisida yang diaplikasikan untuk mengkolonisasi rizosfir dengan cepat,
perendaman maupun penyiraman di sekeliling melindungi akar dan menghambat infeksi
perakaran bibit stump karet. Formula patogen, mudah diperbanyak, mempunyai
biofungisida berbahan aktif konsorsium antara spektrum luas, aman untuk lingkungan, dan
lain T. koningii dan T. viridae yang diformulasi kompatibel dengan agens hayati lain (Faheem et
menjadi Triko SPPLUS (Sujatno dan al. 2010; Jeyarajan dan Nakkeeran 2000).
Pawirosoemardjo 2001), T. viridae, T. harzianum, Dosis, waktu, dan cara aplikasi biofungisida
Paecilomyces lilacinus, dan B. subtilis (Kusdiana et Trichoderma mempengaruhi keberhasilan dalam
al. 2015), Triko Combi berbahan aktif T. koningii, mengendalikan JAP. Aplikasi dapat ditaburkan
T. viride, T. harzianum, dan satu isolat lokal atau disiramkan di sekeliling akar tanaman (bibit
(Setyawan et al. 2013), dan Endohevea atau pohon karet). Di samping itu, dapat juga
mengandung T. koningii, T. viridae, dan T. dicampur dengan kompos, pupuk hayati atau
harzianum (Fairuzah et al. 2014). pupuk organik terlebih dahulu, selanjutnya
ditaburkan atau dibenamkan di sekeliling akar
Aplikasi Biofungisida Dalam Pengendalian JAP tanaman. Penggunaan bahan organik untuk
Pada Tanaman Karet mendukung perkembangan agens hayati juga
dipilih yang bukan merupakan food base R.
Pengendalian penyakit JAP dilaksanakan
microporus, yaitu tidak mudah melapuk sehingga
secara terpadu berdasarkan prinsip integrated
tidak mengakibatkan peningkatan intensitas
disease management (IDM). Khokhar dan Gupta
penyakit.
(2014) menjelaskan IDM adalah menggabungkan
Aplikasi biofungisida di pembibitan karet
semua komponen pengendalian yang tersedia
dilaporkan oleh Amaria et al. (2016) bahwa
seperti varietas tahan, kultur teknis, fisik, biologi,
penggunaan biofungisida berbahan aktif
kimiawi dalam satu kesatuan pengelolaan
Trichoderma spp. dengan bahan pembawa
sehingga populasi patogen tetap berada di bawah
kompos, dapat meningkatkan populasi
ambang kerusakan ekonomi. Prinsip tersebut
Trichoderma spp. tetapi juga meningkatkan infeksi
mengacu pada integrasi konsep pengendalian
JAP pada bibit karet. Namun, berbeda hasilnya
penyakit seperti penghindaran, eksklusi,
jika biofungisida Trichoderma spp. dengan bahan
eradikasi, proteksi/perlindungan, dan
pembawa talk yang diaplikasikan pada media
terapi/pengobatan.
tanam campuran tanah dan rumput kering. Dosis
Berdasarkan konsep IDM maka aplikasi
50 g/tanaman dalam satu kali aplikasi efektif
biofungsida sebagai salah satu komponen
menekan intensitas penyakit JAP 54,59–59,38%
pengendalian hayati penyakit JAP sebaiknya
(Amaria et al. 2018). Keberhasilan aplikasi pada
dilakukan secara terpadu. Hal ini bertujuan
bibit karet dengan kombinasi biofungisida dan
meningkatkan keefektifan biofungisida dalam
pupuk hayati diungkapkan oleh Kusdiana et al.
mencegah maupun menghambat perkembangan
(2015), bahwa biofungisida 100 g dan pupuk
infeksi patogen. Penggunaan biofungisida
hayati 200 g yang dibenamkan di dekat
sebagai tindakan untuk mengurangi laju infeksi
perakaran bibit karet, efektif menurunkan
patogen dapat dilakukan sejak di pembibitan
sampai tanaman dewasa di lapang, yang

Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 61
dan RITA HARNI)
intensitas penyakit JAP sebesar 5,56% dan meminimalkan kehilangan hasil akibat penyakit
meningkatkan pertumbuhan tanaman. JAP (Setyawan et al. 2013).
Aplikasi biofungisida juga dilakukan Berdasarkan hasil penelitian tersebut
Kusdiana et al. (2015) pada tanaman dewasa di menunjukkan aplikasi biofungisida Trichoderma,
lapang. Dosis 20 g/pohon setiap enam bulan lebih efektif jika dilakukan sebagai pencegahan
sekali dengan cara dibenamkan pada empat titik infeksi patogen, yaitu pada saat penanaman atau
di sekitar perakaran pohon karet TBM bergejala pengendalian dengan gejala penyakit pada skala
JAP. Hasil penelitian melaporkan bahwa 1, yaitu miselium patogen menempel di
biofungisida efektif menekan JAP, dengan permukaan akar. Oleh karena patogen yang telah
penurunan intensitas penyakit 18,33–23,33%. masuk dan kolonisasi pada jaringan tanaman dan
Keefektifan biofungisida Trichoderma pada telah memanfaatkan nutrisi di dalamnya maka
tanaman dewasa di lapang, juga dibuktikan oleh lebih sulit untuk dikendalikan. Peningkatan
Fairuzah et al. (2014), Endohevea dosis 1 tablet/5 keefektifan biofungisida melalui pengendalian
tanaman yang diaplikasikan setiap 3 bulan sekali terpadu perlu mempertimbangkan metode
pada tanaman karet efektif mengendalikan aplikasi yang tepat serta disesuaikan dengan
penyakit JAP dengan tingkat persentase karakteristik biofungisida karena akan
kesembuhan sebesar 78,94%. mempengaruhi keberhasilan dalam
Peningkatan keefektifan biofungisida mengendalikan JAP.
Trichoderma pada tanaman dewasa di lapang juga
telah dilakukan secara terpadu melalui KESIMPULAN
kombinasi dengan teknik pengendalian lain.
Tindakan pencegahan, proteksi, dan kuratif Pengendalian hayati untuk menekan
untuk mengendalikan JAP telah dilakukan oleh intensitas penyakit JAP pada tanaman karet
Situmorang et al. (2007). Tindakan pencegahan, dapat dilakukan melalui pemanfaatan agens
mulai dari persiapan lahan dengan hayati bersifat antagonis. Agens hayati antagonis
pembongkaran tunggul dan pengolahan tanah, yang diaplikasikan pada saat penanaman atau di
penggunaan belerang, biofungisida Trichoderma, sekitar perakaran tanaman dapat berkembang
tanaman antagonis, dan penutup tanah. Proteksi baik dengan mekanisme kompetisi, antibiosis,
tanaman pada TBM melalui penggunaan hiperparasit, maupun enzim litik. Penghambatan
fungisida sintetis Triadimenol, penggunaan agens hayati dengan cara mendegradasi dinding
belerang, aplikasi biofungisida Trichoderma, sel patogen, mempengaruhi permeabilitas
tanaman antagonis (lidah mertua, kunyit, laos). membran sel, inhibitor enzim, dan mengganggu
Tindakan kuratif dengan menggunakan sintesis protein.
fungisida sintetis dan biofungisida Trichoderma. Pengembangan biofungisida yang
Penggunaan biofungisida Trichoderma tersebut diformulasi menggunakan bahan aktif agens
dengan Triko SPPLUS, dosis di pembibitan karet hayati, bahan pembawa dan tambahan tertentu,
(ground nursery) 600 kg/ha, polybag 25 g/pohon, bertujuan meningkatkan keefektifan dan
lubang tanam 50 g/pohon, TBM 75–100 g/pohon kestabilan pada saat aplikasi. Keberhasilan
dan TM 100–150 g/pohon yang diberikan setiap 6 aplikasi beberapa biofungisida untuk
bulan sekali berdasarkan keparahan penyakit mengendalikan JAP di tingkat pembibitan
(Sujatno dan Pawirosoemardjo 2001). maupun tanaman dewasa di lapang secara
Biofungisida Triko Combi dengan dosis dan terpadu merupakan salah satu komponen
interval sama dengan Triko SPPLUS, yang penting dalam rangka menyusun strategi
diaplikasikan sejak awal pada setiap tahap pengendalian JAP pada tanaman karet.
pertumbuhan tanaman, awal dan akhir musim
penghujan, serta dilakukan juga pembongkaran DAFTAR PUSTAKA
tunggul dan penanaman tanaman penutup tanah.
Kombinasi tersebut menunjukkan lebih efektif
Amaria, W., Ferry, Y., Samsudin, & Harni, R.
(2016) Pengaruh penambahan gliserol

62 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66


pada media perbanyakan terhadap daya Cavalcante, R.S., Lima, H.L.S., Pinto, G.A.S.,
simpan biofungisida Trichoderma. Jurnal Gava, C.A.T. & Rodrigues, S. (2008) Effect
Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 3 of moisture on Trichoderma conidia
(3), 159–166. Available from: production on corn and wheat bran by
doi:10.21082/jtidp.v3n3.2016.p159-166. solid state fermentation. Food and
Amaria, W., Harni, R. & Samsudin (2015) Bioprocess Technology. [Online] 1 (1), 100–
Evaluasi jamur antagonis dalam 104. Available from: doi:10.1007/s11947-
menghambat pertumbuhan Rigidoporus 007-0034-x.
microporus penyebab penyakit jamur akar Chamzurni, T., Sriwati, R., Muarif, R., Amin, B.
putih pada tanaman karet. Jurnal & Ulim, A. (2014) Formulation of
Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 2 Trichoderma virens origin of Aceh cocoa
(1), 51-60. Available from: controlling black pod disease caused by
doi:10.21082/jtidp.v2n1.2015.p51-60. Phytophthora palmivora. In: Proceedings of
Amaria, W., Harni, R. & Wardiana, E. (2018) Thr 4th Annual International Conference
Pengaruh dosis dan frekuensi aplikasi Syah Kuala University (AIC Unsyiah) 2014
biofungisida Trichoderma terhadap infeksi In conjuction with 9th Annual International
Rigidoporus microporus pada benih karet. Workshop and Expo on Sumatra Tsunami
Jurnal Tanaman Industri dan Penyegar. Disaster and Recovery (AIWEST-DR).
[Online] 5 (2), 49–58. Available from: doi: pp.140–145.
http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v5n2.2018 Damiri, N., Mulawarman & Efendi, R.S. (2019)
.p49-58. Antagonism of Pseudomonas fluorescens
Amaria, W., Soesanthy, F. & Ferry, Y. (2016) from plant roots to Rigidoporus lignosus
Keefektifan biofungisida Trichoderma sp. pathogen of rubber white roots in vitro.
dengan tiga jenis bahan pembawa Biodiversitas. [Online] 20 (5), 1549–1554.
terhadap jamur akar putih Rigidoporus Available from:
microporus. Jurnal Tanaman Industri dan doi:10.13057/biodiv/d200509.
Penyegar. [Online] 3 (1), 37–44. Available Faheem, A., Razdan, V.K., Mohiddin, F. A., Bhat,
from: doi:10.21082/jtidp.v3n1.2016.p37- K. A. & Banday, S. (2010) Potential of
44. Trichoderma species as biocontrol agents
Amaria, W., Taufiq, E. & Harni, R. (2013) Seleksi of soil borne fungal propagules. Journal of
dan identifikasi jamur antagonis sebagai Phytology. [Online] 2 (10), 38–41.
agens hayati jamur akar putih Rigidoporus Available from: 10.5897/AJB2017.15905.
microporus pada tanaman karet. Jurnal Fairuzah, Z. Dalimunthe, C.I., Karyudi,
Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 4 Suryaman, S. & Widhayati, W.E. (2014)
(1), 55–64. Available from: Keefektifan beberapa fungi antagonis
doi:10.21082/jtidp.v4n1.2013.p55-64. (Trichoderma sp.) dalam biofungisida
Amaria, W. & Wardiana, E. (2014) Pengaruh Endohevea terhadap penyakit jamur.
waktu aplikasi dan jenis Trichoderma Jurnal Penelitian Karet. 32 (2), 122–128.
terhadap penyakit jamur akar putih pada Fravel, D.R., Connick, W.J.J. & Lewis, J.A. (1998)
bibit tanaman karet. Jurnal Tanaman Formulation of microorganisms to control
Industri dan Penyegar. [Online] 1 (2), 79-86. plant diseases. In: Burges,H.D. (ed.)
Available from: Formulation of Microbial Biopesticides.
doi:10.21082/jtidp.v1n2.2014.p79-86. Beneficial Microorganisms, Nematodes, and
Benny, Lubis, L., Oemry, S. & Fairuzah, Z. (2013) Seedtreatment. Netherland, Kluwer
Uji dosis dan cara aplikasi biofungisida Academic Publisher, pp.187–202.
Bacillus sp. terhadap penyakit jamur akar Gupta, V.K., SchMoll, M., Herrera-EStrella, A.,
putiH (Rigidoporus lignosus) pada Upadhyay, R.S., Druzhinina, I. & Tuohy,
tanaman karet di pembibitan. Jurnal M.G. (2014) Biotechnology and Biology of
Online Agroekoteknologi. 1 (2), 58–66. Trichoderma. Amsterdam, Netherlands,

Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 63
dan RITA HARNI)
Elsevier B.V. pada tanaman karet. Jurnal Penelitian
Hardiyanti, S., Soekarno, B.P.W. & Yuliani, T.S. Karet. [Online] 33 (2), 143. Available from:
(2017) Kemampuan mikrob endofit dan doi:10.22302/jpk.v33i2.179.
rizosfer tanaman karet dalam Maiden, N.A., Noran, A.S., Fauzi, M.A.F.A. &
mengendalikan Rigidoporus lignosus. Atan, S. (2017) Screening and
Jurnal Fitopatologi Indonesia. [Online] 13 characterisation of chitinolytic
(5), 153-160. Available from: microorganisms with potential to control
doi:10.14692/jfi.13.5.153. white root disease of Hevea brasiliensis.
Harman, G.E. (2000) Myths and dogmas of Journal of Rubber Research. [Online] 20 (3),
biological control: Changes in perceptions 182–202. Available from:
derived from research on Trichoderma doi:10.1007/BF03449151.
harzianum T-22. Plant Disease. (D)-(2000)– Muharni, M. & Widjajanti, H. (2011) Skrining
(0208)–(01F), 377–393. bakteri kitinolitik antagonis terhadap
Harni, R., Amaria, W., Syafaruddin & Mahsunah, pertumbuhan jamur akar putih
H. (2017) Potensi metabolit sekunder (Rigidoporus lignosus) dari rizosfir
Trichoderma spp . untuk mengendalikan tanaman karet. Jurnal Penelitian Sains. 14
penyakit vascular streak dieback (VSD) (1), 51–56.
pada bibit kakao. Jurnal Tanaman Industri Mukesh, S., Kumar, V., Shahid, M., Pandey, S., &
dan Penyegar. [Online] 4 (2), 57–66. Singh, A. (2016) Trichoderma-A potential
Available from: doi: and effective bio fungicide and
http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v4n2.2017 alternative source against notable
.p57-66. phytopathogens: A review. African
Herath, H.H.M.A.U., Wijesundera, R.L.C., Journal of Agricultural Research. [Online]
Chandrasekharan, N. V. & Wijesundera, 11 (5), 310–316. Available from:
W.S.S. (2017) Exploration of Sri Lankan doi:10.5897/ajar2015.9568.
soil fungi for biocontrol properties. Muklasin & Matondang, C.O. (2010) Trend
African Journal of Biotechnology. [Online] Perkembangan Serangan Hama dan Penyakit
16 (20), 1168–1175. Available from: Tanaman Karet Di Provinsi Sumatera Utara.
doi:10.5897/AJB2017.15905. Medan.
Jeyarajan, R. & Nakkeeran, S. (2000) Exploitation Nakaew, N., Rangjaroen, C. & Sungthong, R.
of microorganisms and viruses as (2015) Utilization of rhizospheric
biocontrol agents for crop disease Streptomyces for biological control of
mangement.In: Upadhyay et al. (eds.) Rigidoporus sp. causing white root disease
Biocontrol Potential and their in rubber tree. European Journal of Plant
Exploitation in Sustainable agriculture. Pathology. [Online] 142 (1), 93–105.
USA, Kluwer Academic/Plenum Available from: doi:10.1007/s10658-015-
Publishers, pp.95–116. 0592-0.
Kaewchai, S. & Soytong, K. (2010) Application of Nakkeeran, S., Karthikeyan, G., Brindhadevi, S. &
biofungicides against Rigidoporus Vinodkumar, S. (2018) Mass production
microporus causing white root disease of of fungal and bacterial antagonists. In:
rubber trees. Journal of Agricultural Biocontrol of Soil Borne Pathogens and
Technology. 6 (2), 349–363. Nematodes. Tamil Nadu Agricultural
Khokhar, M.K. & Gupta, R. (2014) Integrated University, Coimbatore, pp.96–112.
disease management. Popular Kheti. 2 (1), Nandris, D., Nicole, M. & Geiger, J.P. (1987) Root
87–91. Rot Diseases. Plant Disease. 71 (4), 298–
Kusdiana, A.P.J., Munir, M. & Suryaningtyas, H. 306.
(2015) Pengujian biofungisida berbasis Nasrun & Nurmansyah (2015) Potensi
mikroorganisme antagonis untuk rizobakteria dan fungisida nabati untuk
pengendalian penyakit jamur akar putih pengendalian penyakit jamur akar putih

64 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66


tanaman karet. Jurnal Tanaman Industri peta awal serangan penyakit jamur akar
dan Penyegar. [Online] 2 (2), 61–68. putih (Rigidoporus microporus (Swartz: Fr))
Available from: doi: pada beberapa perkebunan karet rakyat
http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v2n2.2015 di Kabupaten Asahan. Jurnal
.p61-68. Agroekoteknologi FP USU. 5 (1), 131–137.
Natawijaya, H. (2007) Government policy on the Semangun, H. (2008) Penyakit-Penyakit Tanaman
control of white root disease Rigidoporus Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta,
lignosus. In: Pawirosoemardjo,S. et al. Gadjah Mada University Press.
(eds.) Proceedings International Workshop Setyawan, B., Pawirosoemardjo, S. & Hadi, H.
on White Root Disease of Hevea Rubber. (2013) Biofungisida Triko combi sebagai
Salatiga, Indonesian Rubber Research salah satu pengendali jamur akar putih
Institute, pp.3–13. pada tanaman karet. Warta Perkaretan. 32
Nicole, M.R. & Benhamou, N. (1991) (2), 83–94.
Cytochemical aspects of cellulose Sinulingga, W. & Eddy (1989) Pengendalian
breakdown during the infection process Penyakit Jamur Akar Putih Pada
of rubber tree roots by Rigidoporus Tanaman Karet. Medan.
lignosus. Phytopathology. 81, 1412–1420. Situmorang, A. (2004) Status dan manajemen
Ogbebor, N.O. Adekunle, A.T., Eghafona, O.N. & pengendalian penyakit akar putih di
Ogboghodo, A.I. (2015) Biological control perkebunan karet. In: Situmorang, et al
of Rigidoporus lignosus in Hevea brasiliensis (ed.) Prosiding Pertemuan Teknis. Strategi
in Nigeria. Fungal Biology. [Online] 119 Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk
(1), Elsevier Ltd, 1–6. Available from: Mempertahankan Potensi Produksi
doi:10.1016/j.funbio.2014.10.002. Mendukung Industri Perkaretan Indonesia
Oghenekaro, A.O., Daniel, G. & Asiegbu, F.O. Tahun 2020. Palembang, Pusat Penelitian
(2015) The saprotrophic wood-degrading Karet, pp.66–68.
abilities of Rigidoporus microporus. Silva Situmorang, A., Suryaningtyas, H. &
Fennica. [Online] 49 (4), 1–10. Available Pawirosoemardjo, S. (2007) Current
from: doi:10.14214/sf.1320. status of white root disease (R.
Omorusi, V.I. et al. (2014) Control of white root microporus) and the disease control
rot disease in rubber plantations in management in rubber plantation of
Nigeria. International Journal of Indonesia. In: Pawirosoemardjo, S. et al.
Microbiology and Immunology Research. 3 (eds.) Proceedings International Workshop
(4), 046–051. on White Root Disease of Hevea Rubber.
Omorusi, V.I. (2012) Effects of white root rot Salatiga, Indonesian Rubber Research
disease on Hevea brasiliensis (Muell. Arg.) Institute, pp.82–96.
– Challenges and control approach. Plant Soesanto, L. (2008) Pengantar Pengendalian
Science. [Online] 139–152. Available from: Hayati Penyakit Tanaman. Depok, Raja
doi:10.5772/54024. Grafindo Persada.
Pal, K.K. & Gardener, B.M. (2006) Biological Sriram, S., Roopa, K.P. & Savitha, M.J. (2011)
control of plant pathogens. [Online] 1–25. Extended shelf-life of liquid fermentation
Available from: doi:10.1094/PHI-A-2006- derived talc formulations of Trichoderma
1117-02.Biological. harzianum with the addition of glycerol in
Patel, R. & Patel, D. (2014) Screening of the production medium. Crop Protection.
Trichoderma and antagonistic analysis of a [Online] 30 (10), Elsevier Ltd, 1334–1339.
potential strain of Trichoderma for Available from:
production of a bioformulation. doi:10.1016/j.cropro.2011.06.003.
International Journal of Scientific and Sujatno & Pawirosoemardjo, S. (2001) Pengenalan
Research Publications. 4 (10), 1–6. dan teknik pengendalian penyakit jamur
Rahayu, M.S., Lubis, L. & S., O. (2017) Distribusi akar putih pada tanaman karet secara

Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 65
dan RITA HARNI)
terpadu. Warta Puslit Karet. 20 (1)–(3), 64– rot disease on pineapple caused by
75. (Thielaviopsis paradoxa). Crop Protection.
Suwandi, S. (2008) Evaluasi kombinasi isolat [Online] 30 (3), Elsevier Ltd, 300–306.
Trichoderma mikoparasit dalam Available from:
mengendalikan penyakit akar putih pada doi:10.1016/j.cropro.2010.11.020.
bibit karet. J.HPT Tropika. 8 (1), 55–62. Yulia, E., Istifadah,N., Widiantini, F., Utami, H.S.
Ubogu, M. (2013) Assessment of root zone (2017) Antagonisme Trichoderma spp.
mycoflora of three Hevea brasiliensis terhadap jamur Rigidoporus lignosus
(Rubber) clones at Akwete plantations (Klotzsch) dan penekanan penyakit
and their in vitro growth inhibition of jamur akar putih pada tanaman karet.
Rigidoporus lignosus. 3 (2), 618–623. Jurnal Agrikultura. [Online] 28 (1), 47–55.
Wijesinghe, C.J., Wilson Wijeratnam, R.S., Available from:
Samarasekara, J.K.R.R. & Wijesundera, R. http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/
L.C. (2011) Development of a formulation article/view/13226/6071.
of Trichoderma asperellum to control black

66 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66

Anda mungkin juga menyukai