2019, 52 -66
ISSN: 1412-8004
ABSTRAK
Kata kunci: Hevea brasiliensis, pengendalian hayati,
jamur akar putih
Penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh
Rigidoporus microporus merupakan penyakit penting
ABSTRACT
pada tanaman karet (Hevea brasiliensis). Daerah
serangan cukup luas dan menyebabkan kerugian
White root disease (WRD) caused by Rigidoporus
ekonomi mencapai 1,8 trilliun rupiah. R. microporus
microporus is an important disease in rubber (Hevea
merupakan patogen tular tanah yang menginfeksi
brasiliensis). The area of attack was quite extensive and
mulai pembibitan sampai tanaman dewasa di lapang
caused economic losses up to 1.8 trillion rupiahs. R.
melalui proses mekanis dan enzimatis. Patogen R.
microporus is a soil-borne pathogen that infects from
microporus menginfeksi Rhizomorf R. microporus cepat
seedlings to mature plants in the field through
berkembang dan mampu bertahan selama bertahun-
mechanical and enzymatic processes. Rhizomorph able
tahun di dalam tanah. Pengendalian dengan
to spreads and survives for years in the soil. Control
menggunakan fungisida kimia secara terus menerus
using chemical fungicides continuously affects the
dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Upaya
environment stability. The efforts to reduce are
mengurangi dampak negatif tersebut, dilakukan
conducted through the application of biological control
melalui penerapan teknologi pengendalian hayati
technology with the use of antagonistic biological
dengan pemanfaatan agens hayati. Keunggulan
agents. The benefits of antagonistic biological agents
penggunaan agens hayati antagonis adalah mudah
include: easy to develop and adapt to the environment,
berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan,
reducing pathogen inoculum, easily obtained and
mengurangi inokulum patogen, mudah didapatkan
reproduced, and safe for the environment. The
dan diperbanyak, serta aman untuk lingkungan. Agens
antagonistic biological agents to control WRD include
hayati antagonis yang telah digunakan untuk
fungus: Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium,
mengendalikan penyakit JAP, antara lain dari
Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, Eupenicillium,
kelompok jamur Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus,
bacteria: Bacillus and Pseudomonas, and actinobacteria:
Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces,
Streptomyces. The mechanism of biological agents that
dan Eupenicillium, kelompok bakteri adalah Bacillus
suppress R. microporus infections with the competition,
dan Pseudomonas, serta kelompok aktinobakteri dari
antibiosis, hyperparasitism, and lysis. The effectiveness
marga Streptomyces. Mekanisme agens hayati menekan
and stability of biological agents need to be formulated
infeksi R. microporus dengan kompetisi, antibiosis,
into biofungicide using carriers and additives. The
hiperparasitisme, dan lisis. Keefektifan dan kestabilan
successful application of biofungicide is strongly
agens hayati perlu diformulasi dalam bentuk
influenced by environmental factors such as
biofungsida dengan menggunakan bahan pembawa
temperature, humidity, and pH. It is also supported by
dan tambahan tertentu. Keberhasilan aplikasi
the cultivation techniques and environmental
biofungisida sangat dipengaruhi oleh faktor
sanitation, including inoculum source.
lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan pH. Selain
itu, juga didukung oleh komponen budi daya tanaman,
Keywords: Hevea brasiliensis, biological control, white
seperti penggunaan pupuk organik, dan sanitasi
root disease
lingkungan dengan pemusnahan sumber inokulum.
Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 53
dan RITA HARNI)
Penggunaan agens hayati untuk sumber nutrisinya (Nandris et al. 1987; Omorusi
mengendalikan JAP telah dilaporkan oleh et al. 2014). Kemampuan hidup di dalam tanah
Amaria et al. (2015), T. harzianum, T. virens, T. tersebut menyebabkan rizomorf mampu bertahan
amazonicum, T. atroviride mempunyai daya dalam tanah dalam waktu yang lama, selama
hambat tinggi (>70%) terhadap R. microporus dan bertahun-tahun sehingga mudah menyebar dan
mampu mencegah perkembangan infeksi JAP melakukan penularan dengan melekat langsung
pada bibit karet. Selanjutnya Ogbebor et al. (2015) di permukaan akar tanaman (attachment) atau
menggunakan Hypocrea jecorina efektif melalui kontak akar sakit dengan akar sehat.
menghambat R. lignosus 86,83%, sementara P. R. microporus bersifat polifag, mempunyai
fluorescens dan Bacillus sp. dapat menekan kisaran inang yang luas. Selain menginfeksi
intensitas penyakit JAP 80,95%−82,91% (Nasrun tanaman perkebunan dan tanaman hutan, seperti
dan Nurmansyah 2015). karet, kopi, kakao, teh, kelapa sawit, cengkeh,
Dalam menyusun strategi pengendalian mangga, nangka, jambu mete, jati, sengon,
hayati JAP pada tanaman karet, perlu diketahui cemara, meranti, akasia, patogen ini juga
tentang bioekologi patogen, faktor-faktor yang menginfeksi tanaman penutup tanah jenis
mempengaruhi perkembangan penyakit, serta kacang-kacangan yang menjalar (Semangun
evaluasi agens hayati yang digunakan terutama 2008).
dalam formula biofungsida agar sesuai dengan
lingkungan dan memiliki kemampuan yang Mekanisme Infeksi dan Gejala Penyakit JAP
tinggi dalam menekan penyakit JAP. Tujuan
Mekanisme infeksi R. microporus pada proses
penulisan adalah mengkaji bioekologi patogen R.
patogenesis, dilakukan secara mekanis dengan
microporus, serta mengulas tentang teknologi
membentuk struktur infeksi untuk menembus
pengendalian hayati JAP pada tanaman karet
permukaan jaringan tanaman. Selain mekanis,
yang sampai saat ini sedang dikembangkan.
juga dengan enzimatis, yaitu menghasilkan
CWDE berupa kutinase, selulase, hemiselulase,
BIOLOGI DAN EKOLOGI PATOGEN pektinase, dan ligninase yang masing-masing
PENYEBAB PENYAKIT JAMUR AKAR memiliki fungsi mendegradasi sesuai dengan
PUTIH dinding sel inang.
Nandris et al. (1987), Omorusi (2012), dan
Patogen Penyebab Penyakit Omorusi et al. (2014) menjelaskan bahwa setelah
Patogen penyebab JAP adalah R. microporus rizomorf menempel pada permukaan akar
(Swartz: Fr.) van Ov. sinonim dari R. lignosus tanaman karet, hifa patogen mengalami
(Kloztch) Imazeki, Polyporus lignosus Klotzch, dan diferensiasi membentuk struktur infeksi, yaitu
Fomes lignosus (Klotzch) Bres. Jamur ini termasuk hifa penetrasi yang mampu menembus masuk ke
dalam kelas Basidiomycetes yang menghasilkan dalam jaringan inang melalui lentisel, luka, atau
badan buah (basidiokarp), mempunyai dinding secara langsung. Patogen menghasilkan CWDE
sel mengandung kitin dan glukan (Nicole dan kutinase untuk mendegradasi kutin yang
Benhamou 1991; Semangun 2008). R. microporus merupakan halangan pertama di permukaan
bersifat saprofit yang mampu bertahan hidup jaringan inang. Rizomorf masuk dalam jaringan
pada food base berupa tunggul atau bekas pohon inang dengan menekan epidermis dan korteks.
tumbang dan sisa-sisa tanaman, serta sebagai Tahap kolonisasi secara intra dan interseluler
parasit apabila bertemu inang dan menyebabkan dengan bantuan CWDE mampu mendegradasi
kematian tanaman. pektin dan lignin yang terdapat pada lamela
Rizomorf (kumpulan miselium yang tengah, mengakibatkan bagian ini hancur.
kompak) berwarna putih sampai jingga, tumbuh Kolonisasi juga meluas sampai ke jaringan xylem,
menjalar, bercabang seperti akar pada dan mendegradasi dinding sel secara progresif.
permukaan tanaman. Miselium dengan ketebalan Enzim yang berperan dalam mendegradasi lignin
1–2 mm ini, mampu berada di dalam tanah yang adalah lakase, Mangan Peroksidase, dan Lignin
bebas dan terlepas dari akar atau kayu sebagai Peroksidase, yang mengakibatkan akar tanaman
b c
a
e
d
Gambar 1. Sumber infeksi JAP di sekitar kebun karet: (a) tanggul, (b) ranting, (c) daun kering, (d) pohon
tumbang, (e) badan buah dan miselium R. microporus (Sumber: Koleksi penulis)
Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 55
dan RITA HARNI)
Gambar 2. Gejala penyakit JAP pada bibit karet: (a) miselium putih, (b) rizomorf, (c) pembusukan akar
(Sumber: Koleksi penulis)
Gambar 3. Gejala lanjut JAP pada pohon karet di Faktor-faktor yang Mempengaruhi
lapang: (a) daun kusam, menguning, Perkembangan Penyakit
kering, dan gugur; (b) badan buah R. Potensi kejadian penyakit JAP pada suatu
microporus, (Sumber: Koleksi penulis) areal ditentukan oleh kondisi vegetasi
sebelumnya, tekstur, atau struktur tanah,
keasaman tanah (pH), kadar air tanah, curah
permukaan akar tunggang (Gambar 2b), hujan per tahun, dan topografi (Tabel 1).
selanjutnya menghitam dan membusuk (Gambar Curah hujan yang tinggi lebih dari 4.000
2c). mm/tahun dapat meningkatkan kejadian
Pada tanaman dewasa di lapang, gejala pada penyakit karena kelembapan udara dan tanah
tajuk tanaman, yaitu daun kusam, menguning, juga meningkat sehingga patogen R. microporus
serta batang dan daun mengering (Gambar 3a) cepat berkembang. Pada curah hujan kurang dari
karena translokasi air, mineral, dan nutrisi
2.500 mm/tahun atau sampai 4.000 mm/tahun,
terganggu. Gejala pada bagian perakaran
kelembapan udara berkurang, namun jika
kelembapan tanah masih tinggi maka patogen larangan pembakaran pada saat persiapan lahan
juga tetap dapat menginfeksi perakaran. oleh pemerintah, tunggul dan sisa-sisa akar
Kondisi topografi kebun yang datar atau ditumpuk di areal gawangan. Tumpukan
landai, menyebabkan air hujan mudah tergenang tersebut juga berpotensi menjadi sumber
sehingga mendukung perkembangan penyakit. inokulum pada pertanaman yang baru dan
Demikian juga dengan tekstur tanah gembur atau kondisi ini akan meningkatkan tingkat kejadian
berpasir, meningkatkan kemampuan rizomorf penyakit JAP (Situmorang et al. 2007).
untuk menembus tanah berpori. Selain itu,
menurut Situmorang (2004), sumber inokulum AGENS HAYATI UNTUK
dari bekas kebun karet tua dan hutan primer, MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR
yaitu akar-akar tunggul dalam tanah yang AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET
berongga, akan mempermudah pergerakan
rizomorf sehingga mempercepat terjadinya Agens Hayati
infeksi dan penyebaran patogen.
Faktor-faktor lainnya seperti kelembapan Agens hayati pengendali JAP dapat
tinggi di atas 80%, kandungan bahan organik diperoleh dari sampel yang diambil di sekitar
tinggi, aerasi yang baik, dan pH 5–7 dapat perakaran tanaman (rizosfir), atau di dalam tanah
meningkatkan infeksi R. microporus (Sinulingga dengan kedalaman tertentu, serta jaringan
dan Eddy 1989). Basuki (1986) dalam Setyawan et tanaman (endofit) terutama bagian perakaran.
al. (2013) melaporkan hasil pengamatan di Sampel tersebut selain berasal dari ekosistem
laboratorium, bahwa R. microporus mudah tanaman karet (indigenous), juga dapat berasal
berkembang secara optimal pada pH netral (5,5– dari tanaman lain.
6,5), sedangkan pada pH asam pertumbuhannya Berbagai jenis agens hayati baik dari
semakin terhambat dan tidak berkembang pada kelompok jamur, bakteri, maupun aktinobakteri
pH 4. telah dimanfaatkan untuk menghambat
Persiapan lahan merupakan faktor penting perkembangan R. microporus baik in vitro maupun
yang mempengaruhi intensitas penyakit JAP di pada tanaman karet. Kelompok jamur adalah A.
perkebunan karet. Pada perkebunan rakyat niger, Chaetomium bostrychodes, Ch. cupreum, T.
umumnya dilakukan tanpa adanya hamatum, T. harzianum, Botryodiplodia theobromae
pembongkaran tunggul, hanya ditebang, dan mampu menghambat pertumbuhan koloni
diikuti dengan pembakaran lahan. Oleh karena patogen lebih dari 50% (Kaewchai dan Soytong
itu, sisa-sisa akar yang tertinggal di dalam tanah 2010; Ubogu 2013). Hasil penelitian lain, T.
merupakan food base R. microporus. Berbeda pada harzianum, T. virens, T. amazonicum, T. atroviride
perkebunan besar, persiapan lahan telah mempunyai daya hambat tinggi terhadap R.
dilakukan dengan baik agar tunggul dan sisa-sisa microporus di atas 70% dan mampu mencegah
akar dicabut dan dibersihkan secara mekanik perkembangan infeksi JAP pada bibit karet
kemudian dibakar. Namun, dengan adanya (Amaria et al. 2015; Amaria et al. 2013; Amaria
Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 57
dan RITA HARNI)
dan Wardiana 2014). Demikian juga, Hypocrea tersebut, sesuai yang dijelaskan Harman (2000),
jecorina efektif menghambat R. lignosus sampai yaitu agens hayati dapat bersaing dan bertahan
86,83% (Ogbebor et al. 2015). Potensi kelompok di dalam lingkungan tertentu, berkoloni dan
bakteri yang mampu menghambat R. microporus berproliferasi pada tempat aplikasi, serta mampu
adalah Bacillus sp. dan B. apiarus asal rizosfir bersimbiosis dengan tanaman. Mekanisme agens
tanaman karet, P. fluorescens dari akar kunyit dan hayati menentukan keberhasilan aktivitas dalam
karet (Damiri et al. 2019; Muharni dan Widjajanti mencegah perkembangan infeksi patogen.
2011). Rizobakteria P. fluorescens dan Bacillus sp., Mekanisme secara langsung dengan antibiosis,
dapat diaplikasikan di daerah endemik JAP pada kompetisi, hiperparasitisme, lisis (enzim litik),
tanaman karet berumur 5 tahun dengan dan tidak langsung misalnya dengan induksi
penekanan intensitas penyakit 80,95%−82,91% ketahanan tanaman dan plant growth promoting.
(Nasrun dan Nurmansyah 2015). Sementara itu, Penelitian tentang mekanisme agens hayati
dari jenis aktinobakteri Streptomyces asal rizosfir dalam menekan perkembangan R. microporus
tanaman kunyit dan jahe dapat menekan yang banyak dihasilkan adalah kompetisi,
intensitas penyakit JAP hingga 20% lebih tinggi antibiosis, hiperparasitisme, dan lisis (Tabel 2).
dibandingkan fungisida kimia sintetik (Nakaew Menurut Pal dan Gardener (2006),
et al. 2015). mekanisme antibiosis menghasilkan senyawa
antibiotik yang dapat menyebabkan hifa patogen
Mekanisme Agens Hayati abnormal (malformasi). Senyawa antibiotik
termasuk 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazines,
Setiap jenis agens hayati mempunyai satu
cyclic lipopeptides, pyoluteorin, pyrrolnitrin,
atau lebih mekanisme penting dalam mencegah,
viscosinamide dan 2,4-diacetyl phloroglucinol, di
menghalangi, ataupun menghambat
antaranya dihasilkan oleh Pseudomonas spp.,
perkembangan infeksi patogen. Komponen dasar
Bacillus siamensis, dan B. amylolyquifaciens,
yang penting dalam keberhasilan penghambatan
Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 59
dan RITA HARNI)
meningkatkan keefektifan agens hayati dan fermentasi Trichoderma dalam media ragi molase
mempermudah aplikasi maka agens hayati perlu mampu memproduksi klamidospora yang
dibuat dalam bentuk formula biofungisida. berlimpah. Penggunaan klamidospora lebih
Formula adalah memformulasi agens hayati efektif dibandingkan dengan konidia. Sementara
dengan komposisi tertentu untuk meningkatkan itu, produksi konidia Trichoderma di media padat
keefektifan dan kestabilannya. juga berhasil dilakukan oleh Cavalcante et al.
(2008), mengungkapkan bahwa penggunaan
Formula Biofungisida gandum dedak mampu memproduksi konidia T.
harzianum, T. viride, dan T. polysporum empat kali
Biofungisida merupakan salah satu
lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan
komponen pendukung pengendalian hayati yang
beras pada kondisi kelembapan terbaik.
banyak dikembangkan. Kondisi ini dibuktikan
Tahap formulasi merupakan kegiatan
semakin meningkatnya penelitian maupun
mencampur bahan aktif agens hayati, bahan
munculnya produk-produk biofungisida
pembawa, serta tambahan dalam kadar dan
komersial yang telah terbukti keunggulannya
bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja
dalam mengendalikan penyakit tanaman.
sesuai dengan tujuan. Bahan aktif agens hayati
Formula biofungisida dibuat dengan komposisi
mempunyai kemampuan selektif tinggi terhadap
tertentu menggunakan bahan pembawa (carrier)
patogen, tidak bersifat toksik atau toksisitasnya
dan tambahan (additive). Komposisi dalam
rendah terhadap manusia dan hewan
formula berpengaruh terhadap shelf-life agens
dibandingkan dengan fungisida kimia sintetik.
hayati selama di penyimpanan sehingga juga
Sementara itu, bahan pembawa yang dipilih
mempengaruhi keefektifan serta kestabilannya.
tidak secara langsung mempengaruhi penekanan
Komposisi yang sesuai menyebabkan agens
patogen, namun berpengaruh terhadap shelf-life
hayati dalam formula biofungisida mampu
agens hayati selama penyimpanan dan kestabilan
beradaptasi dan bekerja dengan baik sesuai
pada saat efikasi biofungsida (Fravel et al. 1998).
dengan mekanisme dalam menekan
Pengembangan formula biofungisida telah
perkembangan infeksi patogen.
berhasil dilakukan untuk jenis jamur dan bakteri.
Tahap pertama sebelum formulasi adalah
Formula tepung (powder) digunakan dalam
produksi massal agens hayati dengan fermentasi
formulasi T. asperellum dengan menggunakan
media cair atau padat. Agens hayati yang
bahan pembawa talk, efektif mengendalikan
diperbanyak dalam bentuk propagul mikrob
penyakit busuk pangkal batang Thielaviopsis
(misalnya konidia, miselium, dan klamidospora)
paradoxa (Wijesinghe et al. 2011). Bahan pembawa
ataupun metabolit sekunder. Media yang dipilih
talk juga digunakan dalam formulasi
sebaiknya dengan harga terjangkau, tersedia, dan
biofungisida T. harzianum dan T. viride untuk
mempunyai keseimbangan nutrisi yang tepat
mengurangi kejadian penyakit layu Fusarium.
(Nakkeeran et al. 2018). Media cair yang
Biofungisida ini dapat disimpan 6-12 bulan (Patel
digunakan antara lain molase, ragi molase,
dan Patel 2014; Sriram et al. 2011). Widodo dan
kedelai molase, ekstrak kentang gula, V-8 juice,
Wiyono (2012) juga memformulasi bakteri
dan limbah cair sulfat (Amaria et al. 2015; Harni et
antagonis dengan komposisi bahan pembawa
al. 2017; Mukesh et al. 2016; Nakkeeran et al.
talk dan tambahan tepung cangkang rajungan
2018). Media padat seperti sorgum, jagung,
0,25% pada kadar air 20%. Biofungisida yang
dedak, gandum, serbuk gergaji, ampas tebu yang
disimpan selama 8 bulan mampu
dibasahi, padi sekam, empulur sabut busuk,
mempertahankan populasi P. fluorescens dan B.
pupuk kandang, dan substrat lain yang kaya
polymixa serta efektif untuk diaplikasikan. Selain
selulosa (Nakkeeran et al. 2018). Produksi massal
formula tepung, bentuk cair menggunakan
sangat penting untuk diperhatikan karena
minyak jagung untuk formulasi T. virens dapat
kesesuain media, pH, dan suhu menentukan
memperpanjang masa inkubasi P. palmivora serta
jumlah propagul maupun metabolit yang
menurunkan kejadian penyakit busuk buah
dihasilkan. Papavizas dan Lewis (1989) dalam
kakao (Chamzurni et al. 2014).
Nakkeeran et al. (2018) mengemukakan bahwa
Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 61
dan RITA HARNI)
intensitas penyakit JAP sebesar 5,56% dan meminimalkan kehilangan hasil akibat penyakit
meningkatkan pertumbuhan tanaman. JAP (Setyawan et al. 2013).
Aplikasi biofungisida juga dilakukan Berdasarkan hasil penelitian tersebut
Kusdiana et al. (2015) pada tanaman dewasa di menunjukkan aplikasi biofungisida Trichoderma,
lapang. Dosis 20 g/pohon setiap enam bulan lebih efektif jika dilakukan sebagai pencegahan
sekali dengan cara dibenamkan pada empat titik infeksi patogen, yaitu pada saat penanaman atau
di sekitar perakaran pohon karet TBM bergejala pengendalian dengan gejala penyakit pada skala
JAP. Hasil penelitian melaporkan bahwa 1, yaitu miselium patogen menempel di
biofungisida efektif menekan JAP, dengan permukaan akar. Oleh karena patogen yang telah
penurunan intensitas penyakit 18,33–23,33%. masuk dan kolonisasi pada jaringan tanaman dan
Keefektifan biofungisida Trichoderma pada telah memanfaatkan nutrisi di dalamnya maka
tanaman dewasa di lapang, juga dibuktikan oleh lebih sulit untuk dikendalikan. Peningkatan
Fairuzah et al. (2014), Endohevea dosis 1 tablet/5 keefektifan biofungisida melalui pengendalian
tanaman yang diaplikasikan setiap 3 bulan sekali terpadu perlu mempertimbangkan metode
pada tanaman karet efektif mengendalikan aplikasi yang tepat serta disesuaikan dengan
penyakit JAP dengan tingkat persentase karakteristik biofungisida karena akan
kesembuhan sebesar 78,94%. mempengaruhi keberhasilan dalam
Peningkatan keefektifan biofungisida mengendalikan JAP.
Trichoderma pada tanaman dewasa di lapang juga
telah dilakukan secara terpadu melalui KESIMPULAN
kombinasi dengan teknik pengendalian lain.
Tindakan pencegahan, proteksi, dan kuratif Pengendalian hayati untuk menekan
untuk mengendalikan JAP telah dilakukan oleh intensitas penyakit JAP pada tanaman karet
Situmorang et al. (2007). Tindakan pencegahan, dapat dilakukan melalui pemanfaatan agens
mulai dari persiapan lahan dengan hayati bersifat antagonis. Agens hayati antagonis
pembongkaran tunggul dan pengolahan tanah, yang diaplikasikan pada saat penanaman atau di
penggunaan belerang, biofungisida Trichoderma, sekitar perakaran tanaman dapat berkembang
tanaman antagonis, dan penutup tanah. Proteksi baik dengan mekanisme kompetisi, antibiosis,
tanaman pada TBM melalui penggunaan hiperparasit, maupun enzim litik. Penghambatan
fungisida sintetis Triadimenol, penggunaan agens hayati dengan cara mendegradasi dinding
belerang, aplikasi biofungisida Trichoderma, sel patogen, mempengaruhi permeabilitas
tanaman antagonis (lidah mertua, kunyit, laos). membran sel, inhibitor enzim, dan mengganggu
Tindakan kuratif dengan menggunakan sintesis protein.
fungisida sintetis dan biofungisida Trichoderma. Pengembangan biofungisida yang
Penggunaan biofungisida Trichoderma tersebut diformulasi menggunakan bahan aktif agens
dengan Triko SPPLUS, dosis di pembibitan karet hayati, bahan pembawa dan tambahan tertentu,
(ground nursery) 600 kg/ha, polybag 25 g/pohon, bertujuan meningkatkan keefektifan dan
lubang tanam 50 g/pohon, TBM 75–100 g/pohon kestabilan pada saat aplikasi. Keberhasilan
dan TM 100–150 g/pohon yang diberikan setiap 6 aplikasi beberapa biofungisida untuk
bulan sekali berdasarkan keparahan penyakit mengendalikan JAP di tingkat pembibitan
(Sujatno dan Pawirosoemardjo 2001). maupun tanaman dewasa di lapang secara
Biofungisida Triko Combi dengan dosis dan terpadu merupakan salah satu komponen
interval sama dengan Triko SPPLUS, yang penting dalam rangka menyusun strategi
diaplikasikan sejak awal pada setiap tahap pengendalian JAP pada tanaman karet.
pertumbuhan tanaman, awal dan akhir musim
penghujan, serta dilakukan juga pembongkaran DAFTAR PUSTAKA
tunggul dan penanaman tanaman penutup tanah.
Kombinasi tersebut menunjukkan lebih efektif
Amaria, W., Ferry, Y., Samsudin, & Harni, R.
(2016) Pengaruh penambahan gliserol
Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 63
dan RITA HARNI)
Elsevier B.V. pada tanaman karet. Jurnal Penelitian
Hardiyanti, S., Soekarno, B.P.W. & Yuliani, T.S. Karet. [Online] 33 (2), 143. Available from:
(2017) Kemampuan mikrob endofit dan doi:10.22302/jpk.v33i2.179.
rizosfer tanaman karet dalam Maiden, N.A., Noran, A.S., Fauzi, M.A.F.A. &
mengendalikan Rigidoporus lignosus. Atan, S. (2017) Screening and
Jurnal Fitopatologi Indonesia. [Online] 13 characterisation of chitinolytic
(5), 153-160. Available from: microorganisms with potential to control
doi:10.14692/jfi.13.5.153. white root disease of Hevea brasiliensis.
Harman, G.E. (2000) Myths and dogmas of Journal of Rubber Research. [Online] 20 (3),
biological control: Changes in perceptions 182–202. Available from:
derived from research on Trichoderma doi:10.1007/BF03449151.
harzianum T-22. Plant Disease. (D)-(2000)– Muharni, M. & Widjajanti, H. (2011) Skrining
(0208)–(01F), 377–393. bakteri kitinolitik antagonis terhadap
Harni, R., Amaria, W., Syafaruddin & Mahsunah, pertumbuhan jamur akar putih
H. (2017) Potensi metabolit sekunder (Rigidoporus lignosus) dari rizosfir
Trichoderma spp . untuk mengendalikan tanaman karet. Jurnal Penelitian Sains. 14
penyakit vascular streak dieback (VSD) (1), 51–56.
pada bibit kakao. Jurnal Tanaman Industri Mukesh, S., Kumar, V., Shahid, M., Pandey, S., &
dan Penyegar. [Online] 4 (2), 57–66. Singh, A. (2016) Trichoderma-A potential
Available from: doi: and effective bio fungicide and
http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v4n2.2017 alternative source against notable
.p57-66. phytopathogens: A review. African
Herath, H.H.M.A.U., Wijesundera, R.L.C., Journal of Agricultural Research. [Online]
Chandrasekharan, N. V. & Wijesundera, 11 (5), 310–316. Available from:
W.S.S. (2017) Exploration of Sri Lankan doi:10.5897/ajar2015.9568.
soil fungi for biocontrol properties. Muklasin & Matondang, C.O. (2010) Trend
African Journal of Biotechnology. [Online] Perkembangan Serangan Hama dan Penyakit
16 (20), 1168–1175. Available from: Tanaman Karet Di Provinsi Sumatera Utara.
doi:10.5897/AJB2017.15905. Medan.
Jeyarajan, R. & Nakkeeran, S. (2000) Exploitation Nakaew, N., Rangjaroen, C. & Sungthong, R.
of microorganisms and viruses as (2015) Utilization of rhizospheric
biocontrol agents for crop disease Streptomyces for biological control of
mangement.In: Upadhyay et al. (eds.) Rigidoporus sp. causing white root disease
Biocontrol Potential and their in rubber tree. European Journal of Plant
Exploitation in Sustainable agriculture. Pathology. [Online] 142 (1), 93–105.
USA, Kluwer Academic/Plenum Available from: doi:10.1007/s10658-015-
Publishers, pp.95–116. 0592-0.
Kaewchai, S. & Soytong, K. (2010) Application of Nakkeeran, S., Karthikeyan, G., Brindhadevi, S. &
biofungicides against Rigidoporus Vinodkumar, S. (2018) Mass production
microporus causing white root disease of of fungal and bacterial antagonists. In:
rubber trees. Journal of Agricultural Biocontrol of Soil Borne Pathogens and
Technology. 6 (2), 349–363. Nematodes. Tamil Nadu Agricultural
Khokhar, M.K. & Gupta, R. (2014) Integrated University, Coimbatore, pp.96–112.
disease management. Popular Kheti. 2 (1), Nandris, D., Nicole, M. & Geiger, J.P. (1987) Root
87–91. Rot Diseases. Plant Disease. 71 (4), 298–
Kusdiana, A.P.J., Munir, M. & Suryaningtyas, H. 306.
(2015) Pengujian biofungisida berbasis Nasrun & Nurmansyah (2015) Potensi
mikroorganisme antagonis untuk rizobakteria dan fungisida nabati untuk
pengendalian penyakit jamur akar putih pengendalian penyakit jamur akar putih
Peranan Agens Hayati Dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet (WIDI AMARIA, KHAERATI, 65
dan RITA HARNI)
terpadu. Warta Puslit Karet. 20 (1)–(3), 64– rot disease on pineapple caused by
75. (Thielaviopsis paradoxa). Crop Protection.
Suwandi, S. (2008) Evaluasi kombinasi isolat [Online] 30 (3), Elsevier Ltd, 300–306.
Trichoderma mikoparasit dalam Available from:
mengendalikan penyakit akar putih pada doi:10.1016/j.cropro.2010.11.020.
bibit karet. J.HPT Tropika. 8 (1), 55–62. Yulia, E., Istifadah,N., Widiantini, F., Utami, H.S.
Ubogu, M. (2013) Assessment of root zone (2017) Antagonisme Trichoderma spp.
mycoflora of three Hevea brasiliensis terhadap jamur Rigidoporus lignosus
(Rubber) clones at Akwete plantations (Klotzsch) dan penekanan penyakit
and their in vitro growth inhibition of jamur akar putih pada tanaman karet.
Rigidoporus lignosus. 3 (2), 618–623. Jurnal Agrikultura. [Online] 28 (1), 47–55.
Wijesinghe, C.J., Wilson Wijeratnam, R.S., Available from:
Samarasekara, J.K.R.R. & Wijesundera, R. http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/
L.C. (2011) Development of a formulation article/view/13226/6071.
of Trichoderma asperellum to control black