Anda di halaman 1dari 22

LAUT LEPAS (HIGH SEAS)

Devica Rully Masrur, S.H., M.H., LL.M.


(Dalam Mata Kuliah: Hukum Laut Internasional)

I. Latar Belakang
Laut lepas dalam sejarahnya merupakan pranata laut yang lahir,
tumbuh dan berkembang bersamaan dengan laut teritorial. Laut lepas dan
Area merupakan kawasan atau wilayah yang dipergunakan bersama untuk
umat manusia yang pada dasarnya bahwa segala hak terhadap kekayaan
yang berada di kawasan area merupakan hak setiap umat manusia untuk
antar negara dapat memanfaatkannya secara keseluruhan. Sedangkan
menurut BAB XI UNCLOS 1982 area merupakan kawasan dasar laut yang
tidak dimiliki oleh pihak manapun ataupun negara manapun. Sedangkan
laut lepas itu sendiri merupakan laut di luar yurisdiksi nasional negara-
negara disebut laut bebas atau “high seas”. Pemanfaatan laut bebas
dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan bersama umat manusia”
(common heritage of mankind), yang berarti bahwa manfaat laut bebas, baik
aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang dikandungnya,
harus dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia dan tidak boleh
dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja.
Kawasan area dan laut lepas ini adalah kawasan yang dimaksudkan
untuk damai bagi semua Negara-negara. Karena di kawasan ini, Negara-
negara mempunyai kebebasan untuk melakukan pelayaran, memasang
kabel dan pipa-pipa dibawah laut, bebas terbang di atasnya, menangkap
ikan, riset ilmiah dan lain sebagainya, asalkan tidak menimbulkan konflik-
konflik antar negara anggota UNCLOS 1982.
Pasal 86 juga menyatakan bahwa ketentuan ini tidak memengaruhi
beberapa kebebasan yang di nikmati oleh Negara-negara di zona ekonomi
eksklusif sesuai dengan pasal 58. Oleh karena itu , hal ini tampaknya
bukan merupakan alasan yang cukup untuk menegaskan bahwa zona
ekonomi eksklusif membentuk bagian dari laut lepas. Sebagaimana di
nyatakan sebelumnya bahwa mungkin lebih baik bila zona ekonomi
eksklusif di anggap sebagai rezim yang sui generis, di mana hanya beberapa

1
aspek tertentu saja dari kebebasan di laut lepas yang di terapkan. Selain
itu peristilahan ”laut lepas” di artikan sebagai perairan yang berada di luar
batas 200 mil laut zona ekonomi eksklusif. (Heru Prijanto: 17)
Laut lepas terbuka bagi semua Negara, baik Negara yang berpantai
maupun yang tidak berpantai kebebasan di laut lepas ini di antara lain:
a kebebasan berlayar
b kebebasan untuk terbang di atasnya
c kebebasan meletakkan kabel dan pipa di bawah laut
d kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi lainnya
e kebebasan menangkap ikan
f kebebasan melakukan riset ilmiah
Kebebasan ini harus dilaksanakan oleh negara-negara dengan
pertimbangan kepentingan negara lain, serta hak-hak yang tercantum
dalam konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar laut dalam (pasal 87).
Laut lepas harus digunakan hanya untuk maksud-maksud damai dan
tidak ada satu negara pun dapat menyatakan kedaulatannya terhadap
bagian dari laut lepas ini (pasal 88 dan pasal 89).
Sangat jelas bahwa laut lepas merupakan wilayah laut yang tidak
merupakan wilayah teritorial dari suatu negara. Laut yang tidak
merupakan wilayah teritorial dari negara manapun maka laut lepas
merupakan laut yang bebas atau dikenal dengan istilah res nullius dimana
laut merupakan wilayah perairan yang tidak dimiliki oleh siapa pun yang
artinya laut lepas dapat dimanfaatkan oleh setiap negara baik negara
berpantai maupun negara tidak berpantai. Tetapi pemanfaatan laut lepas
hanya untuk kepentingan damai dan tidak ada suatu negara yang boleh
mengklaim bagian laut lepas menjadi miliknya ada berada dibawah
kedaulatannya. Hukum di laut lepas diatur dalam Konvensi Hukum Laut
1982 part VII pasal 86 sampai 120. Dengan adanya kebebasan yang
diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 kepada setiap negara baik
negara berpantai maupun negara tidak berpantai maka dengan sendirinya
negara telah memiliki hak dan kewajiban untuk dapat memanfaatkan laut
lepas semaksimal mungkin dengan tujuan damai. Kebebasan di laut lepas
dapat dilaksanakan dengan mematuhi syarat-syarat yang diberikan oleh

2
Konvensi Hukum Laut 1982 dan syarat yang diberikan oleh Hukum
Internasional. Dengan adanya kebebasan yang diberikan ini maka negara
mendapatkan keuntungan untuk dapat memanfaatkan wilayah laut lepas
ini demi kepentingan negaranya tanpa merugikan negara lain atau pihak
lain. Tetapi selain memiliki hak untuk memanfaatkan wilayah laut lepas
ini negara pun terikat dengan kewajibannya untuk tidak melakukan
tindakan yang dapat merugikan pihak lain atau tindakan yang dapat
merusak wilayah laut lepas itu sendiri. Setiap negara memang diberikan
kebebasan untuk memanfaatkan laut lepas tetapi kebebasan yang
diberikan bukanlah kebebasan tanpa batas dan tanpa aturan (Kendis
Gabriela Runtunuwu).
Kebebasan untuk memanfaatkan laut lepas diatur dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus
dilakukan, sehingga terhadap kebebasan di laut bebas tersebut terdapat
beberapa pengecualian yang sama sekali tidak boleh dilakukan di laut
lepas. Pengecualian kebebasan di laut lepas tersebut antara lain adalah
Perompakan laut (piracy), pengejaran seketika (hot persuit), penangkapan
ikan dan pencemaran di laut lepas.

II. Pengertian dan Status Hukum Laut Lepas


Laut lepas didefinisikan secara negatif dalam Konvensi Hukum Laut
Jenewa 1958, begitu pula dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Hanya
saja definisi negatif dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 lebih limitatif
dibandingan dengan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958. Hal ini
disebabkan karena bertambahnya pranata hukum laut yang secara
signifikan mengurangi luas laut lepas, yaitu zona ekonomi eksklusif. Pasal
1 Konvensi Laut Lepas secara tegas menyatakan: “The term “high seas”
means all parts of the sea that are not included in the territorial sea or in the
internal waters of a State”. Istilah “laut lepas” berarti semua bagian laut
yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau perairan pedalaman pada
suatu negara”. Jadi, bagian laut yang bukan laut teritorial ataupun
perairan pedalaman suatu negara adalah merupakan laut lepas.

3
Dalam pasal 86 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dinyatakan bahwa:
“The provisions of this Part apply to all parts of the sea that are not included
in the exclusive economic zone, in the territorial sea or in the internal waters
of a State, or in the archipelagic waters on archipelagic State. This article
does not entail any abridgement of the freedoms enjoyed by all States in the
exclusive economic zone in accordance with article 58.” Artinya bahwa “Bab
ini berlaku atas semua bagian laut yang tidak termasuk dalam zona
ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara
kepulauan. Pasal ini tidak mengakibatkan pengurangan apapun terhadap
kebebasan yang di nikmati semua negara di zona ekonomi eksklusif sesuai
dengan pasal 58”.
Perairan laut ( secara horizontal ) terdiri dari perairan pedalaman,
laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan perairan kepulauan. Perairan
laut yang selain dari keempat pranata hukum laut inilah yang disebut laut
lepas.

Status Hukum Laut Lepas


Laut lepas bukanlah bagian wilayah negara dan oleh karena itu tidak
ada suatu negara pun boleh mengklaim kedaulatan ataupun melakukan
tindakan - tindakan yang mencerminkan kedaulatan di laut lepas atau di
bagian - bagian tertentu dari laut lepas. Berkenaan dengan status hukum
laut lepas, Pasal 88 menyatakan bahwa laut lepas harus dicadangkan
untuk maksud - maksud damai. Pengertian dari “damai” tidak dijabarkan.
Ini berarti, hal tersebut diserahkan pada negara - negara dengan itikad baik
untuk menafsirkannya sendiri. Dalam pasal 89, berisi yaitu tiada satu
negarapun dapat secara sah mengaku memiliki kedaulatan atas suatu
bagian dari laut lepas.

III. Prinsip Kebebasan di Laut Lepas


Kebebasan laut lepas yang semula hanya ada dua, yakni kebebasan
pelayaran dan kebebasan perikanan, ditambah dua kebebasan dalam lagi
dalam Konvensi Laut Lepas 1958, yakni kebebasan memasang kabel dan

4
pipa saluran bawah laut serta kebebasan untuk terbang di ruang udara di
atas laut lepas, Dua kebebasan ini timbul karena kemajuan teknologi.
Dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982, keempat kebebasan ini
ditambah lagi dengan dua kebebasan, yakni kebebasan untuk mendirikan
pulau buatan dan instalasi yang sejenis serta kebebasan untuk melakukan
penelitian ilmiah sehingga semuanya menjadi 6 kebebasan laut lepas.
Kebebasan itu tertuang dalam Pasal 87 ayat 1, yaitu :
1. kebebasan pelayaran;
2. kebebasan penerbangan;
3. kebebasan untuk memasang kabel dan pipa saluran bawah laut,
dengan tunduk ketentuan Bab VI;
4. kebebasan untuk mendirikan pulau buatan dan instalasi lainnya
yang diperbolehkan berdasarkan hukum Internasional, dengan
tunduk pada Bab VI;
5. kebebasan menangkap ikan yang harus tunduk pada persyaratan
yang tercantum dalam Bagian 2;
6. kebebasan untuk melakukan penelitian ilmiah yang tunduk pada
Bab VI dan XIII.

Kewajiban untuk tunduk pada Bab VI ini adalah sudah sewajarnya


demikian, sebab ketiga kebebasan itu ada yang dilakukan di Laut Lepas
yang bersentuhan dengan landas kontinen di bawah laut lepas itu. Bahkan
untuk kebebasan melakukan penelitian ilmiah, di samping tunduk pada
bab VI juga tunduk pada bab XIII yakni bab yang secara khusus mengatur
penelitian ilmiah kelautan.
Akan tetapi, ada satu hal yang tampaknya kurang lengkap dalam
pembatasan atas ketiga kebebasan laut lepas dalam kebebasan memasang
kabel, mendirikan pulau dan penelitian ilmiah di atas dari Kawasan (the
area). Jika Bab XI ini ditelaah dengan teliti, sama sekali tidak membahas
kebebasan tiga poin tersebut di perairan laut lepas di atas Kawasan.
Namun dapat ditemui jawaban pada ayat 2 pasal 87 yang menyatakan
“bahwa kebebasan tersebut akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan
memerhatikan sebagaimana layaknya kepentingan negara lain dalam

5
melaksanakan kebebasan laut lepas dan juga dengan memerhatikan
sebagaimana layaknya hak - hak dalam konvensi ini yang berkenaan
dengan aktivitas di Kawasan”. Tekanan pada ayat 2 ini adalah hak - hak
yang diatur dalam konvensi yang berkenaan dengan aktivitas di Kawasan.

IV. Status Hukum Kapal-Kapal di Laut Lepas


Sebelum mempelajari tentang status hukum kapal-kapal yang
berlayar di laut, silahkan dipelajari secara terpisah perbedaan antara Kapal
Publik dan Kapal Swasta. Kapal Publik Perang, Kapal Publik non Militer,
Kapal Organisasi Internasional, dan Kapal-Kapal Dagang.
Tentang Pelayaran di laut lepas sebagai salah satu kebebasan laut
lepas, ternyata mendapat pengaturan yang relatif banyak dalam Konvensi
1982 ini, sebanyak 22 pasal ( pasal 90 - 111). namun sebagian dari pasal-
pasal itu secara khusus mengatur tentang beberapa jenis kejahatan atau
tindak pidana yang terjadi di laut lepas, yaitu pasal 97 sampai 111 sudah
tentu kejahatan tersebut adalah kejahatan yang terjadi di dalam kapal yang
sedang berlayar ataupun dengan menggunakan kapal sebagai sarana
melakukan kejahatan di laut lepas.
Pasal 90 menegaskan bahwa setiap negara baik negara berpantai
ataupun tidak pantai berhak untuk melayarkan kapal yang mengibarkan
bendera nya di laut lepas pasal ini bersifat deklaratif. Karena hanya
menyatakan saja apa yang sebenarnya memang sudah diakui sebagai
hukum kebiasaan internasional maupun diakui dalam konvensi hukum
laut internasional seperti konvensi laut lepas 1958 maupun sudah berkali-
kali disebut dalam konvensi hukum laut PBB 1982 tanpa penegasan ini
pun dengan sendirinya setiap negara berhak untuk melayarkan kapal yang
berbendera negaranya di laut lepas.
Pasal 91 ayat 1 membebani kewajiban kepada setiap negara untuk
menetapkan persyaratan bagi kapal-kapal yang didaftarkan di negara yang
bersangkutan untuk memperoleh kebangsaan dan hak mengibarkan
bendera kebangsaan nya. Sebuah kapal akan memiliki kebangsaan dari
negara yang benderanya secara sah dikibarkan oleh kapal itu setelah
terpenuhi segala persyaratan yang diatur dalam hukum nasionalnya. Atas

6
dasar itu haruslah, terdapat hubungan langsung antara negara yang
bersangkutan dengan kapal tersebut. Ayat 2 menegaskan kepada negara
yang benderanya dikibarkan oleh kapal, untuk memberikan dokumen yang
berkaitan dengan hak atas kebangsaan dan hak bagi kapal tersebut untuk
mengibarkan benderanya.
Menurut Pasal 92 ayat 1 kapal yang sedang berlayar di laut lepas
tunduk pada yurisdiksi eksklusif dari negara kebangsaan kapal tersebut
kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur dengan jelas di dalam
Perjanjian-perjanjian internasional ataupun di dalam konvensi hukum laut
PBB 1982 ini.
Pasal 92 ayat 1 berbunyi “Kapal harus berlayar di bawah bendera
suatu Negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas
ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam Konvensi ini, harus
tunduk pada yurisdiksi eksklusif Negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak
boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau
sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal
adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan
pendaftaran.”
Pasal 93 mengatur tentang kapal yang memakai bendera
perserikatan bangsa-bangsa badan-badan khusus perserikatan bangsa-
bangsa atau badan tenaga atom internasional. Ditegaskan bahwa pasal-
pasal terdahulu tidak berlaku terhadap kapal-kapal yang digunakan dalam
dinas resmi perserikatan bangsa-bangsa badan-badan khususnya serta
badan tenaga atom internasional, yang mengibarkan Bendera dari
organisasi internasional yang bersangkutan. Jika pasal sebelumnya tidak
berlaku terhadap ketiga tipe organisasi internasional ini, lalu pasal 93
ataupun pasal-pasal lain dari konvensi ini sama sekali tidak menegaskan
mengenai hal tersebut apakah karena kapal itu mengibarkan Bendera dari
organisasi internasional yang bersangkutan. Maka berlakulah yurisdiksi
eksklusif dari organisasi internasional itu.
Selanjutnya pada pasal 94 ayat 1-7 membebani cukup banyak
kewajiban kepada bernegara bendera dengan tunduknya kapal yang
berlayar di laut lepas pada yurisdiksi eksklusif dari negara bendera negara

7
bendera haruslah mampu menerapkan yurisdiksi eksklusifnya secara
efektif terhadap kapal yang berkebangsaan negara tersebut sebagai wujud
nyata dari pelaksanaan yurisdiksi eksklusif nya. Antara lain dengan
melakukan pengawasan dalam bidang administratif, teknis dan sosial
terhadap kapal yang mengibarkan benderanya.
Kapal perang yang sedang berlayar di laut lepas memiliki kekuatan
penuh dari yurisdiksi negara manapun selain dari negara benderanya itu.
Karena, dalam pasal 95 menyatakan, apa yang dimaksud dengan kapal
perang dan apa saja kriteria nya. Pengaturannya merujuk pada hukum
humaniter internasional. Selain kapal perang, kapal yang dimiliki atau
dioperasikan oleh suatu negara dan digunakan untuk keperluan dinas
pemerintah yang sifatnya adalah non komersial yang berlayar di laut lepas,
juga memiliki kekebalan penuh dari yurisdiksi negara manapun kecuali
yurisdiksi dari negaranya sendiri yaitu pada pasal 96.

V. Wewenang Negara Bendera


Di Laut Lepas, semua kapal-kapal tunduk sepenuhnya pada
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan negara bendera. Suatu
kapal yang memakai bendera suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi
eksklusif negara itu di laut lepas. Tujuan dari hal tersebut adalah adanya
kesatuan hukum untuk menjamin ketertiban dan disiplin di atas kapal.
Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang
terdapat di atas kapal, baik warganegara dari negara bendera maupun
terhadap orang-orang asing.
Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan
hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Bila
terjadi pembunuhan di atas kapal, undang-undang pidana negara
benderalah yang berlaku. Bila terjadi transaksi walaupun antara orang-
orang asing sendiri di atas kapal tersebut, juga undang-undang perjanjian
negara benderalah yang berlaku (locus regit actum).

8
VI. Pengawasan di Laut Lepas
Pengawasan di Laut Lepas dilakukan oleh kapal-kapal perang.
Pengawasan dibagi atas dua bagian: pengawasan umum dan pengawasan
khusus.
Dalam pasal 110 Ayat (1) menyatakan bahwa apabila perbuatan
mengganggu berasal dari wewenang yang berdasarkan perjanjian, suatu
kapal perang yang menjumpai suatu kapal asing di laut lepas, selain kapal
yang memiliki kekebalan penuh sesuai pasal-pasal 95 dan 96, tidak
dibenarkan untuk menaikinya kecuali kalau ada alasan yang cukup untuk
menduga bahwa :
a kapal tersebut terlibat dalam perompakan;
b kapal tersebut terlibat dalam perdagangan budak;
c kapal tersebut terlibat dalam penyiaran gelap dan Negara bendera
kapal perang tersebut mempunyai yurisdiksi berdasarkan pasal 109;
d kapal tersebut tanpa kebangsaan; atau
e walaupun mengibarkan suatu bendera asing atau menolak untuk
memperlihatkan benderanya, kapal tersebut, dalam kenyataannya,
memiliki kebangsaan yang sama dengan kapal perang tersebut.

Maka tidak ada satu kapal pun, termasuk kapal perang dari Negara
mana pun yang dapat menaiki kapal yang sedang berlayar di laut lepas
karena kapal dilaut lepas tidak tunduk pada yurisdiksi Negara manapun.
Dalam hal-hal yang ditentukan dalam ayat 1, kapal perang tersebut dapat
melaksanakan pemeriksaan atas hak kapal tersebut untuk mengibarkan
benderanya. Untuk keperluan ini, kapal perang boleh mengirimkan sekoci,
di bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai.
Apabila kecurigaan tetap ada setelah dokumen-dokumen di periksa,
dapat diteruskan dengan pemeriksaan berikutnya di atas kapal, yang
harus dilakukan dengan memperhatikan segala pertimbangan yang
mungkin. Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan apabila
kapal yang diperiksa tidak melakukan suatu perbuatan yang
membenarkan pemeriksaan itu, kapal tersebut akan menerima ganti
kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang mungkin diderita.

9
Ketentuan-ketentuan ini berlaku juga bagi setiap kapal atau pesawat udara
lain yang berwenang dan mempunyai tanda-tanda jelas dan dapat dikenal
sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah.

Kejahatan-Kejahatan di Laut Lepas:


1. Tubrukan Kapal dan Insiden Pelayaran Lainnya
Mengenai kejahatan ini, Konvensi Hukum Laut PBB 1982 telah
mengaturnya dalam Pasal 97 namun lebih menekankan pada
yurisdiksi kriminal atas kejahatan tersebut. Di dalam Pasal 97 ayat 1
tidak ditegaskan pengertian tubrukan kapal dan tidak memberikan
rincian unsur-unsur kejahatan atau tindak pidana tubrukan kapal,
melainkan hanya menegaskan, negara mana yang memiliki yurisdiksi
kriminal atas kejahatan tersebut. Artinya dalam hal terjadi suatu
peristiwa tubrukan kapal atau insiden pelayaran lainnya dalam bentuk
apa pun yang menyangkut sebuah kapal dilaut lepas berkenaan
dengan tanggung jawab kriminal ataupun masalah disiplin nakhoda
atau siapapun juga yang sedang dalam suatu dinas kapal, hanya boleh
dituntut secara kriminal di hadapan badan peradilan atau diproses
atas masalah disiplinnya di hadapan pejabat administratif dari negara
bendera atau negara kebangsaan dari kapal itu atau negara yang
merupakan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
Hal ini kemudian memiliki korelasi dengan Pasal 92 ayat 1 sebagai
konsekuensi atas pemberlakuan pasal tersebut yang menyatakan
bahwa kapal yang berlayar di laut lepas tunduk pada yurisdiksi
eksklusif dari negara kebangsaannya. Maka dapat dipahami bahwa
apabila terjadi kejahatan yang terjadi di dalam kapal ataupun yang
dialami oleh kapal seperti tubrukan di laut lepas dengan kapal lain,
tunduk pada yurisdiksi negara yang menjadi kebangsaan kapal
ataupun negara yang merupakan kewarganegaraan dari orang yang
bersangkutan.
Menjadi suatu masalah ketika terjadi suatu tubrukan kapal dimana
kapal yang bertubrukan adalah kapal dengan kebangsaan yang
berbeda, demikian pula nakhoda dan awaknya juga

10
berkewarganegaraan dari negara yang berbeda. Nakhoda dan awak dari
masing-masing kapal akan diproses secara pidana ataupun
administratif dengan negara yang berbeda pula padahal kasusnya
hanya satu yakni tubrukan kapal. Sebaiknya kedua pihak bekerja
sama dalam penyelesaian kasus ini karena masing-masing pihak
membutuhkan alat bukti dan berita acara pemeriksaan dari aparat
penegak hukum.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 97 ayat 2 yang mengatur tentang
yurisdiksi negara dalam kasus disiplin menegaskan bahwa hanya
negara yang mengeluarkan ijazah nakhoda atau sertifikat kompetensi
ataupun lisensi yang berhak untuk melakukan penarikan atas
sertifikat-sertifikat nakhoda meskipun pemegangnya bukanlah warga
negara dari negara yang bersangkutan. Tindakan administratif ini baru
bisa dilajukan setelah selesainya proses hukum atas kasusnya.
Sedangkan ketentuan Pasal 97 ayat 3 melarang untuk dilakukan
penangkapan ataupun penahanan oleh pejabat dari negara manapun
terhadap kapal yang bertubrukan, meskipun hanya tindakan
pemeriksaan, kecuali oleh pejabat dari negara bendera kapal tersebut.
Ketentuan ini juga memiliki korelasi yang erat dengan Pasal 92 ayat 1
tentang yurisdiksi eksklusif dari negara kebangsaan atas kapalnya
yang berlayar di laut lepas. Tindakan negara ketiga dibenarkan untuk
menarik kapal yang bertubrukan ke pantai atau pelabuhan terdekat
negara ketiga sepanjang pejabat negara yang bersangkutan tidak
ditindaklanjuti dengan penahanan dan pemeriksaan atas kapal,
nakhoda, ataupun awaknya.
Pasal 98 ayat 1 dan 2 mengatur mengenai kewajiban setiap negara
untuk memerintahkan kepada nakhoda kapalnya yang berlayar di laut
lepas, sepanjang hal itu bisa dilakukan tanpa membahayakan kapal,
awak kapal, dan penumpangnya, untuk:
a. Memberikan pertolongan kepada setiap orang yang ditemukan di
laut yang sedang dalam keadaan bahaya tenggelam;
b. Berangkat menuju tempat terjadinya bahaya seperti kesulitan yang
dihadapi seseorang apabila sebelumnya sudah mendapat

11
pemberitahuan dan permintaan tentang kebutuhannya untuk
diberikan pertolongan, sepanjang tindakan demikian memang
secepatnya dapat diharapkan darinya.
Dalam Pasal 98 ayat 1 huruf c, khusus berkenaan dengan
pertolongan bagi kapal yang bertubrukan. Setelah terjadi tubrukan
tidak hanya 1 kapal yang rusak bahkan bisa keduanya yang mengalami
kerusakan sehingga terancam bahaya. Maka dalam hal ini, kapal yang
dimintai pertolongan oleh nakhoda kapal yang bertubrukan wajib
memberikan pertolongan kepada kapal, awak kapal, dan
penumpangnya yang berada dalam keadaan bahaya.
Pasal 98 ayat 2 mewajibkan kepada setiap negara untuk
mendirikan, mengoperasikan, dan memelihara kegiatan pencarian dan
penyelamatan yang memadai dan efektif berkenaan dengan tindakan
penyelamatan di dalam dan diatas laut.

2. Larangan Pengangkutan Budak Belian


Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 99 Konvensi Hukum Laut PBB
1982 yang menegaskan pelarangan bahwa perdagangan budak dan
pengangkutannya oleh kapal-kapal untuk dibawa ke negara atau
benua lain merupakan kejahatan atau tindak pidana. Hal ini sejatinya
telah ada pada ketentuan Pasal 13 Konvensi Hukum Laut PBB 1958
yang artinya pengangkutan budak belian sudah terjadi sejak lama dan
tidak sesuai dengan kesadaran hukum serta rasa keadilan umat
manusia.
Munculnya ketentuan ini dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1958
maupun 1982 tidak terlepas dari fakta sejarah mengenai penemuan
benua Amerika yang kemudian disertai dengan migrasi secara besar-
besaran oleh bangsa Barat ke benua tersebut. Disana bangsa Barat
mendirikan negara baru dengan mengelola alamnya yang
membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga mereka mendatangkan
orang-orang kulit hitam dari benua Afrika dan orang-orang dari benua
Asia dengan cara menangkap dan memasa mereka untuk diangkut
dengan kapal menuju benua Amerika. Hal ini yang kemudian hari

12
ditentang oleh Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln dalam
proklamasinya yang kemudian mengubah pandangan dari menganggap
perbudakan sebagai hal yang biasa dan lumrah menjadi suatu tindak
pidana.
Hal ini yang kemudian memunculkan konvensi internasional
seperti Konvensi tentang Perbudakan tahun 1926, Konvensi tentang
Penghapusan Kerja Paksa 1930 dan Konvensi tentang Pemberantasan
Perdagangan Orang dan Bentuk Pengeksploitasian lain dari Prostitusi
oleh Orang Lainnya tahun 1949.
Semua macam kejahatan perbudakan atau yang berkaitan erat
dengan perbudakan seperti diatur dalam konvensi-konvensi tersebut,
bisa saja terjadi baik di darat maupun di laut termasuk di laut lepas
sehingga aturan yang ada saat ini digunakan untuk mengakomodir
kemungkinan-kemungkinan tersebut.

3. Pembajakan Kapal
Pembajakan Kapal diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982
dalam Pasal 100 dan Pasal 101. Pasal 101 menegaskan tentang
pengertian pembajakan di laut lepas yang rumusan lengkapnya sebagai
berikut.
Pembajakan di laut terdiri dari salah satu diantara tindakan berikut
yakni:
(a) Setiap tindakan kekerasan atau penahanan secara tidak sah, atau
setiap tindakan yang mengakibatkan kemusnahan, yang dilakukan
untuk kepentingan pribadi, oleh awak kapal atau oleh penumpang
dari sebuah kapal swasta atau pesawat udara swasta, dan
ditujukan:
(i) Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau
terhadap orang atau barang yang ada diatas kapal atau diatas
pesawat udara demikian;
(ii) Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di
suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun;

13
(b) Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian
suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta-fakta
yang menunjukkan bahwa kapal atau pesawat udara itu adalah
sebagai pembajak;
(c) Setiap tindakan dengan sengaja membujuk untuk melakukan atau
dengan sengaja membantu melakukan tindakan yang disebutkan
pada sub ayat (a) dan (b) diatas.
Dari Pasal 101 ini tampak unsur-unsur dari suatu tindakan atau
perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai pembajakan kapal di laut
lepas. Satu yang perlu dicatat adalah Pasal 101 berkenaan dengan
pembajakan di laut lepas yang semata-mata ditunjukkan terhadap si
pelaku yang sepenuhnya pihak swasta dan demikian juga korbannya.
Pasal 100 mewajibkan setiap negara untuk bekerja sama sepenuhnya
dalam pemberantasan pembajakan dilaut lepas atau di tempat lain di
luar yurisdiksi suatu negara.

4. Pembajakan oleh Sebuah Kapal Perang, Kapal atau Pesawat Udara


Pemerintah Suatu Negara yang Awaknya Memberontak
Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 102-Pasal 107 Konvensi
Hukum Laut PBB 1982. Pasal 102 menegaskan bahwa pembajakan
dalam hal ini adalah pembajakan yang pelakunya adalah pihak publik,
yakni dilakukan oleh kapal perang, kapal atau pesawat udara
pemerintah yang awaknya melakukan pemberontakan dan telah
mengambil alih penguasaan atas kapal atau pesawat udara yang
bersangkutan.
Pasal 103 menegaskan tentang kapal atau pesawat udara
perompak. Suatu kapal atau pesawat udara dianggap sebagai kapal
atau pesawat udara perompak apabila kapal atau pesawat udara itu
dimaksudkan oleh pihak yang menguasai atau mengendalikannya
digunakan untuk tujuan melakukan salah satu dari tindakan yang
disebutkan dalam Pasal 110. Hal ini juga berlaku jika kapal atau
pesawat udara tersebut telah digunakan melakukan kejahatan seperti
dalam Pasal 101 selama kapal atau pesawat udara itu berada di bawah

14
pengawasan atau pengendalian dari pihak yang telah melakukan
tindakan tersebut.
Pasal 104 menegaskan bahwa kapal atau pesawat udara yang telah
digunakan sebagai alat melakukan perompakan atau pembajakan tetap
memiliki kebangsaan atau kewarganegaraan dari negaranya yang
ditentukan oleh hukum atau peraturan perundang-undangan nasional
masing-masing negara, khususnya hukum atau peraturan perundang-
undangan nasional dari negara yang telah memberikan kebangsaan
atau kewarganegaraan.
Dalam Pasal 105 menyatakan bahwa setiap negara dapat
menangkap kapal atau pesawat udara pembajak yang berada di bawah
kendali dari pembajak yang digunakan melakukan pembajakan atau
perompakan di laut lepas atau di suatu tempat di luar yurisdiksi
nasional suatu negara. Negara yang bersangkutan memiliki
kewenangan untuk:
a. Menangkap, menahan, dan mengadili orang-orang yang terlibat
dalam pembajakan atau perompakan tersebut dan menghukumnya
jika terbukti bersalah;
b. Melakukan penahanan atas barang-barang yang dibawa kapal atau
pesawat udara itu;
c. Menentukan tindakan apa yang harus diambil terhadap kapal atau
pesawat udara atau barang-barangnya dengan tetap menghormati
dan melindungi hak-hak dari pihak ketiga yang beritikad baik.
Pasal 106 menyatakan bahwa jika penangkapan yang dilakukan
suatu negara atas suatu kapal atau pesawat udara yang diduga
melakukan pembajakan atau perompakan tidak disertai dengan alasan
yang cukup, negara yang melakukan penangkapan tersebut harus
bertanggung jawab kepada negara yang merupakan kebangsaan atau
kewarganegaraan kapal atau pesawat udara atas setiap kerugian
ataupun kerusakan yang diderita akibat penangkapan tersebut. Pasal
107 mengatur mengenai kapal atau pesawat udara yang berhak
melakukan penangkapan terhadap kapal atau pesawat udara dan
awaknya yang dicurigai melakukan pembajakan atau perompakan

15
yang mana penangkapan tersebut dilakukan oleh kapal perang atau
pesawat udara militer, kapal atau pesawat udara lain yang secara tegas
diberikan tanda identitas yang menunjukkan bahwa kapal atau
pesawat udara militer tersebut sedang dalam tugas pemerintahan dan
diberikan wewenang untuk melakukan penangkapan.

5. Perdagangan Gelap Narkotika atau Bahan-Bahan Psikotropika


Konvensi Hukum Laut PBB 1982 mengatur mengenai kejahatan ini
dalam Pasal 108 ayat 1 dan 2. Dalam ayat 1 menganjurkan negara-
negara untuk bekerjasama dalam pemberantasan perdagangan gelap
narkotika dan bahan-bahan psikotropika yang dilakukan oleh kapal-
kapal di laut lepas yang bertentangan dengan konvensi-konvensi
internasional. Lahirnya pasal ini karena terdapat suatu hipotesa bahwa
perdagangan gelap narkotika dan bahan-bahan psikotropika bisa
terjadi di dalam kapal yang sedang berlayar di laut lepas atau bisa
terjadi dianatara orang-orang yang berada di atas atau di dalam dua
atau lebih kapal yang berbeda yang sama-sama berlayar di laut lepas.
Sedangkan ayat 2 mengatur tentang setiap negara yang memiliki
alasan kuat untuk menduga, bahwa suatu kapal yang mengibarkan
bendera nasionalnya terlibat dalam perdagangan gelap narkotika dan
bahan-bahan psikotropika dapat meminta negara lain untuk bekerja
sama dalam memberantas perdagangan demikian itu. Pasal 108 lebih
menekankan pada perlunya kerjasama dalam pemberantasan
perdagangan gelap narkotika dan bahan-bahan psikotropika. Namun
sebelum bekerjasama, negara-negara haruslah mengatur masalah ini
sebagai tindak pidana dalam hukum pidana nasionalnya serta
mengatur bahwa hal tersebut tunduk pada yurisdiksi kriminalnya.

6. Penyiaran Gelap yang Dilakukan di atau dari Laut Lepas


Hal ini diatur dalam Pasal 109 ayat 1-4 dimana dalam ayat 1 pasal
ini memiliki ketentuan yang sama dengan Pasal 108 ayat 1 yang
menganjurkan kepada setiap negara untuk bekerjasama dalam
pemberantasan penyiaran gelap yang dilakukan di atau dari laut lepas.

16
Penyiaran gelap yang dimaksudkan dalam hal ini kemudian dijelaskan
dalam Pasal 109 ayat 2 yakni pemancaran siaran radio atau televisi
yang dilakukan dari kapal atau dari suatu instalasi di laut lepas yang
dimaksudkan untuk dapat diterima secara luas atau umum dengan
cara-cara yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum
internasional tapi tidak termasuk di dalamnya tentang pemancaran
siaran untuk maksud mendapatkan pertolongan atas keadaan bahaya
yang sedang mengancam.
Pasal 109 ayat 3 menegaskan tentang kewenangan mengadili
terhadap setiap orang yang melakukan penyiaran gelap di atau dari
laut lepas, tegasnya mengenai negara-negara yang memiliki
kewenangan untuk mengadili si pelakunya, yakni:
a. Negara bendera kapal;
b. Negara registrasi instalasi, yakni negara dimana instalasi sebagai
tempat atau sarana yang digunakan melakukan penyiaran gelap;
c. Negara yang merupakan kewarganegaraan si pelaku;
d. Setiap negara yang dapat menerima atau menangkap siaran gelap
tersebut.
Sedangkan ayat 4 menegaskan hak dari negara yang memiliki
yurisdiksi pada ayat 3, sesuai dengan ketentuan Pasal 110 untuk
menangkap orang atau kapal yang digunakan untuk memancarkan
penyiaran gelap serta menyita peralatan yang digunakan untuk
memancarkannya.

VII. Hak-Hak Lain


Hak Untuk Melakukan Pengejaran Seketika
Dalam hal ini konvensi memberikan hak untuk melakukan
pengejaran seketika atau pengejaran segera (the right of hot pursuit) kepada
Negara pantai terhadap kapal-kapal asing, sebagaimana dapat dijumpai
pada pasal 111 Ayat (1) sampai (7). Ada kemungkinan pula bahwa hak
pengejaran seketika ini dahulu merupakan suatu peraturan kebiasaan
internasional karena sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Hukum Laut
Jenewa 1958.

17
Menurut Ayat (1) Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk
mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-
undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal
asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman,
perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar,
dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan
apabila pengejaran itu tidak terputus.
Menurut Ayat (2) Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis
mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran di zona ekonomi eksklusif atau di
landas kontinen, termasuk zona-zona keselamatan di sekitar instalasi-
instalasi di landas kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan
Negara pantai yang berlaku sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi
eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian.
Menurut Ayat (3) Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal
yang dikejar memasuki laut teritorial Negaranya sendiri atau Negara ketiga.
Menurut Ayat (4) Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali
jika kapal yang mengejar telah meyakinkan diri dengan cara-cara praktis
yang demikian yang mungkin tersedia, bahwa kapal yang dikejar atau
salah satu sekocinya atau kapal lain yang bekerjasama sebagai suatu team
dan menggunakan kapal yang dikejar sebagai kapal induk berada dalam
batas-batas laut teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam zona
tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen.
Menurut Ayat (5) Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya
oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau
pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal
sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang
untuk melakukan tugas itu. Menurut Ayat (6) Dalam hal pengejaran
seketika dilakukan oleh suatu pesawat udara:
a. ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku mutatis
mutandis;
b. pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus
melakukan pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau
pesawat udara Negara pantai yang dipanggil oleh pesawat udara

18
pengejar itu tiba untuk mengambil alih pengejaran itu, kecuali
apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan penangkapan
kapal tersebut.
Menurut Ayat (7) Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam
yurisdiksi suatu Negara dan dikawal ke pelabuhan Negara itu untuk
keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat yang berwenang tidak
boleh dituntut semata-mata atas alasan bahwa kapal itu dalam melakukan
perjalanannya.
Menurut Ayat (8) Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau
ditahan di luar laut teritorial dalam keadaan yang tidak membenarkan
dilaksanakannya hak pengejaran seketika, maka kapal itu harus diberi
ganti kerugian untuk setiap kerugian dan kerusakan yang telah diderita
karenanya.
Hak Memasang Kabel
Dalam Pasal 112 Ayat (1) ditegaskan tentang hak setiap Negara
untuk memasang kabel dan pipa saluran bawah laut di laut lepas. Dalam
praktiknya, pemasangan kabel dan pipa saluran bawah laut dilakukan di
dasar laut di bawah perairan laut lepas atau di atas landas kontinen, atau
bahkan di atas dasar laut yang merupakan Kawasan (The Area).
Dalam pasal 79 Ayat (5) yang mewajibkan negara-negara untuk
memperhatikan sebagaimana layaknya kabel-kabel atau pipa-pipa saluran
yang sudah ada atau yang sudah dipasang sebelumnya, terutama
mengenai perbaikan atas kabel-kabel atau pipa-pipa saluran yang sudah
terpasang sebelumnya yang tidak boleh dirugikan oleh pemasangan kabel
atau pipa saluran yang baru.
Dalam pasal 113 mewajibkan kepada setiap Negara untuk
menetapkan peraturan perundang-undangan yang relevan yang mengatur
mengenai perbuatan sedemikian rupa yang mengakibatkan terputus atau
rusaknya kabel bawah laut yang berada di bawah perairan laut lepas, baik
yang dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaiannya oleh sebab kapal
berkebangsaannya ataupun oleh seorang yang tunduk pada yurisdiksinya,
sehingga dapat dihukum. Akan tetapi tidak berlaku atas perbuatan yang
merupakan pemutusan atau perusakan kabel atau pipa saluran tersebut

19
yang dilakukan oleh orang-orang yang sengaja melakukannya akan tetapi
dengan tujuan yang legal, semata-mata demi keselamatan nyawa orang-
orang ataupun untuk keselamatan kapal setelah sebelumnya dilakukan
berbagai upaya keselamatan.
Dalam pasal 114 pemutusan atau perusakan kabel atau pipa saluran
bawah laut di laut lepas milik pihak lain ada kemungkinan dilakukan oleh
pemiliknya sendiri ketika dia melakukan pemasangan ataupun perbaikan
atas kabel atau pipa saluran bawah laut di laut lepas miliknya sendiri baik
sengaja ataupun tidak sengaja. Pihak yang mengakibatkan terjadinya
pemutusan atau perusakan tersebut harus membayar ganti rugi kepada
pihak pemilik kabel atau pipa saluran bawah laut yang telah putus atau
rusak.
Dalam pasal 115 peraturan perundang-undangan lain juga harus
dibuat oleh setiap Negara yang merupakan kewajiban pemberian ganti rugi
oleh pemilik kabel atau pipa saluran bawah laut kepada pemilik kapal yang
sudah terbukti telah melakukan tindakan penyelamatan.

Pengonservasian Dan Pengelolaan Sumber Daya Hayati Laut Lepas


Salah satu kebebasan laut lepas yang secara tradisional hingga kini
tetap diakui adalah kebebasan menangkap ikan. Namun demikian, dalam
rangka memelihara dan mengembangkan kesinambungan ikan-ikan dilaut
sebagai sumber daya alam hayati yang diperbarui (renewable natural
resources) maka diberlakukan peraturan-peraturan hukum laut
internasional dalam bidang perikanan yang membebani kewajiban kepada
Negara-negara dalam melakukan kebebasan dalam penangkapan ikan
dilaut lepas, diantaranya: Pasal 116, Semua Negara mempunyai hak bagi
warganegaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan
tunduk pada :
a kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional;
b hak dan kewajiban maupun kepentingan Negara pantai, yang
ditentukan, inter alia, dalam pasal 63, ayat 2, dan pasal-pasal 64
sampai 67; dan
c ketentuan bagian ini.

20
Pasal 117, Semua Negara mempunyai kewajiban untuk mengambil
tindakan atau kerjasama dengan Negara lain dalam mengambil tindakan
demikian bertalian dengan warga negara masing-masing yang dianggap
perlu untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas.
Pasal 119 mengatur tentang pengonservasian sumber daya alam
hayati laut lepas. Ayat (1) berkenaan dengan penentuan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan dan bagaimana langkah-langkah pengonservasiannya.
Ayat (2) keterangan ilmiah yang tersedia, statistik tentang penangkapan
dan upaya penangkapan ikan dan lain-lain data yang relevan dengan
konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan dipertukarkan
secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-
regional, regional atau global, dimana perlu dan dengan serta semua
Negara yang berkepentingan. Ayat (3) Negara yang berkepentingan harus
menjamin bahwa tindakan konservasi dan pelaksanaannya tidak
mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap nelayan
dari Negara manapun juga.

Daftar Pustaka

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam


Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005.

Geneve Convention on the Law of the Sea (1958)

I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia,


Yrama widya, Bandung, 2014.

John R. Brock, “Archipelago Concept of Limits of Territorial Seas”,


International Law Studies, (Vol. 61, tanpa tahun)

Kresno Buntoro, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Prospek dan Kendala,
Sekolah Staf dan Komando TNI AL (Seskoal), 2012.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta,


Bandung, 1978.

21
MOM Ravin, Law of the Sea Maritme Boundaries and Dispute Settlement
Mechanisms, United Nations – The Nippon Foundation Fellow,
Germany, March-Desember, 2005.

United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982

22

Anda mungkin juga menyukai