Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

SKIZOFRENIA

Disusun oleh:

Daffa Arkananta Putra Yanni


1102015050

Pembimbing:

Dr. Witri Nurhadi, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.I R.S. SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 7 OKTOBER – 9 NOVEMBER 2019
KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. IS

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 22 Februari 1992

Agama : Islam

Suku : Bugis

Pendidikan Terakhir : S1

Status Pernikahan : Belum menikah

Pekerjaan : Supir ojek

Alamat : Kota Ambon, Maluku

Tanggal Masuk RS : 29 September 2019, 11.00 WIB

Tanggal Pemeriksaan : 11-12 Oktober 2019, 10.30 WIB

Ruang Perawatan : Ruang Melati 2

2
II. RIWAYAT PSIKIATRI

Autoanamnesis : 11, 13 Oktober 2019 di Ruang Melati 2

Alloanamnesis : Dilakukan kepada keluarga yang datang pada tanggal 9


Oktober 2019, 12.35 WIB, dan kepada perawat di Ruang
Melati 2

A. Keluhan Utama

Pasien mendengar suara bisikan yang keras, seperti suara auman dan teriakan
yang mengatakan “lawan!” berkali-kali, terutama pada hari Sabtu tanggal 28
September 2019, 1 hari sebelum masuk rumah sakit, di Pintu Masuk Tol Senayan
Dalam Kota Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan.

B. Keluhan Tambahan

Pasien merasa kebingungan seperti tidak mengingat apapun disertai pusing


yang hebat dan terkadang melihat sesuatu benda berwarna hitam yang bergerak di
depannya sehingga mengganggu dirinya sejak tanggal 28 September 2019.

C. Riwayat Gangguan Sekarang

Pasien Tn. IS berusia 27 tahun, dibawa ke RS Bhayangkara Tk. I R.S.


Soekanto pada hari Minggu tanggal 29 September 2019 pukul 11.00 WIB diantar
oleh polisi dalam keadaan tangan diborgol. Pasien datang dengan keluhan adanya
bisikan yang keras yang mengatakan “lawan!” berkali-kali. Menurut pengakuan
dari keluarga pasien pada hari Rabu tanggal 8 Oktober 2019, pasien datang dari
Ambon ke Jakarta untuk bertemu dengan paman dan tantenya di Priok, pada hari
Kamis tanggal 26 September 2019, dan untuk menegakkan keadilan di Jakarta
atas adanya perasaan ingin ke sana. Sesaat tiba di Priok, pasien tiba-tiba tidak
mengingat apapun dan kebingungan, kemudian naik mobil hitam dan tertidur di
dalamnya dan terbangun sudah di Masjid Istiqlal, Jakarta, bersama dengan para
pendemo di sana.

Menurut pengakuan pasien, pada hari Jumat tanggal 27 September 2019


pasien pergi ke Bogor untuk berjalan-jalan melewati Istana Presiden, kemudian
pasien kembali lagi ke Jakarta pada hari Sabtu tanggal 28 September 2019 untuk

3
melanjutkan rencananya. Pasien pergi ke daerah Jakarta Selatan dan mulai teriak-
teriak di jalan mengatakan “turunkan Jokowi!” sambal tiduran di jalan raya, dan
menghadang mobil pejabat yang sedang lewat karena pasien menyangka itu
adalah mobil dari bapak Kapolri. Pasien langsung diamankan dan dibawa ke
kantor polisi.

Pasien mengatakan bahwa tindakan itu berasal dari bisikan untuk menegakkan
keadilan untuk seluruh Indonesia dengan cara melakukan hal tersebut. Pasien juga
merasa bahwa dirinya sedang dikendalikan dan hal tersebut sudah berlangsung
selama kurang lebih 2 minggu yang lalu. Saat ini pasien merasa sangat takut akan
ditangkap dan dipenjara oleh polisi, merasa semua orang akan menjahati dirinya,
merasa seseorang ingin membunuhnya, dan merasa takut mati.

Menurut pengakuan pasien, dirinya tidak pernah: terbentur kepalanya hingga


tidak sadar, gangguan kesadaran, muntah hebat, diare hebat, kaku badan,
gangguan siklus tidur-bangun, gaduh gelisah, gangguan cemas, gangguan
emosional, dan gangguan perilaku. Pasien tidak pernah mengonsumsi zat
psikoaktif apapun, alkohol, atau merokok. Pasien tidak pernah mengalami
gangguan aktivitas fisik, hubungan sosial cukup baik, tidak ada gangguan depresi
dan mania, tidak ada fobia, stress dan cemas, tidak ada nyeri alih, tidak ada
gangguan makan dan tidak ada gangguan kepribadian.

D. Riwayat Gangguan Dahulu


1. Gangguan Psikiatrik

Pasien mengaku, pertama kali mengalami hal seperti ini mulai pada hari Sabtu
tanggal 14 September 2019 dengan adanya bisikan-bisikan halus yang seakan-
akan mengendalikan pasien, namun pasien mengaku dapat mengendalikan
dirinya terhadap bisikan tersebut, dan berlangsung hampir setiap hari dan tidak
terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada hari Kamis tanggal 27
September 2019, pasien mengaku bisikan tersebut makin kuat sehingga pasien
langsung ke Jakarta setelah mendapat bisikan tersebut. Sesampainya di Priok,
Jakarta, pasien bingung tidak dapat mengingat apapun, mengganggu aktivitas
pada hari itu, dan pasien merasa sangat cemas dan ketakutan. Pasien juga
melihat benda berwarna hitam yang bergerak di depannya.

4
Grafik Perjalanan Penyakit
2.5

1.5

0.5

0
14/09/19 21/09/19 28/09/19 - 3/10/2019 04/10/19 -
02/10/19 10/10/19

Keterangan:

0 : Baseline. Sudah tidak terdapat gejala yang dikeluhkan pasien


1 : Terdapat gejala minimal
2 : Muncul gejala sedang yang cukup mengganggu kehidupan pribadi
pasien
3 : Muncul gejala berat yang mengganggu kehidupan pasien

2. Gangguan Medik

Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat kejang, trauma, dan tumor.

3. Gangguan Zat Psikoaktif dan Alkohol

Pasien tidak memiliki riwayat meminum alkohol, penggunaan zat psikoaktif,


dan merokok.

E. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Perkembangan Kepribadian
a. Masa prenatal dan perinatal

Pasien lahir di Jakarta, 22 Februari 1992. Pasien tidak mengetahui


bagaimana persalinan, lama kehamilan, dan kondisi pasien dan ibu. Pasien
merupakan anak yang direncanakan dan pasien minum air ASI.

5
b. Riwayat masa kanak awal (0-3 tahun)

Tumbuh kembang pasien baik dan normal seperti anak seusianya. Pasien
tidak ingat masa kanaknya.

c. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun)

Pasien tumbuh dalam lingkungan sederhana. Pasien tidak ingat kapan


mulai bisa bicara, berjalan, dan membaca Pasien jarang aktif bermain
dengan temannya, hanya duduk dan melihat temannya bermain. Bergaul
dengan teman laki-laki dan perempuan. Pasien sangat pemalu. Pasien
memiliki teman yang agak banyak, dan memiliki teman akrab 1-3 orang.

d. Riwayat masa kanak akhir dan remaja (12-18 tahun)

Pasien melewati masa ini dengan baik, tidak pernah terlibat dalam
perkelahian, tindakan kekerasan. Pasien dikenal sebagai anak yang paling
baik dan menurut kepada kedua orangtuanya. Pasien berteman dengan
teman-temannya terutama laki-laki, aktif dalam kelompok sebagai
pengikut, tidak memiliki bakat khusus. Sejak SMP ikut ekstrakulikuler
PMR, aktif dalam kelas olahraga, sulit dalam belajar di kelas. Pengetahuan
psikoseksual didapat dari mendengar dari banyak orang, dan pasien pernah
pacaran sejak SMA, tetapi tidak ingat kapan.

e. Masa dewasa (>18 tahun)

Setelah lulus dari SMA pada tahun 2011 pasien melanjutkan pendidikan di
Universitas Pattimura, dan bekerja sebagai supir ojek atas kemauan sendiri
dan telah mengikuti pelatihan. Hubungan sosial pasien saat bekerja cukup
baik dan memiliki banyak teman.

2. Riwayat Pendidikan
a. SD : tuntas
b. SMP : tuntas
c. SMA : tuntas
d. Kuliah : tuntas, di Universitas Pattimura

6
3. Riwayat Pekerjaan

Pasien pernah bekerja sebagai pedagang yang menjual pisang dan bekerja di
gudang.

4. Kehidupan Beragama

Pasien percaya dengan adanya Tuhan, pasien meyakini agama Islam, pasien
mengerti tentang ajaran Islam, pasien sangat taat beribadah.

5. Kehidupan Sosial Dan Perkawinan

Pasien belum menikah.

6. Riwayat Pelanggaran Hukum

Pasien pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, dan pernah terlibat
dalam proses peradilan yang terkait dengan hukum, mengenai penghadangan
rangkaian konvoi kendaraan pejabat dan melempar tas punggung ke mobil
pejabat.

F. Riwayat Keluarga

Pasien adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakak pertama pasien
adalah perempuan dan sudah menikah, mempunyai tiga orang anak, anak laki-
laki, perempuan dan laki-laki. Kakak kedua pasien adalah perempuan dan sudah
menikah, mempunyai dua orang anak, keduanya anak perempuan. Kakak ketiga
pasien adalah adalah perempuan dan belum menikah. Adik pasien adalah laki-laki
dan belum menikah. Kedua orangtua pasien masih hidup, tetapi sudah bercerai,
namun komunikasi antara orangtua masih baik. Tidak ada riwayat penyakit yang
sama dengan pasien di dalam keluarga pasien. Hubungan sosial antara anggota
keluarga baik. Saat ini pasien tinggal dengan ibunya di Ambon.

7
Genogram Keluarga Pasien

G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya

Pasien kurang mengetahui atau menyadari bahwa dirinya sedang sakit, dan tidak
mengetahui apa penyakitnya.

H. Impian, Fantasi, dan Cita-Cita Pasien

Pasien berimpian untuk segera pulang ke rumah dan bercita-cita menjadi


pengusaha yang sukses.

III. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan

Pasien laki-laki berusia dengan penampakan fisik sesuai dengan usianya. Kulit
berwarna sawo matang dan berambut pendek. Pada saat wawancara, pasien
tampak berpakaian rapih, memakai celana pendek, pasien tampak perawatan
diri yang baik.

2. Kesadaran

Compos mentis.

8
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
a. Sebelum wawancara : Pasien terlihat sedang tidur.
b. Selama wawancara : Pasien terlihat tenang dan dapat menjawab
pertanyaan.
c. Sesudah wawancara : Pasien membantu kegiatan di dalam ruangan.
4. Sikap Terhadap Pemeriksa

Selama wawancara pasien menunjukkan sikap cukup kooperatif.

5. Pembicaraan

Pasien dapat berbicara dan menjawab pertanyaan secara spontan tetapi bunyi
suara kadang kurang jelas (pelan).

B. Mood dan Afek


1. Mood : Hipotimia (saat pemeriksaan)
2. Afek : Tumpul (saat pemeriksaan)
3. Keserasian : Tidak serasi
C. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : Ada (Halusinasi Auditorik)
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada
D. Pikiran
1. Arus Pikir
a. Kontinuitas : Koheren
b. Hendaya Bahasa : Tidak ada
2. Isi Pikir
a. Preokupasi : Tidak ada
b. Miskin isi pikir : Tidak ada
c. Waham : Ada (waham dikendalikan, kejar)
d. Obsesi : Tidak ada
e. Kompulsi : Tidak ada
f. Fobia : Tidak ada
E. Sensorium dan Kognitif (Fungsi Intelektual)
1. Taraf pendidikan : Kuliah

9
2. Pengetahuan umum : Cukup baik
3. Kecerdasan : Cukup baik
4. Konsentrasi : Cukup baik
5. Orientasi
a. Waktu : Baik, pasien dapat menyebutkan pemeriksaan
dilakukan pada siang hari dan dapat menyebutkan
kapan pasien masuk rumah sakit.
b. Tempat : Baik, pasien dapat menyebutkan bahwa pasien saat ini
berada di ruang tahanan di rumah sakit Polri.
c. Orang : Baik, pasien dapat mengenali orang-orang di
sekitarnya.
6. Daya Ingat
a. Jangka panjang : Kurang baik, pasien tidak dapat mengingat kejadian
saat masih kanak-kanak dan remaja.
b. Jangka pendek : Baik, pasien dapat menyebutkan menu sarapan pasien
kemarin dan hari ini.
7. Pikiran abstraktif : Baik, pasien dapat menyebutkan perbedaan buah apel
dengan buah pir.
8. Visuospasial : Baik, pasien dapat menggambar bentuk yang
pemeriksa minta (lingkaran, persegi, segitiga)
9. Kemampuan menolong diri: Pasien tidak membutuhkan bantuan untuk
makan, mandi, dan berganti pakaian.
F. Pengendalian Impuls

Baik, selama wawancara pasien tampak tenang dan tidak menunjukkan gejala
agresif.

G. Daya Nilai
1. Daya nilai sosial : Baik, pasien dapat membedakan perbuatan baik dan
buruk.
2. Uji daya nilai : Baik, pasien dapat menjelaskan apa yang akan
dilakukan bila terjadi gempa dan kebakaran.
3. RTA : Tidak baik, pasien tidak dapat membedakan kenyataan
dan fantasi (Komodo – Naga)

10
H. Tilikan

Tilikan derajat 1 (penyangkalan total terhadap penyakit).

I. Reliabilitas (Tarif Dapat Dipercaya)

Pemeriksa mendapat kesan bahwa keseluruhan jawaban pasien sebagian dapat


dipercaya dan sebagian tidak.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 120/90 mmHg
b. Respiration Rate : 20x/menit
c. Heart Rate : 88x/menit
d. Suhu : 37.7°C
4. Sistem Kardiovaskular : BJ I/II regular, murmus (-), gallop (-)
5. Sistem Respiratorius : Vesikuler +/+, Ronkhi –/–, Wheezing –/–
6. Sistem Gastrointestinal : Bising usus (+) normal
7. Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), akral hangat
8. Sistem Urogenital : Tidak diperiksa
B. Status Neurologik

Status neurologis dalam batas normal.

C. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


1. Pasien Tn. IS diantar polisi ke RS POLRI dengan keluhan halusinasi auditorik
yang memerintahkan pasien untuk melempar tas punggung ke rangkaian mobil
pejabat.
2. Keluhan tambahan yakni merasa kebingungan seperti tidak mengingat apapun
disertai pusing dan terkadang melihat sesuatu benda berwarna hitam yang
bergerak di depannya.

11
3. Halusinasi auditorik yang selalu memerintah pasien yang menyebabkan pasien
pusing kepala.
4. Pasien tidak dapat mengingat kejadian yang pernah dialami sebelum SMP,
kejadian saat di Jakarta dan saat di RS POLRI.
5. Pasien belum menikah dan tinggal bersama ibunya. Pasien kurang mengetahui
tentang penyakit yang dideritanya. Pasien tampak tenang saat wawancara dan
cukup kooperatif. Pemeriksaan dengan pembicaraan spontan, tetapi bunyi suara
kurang jelas (pelan). Mood hipotimia, afek menumpul, dan tidak serasi. Terdapat
gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik berupa suara auman dan teriakan.
Terdapat gangguan isi pikir berupa waham kejar dan waham dikendalikan.
Orientasi baik, daya ingat kurang baik, pikiran abstraktif baik, dan visuospasial
baik. Pengendalian impuls baik, RTA tidak baik. Tilikan derajat 1 dan dalam taraf
sebagian dapat dipercaya.

VI. FORMULA DIAGNOSTIK


1. Setelah dilakukan seluruh pemeriksaan, pada pasien ditemukan adanya sindroma
atau perilaku dan psikologi yang bermakna secara klinis dan menimbulkan
penderitaan (distress) dan ketidakmampuan/hendaya (disability/impairment)
dalam fungsi serta aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami gangguan jiwa yang sesuai dengan definisi yang
tercantum dalam PPDGJ III.
2. Pasien ini tidak termasuk gangguan mental organik karena pada saat pemeriksaan,
pasien dalam keadaan sadar dan perhatian pasien masih baik ketika diwawancara,
pasien terdapat penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, tetapi tidak
mengganggu kegiatan sehari-hari, dan tidak memiliki gejala dan disabilitas nyata
selama minimal 6 bulan (F0).
3. Pasien ini tidak termasuk dalam gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
zat psikoaktif karena pasien tidak mengkonsumsi zat psikoaktif dan alkohol yang
menimbulkan masalah medis yang bermakna (F1).
4. Pasien ini termasuk dalam gangguan skizofrenia karena terdapat gangguan dalam
penilaian realita dengan adanya gangguan persepsi yaitu halusinasi auditorik serta
terdapat gangguan isi pikir berupa waham dikontrol dan waham kejar (F2).
5. Pada pasien ini tidak didapatkan gejala afektif seperti depresi, mania dan
hipomania dan gangguan bipolar (F3).
6. Pada pasien ini tidak didapatkan gejala gangguan neurotik, gangguan somatoform,
dan gangguan terkait stress (F4).

12
7. Pada pasien ini tidak didapatkan sindrom perilaku yang berhubungan dengan
gangguan fisiologis dan faktor fisik (F5).

Susunan formulasi diagnostik ini berdasarkan dengan penemuan bermakna dengan


urutan untuk evaluasi multiaksial, seperti berikut:

1. Aksis I: Gangguan Klinis dan Gangguan Lain yang Menjadi Fokus


Perhatian Klinis

Berdasarkan riwayat penyakit, pasien tidak pernah memiliki riwayat trauma


kepala maupun kejang. Pasien tidak pernah menggunakan zat psikoaktif. Sehingga
gangguan mental organik dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif dapat
disingkirkan.

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami gejala skizofrenia


dengan halusinasi auditorik yang menonjol dan berlangsung lebih dari satu bulan.
Waham kejar tidak begitu menonjol dengan jelas. Dari hal-hal tersebut, kriteria
diagnostik menurut PPDGJ III pada ikhtisar penemuan bermakna, pasien
digolongkan ke dalam Skizofrenia Paranoid (F20.0).

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak didapatkan peningkatan


afek, jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, tidak didapatkan episode
manik dan/atau depresif, sehingga gangguan suasana perasaan (mood) (afektif)
dapat disingkirkan.

2. Aksis II: Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental

Z03.2 Tidak ada diagnosis aksis II.

3. Aksis III: Kondisi Medis Umum

Tidak ada diagnosis aksis III.

4. Aksis IV: Problem Psikososial dan Lingkungan

Terdapat masalah dalam primary support group (keluarga), yaitu orang tua pasien
telah bercerai. Stressor psikososial tidak jelas.

5. Aksis V: Penilaian Fungsi Secara Global

13
Penilaian kemampuan penyesuaian menggunakan skala Global Assessment of
Functioning (GAF) menurut PPDGJ III didapatkan GAF 70-61 (beberapa gejala
ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik).

Evaluasi multiaksial

Aksis I : Skizofrenia (F20.0)


Aksis II : Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : Tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV : Terdapat permasalahan keluarga
Aksis V : GAF 70–61 gejala ringan, disabilitas ringan

VII. DIAGNOSIS
1. Diagnosis : Skizofrenia paranoid (F20.0)
2. Diagnosis Banding : Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif (F25.1)

VIII. PROGNOSIS

Ad Vitam : Bonam

Ad Sanationam : Dubia at bonam

Ad Functionam : Dubia at bonam

Faktor pendukung :

 Onset gejala akut


 Subtipe paranoid
 Keadaan sosioekonomi baik
 Faktor pencetus tidak diketahui dengan jelas
 Faktor genetik tidak ada
 Gejala positif lebih menonjol

Faktor penghambat :

 Onset usia muda


 Pasien belum menikah
 Faktor stressor tidak diketahui dengan jelas

14
IX. RENCANA TERAPI
1. Psikofarmaka
a. Clozapin 1 x 25 mg
2. Psikoterapi
a. Psikoedukasi
1) Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dialami pasien.
2) Mengingatkan pasien perlu minum obat sesuai aturan.
3) Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa dukungan keluarga akan
membantu keadaan pasien.
b. Psikoterapi
1) Ventilasi: Pasien diberikan kesempatan untuk menceritakan
masalahnya,
2) Sugesti: Menanamkan kepada pasien bahwa gejala-gejala gangguannya
akan hilang atau dapat dikendalikan.
3) Reassurance: Memberitahukan kepada pasien bahwa minum obat
sangat penting untuk menghilangkan gejala.

X. FOLLOW-UP

Jumat, 11 Oktober 2019

S : Tidak ada keluhan

O : Kesadaran : CM
Sikap : Kooperatif
Psikomotor : Tenang
Bicara : Spontan, kurang jelas
Mood : Eutimia
Afek : Luas
Isi pikir : Waham +
Persepsi : Halusinasi +

A : Skizofrenia paranoid

P : Observasi psikiatri

15
Minggu, 13 Oktober 2019

S : Tidak ada keluhan

O : Kesadaran : CM
Sikap : Kooperatif
Psikomotor : Tenang
Bicara : Spontan, kurang jelas
Mood : Hipotimia
Afek : Luas
Isi pikir : Waham +
Persepsi : Halusinasi +

A : Skizofrenia paranoid

P : Observasi psikiatri

16
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan mental kronik yang kompleks yang ditandai
oleh berbagai gejala, antara lain delusi, halusinasi, bicara atau perilaku berantakan, dan
terganggunya kemampuan kognitif.1

B. ETIOLOGI

Penyebab skizofrenia masih belum diketahui secara jelas. Penelitian menunjukkan adanya
kelainan pada struktur dan fungsi otak. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan
berperan dalam perkembangan skizofrenia.2

Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia adalah sebagai berikut.3

1. Umur

Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1.8 kali lebih besar menderita skizofrenia
dibandingkan umur 17-24 tahun.

2. Jenis Kelamin

Proporsi skiofrenia terbanyak adalah laki-laki (72%) dengan kemungkinan laki-laki


berisiko 2.37 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan
perempuan. Kaum pria lebih mudah terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang
menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan
hidup, sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa
dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan
dibandingkan dengan laki-laki.

3. Pekerjaan

Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah sebesar 85.3% sehingga
orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6.2 kali lebih besar
menderita skizofrenia dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan
lebih mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon stres
(kadar katekolamin) dan mengakibatkan ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja

17
memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja.

4. Status Perkawinan

Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk mengalami gangguan


jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena status marital perlu untuk
pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku antara suami dan istri menuju
tercapainya kedamaian.

5. Konflik Keluarga

Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1.13 kali untuk mengalami gangguan jiwa
skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga.

6. Status Ekonomi

Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6.00 kali untuk mengalami gangguan jiwa
skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang.

7. Faktor Genetik

Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan
dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-
anak kembar monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0.9-1.8%; bagi
saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita
skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi
heterozigot 2-15%; dan bagi monozigot 61-86%. Diperkirakan bahwa yang
diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia melalui gen yang resesif.

8. Faktor Psikososial

Faktor psikososial meliputi interaksi pasien dengan keluarga dan masyarakat.


Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien dengan keluarga, misalnya pola asuh orang
tua yang terlalu menekan pasien, kurangnya dukungan keluarga terhadap pemecahan
masalah yang dihadapi pasien, pasien kurang diperhatikan oleh keluarga ditambah
dengan pasien tidak mampu berinteraksi dengan baik di masyarakat menjadikan
faktor stressor yang menekan kehidupan pasien. Ketika tekanan tersebut berlangsung

18
dalam waktu yang lama sehingga mencapai tingkat tertentu, maka akan menimbulkan
gangguan keseimbangan mental pasien dan salah satunya adalah timbulnya gejala
skizofrenia.

C. EPIDEMIOLOGI

Skizofrenia terjadi pada 15-20/100.000 individu per tahun, dengan risiko morbiditas
selama hidup 0.85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa remaja atau awal
dewasa.4 Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara
25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan
perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi. Kejadian skizofrenia pada pria
lebih besar daripada wanita. Kejadian tahunan berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk,
kejadian pada imigran dibanding penduduk asli sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4%
lebih besar dibandingkan wanita. Di Indonesia, hampir 70% mereka yang dirawat di
bagian psikiatri adalah karena skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-2% dari
seluruh penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam hidup mereka.3

Tabel 1. Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik5

Populasi Prevalensi (%)


Populasi umum 1.0
Saudara kandung bukan kembar pasien 8.0
skizofrenia
Anak dengan salah satu orangtua penderita 12.0
skizofrenia
Kembaran dizigotik pasien skizofrenia 12.0
Anak yang kedua orangtuanya menderita 40.0
skizofrenia
Kembar monozigotik pasien skizofrenia 47.0

D. KLASIFIKASI

Beberapa tipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variabel klinik menurut ICD-10
antara lain sebagai berikut:3,6

1. Skizofrenia paranoid: Ciri utamanya adalah adanya waham kejar dan halusinasi
auditorik namun fungsi kognitif dan afek masih baik.
2. Skizofrenia hebefrenik: Ciri utamanya adalah pembicaraan yang kacau, tingkah laku
kacau dan afek yang datar atau inappropriate.
19
3. Skizofrenia katatonik: Ciri utamanya adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi motoric immobility, aktivitas motorik berlebihan, negativesm yang ekstrim
serta gerakan yang tidak terkendali.
4. Skizofrenia tak terinci: Gejala tidak memenuhi kriteria skizofrenia paranoid,
hebefrenik maupun katatonik.
5. Depresi pasca skizofrenia
6. Skizofrenia residual: Paling tidak pernah mengalami satu episode skizofrenia
sebelumnya dan saat ini gejala tidak menonjol.
7. Skizofrenia simpleks
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia yang tak tergolongkan.

E. PATOFISIOLOGI

Beberapa patofisiologi skizofrenia berdasarkan hipotesis adalah:

1. Abnormalitas Anatomi

Peningkatan ukuran ventrikel, penurunan ukuran otak dan asimetri otak. Penurunan
volume hipokampus berhubungan dengan kerusakan neuropsikologis dan penurunan
respons terhadap antipsikotik tipikal.7

Beberapa pencitraan otak dan studi neuropatologis telah mencoba menghubungkan


tanda-tanda skizofrenia dengan struktur atau fungsi wilayah dan sirkuit otak tertentu.
Meskipun demikian, reduksi halus pada materi abu-abu (grey matter) dan ireguleritas
materi putih (white matter) telah ditemukan di banyak area dan sirkuit otak.
Penurunan materi abu-abu berkembang dengan periode penyakit, khususnya di lobus
temporal, dan tampaknya terkait dengan pengobatan antipsikotik. Sebaliknya, bahkan
pasien yang naif-obat menunjukkan penurunan volume (meskipun tidak diucapkan
seperti pasien yang diobati), secara eksklusif pada nukleus kaudat dan thalamus.8

2. Hipotesis Dopamin

Ada bukti logis dari literatur farmakologis dan pencitraan otak yang menghubungkan
disfungsi neurotransmisi dopaminergik pada awal gejala psikotik seperti delusi dan
halusinasi.8 Rumusan paling sederhana hipotesis dopamin tentang skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang berlebihan.

20
Teori ini berkembang berdasarkan dua pengamatan. Pertama, kemanjuran serta
potensi sebagian besar obat antipsikotik, (yaitu, antagonis reseptor dopamin)
berkorelasi dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2.
Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang terkenal adalah
amfetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak menguraikan apakah
hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor
dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin,
atau kombinasi mekanisme tersebut.5

Terdapat 4 jalur dopaminergik yang terlibat: (1) nigrostriatal pathway, berasal dari
substantia nigra dan berakhir di nucleus caudatus. Kadar dopamin yang rendah pada
jalur ini diperkirakan mempengaruhi sistem ekstrapiramidal, yang menyebabkan
gejala motorik,1,8 (2) mesolimbic pathway, membentang dari ventral segmental area
(VTA) sampai daerah limbik, yang mungkin berperan dalam gejala positif skizofrenia
dengan kelebihan dopamin,1,8 (3) mesocortical pathway, membentang dari VTA
sampai ke cortex, gejala negatif dan defisit kognitif pada skizofrenia diduga
disebabkan oleh kadar dopamin mesokortikal yang rendah,1,8 dan (4)
tuberoinfundibular pathway, berjalan dari hypothalamus ke glandula pituitary,
penurunan atau blokade dopamin tuberoinfundibular menghasilkan peningkatan kadar
prolaktin dan, sebagai akibatnya, galaktorea, amenore, dan penurunan libido.1,8

3. Hipotesis Serotonin

Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak


dilakukannya pengamatan yang menyatakan bahwa obat antagonis serotonin-dopamin
(SDA) (contohnya, klozapin, risperidone, sertindol) memiliki aktivitas terkait
serotonin yang poten. Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5-HT2 serotonin
ditekankan sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan
meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait antagonisme-D2.5

Hipotesis serotonin untuk pengembangan skizofrenia muncul sebagai hasil dari


penemuan bahwa asam lisergat dietilamid (LSD) meningkatkan efek serotonin di
otak. Penelitian selanjutnya mengarah pada pengembangan senyawa obat yang
menghambat reseptor dopamin dan serotonin, berbeda dengan obat yang lebih tua,
yang hanya mempengaruhi reseptor dopamin. Senyawa yang lebih baru ditemukan
efektif dalam mengurangi gejala positif dan negatif dari skizofrenia.1

21
Gambar 1. Patofisiologi Skizofrenia1

F. PSIKOPATOLOGI

Pada tahun 1980, T.J. Crow mengajukan klasifikasi pasien skizofrenik ke dalam tipe I dan
tipe II, berdasarkan ada atau tidaknya gejala positif (atau produktif) dan gejala negatif
(atau defisit). Psikopatologi pada skizofrenia dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu gejala
positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi halusinasi dan waham.
Gejala negatif meliputi afek mendatar atau menumpul, menarik diri, kurang motivasi,
miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri, pasif, apatis,
anhedonia dan sulit berpikir abstrak. Gejala disorganisasi meliputi disorganisasi
pembicaraan (gangguan isi pikir), disorganisasi tingkah laku, gangguan pemusatan
perhatian, dan gangguan pengolahan informasi.5

G. MANIFESTASI KLINIS
1. Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat, klang
asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme.
2. Gangguan Isi Pikir: Waham, adalah suatu kepercayaan yang salah yang menetap
yang tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis waham antara
lain:
a. Waham kejar

22
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran
f. Waham aneh
3. Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.
4. Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh penderita
skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):
a. Afek tumpul atau datar
b. Afek tak serasi
c. Afek labil
5. Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti
gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, dan
agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.
6. Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau hilang pada
orang dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak dan tidak ada aktivitas.
7. Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya kemampuan untuk
menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya, memori kerja, spasial dan
verbal) serta fungsi eksekutif.9

H. DIAGNOSIS

Seperti dijelaskan sebelumnya, skizofrenia adalah kelainan kronis dengan banyak gejala,
di mana tidak ada gejala tunggal yang bersifat patogen. Diagnosis skizofrenia dicapai
melalui penilaian tanda dan gejala spesifik pasien, seperti yang dijelaskan dalam Manual
Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima (DSM-5). DSM-5 menyatakan
bahwa “kriteria diagnostik [untuk skizofrenia] meliputi persistensi dua atau lebih dari
gejala fase aktif berikut ini, masing-masing berlangsung selama sebagian besar dari
setidaknya periode satu bulan: delusi, halusinasi, ucapan tidak teratur, perilaku yang
sangat tidak teratur atau katatonik, dan gejala negatif.” Paling tidak satu dari gejala yang
memenuhi syarat harus berupa delusi, halusinasi, atau ucapan tidak teratur.1

Selain itu, DSM-5 menyatakan bahwa, untuk menjamin diagnosis skizofrenia, pasien juga
harus menunjukkan penurunan tingkat fungsi terkait pekerjaan, hubungan antarpribadi,
atau perawatan diri. Juga harus ada tanda-tanda skizofrenia terus menerus selama

23
setidaknya enam bulan, termasuk periode satu bulan dari gejala fase aktif yang disebutkan
di atas.1

Kriteria Diagnosis6

1. Skizofrenia
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda, atau “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang
asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of influence” = waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of
passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar; dan “delusional perception” = pengalaman inderawi yang
tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik:
– Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
– Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
– Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari duia lain).

24
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri
secara sosial.
2. Skizofrenia Paranoid
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
 Sebagai tambahan:
– Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit
(whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;

25
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “passivity”
(delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam,
adalah yang paling khas;
– Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.
3. Skizofrenia Hebefrenik
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
 Diagnosis henefrenia untuk pertama kalinya hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15 – 25 tahun).
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
 Untuk diagnosis henefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan:
a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan atau hampa perasaan;
b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropiate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum
sendiri (self-absorbed smilling) atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda
gurau (pranks), keluhan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-
ulang (reiterated phrase);
c. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol halusinasi atau waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak
(drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
(aimless) dan tanpa maksud (empty of puspose). Adanya suatu preokupasi yang

26
dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak
lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
4. Skizofrenia Katatonik
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofenia
 Satu atau lebih perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktifitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktifitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
b. Gaduh gelisah (tampak jelas aktifitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi tubuh tertentu yang
tidak wajar atau aneh);
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kearah yang
berlawanan);
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuhyang kaku untuk melawan upaya
menggerakan dirinya);
f. Fleksibilitas cerea/“waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g. Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata - kata serta kalimat – kalimat.
 Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dan gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala – gejala lain. Penting untuk diperhatikan
bahwa gejala –gejala katatonik bukan petunjuk untuk diagnosis skizofrenia. Geja
katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat – obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
5. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

27
6. Depresi Pasca Skizofrenia
 Diagnosis harus ditegakan hanya kalau:
a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya) dan;
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu.
 Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-
F20.3).
7. Skizofrenia Residual
 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua:
a. Gejala “negatif” dari skizofrenia yan menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotikyang jelas dimasa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;
c. Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia;
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.
8. Skizofrenia Simpleks
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:

28
– Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik; dan
– Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya.
I. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding komprehensif skizofrenia diperlukan untuk membedakan gangguan


dari kondisi mental lainnya, seperti gangguan depresi mayor dengan fitur psikotik atau
katatonik; gangguan skizoafektif; gangguan skizofreniform; gangguan obsesif-kompulsif;
gangguan dismorfik tubuh; dan gangguan stres pasca-trauma. Skizofrenia dapat
dibedakan dari kondisi yang serupa ini melalui pemeriksaan yang cermat terhadap durasi
penyakit, waktu delusi atau halusinasi, dan keparahan gejala depresi atau manik. Selain
itu, dokter harus mengkonfirmasi bahwa gejala yang muncul bukan akibat
penyalahgunaan zat atau kondisi medis lainnya.1

1. Gangguan Kondisi Medis Umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus
temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus
eritematosus
2. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
3. Gangguan Skizoafektif
4. Gangguan afektif berat
5. Gangguan Waham
6. Gangguan Perkembangan Pervasif
7. Gangguan Kepribadian Skizotipal
8. Gangguan Kepribadian Skizoid
9. Gangguan Kepribadian Paranoid.9
J. TATALAKSANA

Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah bahaya pada pasien, mengontrol perilaku
pasien, dan untuk mengurangi gejala psikotik pada pasien seperti agitasi, agresif, negatif
simptom, positif simptom, serta gejala afek.10 Tatalaksana skizofrenia hendaklah

29
disesuaikan dengan fase penyakit. Tuntunan yang dibuat oleh American Psychiatric
Association (APA) membagi skizofrenia ke dalam tiga fase yaitu:9,11

1. Fase Akut

Fase psikotik akut yaitu bila seorang dengan skizofrenia mengalami episode pertama
atau eksaserbasi. Fase akut biasanya berlangsung antara 4-8 minggu.11 Pada Fase akut
terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan
perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya
misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.9

Gaduh gelisah dapat dikontrol dengan obat oral atau injeksi. Pasien yang takut
diinjeksi dapat ditawarkan obat oral. Instrumen PANSS–EC (Positive and Negative
Symptoms Scale–Excited Component) digunakan untuk mengukur derajat beratnya
gaduh gelisah.11 PANSS–EC merupakan suatu subskala yang telah divalidasi dari
PANSS yang digunakan untuk mengukur gejala-gejala agitasi, dan menilai lima
gejala, antara lain buruknya kontrol terhadap impuls, ketegangan, permusuhan,
ketidakkooperatifan dan gaduh gelisah. Skala pada PANSS-EC juga sama dengan
PANSS yaitu terdiri dari 7 angka penilaian. Beberapa kelebihan dari instrumen ini di
antaranya adalah spesifik, menunjukkan validitas dan reliabilitas internal yang tinggi,
metode operasionalnya lebih jelas, penilaian gejalanya lebih menyeluruh,
sensitivitasnya yang baik untuk perubahan gejala dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, konsistensi dalam skoring pasien secara individual sejalan dengan
waktu dan juga perjalanan penyakitnya, penentuan skor lebih terstandarisasi serta
sudah divalidasi di Indonesia.12 Dikatakan pasien gaduh gelisah bila total PANSS–EC
lebih dari 15.11

Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi gaduh gelisah, antara lain:9,11
a. Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari.
b. Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari),
intramuskulus.
c. Haloperidol, dosis 5 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap setengah jam,
dosis maksimum 20 mg/hari.
d. Diazepam 10 mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30 mg/hari.

30
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan
dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau
mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau
harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman, toleran perlu dilakukan.9

2. Fase Stabilisasi

Fase stabilisasi yaitu fase akut sudah terkontrol tetapi pasien masih berisiko
terjadinya episode baru bila ia mengalami stressor atau bila obat dihentikan. Fase ini
berlangsung selama 6 bulan setelah pulih dari simtom akut.11 Tujuan fase stabilisasi
adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko
atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan
(recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih
kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga
diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4
minggu.9

Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan


keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala,
melatih cara mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani
pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.9

3. Fase Rumatan

Fase stabil atau rumatan yaitu fase pasien berada dalam stadium remisi. Tujuan terapi
fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan membantu pasien kembali ke fungsi
semulanya. Untuk menentukan tercapainya remisi harus digunakan kriteria yang
terukur. Sebagai kriteria remisi terdapat delapan butir PANSS (Positive and Negative
Symptoms Scale) yang nilainya tidak boleh lebih dari 3 dan harus bertahan selama 6
bulan. Kedelapan simtom itu adalah:11

a. P1 (waham)
b. P2 (kekacauan proses pikir)
c. P3 (perilaku halusinasi)
d. G9 (isi pikir tidak biasa)
e. G5 (menerisma dan postur tubuh)
f. N1 (penumpulan afek)

31
g. N4 (penarikan diri secara sosial)
h. N6 (kurangnya spontanitas dan arus percakapan)

Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih
mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan
sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan,
terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup. Tujuan Intervensi adalah
mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi
spesifik, misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi
vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga
diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu
mencegah kekambuhan berikutnya.9

Obat Antipsikotika

Sinonim : NEUROLEPTCIS, MAJOR TRANQUILLIZERS, ATARACTIS


ANTIPSYCHOTICS, ANTIPSYCHOTIC DRUGS, NEUROLEPTIKA13

Obat Acuan : Cholrpromazine (CPZ)13

Antipsikotika efektif untuk skizofrenia baik pada fase akut maupun pada fase yang sudah
stabil. Ia dapat mengurangi risiko kambuhnya psikotik. Tertundanya pengobatan dengan
antipsikotika dapat memberikan dampak buruk jangka panjang misalnya buruknya luaran
simtom dan fungsi. Pemberian antipsikotika pada fase prodromal dapat mencegah atau
menunda awitan skizofrenia.11

Antipsikotika tidak hanya “antiskizofrenia”. Ia juga efektif untuk mengobati hampir


semua bentuk psikosis misalnya, psikosis pada bipolar, pada depresi mayor, demensia, zat
yang menginduksi gejala psikosis, psikosis Huntington dan psikosis lainnya akibat
kondisi medik.11

Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine
receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I (APG–I) dan serotonine-
dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II (APG–II). Obat APG–I disebut
juga antipsikotika konvensional atau tipik sedangkan APG–II disebut juga antipsikotika
baru atau atipik.11

32
1. Obat Antipsikotika Tipikal13
a. Phenothiazine
 Rantai Aliphatic : CHLORPROMAZINE (Largactil)
 Rantai Piperazine : PERPHENAZINE (Trilafon)
TRIFLUOPERAZINE (Stelazine)
FLUPHENAZINE (Anatensol)
 Rantai Piperidine : THIORIDAZINE (Melleril)
b. Butyrophenone : HALOPERIDOL (Haldol, Serenace,dll)
c. Diphenyl-butyl-piperidine: PIOMOZIDE (Orap)
2. Obat Antipsikotika Atipikal13
a. Benzamide : SULPRIDE (Dogmatil)
b. Dibenzodiazepine : CLOZAPINE (Clozaril)
OLANZAPINE (Zyprexa)
QUETIAPIENE (Seroquel)
ZOTEPINE (Lodopin)
c. Benzisoxazole : RISPERIDON (Risperdal)
ARIPIPRAZOLE (Abilify)

Penggunaan obat antipsikotik pada skizofrenia seyogianya mengikuti lima prinsip utama:5

1. Klinisi sebaiknya secara cermat menentukan gejala target yang akan diobati.
2. Obat antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu bagi seorang pasien
sebaiknya digunakan kembali. Bila tidak ada informasi semacam itu, pilihan
antipsikotik biasanya didasarkan pada profil efek samping.
3. Lama minimum percobaan antipsikotik adalah 4-6 minggu pada dosis adekuat.
4. Secara umum, penggunaan lebih dari satu obat antipsikotik pada satu waktu adalah
jarang.
5. Pasien sebaiknya dipertahankan pada dosis obat efektif yang serendah mungkin.

33
Tabel 2. Daftar Obat Antipsikotika, Sediaan, dan Dosis Anjuran13

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:13

1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja


psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
2. Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering,
kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson: tremor,
bradikinesia, rigiditas).

34
4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (Jaundice), hematologik
(agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.

Efek samping dapat juga “irreversible”: tardive dyskinesia (gerakan berulang involunter
pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala
tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi
pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis
obat anti-psikosis (non dose related).13

Bila terjadi gejala tersebut: obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan, bisa dicoba
pemberian obat Reserpine 2.5 mg/h, (dopamine depleting agent), pemberian obat
antiparkinson atau L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat pengganti antipsikosis yang
paling baik adalah Clozapine 50-100 mg/h.13

Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau
parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat
ditanggulangi, berikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin,
sulfas atropin atau difenhidramin injeksi IM atau IV.9

Tabel 3. Daftar Obat yang Digunakan Untuk Mengatasi Efek Samping Anti Psikotik9

Dosis Waktu Paruh Target Efek Samping


Nama Generik
(mg/hari) Eliminasi (jam) Ekstrapiramidal
Triheksilfenidil 1-15 4 Akatisia, distonia, parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, parkinsonisme
Propranolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 25-50 4-8 Akatisia, distonia, parkinsonisme
Sulfas Atropin 0.5-0.75 12-24 Distonia akut

Interaksi Obat13

 Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensial efek samping obat dan tidak ada bukti
lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikosis). Misalnya,
Chlorpromazine + Reserpine potensial efek hipotensif.

35
 Antipsikosis + Antidepresan trisiklik efek samping antikolinergik meningkat (hatihati
pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).
 Antipsikosis + ECT= dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari
sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas
yang tinggi.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-
related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis
Haloperidol.
 Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun disebabkan gangguan
absorbsi.

Pemilihan Obat

Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama
pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping: sedasi,
otonomik, ekstrapiramidal).13

Tabel 4. Obat Antipsikotika dan Efek Sekundernya13

Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat anti-
psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah
jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psiosis lain (sebaiknya dari
golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping
belum tentu sama. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya,

36
jenis obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolelir dengan baik efek
samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Apabila gejala negatif
(afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala
positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia,
pilihan obat antipsikosis –atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita
Skizofrenia yang tidak dapat mentolelir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai
risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical
complication).13

Indikasi13

Gejala sasaran: Sindrom Psikosis

1. Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.
2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF:
gangguan asosiasi pikiran (inkohherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),
perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF:
gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran
yang stereotip dan tidak ada insiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
menyendiri (abulia).
3. Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala: tidak
mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.

Kontraindikasi13

 Penyakit hati (hepato-toksik)


 Penyakit darah (hemato-toksik)
 Epilepsi (menurunkan ambang kejang)
 Kelainan jantung (menghambat irama jantung)
 Febris yang tinggal (thermoregulator di SSP)
 Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)
 Penyakit SSP (parkinson, tumor otak, dll)

37
Pengaturan Dosis

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:13

– Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu


Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
– Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari)
– Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.

Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari →
sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis) →
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan → “dosis optimal” → dipertahankan
sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) → diturunkan setiap 2 minggu → “dosis maintenance”
→ dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu) →
tapering off (dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu) → stop.13

Lama Pemberian

Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode” terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2.5-5 kali. Efek obat anti-psikosis
secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih
mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat
dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-
metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.13

Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada
penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound”: gangguan
lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0.25 mg (im), tablet
Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h). Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-
psikosis + antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis
dihentikan lebih dahulu, kemudian baru menyusul obat antiparkinson.13

38
Antipsikotika Generasi I (APG–I)

Antipsikotik generasi pertama merupakan antipsikotik yang bekerja dengan cara


memblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik ini memblokir sekitar 65% hingga 80%
reseptor D2 di striatum dan saluran dopamin lain di otak. Jika dibandingkan dengan
antipsikotik generasi kedua, antipsikotik ini memiliki tingkat afinitas, risiko efek samping
ekstrapiramidal dan hiperprolaktinemia yang lebih besar.7

Antipsikotik generasi pertama efektif dalam menangani gejala positif dan mengurangi
kejadian relaps. Sebanyak 30% pasien skizofrenia dengan gejala akut menghasilkan
sedikit atau tanpa respon terhadap pengobatan antipsikotik generasi pertama. Antipsikotik
generasi pertama memiliki efek yang rendah terhadap gejala negatif.7

Antipsikotik generasi pertama menimbulkan berbagai efek samping, termasuk


ekstrapiramidal akut, hiperprolaktinemia serta tardive dyskinesia. Efek samping tersebut
disebabkan oleh blokade pada jalur nigrostriatal dopamine dalam jangka waktu lama.
Antipsikotik generasi pertama memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor
muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan norepinefrin α1 yang memicu timbulnya efek
samping berupa penurunan fungsi kognitif dan sedasi secara bersamaan.7

Antipsikotika Generasi II (APG–II)

Antipsikotik generasi kedua, seperti risperidone, olanzapine, quetiapine, ziprasidon


aripriprazol, paliperidone, iloperidone, asenapine, lurasidone dan klozapin memiliki
afinitas yang lebih besar terhadap reseptor serotonin daripada reseptor dopamin. Sebagian
besar antipsikotik generasi kedua menyebabkan efek samping berupa kenaikan berat
badan dan metabolisme lemak. Klozapin merupakan antipsikotik generasi kedua yang
efektif dan tidak menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Oleh karenanya, klozapin
digunakan sebagai agen pengobatan lini pertama pada penderita skizofrenia. Namun,
klozapin dikaitkan dengan peningkatan risiko hematotoksis yang dapat menyebabkan
kematian (agranulositosis). Oleh karena itu, beberapa antipsikotik generasi kedua
(risperidone, olanzapine, quetiapine dan ziprasidone) digunakan sebagai terapi tambahan
untuk meningkatkan khasiat klozapin tanpa diskrasia darah.7

Selain diberikan obat-obat terapi medikamentosa pasien juga dilakukan terapi


nonmedikamentosa yaitu psikoterapi dan psikoedukasi yang dianjurkan setelah pasien
tenang dengan pemberian dukungan pada pasien dan keluarga agar mempercepat

39
penyembuhan pasien dan diperlukan rehabilitasi yang disesuaikan dengan psikiatrik serta
minat dan bakat penderita sehingga bisa dipilih metode yang sesuai untuk pasien
tersebut.10

K. KOMPLIKASI

Hiperglikemia adalah komplikasi mematikan dari skizofrenia. Hiperglikemia dapat


menyebabkan atau berkontribusi pada pengobatan yang lama akibat kompilkasi seperti
neuropati, retinopati dan nepropati. Hiperglikemia juga dapat menyebabkan penyakit-
penyakit kardiovaskuler. Sehingga pasien-pasien yang diterapi dengan antipsikotik perlu
secara rutin dilakukan pengukuran kadar glukosa darah, dikonsultasi tentang bagaimana
menurunkan gula darah dan dilakukan intevensi sedini mungkin.14

Penelitian tentang perubahan kadar glukosa darah akibat penggunaan antipiskotik telah
banyak dilakukan sebelumnya. Dalam berbagai penelitian juga menunjukan bahwa
perubahan kadar gula darah pada pasien dengan pengobatan atipikal lebih besar kenaikan
kadar glukosa darah daripada pada pasien dengan pengobatan tipikal.14

Mekanisme yang mengakibatkan adanya gangguan regulasi glukosa belum diketahui


secara pasti. Antipsikotik dapat mengakibatkan hiperglikemia, resistensi insulin
ketoasidosis, dan onset baru diabates tipe 2. Penggunaan obat antipsikotik yang lama,
terutama atipikal, dapat menyebabkan kenaikan berat badan, dimana keadaan ini dapat
menginduksi resistansi insulin di jaringan perifer. Mekanisme lain, antipsikotik juga
mempunyai kemungkinan mengganggu regulasi level serum glukosa melalui mekanisme
antagonis dopamin di hipotalamus.14

L. PENCEGAHAN

Pendekatan yang dilakukan dalam pencegahan skizofrenia dapat bersifat “eklektik


holistik” yang mencakup tiga pilar yaitu organobiologis, psikoedukatif, dan sosial
budaya, dan dari ketiga pilar tersebut dapat diketahui kepribadian seseorang. Dalam
melengkapi pendekatan holistik tersebut, menambah satu pilar sehingga menjadi empat
pilar yaitu organobiologis, psikoedukatif, sosial budaya dan psikoreligius.15

Upaya pencegahan yang dilakukan pada masing-masing pilar dimaksudkan untuk


menekan seminimal mungkin munculnya skizofrenia dan kekambuhanya.15

40
1. Organobiologis
a. Bila ada silsilah keluarga menderita skizofrenia sebaiknya menikah dengan
keluarga yang tidak memiliki silsilah skizofrenia.
b. Walaupun dalam keluarga tidak ada silsilah menderita skizofrenia sebaiknya tidak
menikah dengan yang tidak memiliki silsilah skizofrenia dan merupakan keluarga
jauh.
c. Sebaiknya penderita atau bekas penderita skizofrenia tidak saling menikah.
2. Psikoedukatif
Beberapa sikap yang harus diperhatikan orang tua dalam membina mental-emosional
dan mental-intelektual anak yaitu:

a. Sikap pertama adalah kemampuan untuk percaya pada kebaikan orang lain.
b. Sikap kedua adalah sikap terbuka.
c. Sikap ketiga adalah anak mampu menerima kata tidak atau kemampuan
pengendalian diri terhadap hal-hal yang mengecewakan, kalau tidak anak akan
sulit bergaul dan belajar di sekolah.
3. Psikoreligius

Menurut Larson, penelitian yang termuat dalam Religious commitment and Health
menyatakan bahwa agama amat penting dalampencegahan agar seorang tidak mudah
jatuh sakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan dan mempercepat
penyembuhan.

M. PROGNOSIS

Pemberian antipsikotik atipikal sebagai pengobatan lini awal dapat meningkatkan


prognosis yang lebih baik untuk gangguan psikotik fase akut. Namun demikian
penggunaan antipsikotik tipikal seperti Haloperidol tetap dipakai sampai sekarang. Pada
penderita dewasa muda, antipsikotik dosis rendah biasanya efektif untuk mengendalikan
halusinasi, waham, gangguan isi pikir dan perilaku aneh. Dosis yang rendah juga akan
mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping gejala ekstrapiramidal.16

Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:16

1. Usia pertama kali timbul (onset): makin muda maka makin buruk.
2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut maka lebih baik.
3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia dan katatonik lebih baik.

41
4. Kecepatan, ketepatan, dan keteraturan pengobatan yang didapat.
5. Ada atau tidaknya faktor pencetus: jika ada maka lebih buruk.
6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada maka lebih buruk.
7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotin, atau introvert maka lebih jelek.
8. Keadaan sosial ekonomi: jika rendah maka lebih jelek.

42
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien mengalami gangguan berupa adanya halusinasi auditorik dan
sedikit visual, serta adanya waham dikendalikan dan waham kejar. Sehingga pasien ini dapat
dikatakan mengalami Skizofrenia. Menurut PPDGJ-III6, Skizofrenia dapat ditegakkan bila
ditemukan adanya satu gejala yang jelas atau dua gejala yang kurang jelas dari halusinasi dan
waham. Jenis skizofrenia yang didapati pasien adalah tipe paranoid, yang menurut PPDGJ-
III6, ditandai dengan adanya suara halusinasi yang memberi perintah, adanya halusinasi
visual yang kurang menonjol, dan adanya waham dikendalikan dan waham kejar.

Pada pasien ini tidak dijumpai adanya gangguan neurologis dan gangguan kesadaran,
atau gangguan pada fungsi intelektual pasien (daya ingat dan daya pikir), sehingga gejala
pada pasien tidak memenuhi kriteria diagnosis untuk gangguan mental organik, menurut
PPDGJ-III6. Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan zat psikoaktif sehingga tidak bisa
digolongkan dalam gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Pasien
ini termasuk dalam gangguan skizofrenia karena terdapat gangguan dalam penilaian realita,
adanya gangguan persepsi yaitu halusinasi auditorik serta terdapat gangguan isi pikir berupa
waham dikendalikan dan waham kejar. Pasien ini tidak didapatkan gejala afektif seperti
depresi, mania, dan hipomania dan gangguan bipolar, sehingga gejala pada pasien tidak
memenuhi kriteria diagnosis untuk gangguan suasana perasaan. Pada pasien ini tidak
didapatkan gejala gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress.
Pasien ini tidak didapatkan sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik.

Penatalaksanaan untuk Skizofrenia adalah Clozapine, antipsikotik generasi II, karena


dapat mengatasi gejala negatif dan gejala positif lebih efektif dan tidak menimbulkan efek
samping ekstrapiramidal. Selain pengobatan dengan Clozapine, dapat pula ditatalaksana
dengan psikoterapi dan psikoedukasi.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel KR, Cherian J, Gohil K & Atkinson D. Schzophrenia: Overview and Treatment
Options. P T. 2014 Sep; 39(9): 638–645. Available in:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4159061/ Accessed on 8 October 2019.
2. Hafifah A, Puspitasari IM & Sinuraya RK. 2018. Review Artikel: Farmakoterapi dan
Rehabilitasi Psikososial pada Skizofrenia. Farmaka, Supplemen Vol. 16, No. 2, pp. 210–
32.
3. Zahnia S & Sumekar DW. 2016. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. MAJORITY, Vol. 5,
No. 4, Oktober 2016: 160–6.
4. Katona C, Cooper C & Robertson M. 2012. Skizofrenia: fenomena dan etiologi. In: At a
Glance Psikiatri Edisi Ke-4. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pp. 18-21.
5. Sadock BJ & Sadock VA. 2004. Skizofrenia. In: Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi Ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp. 147–68.
6. Maslim R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ–III
dan DSM–5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
7. Hafifah A, Puspitasari IM & Sinuraya RK. 2018. Review Artikel: Farmakoterapi dan
Rehabilitasi Psikososial pada Skizofrenia. Farmaka, Supplemen Vol. 16, No. 2, pp. 210–
32.
8. Fatani BZ, Aldawod R, Alhawaj FA, et al. 2017. Schizophrenia: Etiology,
Pathophysiology and Management - A Review. The Egyptian Journal of Hospital
Medicine (October 2017) Vol. 69 (6), Page 2640–46. Doi: 10.12816/0042241.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/73/2015.
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN JIWA. Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-MENKES-
73-2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf Accessed on 9
October 2019.
10. Hendarsyah F.2016. Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid dengan Gejala-
Gejala Positif dan Negatif. J Medula Unila, Vol. 4, No. 3, Januari 2016, pp. 57–62.
11. Amir N. 2017. Bab 12: Skizofrenia. In: Elvira SD & Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri
Edisi Ke-3, Cetakan Ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
12. Purwandityo AG, Febrianti Y, Sari CP, Ningrum VDA & Sugiyarto OP. 2018. Pengaruh
Antipsikotik terhadap Penurunan Skor The Positive and Negative Syndrome Scale-

44
Excited Component. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Maret 2018, Vol. 7 No. 1, pp. 19–
29. ISSN: 2252–6218. DOI: 10.15416/ijcp.2018.7.1.19.
13. Maslim R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotoprik (Psychotropic
Medication) Edisi Ke-3. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
14. Prehaningrum A. 2013. Monitoring Efek Samping Penggunaan Obat Antipsikotik Tipikal
Terhadap Metabolisme Gula Darah dan Kolesterol Total pada Pasien Skizofrenia di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada. Available from etd.repository.ugm.ac.id/S1-2013-284887-chapter1.
Accessed on 14 September 2019.
15. Internet. Available from http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-
muntiarohn-6617-3-babii.pdf. Accessed on 14 October 2019.
16. Kinanti S. 2015. Analisis Efektivitas Biaya Terapi Kombinasi dari Risperidon dan
Haloperidol pada Fase Akut Pasien Skizofrenia. Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta:
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

45

Anda mungkin juga menyukai