Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEGAWATDARURATAN PADA IBU BERSALIN KALA IV

A. HPP

1. Pengertian HPP

Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP) adalah


konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus
genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya. Efek perdarahan banyak bergantung
pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran
perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah yang
masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang sangat banyak

2. Penyebab HPP

1.Atonia uteri Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus


tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah
bayi dan plasenta lahir. (Merah) Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan
konstraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
2. Retensio plasenta plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir.
Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan
oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus Patologi – anatomi :
a. Plasenta akreta : vilous plasenta melekat ke miometrium

b. Plasenta increta : vilous menginvaginasi miometrium

c. Plasenta percreta : vilous menembus miometrium sampai serosa

3. Robekan jalan lahir Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap
dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari
perlukaan jalan lahir Perluakaan jalan lahir terdiri dari :
a. Dibagi atas 4 tingkat : tingkat I-IV

b. Hematoma vulva

c. Robekan dinding vagina


d. Robekan serviks

4. Gangguan pembekuan darah

5. Perdarahan post partum lambat : sisa plasenta

3. Klasifikasi HPP

1. Perdarahan post partum primer / dini (early postpartum hemarrhage) Perdarahan


yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention
plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
2. Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum hemorrhage)
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama

4. Diagnosa HPP

Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada


perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan
berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum
tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap
persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya
akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang
merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan
yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah
yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah
uri lahir harus ditampung dan dicatat. Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar
dari vagina, tetapi menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya
diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan
etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.

5. Pencegahan dan Penanganan HPP

Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum adalah
memimpin kala II dan kala III persalinan secara lega artis. Apabila persalinan diawasi
oleh seorang dokter spesialis obstetrik dan ginekologi ada yang menganjurkan untuk
memberikan suntikan ergometrin secara IV setelah anak lahir, dengan tujuan untuk
mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi. Penanganan umum pada perdarahan post
partum :
1. Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)

2. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk
upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)

3. Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang
persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang
rawat gabung).

4. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat

5. Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan
masalah dan komplikasi

6. Atasi syok

7. Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan


uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL
dengan 40 tetesan permenit.

8. Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan
lahir.
9. Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.

10. Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan

11. Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik

B. ATONIA UTERI
1. Pengertian Atonia uteria (relaksasi otot uterus)

adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus
uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ;
2002) Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus dalam
berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga
didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta
lahir.Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya
atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama
masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika
uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan menyebabkan
kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah manusia hanya
berkisar 5-6 liter saja.

2. Etiologi

Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Namun
demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara lain:

1) Distensi rahim yang berlebihan

Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:

a) kehamilan ganda

b) poli hidramnion

c) makrosomia janin (janin besar)Peregangan uterus yang berlebihan karena


sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera
setelah plasenta lahir.

2) Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit Pada partus lama uterus
dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot rahim tidak mampu
melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.

3) Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih) Kehamilan seorang ibu yang berulang


kali, maka uterus juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan
kemampuan berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.

4) Kehamilan dengan mioma uterus Mioma yang paling sering menjadi penyebab
perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam
miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
5) Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi) Persalinan buatan
mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan
dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk
berkontraksi.
6) Persalinan lewat waktu Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena
besarnya kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya
menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.

7) Infeksi intrapartum Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum


yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan
menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.

8) Persalinan yang cepat Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa


untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca
salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.

9) Kelainan plasenta Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing
menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.

10) Anastesi atau analgesik yang kuat Obat anastesi atau analgesi dapat
menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga
saat dibutuhkan untuk berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian
juga dengan magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
11) Induksi atau augmentasi persalinan Obat-obatan uterotonika yang digunakan
untuk memaksa uterus berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot
uterus menjadi lelah.

12) Penyakit sekunder maternal Anemia, endometritis, kematian janin dan


koagulasi intravaskulere diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan
darah yang mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
3. Tanda dan gejala Tanda dan gejala atonia uteri adalah:

1) Perdarahan pervaginam Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat
banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai
gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai
anti pembeku darah.

2) Konsistensi rahim lunak Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan
yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.

3) Fundus uteri naik Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum
uteri dan menggumpal

4) Terdapat tanda-tanda syok Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.

4. Pencegahan Atonia Uteri

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan
dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Kegunaan utama
oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak
menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.
Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada
manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif
protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV
drip 100-150 cc/jam. Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang
diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum
dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat,
mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian
di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan
oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih
efektif dibanding oksitosin.
5. Manajemen Atonia Uteri

1) Resusitasi Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan


awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring
tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan
transfusi darah.

2) Masase dan kompresi bimanual Masase dan kompresi bimanual akan


menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)

a) Jika uterus berkontraksiEvaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus


berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi
dan jahit atau rujuk segera

b) Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput
ketuban dari vagina & lobang serviks Pastikan bahwa kandung kemih telah
kosong Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.

c) Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan


perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.

d) Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai


melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan;
Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus
menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI

e) Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat

f) Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

3) Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior


hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring
dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada
dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi
pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau
IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU
perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal
(IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea
dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara
IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat
juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus
0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi,
dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada
pasien dengan hipertensi. Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15
metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal,
transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau
IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg.
Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5
tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi
dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare,
sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus,
bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang
menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan
peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular,
pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang
ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus
penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang
disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu
dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif
yang terjadi.

4) Uterine lavage dan Uterine Packing Jika uterotonika gagal menghentikan


perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat
untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke
dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh
menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar. Penggunaan uterine
packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah
hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus. Prinsipnya adalah membuat
distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada dinding
uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan
dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine
packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan
transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas
operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
5) Operatif

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan


80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping
uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi
dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini
diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan
menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina
bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai
sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri
uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu
dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

a) Ligasi arteri Iliaka Interna Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter
menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum
lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke
medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan
eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang
non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada
vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus
dilakukan sebelum dan sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma
vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini
dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

b) Teknik B-Lynch Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”,


ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative
untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.

c) Histerektomi

Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi


perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi
mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan
abdominal dibandingkan vaginal.

C. Robekan jalan lahir

Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan


pascapersalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan
pascapersalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh
robekan serviks atau vagina.

1. Robekan serviks

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang


multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks
yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus.
Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap
dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan serviks uteri. Setelah persalinan buatan atau kalau ada perdarahan walaupun
kontraksi uterus baik dan darah yang keluar berwarna merah muda harus dilakukan
pemeriksaan dengan speculum. Jika terdapat robekan yang berdarah atau robekan
yang lebih besar dari 1 cm, maka robekan tersebut hendaknya dijahit. Untuk
memudahkan penjahitan, baiknya fundus uteri ditekan ke bawah hingga cerviks dekat
dengan vulva. Kemudian kedua bibir serviks dijepit dengan klem dan ditarik ke
bawah. Dalam melakukan jahitan robekan serviks ini yang penting bukan jahitan
lukanya tapi pengikatan dari cabang – cabang arteria uterine.

2. Perlukaan vagina

Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi
sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar.
Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum.

a.Kolpaporeksis
Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini
terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terjadi regangan segmen
bawah uterus dengan servik uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang
panggul, sehingga tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina, jika tarikan ini
melampaui kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas
dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya.
Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada tindakan pervaginam dengan
memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri
tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.
b.Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal
yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio sesarea. Fistula dapat
terjadi mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau
rektum, misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan
serviks menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera
keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.
3. Robekan perineum

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis
tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis
lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran
yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika. Perdarahan pada
traktus genetalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama
yang menyertai kontraksi uterus yang kuat. Tingkatan robekan pada perineum:

 Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek


 Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot
diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka.
 Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding depan
rektum.

Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan peregangan m.
puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Kejadian ini
melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan predisposisi untuk terjadinya
prolapsus uteri

D. PENATALAKSANAAN :

1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan.

2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik


3. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap
4. Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap operator.
5. Khusus pada rutura perineum komplit ( hingga anus dan sebagian rektum)
dilakuakan penjahitan lapis demi lapis dengan bantua busi pada rektum, sebagai
berikut:
6. Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan.
7. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa
menggunakan benang poliglikolik no.2/0(dexon/vicryl) hingga ke spingter ani.
Jepit kedua spingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
8. Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang
yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.Mukosa vagina dan kulit perineum
dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler. Berikan antibiotika profilaksis
(ampisilin 2g dan metronidazol 1g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya
diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau
terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah :

Atonia Uteri Robekan jalan lahir


1. Kontraksi uterus kuat, keras dan
1. Kontraksi uterus lembek, lemah dan mengecil.
membesar ( fundus uteri masih tinggi) 2. Perdarahan terjadi langsung setelah
2. Perdarahan terjadi beberapa menit anak lahir.
setelah anak lahir
3. Bila kontraksi lemah, setelah masase 1. Setelah dilakukan masase atau

atau pemberian uterotonika, kontraksi pemberian uterootonika langsung

yang lemah tersebut menjadi kuat. uterus mengeras tapi perdarahan tidak
berkurang.

C. Syok Obstetrik

1. Definisi
Syok obstetrik adalah syok yang dijumpai dalam kebidanan yang disebabkan
baik oleh perdarahan, trauma, atau sebab-sebab lainnya, dimana terjadi gangguan
sirkulasi darah ke dalam jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen
dan nutrisi jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme.

2. Gejala klinik syok pada umumnya sama yaitu:


a. Tekanan darah menurun.
b. Nadi cepat dan lemah.
c. Pucat.
d. Keringat dingin.
e. Sianosis jari-jari, sesak nafas, pengelihatan kabur, gelisah, dan akhirnya
oliguria/anuria.
3. Etiologi
Peristiwa-peristiwa kebidanan yang menimbulkan syok antara lain :
a. Perdarahan
Perdarahan merupakan penyebab utama syok dalam kebidanan. Perdarahan
sampai syok antara lain : abortus, kehamilan ektopik, Mola hidatitosa,
gangguan pelepasan plasenta, Atonia uteri, plasenta previa, rupture uteri.
b. Infeksi berat
Infeksi berat sebagai penyebab syok masih sering ditemukan diantaranya
adalah syok septik atau syok endotoksik dengan kuman terseringnya yaitu
gram negatif. Peristiwa infeksi yang dapat menimbulkan syok adalah : abortus
infeksiosus, febris puerperalis yang berat, piolenefritis.
c. Solusio plasenta
Solusio plasenta yang berat selain karena perdarahan syok juga terjadi karena
inversio uteri, syok terjadi disamping karena perdarahan juga bersifat
neurogen karena tarikan kuat pada peritoneum, kedua ligamentum infudibulo
pelvikum, serta ligamentum rotundum.
d. Emboli air ketuban
Syok karena emboli air ketuban berlangsung sangat mendadak dan berakhir
dengan kematian. Penderita mendadak gelisah, sesak nafas, kejang dan
meninggal. Emboli air ketuban terjadi pada his yang kuat dan ketuban telah
pecah. Karena his yang kuat, air ketuban bersama mekonium, rambut lanugo
dan vernik kaseosa masuk kedalam sinus-sinus dalam dinding uterus dan
dibawa ke paru-paru.
e. Supine hipotensive syndrome
Supine hipotensive syndrome terjadi karena adanya tekanan vena kava oleh
rahim, sering terjadi pada kehamilan kembar, hidramnion dan kehamilan
trimester akhir.

4. Tanda dan Gejala Syok Obstetrik


a. Nadi cepat dan halus (> 100/menit)
b. Tekanan darah turun (diastolik < 60 mmHg)
c. Respirasi cepat (> 32/ menit)
d. Temperatur suhu turun < 36,5 C
e. Pucat terutama pada konjungtiva, telapak tangan, bibir.
f. Berkeringat, gelisah, apatis/bingung, pingsan/tidak sadar
g. Tekanan darah ↓↓ (sistolik < 90 mmHg)

5. Tanda dan gejala lain:


a. Pucat (kelopak mata dalam, telapak tangan, sekitar mulut)
b. Keringat/kulit terasa dingin dan lembab
c. Urin sedikit (< 30 ml/jam)

6. Klasifikasi
1) Syok Hemoragik
Adalah suatu syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat
perdarahan pada:
a) kehamilan muda, misalnya: Abortus,Kehamilan ektopik dan penyakit trofoblas
(mola hidatidosa).
b) Perdarahan antepartum seperti plasenta previa, solusio plasenta, rupture uteri.
c) Perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan laserasi jalan lahir.

7. Klasifikasi perdarahan :
Kelas Jumlah Perdarahan Gejala Klinik
I 15% (Ringan) Tekana darah dan nadi normal
Tes Tilt (+)
II 20-25% (sedang) Takikardi-Takipnea
Tekanan nadi < 30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendah
Pengisian darah kapiler lambat
III 30-35% (Berat) Kulit dingin, berkerut, pucat
Tekanan darah sangat rendah
Gelisah
Oliguria (<30 ml/jam)
Asidosis metabolic (pH < 7.5)
IV 40-45% (sangat berat) Hipertensi berat
Hanya nadi karotis yang teraba
Syok ireversibel
8. Penanganan Syok Hemoragik Dalam Kebidanan
Bila terjadi syok hemoragik dalam kebidanan, segera lakukan resusitasi,
berikan oksigen, infuse cairan, dan transfuse darah dengan crossmatched.Diagnosis
plasenta previa/solusio plasenta dapat dilakukan dengan bantuan USG. Selanjutnya
atasi koagulopati dan lakukan pengawasan janin dengan memonitor denyut jantung
janin. Bila terjadi tanda-tanda hipoksia, segera lahirkan anak. Jika terjadi atonia uteri
pasca persalinan segera lakukan masase uterus, berikan suntikan metil ergometrin (0,2
mg) IV dan oksitosin IV atau per infuse (20-40 U/I), dan bila gagal menghentikan
perdarahan lanjutkan dengan ligasi a hipogastrika atau histerektomi bila anak sudah
cukup. Kalau ada pengalaman dan tersedia peralatan dapat dilakukan embolisasi
a.iliaka interna dengan bantuan transkateter. Semua laserasi yang ada sebelumnya
harus dijahit.

1) Syok Neurogenik
Yaitu syok yang akan terjadi karena rasa sakit yang berat disebabkan oleh
kehamilan ektopik yang terganggu, solusio plasenta, persalinan dengan forceps atau
persalinan letak sungsang di mana pembukaan serviks belum lengkap, versi dalam
yang kasar, firasat/tindakan crede, ruptura uteri, inversio uteri yang akut,
pengosongan uterus yang terlalu cepat (pecah ketuban pada polihidramnion), dan
penurunan tekanan tiba-tiba daerah splanknik seperti pengangkatan tiba-tiba tumor
ovarium yang sangat besar.

2) Syok Kardiogenik
Yaitu syok yang terjadi karena kontraksi otot jantungyang tidak efektif yang
disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan jantung. Sering dijumpai pada
penyakit-penyakit katup jantung.
a) Tanda klinis
1) Dilatasi vena-vena di leher
2) Dispnea
3) Desah sistol dan diastole
4) Edema menyeluruh
b) Penyebab
1) Setiap syok obstetrik akan berakhir dengan syok kardiogenik, penyebab yang
paling sering adalah:
2) Perdarahan berat
3) Hipoksia karena eklampsia atau anesthesia
4) Sindrom mendelson: aspirasi lambung dengan pneumonitis
5) Emboli dengan segala penyebabnya
c). Penanganan/Pengelolaan
Uluran tangan sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien. Letakkan
pasien dalam posisi dorsal (terlentang) di atas lantai yang keras. Dengan satu ibu jari
satu tangan yang tertutup di atas sternum cukup untuk memperbaiki keadaan,
kemudian dilanjutkan dengan: tindakan/langkah ABCDEF
1. A-Airway
2. Bersihkan jalan nafas dari muntah, darah, gigi, benda asing dan lain-lain
3. Pertahankan jalan nafas dengan jalan:
a.Menarik mandibula dan lidah
b.Pasang airway
c.Intubasi endotrakeal secepat mungkin
4. B-Breathing
5.Lakukan salah satu dari tindakan berikut:
a. Respirasi mulut ke mulut
b. Pasang sungkup dan ambubag (balon resusitasi) dengan oksigen 100%
c. Pasang pipa endotrakeal dan lakukan ventilasi tekanan positif yang intermiten
6.C-Cardiac Massage
a. Dengan meletakkan kedua pergelangan tangan di atas sternum, lengan dalam keadaan
lurus (ekstensi) berikan tekanan dengan seluruh berat badan ke atas sternum.
b. Lakukan sampai pembuluh darah femoral dan carotid dapat dipalpasi
c. Tekanan yang optimal 60 x/menit dengan pernafasan buatan 15x atau 4:1
d. D-Drip ang drugs
e. Berikan larutan Sodium bikarbonan 8,4 untuk mengatasi asidosis metabolic
f. Berikan dosis awal 100 ml dan selanjutnya 10 ml tiap menit selama sirkulasi belum
adekuat.
g. Cardiac Stimulants (inotropic drug): dapat diberkan IV atau intrakardiak
h. Adrenalin 0,5-1,0 mg
i. Atropin 0,6 mg
j. Dopamin 100 mg dalam 500 ml larutan
k. Kalsium kloride 10% larutan
l. E-Elektokardiogram
m. Untuk menentukan keberhasilan penanganan dan respon terapi
n. Fibrillation treatment
o. Lakukan defibrilisasi langsung (direct current)

3) Syok Endotoksik/septic
Merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh
lepasnya toksin. Penyebab utama adalah infeksi bakteri gram nagatif. Sering
dijumpai pada abortus septik, korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan.

a) Gejala-Gejala Syok Septik


1. Menggigil
2. Hipotensi
3. Gangguan mental
4. Takikardi
5. Takipnea
6. Kulit merah
7. Kulit dingin dan basah, bradikardi, dan sianosis (bila syok bertambah berat)

b) Penanganan
1. Penanganan Awal
Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien
1. Nilai kegawatan dengan melakukan pemeriksaan tanda vital
2. Cegah hipotermi dan miringkan kepala/tubuh pasien untuk mencegah aspirasi
muntahan. Jangan berikan sesuatu melalui mulut untuk mencegah aspirasi
3. Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen melalui selang atau masker dengan
kecepatan 6 sampai 8 liter per menit.
4. Tinggikan tungkai untuk mebantu beban kerja jantung. Bila setelah posisi tersebut
ternyata pasien menjadi sesak atau mengalami oedem paru maka kembalikan
tungkai pada posisi semula dan tinggikan tubuh atas untuk mengurangi tekanan
hidrostatik paru
5. Bila hingga langkah akhir tersebut diatas, ternyata tak tampak secara jelas
perbaikan kondisi pasien atau minimnya ketersediaan pasokan cairan dan
medikamentosa atau adanya gangguan fungsi peralatan yang dibutuhkan bagi
upaya pertolongan lanjutan, sebaiknya pasien dipindahkan ke ruang perawatan
intensif atau disiapkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
6. Bila ternyata harus dirujuk, pastikan :
7. Pasien dan keluarganya mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi
8. Telah dibuatkan surat rujukan
9. Ada petugas yang menemani dan keluarga sebagai pendonor darah
10. Bila setelah restorasi cairan masih belum terjadi perbaikan tanda vital, tambahkan
obat vasoaktif (dopamine) dengan dosis awal 2,5μgram per kg/BB (dalam larutan
gram isotonic). Naikkan perlahan-laha dosis tersebut hingga mendapatkan efek
optimal (dosis maksimal 15 sampai 20 μgram/menit). Pertahankan pada dosis yang
menunjukkan adanya perbaikan tanda vital. Hentikan dopamine apabila tanda vital
mencapai nilai normal dan produksi utrine dalam batas normal.

c) Penanganan Syok

Prinsip Dasar Penanganan Syok

Tujuan utama pengobatan syok adalah melakukan penanganan awal dan khusus
untuk:

1. Menstabilkan kondisi pasien


2. Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah
3. Mengefisiensikan system sirkulasi darah
4. Setelah pasien stabil tentukan penyebab syok

d) Penanganan Awal

1. Mintalah bantuan. Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan siapkan fasilitas
tindakan gawat darurat
2. Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu dan harus dipastikan bahwa
jalan napas bebas.
3. Pantau tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu tubuh)
4. Baringkan ibu tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan risiko terjadinya
aspirasi jika ia muntah dan untuk memeastikan jalan napasnya terbuka.
5. Jagalah ibu tersebut tetap hangat tetapi jangan terlalu panas karena hal ini akan
menambah sirkulasi perifernya dan mengurangi aliran darah ke organ vitalnya.
6. Naikan kaki untuk menambah jumlah darah yang kembali ke jantung (jika
memungkinkan tinggikan tempat tidur pada bagian kaki).

e) Penanganan Khusus
Mulailah infus intra vena (2 jika memungkinkan dengan menggunakan kanula
atau jarum terbesar (no. 6 ukuran terbesar yang tersedia). Darah diambil sebelum
pemberian cairan infus untuk pemeriksaan golongan darah dan uji kecocockan (cross
match), pemeriksaan hemoglobin, dan hematokrit. Jika memungkinkan pemeriksaan
darah lengkap termasuk trombosit, ureum, kreatinin, pH darah dan elektrolit, faal
hemostasis, dan uji pembekuan.

1. Segera berikan cairan infus (garam fisiologk atau Ringer laktat) awalnya dengan
kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit
2. Berikan paling sedikit 2 Liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini melebihi
cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berjalan
3. Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infuse dipertahankan dalam
kecepatan 1 liter per 6-8 jam
4. Catatan: Infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan dalam
penatalaksanaan syok akibat perdarahan. Usahakan untuk mengganti 2-3 kali lipat
jumlah cairan yang diperkirakan hilang.
5. Jika vena perifer tidak dapat dikanulasi, lekukakan venous cut-down
6. Pantau terus tanda-tanda vital (setiap 15 menit) dan darah yang hilang. Apabila
kondisi pasien membaik, hati-hati agar tidak berlebihan memberikan cairan. Napas
pendek dan pipi yang bengkak merupakan kemungkinan tanda kelebihan
pemberian cairan.
7. Lakukan kateterisasi kandung kemih dan pantau cairan yang masuk dan jumlah
urin yang keluar. Produksi urin harus diukur dan dicatat.
8. Berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter per menit dengan sungkup atau kanula
hidung.

Anda mungkin juga menyukai