Anda di halaman 1dari 31

I.

TUJUAN
1. Agar mahasiswa mampu memperkirakan model kompartemen berdasarkan
kurva semilogaritmik kadar obat dalam plasma/darah lawan waktu
2. Agar mahasiswa mampu menetapkan jadwal dan jumlah pencuplikan untuk
pengukuran parameter farmakokinetik berdasarkan model kompartemen suatu
obat.
3. Agar mahasiswa mampu menggunakan dosis yang tepat untuk subyek uji.

II. DASAR TEORI


Obat berada dalam suatu keadaan dinamik dalam tubuh. Dalam suatu
sistem biologi peristiwa – peristiwa yang dialami obat seringterjadi secara
serentak. Dalam menggambarkan sistem biologik yang kompleks tersebut,
dibuat penyederhanaan anggapan mengenai pergerakan obat itu.
Setelah masuk ke dalam badan, akan terdistribusi ke jaringan atau
berbagai organ badan yang sifatnya sangat beragam. Badan dapat dianggap
sebagai suatu sistem yang berupa kumpulan kompartemen dimana satu dengan
yang lainnya terpisah. Masing-masing kompartemen tersebut dapat berisi fraksi
dosis obat yang masuk ke dalam badan. Jadi badan sebenarnya merupakan
sistem multikompartemen. Untuk menginterpretasikan data uji farmakokinetika,
sistem multikompartemen tersebut disederhanakan menjadi sistem satu dan dua
kompartemen terbuka. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa proses
perpindahan obat antar kompartemen badan merupakan proses bolak-balik.
‘Terbuka’ merupakan istilah bahwa kadar obat yang semula masuk ke dalam
badan, pada akhirnya akan dikeluarkan dari badan.
Cara untuk menganalisis model kompartemen badan dapat dikerjakan
dengan mengikuti metode plot semilogaritma antara kadar obat lawan waktu dan
atau dihitung secara matematika. Adapun kedua model kompartemen tersebut
adalah:
1. Satu kompartemen terbuka
Badan diasumsikan berupa kompartemen tunggal yaitu sebagai
kompartemen sentral. Bila obat diberikan secara intravena akan segera menyebar
ke cairan badan.

1
Terlihat bahwa pada model satu kompartemen terbuka, seolah-olah tidak
ada fase distribusi, tetapi mengalami proses eliminasi.

2. Dua kompartemen terbuka


Badan diasumsikan terbagi menjadi dua kompartemen, yakni
kompartemen sentral dan kompartemen perifer. Bila obat diberikan tidak segera
menyebar diantara cairan tubuh. Peristiwa ini bila dilukiskan dengan grafik
adalah:

Terlihat bahwa pada model dua kompartemen ada fase distribusi yang
digambarkan adanya tetapan distribusi antar komponen (k12 dan k21). Frekuensi
pengambilan cuplikan pada model dua kompartemen dianjurkan paling tidak 3
kali pada tahap absorpsi, 3 kali pada sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi
dan 3 kali pada tahap eliminasi.

Suatu hipotesis atau model disusun dengan menggunakn istilah


matematik, yang memberi arti singkat dari pernyataan hubungan kuantitatif.
Berbagai model matematik dapat dirancang untuk meniru proses laju absorpsi,
distribusi dan eliminasi obat. Model matematik ini memungkinkan
pengembangan persamaan untuk menggambarkan konsentrasi obat dalam tubuh
sebagai fungsi waktu. Yang dimaksud dengan model farmakokinetik adalah
suatu hubungan matematik yang menggambarkan perubahan konsentrasi
terhadap waktu dalam sistem yang diperiksa ( Mutschler, 1991 ).
Model farmakokinetik berguna untuk :
a) Memperkirakan kadar obat dalam plasma, jaringan dan urine pada berbagai
pengaturan dosis
b) Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara individual
c) Memperkirakan kemungkinan akumulasi obat dngan aktivitas farmakologi
atau metabolit – metabolit

2
d) Menghibungakan kemungkinan konsentrasi obat dengan aktivitas
farmakologik atau toksikologik
e) Menilai perubahan laju atau tingkat availabilitas antar formulasi
f) Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorbsi,
distribusi dan eliminasi
g) Menjelaskan interaksi obat
(Shargel dan Yu, 1988)

Model kompartemen, yakni :


1. Model Mammillary
Model terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer yang dihubungkan
ke suatu kompartemen sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma dan
jaringan-jaringan yang perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan
dengan obat. Model mamillary dapat dianggap sebagai suatu sistem yang
berhubungan secara erat, karena jumlah obat dalam setiap kompartemen dalam
setiap sistem tersebut dapat diperkirakan setelah obat dimasukkan ke dalam
suatu kompartemen tertentu. Menurut Mammillary model kompartemen dibagi
menjadi :
a) Kompartemen satu terbuka iv
Perfusi terjadi sangat cepat seperti tanpa proses distribusi sebab
distribusi tidak diamati karena terlalu cepatnya. (Hanya ada satu fase yaitu
eliminasi).
b) Kompartemen satu terbuka ev
Sebelum memasuki kompartemen sentral, obat harus mengalami
absorbsi. (Terdiri dari 2 fase yaitu absorbsi dan eliminasi).
c) Kompartemen 2 terbuka iv
Kompartemen dianggap hanya satu dan ada proses distribusi dari
sentral ke perifer atau sebaliknya. Tidak ada proses absorbsi tetapi ada proses
eliminasi.
d) Kompartemen 2 terbuka ev
Obat mengalami proses absorpsi, distribusi dan eliminasi.

3
2. Model Caternary
Dalam farmakokinetika model mammilary harus dibedakan dengan
macam model kompartemen yang lain yang disebut model caternary. Model
caternary terdiri atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan
yang lain menjadi satu deretan kompartemen. Sebaliknya, model mammilary
terdiri atas satu atau lebih kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen
sentral.

3. Model Fisiologik (Model Aliran)


Model fisiologik juga dikenal sebagai model aliran darah atau model
perfusi, merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik
dan fisiologik yang diketahui. Makna yang nyata dari model fisiologik adalah
dapat digunakannya model ini dalam memprakirakan farmakokinetika pada
manusia dari data hewan. Jadi parameter-parameter fisiologik &anatomik dapat
digunakan untuk memprakirakan efek obat pada manusia berdasar efek obat
pada hewan.
(Shargel dan Yu, 1988)

Lama pengambilan cuplikan perlu diperhatikan. Jika darah digunakan


sebagai cuplikan, pencuplikan dilakukan sampai 3 – 5 kali T½ eliminasi obat,
karena diasumsikan kadar obat yang dapat dianalisis pada waktu tersebut
mencapai 90-95% kadar obat total. Jika digunakan urin, sampai 7 – 10 T½
eliminasi, juga berdasar asumsi bahwa pada waktu tersebut kadar obat yang
diekskresikan sudah mencapai 99% kadar obat total.

4
Takaran dosis yang akan diberikan pada subyek uji harus diketahui
terlebih dahulu, terutama jika akan mengembangkan sediaan obat baru pada
tahap uji praklinik Pemilihan dosis dapat didasarkan atas beberapa hal,
diantaranya mengacu pada LD50 (toksisitas akut) obat yangakan diuji. Perbandingan
harga LD50 oral lawan intra vena dapat digunakan untuk memperoleh gambaran
tentang absorbabilitas obat sebagai fungsi dari pemberian peroral. Jika informasi
ini tidak tersedia dapat digunakan dasis awal sebesar 5-10 % dari LD50 intravena
(Kaplan,1973). Namun demikian, perlu pula diperhatikan apakah kepekaan
metode analisis mendukung besaran dosis tersebut sehingga pada fase eliminasi,
kadar obat masih dapat dimonitor. Dosis awal ini kemudian dinaikkan menurut
besaran tertentu untuk mendeteksi timbulnya kinetic tergantung dosis (dose
dependent pharmacokinetics).
Pemilihan takaran dosis juga harus memperhatikan adanya fenomena
kinetika yang tergantung dosis, yaitu fenomena yang menunjukkan adanya
perubahan parameter farmakokinetika obat bila takaran dosisnya berubah.
Keadaan ini berkaitan dengan asumsi orde kinetika obat tersebut.
Kinetika diasumsikan mengikuti ordo nol bila menunjukkan fenomena
tergantung dosis. Tapi bila parameter farmakokinetika obat tidak dipengaruhi
oleh perubahan dosis, maka dianggap mengikuti ordo pertama. Hal ini dapat
diketahui dengan membandingkan harga waktu paruh eliminasi (T ½) obat
setelah pemberian beberapa takaran dosis yang berbeda. Jika harga T ½ yang
diperoleh berbeda akibat perbedaan dosis yang diberikan, maka kinetika obat
tersebut menunjukkan fenomena tergantung dosis.
Kurva dibawah ini merupakan kurva yang didapat dari pengukuran
konsentrasi obat dalam cuplikan plasma pada berbagai waktu dan kemudian
diplotkan menjadi kurva. Waktu sebagai variabel bebas dan konsentrasi obat
sebagai variabel tergantung.

Beberapa parameter yang harus kita perhatikan dalam grafik ini:

5
1. MEC atau Minimum Effect Concentration merupakan kadar minimal yang
harus dicapai obat agar berefek. Jika konsentrasi obat masih dibawa MEC
maka obat belum berefek
2.MTC atau Minimum Toxic Concentration merupakan kadar dimana obat
mulai bersifat toksis bagi tubuh.
3. Therapeutic Range merupakan konsentrasi dimana obat berefek dalam batas
yang aman dan tidak toksik. beberapa obat seperti digoksin memiliki
therapeutic range yang sempit sehingga dalam pengobatan harus berhati-hati
karena jika berlebihan dapat menyebabkan toksisitas
4. Onset merupakan waktu dimana obat mulai berefek atau memasuki MEC
5. t max merupakan waktu dimana kadar obat dalam plasma sampai pada
puncaknya
6. Cmax merupakan kadar maksimum yang dapat dicapai obat pada plasma
7. AUC atau Area Under Curvemenunjukkan jumlah obat di dalam plasma
8. Duration of Action menunjukkan rentang waktu dimana obat berefek
(memasuki MEC) sampai tidak berefek (turun dari MEC)

III. CARA PERCOBAAN


1. Alat dan Bahan
a. Alat :
1. Injeksi jarum oral
2. Labu takar 5 ml
3. Pipet volume 0,5; 1; 2 ml
4. Propipet
5. Tabung reaksi
6. Gelas beker
7. Pipet ukur 2 ml
8. Mikropipet + blue tip
9. Efendorf
10. Skalpel/silet
11. Sentrifuge
12. Vortex
13. Stopwatch
14. Spektrofotometer + Kuvet

6
b. Bahan
1. Darah Kelinci dan Tikus
2. Asam trikloroasetat (TCA)
3. Natrium Nitrit 0,1%
4. Amonium sulfamat 0,5%
5. N (1-naftil) etilebdiamin 0,1%
6. Sulfametoksazol
7. Antikoagulan Heparin
8. Aquadest

Hewan uji : Kelinci dan tikus

2. Cara kerja
Dari 2 golongan dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing golongan dibagi
menjadi 2 kelompok.

Tiap kelompok mendapat 1 ekor hewan uji yaitu :

Dosis
Cara
Golongan Kelompok Hewan Uji Sulfametoksazol
pemberian
(mg/kg BB)
I 1 Tikus 75 Peroral
2 Kelinci 50 Peroral
II 1 Tikus 150 Peroral
2 Kelinci 100 Peroral

↓ Darah ditampung kedalam tabung


Timbang tikus, masukkan ke holder yang telah diberi 10 tetes heparin
↓ ↓
Ambil 1,5 ml darah tikus sebagai Ambil 250 µl darah masukkan tabung
blanko melalui vena ekor reaksi
↓ ↓
Beri sulfametoksazol 75 dan 150 Tambahkan aquades 250 µl
mg/kgBB secara peroral ↓
↓ Tambahkan 2,0 ml TCA 5% lalu
Ambil cuplikan darah pada menit ke divortex 30 detik
5, 10, 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 menit ↓
↓ Sentifuge 2500 rpm selama 10 menit

7
Ambil beningan sebanyak 1,50 ml Darah ditampung kedalam tabung
↓ yang telah diberi 10 tetes heparin
Encerkan dengan aquadest 2,0 ml ↓
↓ Ambil 250 µl darah masukkan tabung
Tambahkan NaNO2 0,1% 0,1 ml reaksi
↓ ↓
Diamkan selama 3 menit Tambahkan aquades 250 µl
↓ ↓
Tambahkan 0,2 ammonium sulfamat Tambahkan 2,0 ml TCA 5% lalu
0,5% divortex 30 detik
↓ ↓
Diamkan selama 2 menit Sentifuge 2500 rpm selama 10 menit
↓ ↓
Tambahkan 0,2 ml NED 0,1% Ambil beningan sebanyak 1,50 ml
↓ ↓
Diamkan 5 menit ditempat gelap Encerkan dengan aquadest 2,0 ml
↓ ↓
Baca serapan pada panjang Tambahkan NaNO2 0,1% 0,1 ml
gelombang 545 nm ↓
Diamkan selama 3 menit
↓ ↓
Timbang kelinci, masukkan ke holder Tambahkan 0,2 ammonium sulfamat
↓ 0,5%
Ambil 1,5 ml darah kelinci sebagai ↓
blanko melali vena marginalis Diamkan selama 2 menit
↓ ↓
Beri sulfametoksazol 50 dan 100 Tambahkan 0,2 ml NED 0,1%
mg/kgBB secara peroral ↓
↓ Diamkan 5 menit ditempat gelap
Ambil cuplikan darah pada menit ke ↓
5, 10, 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 menit Baca serapan pada panjang
↓ gelombang 545 nm

8
Pembuatan Kurva Baku

Tikus Kelinci
Buat seri kadar sulfametoksazol 5, 10, Buat seri kadar sulfametoksazol 5, 10,
25, 50, 100 dan 200 µg/ml 25, 50, 100 dan 200 µg/ml
↓ ↓
Kedalam darah blanko (250 µl) Kedalam darah blanko (250 µl)
ditambahkan 250 µl larutan stok ditambahkan 250 µl larutan stok
sulfametoksazol sehingga kadarnya 5, sulfametoksazol sehingga kadarnya 5,
10, 25, 50, 50, 100, dan 200 µg/ml 10, 25, 50, 50, 100, dan 200 µg/ml
darah darah
↓ ↓
Campur homogen Campur homogen
↓ ↓
Tambahkan aquades 250 µl Tambahkan aquades 250 µl
↓ ↓
Tambahkan 2,0 ml TCA 5% lalu Tambahkan 2,0 ml TCA 5% lalu
divortex 30 detik divortex 30 detik
↓ ↓
Sentifuge 2500 rpm selama 10 menit Sentifuge 2500 rpm selama 10 menit
↓ ↓
Ambil beningan sebanyak 1,50 ml Ambil beningan sebanyak 1,50 ml
↓ ↓
Encerkan dengan aquadest 2,0 ml Encerkan dengan aquadest 2,0 ml
↓ ↓
Tambahkan NaNO2 0,1% 0,1 ml Tambahkan NaNO2 0,1% 0,1 ml
↓ ↓
Diamkan selama 3 menit Diamkan selama 3 menit
↓ ↓
Tambahkan 0,2 ammonium sulfamat Tambahkan 0,2 ammonium sulfamat
0,5% 0,5%
↓ ↓
Diamkan selama 2 menit Diamkan selama 2 menit
↓ ↓
Tambahkan 0,2 ml NED 0,1% Tambahkan 0,2 ml NED 0,1%
↓ ↓
Diamkan 5 menit ditempat gelap Diamkan 5 menit ditempat gelap
↓ ↓
Baca serapan pada panjang gelombang Baca serapan pada panjang gelombang
545 nm 545 nm
↓ ↓
Buat persamaan regresi linier kadar Buat persamaan regresi linier kadar
silfametoksazol silfametoksazol
↓ ↓
Tentukan kurva bakunya Tentukan kurva bakunya

9
Analisis Data
Hitung kadar sulfametoksazol dalam darah tiap-tiap waktu sampling

Buat persamaan regresi linier ln C vs t, gambar grafik

Tentukan model kompartemen berdasarkan grafik

Hitung parameter-parameter farmakokinetik (AUC, t ½ eliminasi, dll)

IV. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN


1. Data Percobaan
 Kurva baku tikus dan kelinci
Bobot Kelinci I : 3,60 kg dosis: 50 mg/kg BB
Kelinci II : 3,24 kg dosis: 100 mg/kg BB
Larutan stok: 25 mg/ml
𝐵𝐵 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 3,24 𝑥 100
Vsulfametoksazol: 𝑠𝑡𝑜𝑘
= 25
= 12,96 𝑚𝑙

 Tikus
Bobot Tikus I : 15,9 g dosis 75 mg/kg BB
Tikus II : 14,8 g dosis 150 mg/kg BB
Larutan stok :
BB(g )× dosis(mg/kg BB)
Volume sulfametoksazol =
1000×stok(mg/mL)
15,9×75
Tikus I : = 0,0477mL
1000×25

14,8×150
Tikus II : = 0,0444mL
1000×25

Kadar (g/ml) Absorbansi tikus Absorbansi kelinci


5 0.127 0.098*
10 0.187* 0.077
25 0.132 0.079
50 0.170 0.077*
100 0.267 0.076*
200 0.551 0.083
* : direject

10
Persamaan regresi linear kurva baku tikus, didapatkan:
A = 0,0785
B = 0,00248
r = 0,985
jadi : y = 0,0785 + 0,00248 x
Persamaan regresi linear kurva baku kelinci, didapatkan:
A = 0,0775
B = 2,793 x 10-5
r = 0,966
jadi y = 0,0775 + 2,793 . 10-5 x

A. Darah kelinci
Waktu Abs Kel 1 Abs Abs Cp Log Cp Cp’ Log
Kel 2 rata- Cp extrapo Cp’
rata lasi

5 0.162 0.162 3025.42 3.481 - - -


10 0.153 0.153 2703.19 3.432 - - -
15 0.176 0.176 3526.67 3.547 - - -
30 Tidak 0.193 0.193 4135.34 3.616 - - -
45 Keluar 0.180 0.180 3669.89 3.565 - - -
60 Darah 0.193 0.193 4135.34 3.616 - - -
75 0.145 0.145 2416.76 3.383 - - -
90 0.252 0.252 6247.76 3.796 - - -

1. Perhitungan Kadar Sulfametoksazol dalam Darah kelinci (Cp) untuk kelinci 1

Persamaan Kurva Baku  y = 0,0775 + 2,793 . 10-5 x

y-0,0775
x=
0,00002793
y = Absorbansi
x = Cp (g/mL)

Mencari nilai Cp
Untuk kelinci 2

0,162-0,0775
t=5 menit  x= = 3025.42 µg/ml
0,00002793

0,153−0,0775
t=10 menit  x= = 2703,19 µg/ml
0,00002793

11
0,176−0,0775
t=15 menit  x= = 3526,67 µg/ml
0,00002793

0,193−0,0775
t=30 menit  𝑥= = 4135,34 µg/ml
0,00002793

0,180−0,0775
t=45 menit  x= = 3669,89 µg/ml
0,00002793

0,193−0,0775
t=60 menit  x= = 4135,34 µg/ml
0,00002793

0,145−0,0775
t=75 menit  x= = 2416,76 µg/ml
0,00002793

0,252−0,0775
t=90 menit  x= = 6247,76 µg/ml
0,00002793

Menghitung AUC (Area Under Curve) dilakukan untuk semua data menggunakan
metoda trapezoid
(𝒕n − 𝒕n-1)
𝑨𝑼𝑪 = (𝑪n-1 + 𝑪n) ×
𝟐

(5−0)
𝐴𝑈𝐶0-5 = (0 + 3025.42) × 2
= 7563,55 µg. menit/mL
(10−5)
𝐴𝑈𝐶5-10 = (3025.42 + 2703,19) × = 14.321,525 µg. menit/mL
2
(15−10)
𝐴𝑈𝐶10-15 = (2703,19 + 3526,67) × = 15.574,65 µg. menit/mL
2
(30−15)
𝐴𝑈𝐶15-30 = (3526,67 + 4135,34) × = 57.465,075 µg. menit/mL
2
(45−30)
𝐴𝑈𝐶30-45 = (4135,34 + 3669,89) × 2
= 58.539,225 µg. menit/mL
(60−45)
𝐴𝑈𝐶45-60 = (3669,89 + 4135,34) × 2
= 58.539,225 µg. menit/mL
(75−60)
𝐴𝑈𝐶60-75 = (4135,34 + 2416,76) × = 49.140,75 µg. menit/mL
2
(90−75)
𝐴𝑈𝐶75-90 = (2416,76 + 6247,76) × 2
= 64.983,9 µg. menit/mL

Σ AUC = 𝟑𝟐𝟔. 𝟏𝟐𝟕, 𝟗 µ𝐠. 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐭/𝐦𝐋

12
B. Darah Tikus

TIKUS I
Cp Ln Cp
Waktu Abs tikus I
(g/mL) (g/mL)
5 0.131 21,169 3,052
10 0.227 59,879 4,092
15 0.196 47,379 3,858
30 0.189 44,556 3,797
45 0.178 40,121 3,692
60 0.161 33,266 3,504
75 0.157 31,653 3,455
90 0.148 28,024 3,333

Perhitungan Tetapan Eliminasi/Ke

Regresi eliminasi waktu vs ln Cp

A = 4,022
B = –7,767 x 10–3
r = –0,987
berdasarkan persamaan Y = Bx + A atau ln Cp = ln B – kt, maka
jadi : Y = 4,022– 7,767 x 10–3

–ke = –B
–ke = –7,767 x 10–3
ke = 7,767 x 10–3
 Jadi k eliminasi sebesar 7,767 x 10–3/menit

lnβ = A
lnβ = 4,022
β = 55,813 g/mL

Perhitungan Tetapan Absorbsi /Ka

Fase Absorbsi
Fase absorbsi tidak dapat dihiting karena hanya terdapat 2 titik nilai absorbsi,
padahal dibutuhkan minimal 3 nilai untuk menghitung dengan regresi linier.

13
Penentuan Model Kompartemen Tikus Metode Notary
Penentuan model kompartemen dengan metode ini tidak dapat dilakukan karena
tidak diperoleh nilai Ka dan β, sehingga penentuan model kompartemen diloakukan dengan
melihat kurva waktu vs log Cp.

Perhitungan T ½ Eliminasi dan AUC untuk Tikus 1


 Penentuan t ½ eliminasi
0,693
t½=
𝑘𝑒
0,693
=
7,767×10−3

= 89,224 menit

 Menghitung AUC (Area Under Curve) dilakukan untuk semua data menggunakan
metoda trapezoid

(𝒕B − 𝒕A)
𝑨𝑼𝑪 = (𝑪A + 𝑪B) ×
𝟐

(10−5)
AUC5-10 = (21,169 + 59,879) × = 202,62 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿
2

15−10
AUC10-15 = (59,879 + 47,379) × = 178,326 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿
2

30−15
AUC15-30 = (47,379 + 44,556) × = 381,549 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿
2

45−30
AUC30-45 = (44,556 + 40,121) × 2
= 635,077 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

60−45
AUC45-60 = (40,121 + 33,266) × 2
= 550,402 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

75−60
AUC60-75 = (33,266 + 31,653) × 2
= 486,892 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

90−75
AUC75-90 = (31,653 + 28,024) × = 447,577 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿
2

Σ AUC = 2882,443 µg. menit/mL

14
TIKUS II
Cp Ln Cp
Waktu Abs tikus II
(g/mL) (g/mL)
5 0,238 64,314 4,164
10 0,313 94,556 4,549
15 0,358 112,702 4,725
30 0,366 115,927 4,753
45 0,375 119,556 4,784
60 0,325 99,395 4,599
75 0,182 41,734 3,731
90 0,150 28,831 3,361

Perhitungan Tetapan Eliminasi/Ke

Regresi eliminasi waktu vs ln Cp

A = 6,873
B = –0,413
r = –0,870
berdasarkan persamaan Y = Bx + A atau ln Cp = ln B – kt, maka
jadi : Y = 6,873 – 0,413x

–ke = –B
–ke = –0,413
ke = 0,413
 Jadi k eliminasi sebesar 0,413/menit

lnβ = A
lnβ = 6,873
β = 965,842 g/mL

Perhitungan Tetapan Absorbsi /Ka

Fase Absorbsi
Menghitung Cp ekstrapolasi dari 3 kadar pertama menggunakan persamaan fase
eliminasi : Y = 6,873 – 0,413x, serta menghitung Cp residual dengan rumus : Cp – Cp
extrapolasi. Maka diperoleh :

15
Waktu Cp extrapolasi Cp Residual Ln Cp Residual
(menit) (g/mL) (g/mL) (g/mL)
5 4,808 59,506 4,086
10 2,743 91,813 4,520
15 0,678 112,024 4,719

Selanjutnya dilakukan regresi linier dengan t vs ln Cp Residual, diperoleh:


A = 3,809
B = 0,0633
r = 0,978

Nilai tersebut lalu dimasukkan ke persamaan Y = Bx + A, sehingga diperoleh :


Y = 0,0633x + 3,809
ln Cp residual = ka.t + lnα
sehingga :
ka = B
ka = 0,0633/menit
 Tetapan absorbansi sebesar 0,0633/menit
lnα = A
α = e3,809
= 45,105 g/mL

Penentuan Model Kompartemen Tikus Metode Notary


𝛼𝛽(𝑘𝑒−𝑘𝑎)2
K1,2= (𝛼+𝛽)(𝛼𝑘𝑒+𝛽𝑘𝑎)

45,105×965,842(0,413−0,0633)2
= (45,105+965,842){(45,105×0,413)+(965,842×0,0633)}

= 0,066

(𝛼𝑘𝑒+𝛽𝑘𝑎)
K2,1 = (𝛼+𝛽)

(45,105×0,413)+(965,842×0,0633)
= (45,105+965,842)

= 0,079

K = K1,2 + K2,1

= 0,145

20 Ke = 20 x 0,413
= 8,26 0,145 < 8,26

16
Karena K1,2 + K2,1 < 20 K eliminasi, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
percobaan ini dengan metode penghitungan K1,2 dan K2,1 sulfametoksazol pada
tikus uji mengikuti model dua kompartemen terbuka.

Perhitungan T ½ Eliminasi dan AUC untuk Tikus 1


 Penentuan t ½ eliminasi
0,693
t½=
𝐾𝑒

0,693
=
0,413

= 1,678 menit

 Menghitung AUC (Area Under Curve) dilakukan untuk semua data menggunakan
metoda trapezoid

(𝒕B − 𝒕A)
𝑨𝑼𝑪 = (𝑪A + 𝑪B) ×
𝟐

(10−5)
AUC5-10 = (64,314 + 94,556) × = 397,175 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿
2

15−10
AUC10-15 = (94,556 + 112,702) × 2
= 518,145 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

30−15
AUC15-30 = (112,702 + 115,927) × = 1714,717 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿
2

45−30
AUC30-45 = (115,927 + 119,556) × 2
= 1766,122 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

60−45
AUC45-60 = (119,556 + 99,395) × 2
= 1642,132 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

75−60
AUC60-75 = (99,395 + 41,734) × = 1058,467 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿
2

90−75
AUC75-90 = (41,734 + 28,831) × 2
= 529,237 µ𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

Σ AUC = 7625,995 µ𝒈. 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒕/𝒎𝑳

17
V. PEMBAHASAN
A. Pemerian Bahan

1. Sulfametoksazol (Sulfamethoxazolum)

N1-(metil-3-isoksazolil)sulfanilamida

C10H11N3O3S BM 253,28

Sulfametoksazol mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak

lebih dari 101,0% C10H11N3O3S, dihitung terhadap zat yang telah

dikeringkan.

Pemerian: Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; praktis tidak berbau.

Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air, dalam eter, dan dalam kloroform;

mudah larut dalam aseton dan dalam natrium hidroksida encer; agak sukar

larut dalam etanol.

Sulfametoksazol merupakan derivat dari Sulfisoxasol yang

mempunyai absorbsi dan ekskresi yang lebih lambat. Bersifat tidak larut

dalam air, tetapi larut dalam NaOH encer. Dari sifat-sifat itu, larutan obat ini

dibuat dengan melarutkan terlebih dahulu SMZ dalam NaOH kemudian

diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang

dikehendaki. Obat ini biasa digunakan dalam bentuk sediaan tablet, injeksi,

suspensi, tetes mata, dan salep mata.

Waktu paruh plasma Sulfametoksazol ( T 1/2 ) : 11 jam

18
Sulfametoksazol: absorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan ± 20

G terikat oleh protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam

bentuk terasetilasi. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah

pemberian secara oral, dengan waktu paro 10-12 jam. Dosis oral awal 2 g

diikuti lagi 2-3 dd sampai infeksi terjadi.

Fungsi: untuk infeksi sistemik, untuk infeksi saluran seni.

(Farmakope Indonesia Edisi IV, hal 769-770)

2. Heparin

Heparin adalah sediaan steril mengandung polosakarida sulfat

seperti yang terdapat dalam jaringan hewan yang menyusui, mempunyai

sifat khas menghambat pembekuan darah. Potensi tiap mg tidak kurang dari

110 IU dan tidak lebih dari 13 Iu dihitung terhadap zat yang telah

dikeringkan dan tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari

jumlah yang tertera dalam etiket.

Pemerian: Serbuk, putih atau putih daging agak higroskopis

Kelarutan: Larut dalam 2,5 bagian air

Heparin merupakan anti-koagulansia langsung, yang mengandung

gugus karboksil dan sisa sulfat, sehingga heparin merupakan salah satu

asam terkuat dalam tubuh. Heparin bekerja dengan menghambat pembekuan

darah yang kerjanya bergantung adanya Anti-trombin III (suatu 2-globulin

dan kofaktor dari heparin dan memperkuat kerja heparin) sehingga

membentuk kompleks heparin-antitrombin yang ammpu mengaktifkan

faktor-faktor Ixa, Xa, XIa, XIIa sehingga menghambat pembentukan

trombin. Pqdq konsentrasi tinggi, heparin menghambat juga agregasi

trombosit.

19
Heparin juga mempunyai kerja menjernihkan plasma yang berlipid

(membebaskan lipoproteinlipase dari endotelium pembuluh yang mampu

melarutkan khilomikron). Heparin mempercepat penguraian histamin

dengan membebaskan diaminoksidase yang mengoksidasi histamin dan

mereduksi pembentukan aldosteron.

Kerja heparin ditentukan oleh banyaknya muatan negatif dalam

molekul (yang akan meningkat jika sisa asam sulfat tinggi), dan kerja

heparin dapat dihentikan spontan oleh polikation, contih: protamin sulfat

Keuntungan utama heparin adalah karena bekerja langsung setelah

pemakaian.

(Farmakope Indonesia Edisi III, hal 280-281)

3. TCA (Asam Triklora Asetat)

C2HCl3O2 BM 163,39

Asam Trikloro Asetat mangandung tidak kurang dari 98,0% C2HCl3O2.

Pemerian: Hablur atau masssa hablur, sangat rapuh, tidak berwarna, rasa

lemah atau getir dan khas

Kelarutan: Sangat mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan dalam

eter P.

(Farmakope Indonesia Edisi III, hal 59-60)

4. N-(1-Naftil)etilen diamine
Nama lain: N-1-Naphthalenyl-1-2-ethanediamine; 1-amino-2(alpha-

naphtylamino)-ethane

Pemerian: Kekuning-kuningan, cairan kental

20
Kelarutan: Larut dlam air, yaitu 0,2 gram dalam 100 ml pada 250, lebih larut

dalam air panas, pH larutan encer jenuh adalah 10,5 dengan mudah larut

dalam solvent organik umum kecuali petroleum eter.

(Merck Index vol. 14, hal 6404 No. 6409)

5. Ammonium sulfamate

Nama lain: Sulfamic acid monoamonium salt; AMS; Amcide; Ammate

Terbuat dari ammonia dan asam sulfamat

Pemerian: Kristal higroskopis

Kelarutan: luar biasa larut dalam air, cairan ammonia; sedikit larut dalam

ethanol. Cukup larut dalam glycerol, glycol, formamide, pH dari larutan

0,2M dalam air adalah 4,9, larutan encer stabil saat mendidih.

(Merck Index edisi 14, hal 556 No.555)

6. Natrium nitrit
Nama lain: Sodium nitrit, nitrous acid sodium salt, eritnitrit, NaNO2.

Pemerian: Putih atau sedkit kuning, granul higroskopis, batang atau serbuk,

sangat lambat teroksidasi menjadi nitrat di udara.

Kelarutan: Larut dalam 1,5 bagian air dingin, 0,6 bagian air mendidih,

sedikit dalam alkohol. Membusuk oleh asam lemah dengan evolusi dari uap

coklat N2O3, larutan encer adalah alkalin, pH sekitar 9.

(Merck Index Edisi 10)

B. Tikus
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan model
kompartemen dan waktu sampling, guna menetapkan parameter
farmakokinetik dan besaran dosis suatu obat. Sepeti yang diketahui bahwa
hubungan antara model kompartemen dan waktu sampling sangat erat,
dimana kesalahan waktu pengambilan cuplikan akan menyebabkan

21
kesalahan dalam memperkirakan model kompartemen, padahal model
kompartemen sangat berperan dalam menetapkan parameter farmakokinetik
dalam menetapkan besaran dosis suatu obat yang akan ditetapkan pada
hewan uji. Oleh karena itu penetapan waktu pengambilan cuplikan harus
diawasi secara tepat dan dilakukan sedini mungkin.
Selama obat dalam sirkulasi sistemik, obat didistribusikan ke semua
jaringan dalam tubuh dan juga secara serentak dieliminasi . Eliminasi suatu
obat dapat terjadi melalui ekskresi atau biotransformasi atau kombinasi
keduanya . Proses yang terjadi dapat digambarkan melalui kurva kadar
dalam plasma lawan waktu yang dihasilkan dengan mengukur konsentrasi
obat dalam cuplikan plasma yang diambil dari berbagai jarak waktu setelah
pemberian suatu produk obat itu. Pemeriksaan kadar obat dalam plasma
merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan pengobatan ,
mengingat sebagian besar sel-sel jringan diperfusi oleh cairan jaringan atau
plasma.
Secara klinik, perbedaan individual dalam farmakokinetika obat
sering terjadi. Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma
meyakinkan bahwa dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah
melepaskan obat dalam plasma dalam kadar diperlukan untuk efek
teraupetik . Model farmakokinetika dapat memberikan penafsiran yang lebih
teliti tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respon farmakologik.
Tanpa data farmakokinetik, kadar obat dalam plasma hanpir tidak berguna
untuk penyesuaian dosis obat secara individual dan juga untuk untuk
mengoptimasi terapi.
Dari model kompartemen tersebut akan dapat ditentukan parameter-
parameter farmakokinetika untuk obat tersebut. Parameter farmakokinetika
merupakan besaran yang diturunkan secara sistemis dari hasil pengukuran
kadar obat utuh dan atau metabolitnya dalam darah, urin, atau cairan hayati
lainnya. Pada akhirnya parameter farmakokinetika yang didapat akan
digunakan untuk menetapkan dosis obat yang tepat untuk subyek uji.
Pada percobaan kali ini dilakukan penetapan waktu pengambilan
cuplikan dan asumsi model kompartemen untuk sulfametoksasol dengan
hewan uji berupa tikus dan kelinci. Sulfamethoxazole merupakan derifat
sulfisoksazol dengan absorbsi dan ekskresi yang lebih lambat. Obat ini akan
diabsorbsi hampir 100 % oleh tubuh dan konsentrasi puncak dalam plasma
akan dicapai setelah 4 jam pemberian.

22
Sebelum dilakukan pemberian obat terhadap tikus yang diberikan
secara peroral, dilakukan pengambilan darah tikus sebanyak ± 0,5 ml
sebagai blangko, artinya darah yang belum bercampur dengan obat.
Pengambilan darah tikus diambil melalui vena lateralis pada ekor tikus,
pengambilan darah dilakukan setelah tikus dimasukkan ke dalam holder.
Setelah pemberian obat secara peroral, dilakukan pencuplikan darah pada
waktu-waktu tertentu (5’, 10’, 20’, 30’, 45’, 60’, dan 90’) yang telah
dirancang sebagai jadwal pencuplikan darah. Pengambilan darah sebanyak
1-2% dari volume darah total tubuh, hal ini dikarenakan agar tidak
mengganggu homeostasis tubuh. Jika homeostasis terganggu dapat
mempengaruhi profil farmakokinetiknya. Untuk tikus darah diambil
sebanyak 0,2 mL dan untuk kelinci sebanyak 0,5 mL. Pengambilan darah
juga tidak melalui vena orpitalis karena percobaan kali ini mengharuskan
pencuplikan darah berulang-ulang, sedangkan melalui vena orpitalis hanya
dapat dilakukan sekali pencuplikan dan untuk pencuplikan selanjtunya
dilakukan seminggu setelahnya, hal tersebut tidak memungkinkan untuk
dilakukan pada percobaan kali ini.
Metode yang digunakan dalam percobaan adalah metode Bratton-
Marshal dimodifikasi. Metode ini didasarkan pada prinsip kolorimetri yaitu
dengan terbentuknya senyawa berwarna yang kemudian ditetapkan secara
spektrofotometri. Reaksi yang terjadi adalah :
cepat

HNO2 + H H2O + NO2


lambat
H2N + NO2 NO N SO2NH
SO2NH
N N
O CH2 H O C

NO N cepat OH N N SO2NH
SO2NH
N
N O C
H O CH2

cepat
H C N N SO2NH N N SO2NH
N N
H O CH2 O C

23
+
N N SO2NH H2N ( CH2)2 NH
N
O CH2

H2N ( CH2)2 NH N N SO2NH


N
O CH2

kopling sulfametoxazol berwarna ungu

Sulfametoksazol yang digunakan dosis 75 mg/kg BB dan 150 mg/kg


BB, hewan uji yang digunakan ditimbang terlebih dahulu sehingga dapat
ditentukan dosis pemejanannya. Untuk tikus I dengan berat 15,9 gram
dengan dosis obat 75 mg/kg BB dosis pemejanannya sebanyak 1,192 mg.
Untuk tikus II dengan berat 14,8 gram dengan dosis 150 mg/kgBB dosis
pemejanannya sebanyak 2,22 mg. Darah yang diambil sebanyak 250 µL
diberi heparin sebagai antikoagulan sebanyak 10 tetes untuk mencegah
terjadinya penjendalan pada darah yang diambil. Setelah itu diencerkan
dengan aquadest sebanyak 250 µL. Kemudian ditambah TCA 5% untuk
mengendapkan makromolekul padat dan protein yang dapat mengganggu
pengukuran kadar obat sebanyak 2 mL dan dicampor homogen dengan
vortexing selama ± 30 detik. Kemudian disentrifuge selama 10 menit
dengan kecepatan 2500 rpm sampai diperoleh pemisahan yang sempurna
antara supernatan dan endapan. Supernatannya diambil sebanyak 1,5 ml dan
diencerkan kembali dengan aquadest sebanyak 2,0 mL. Ditambah NaNO2
0,1% sebanyak 0,1 mL sehingga terjadi reaksi diazotasi. Penambahan
NaNO2, pipet volume harus masuk ke dalam supernatan agar reaksi
diazotasi berjalan sempurna. Campuran kemudian didiamkan selama 2
menit karena reaksi berjalan lambat sehingga perlu didiamkan agar dapat
bereaksi seluruhnya. Selanjutnya pemberian asam sulfamat 0,5% sebanyak
0,2 mL dilakukan sebagai penetralan untuk menghilangkan sisa-sisa gas
NO2 yang mungkin akan mengganggu “coupling” yang telah terbentuk.
kemudian cairan itu didiamkan selama 2 menit untuk menyempurnakan
reaksi. Langkah terakhir adalah penambahan N-Naftil etilendiamin 5 menit
sebelum pembacaan absorbansi sebanyak 0,2 mL dan didiamkan ditempat
gelap. Pemberian NED bertujuan untuk membentuk kompleks berwarna

24
yang akan diukur absorbansinya pada panjang gelombang visible, yaitu 545
nm.
Dari absorbansi yang didapatkan, dapat ditetapkan kadarnya dengan
menggunakan persamaan kurva baku yang telah dibuat. Dari kadar yang
diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk membuat grafik antar kadar vs
waktu pada kertas semilog. Grafik yang diperoleh ini dapat digunakan untuk
menentukan model kompartemen yang dianut sulfametoksazol apakah
model satu kompartemen ataukah model dua kompartemen terbuka. Model
satu kompartemen terbuka dutunjukkan dengan grafik monofasik yaitu
berupa garis lurus sedangkan model dua kompartemen terbuka ditunjukkan
dengan grafik bifasik.
Berdasarkan data kelompok tikus I dibuat kurva pada kertas semilog
Kadar (Cp) vs waktu (t dalam menit) sehingga terlihat farmakokinetika pada
tikus I termasuk model 1 kompartemen karena memiliki fase distribusi yang
sangat cepat dibanding dengan waktu absorbsi dan juga eliminasi sehingga
dianggap tidak memiliki fase distribusi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
sulfametoksazol mengikuti model satu kompartemen terbuka.
Selanjutnya dilakukan penetapan dosis yang tepat untuk subyek uji.
Namun terlebih dahulu harus dihitung parameter farmakokinetikanya.
Untuk data tikus I diperoleh Ke = 7,767 x 10–3 ; β = 55,813 g/mL ; t ½ =
89,224 menit ; AUC = 2882,443 µg. menit/mL. Untuk Ka dan T½ absorbsi
tidak dapat dihitung karena dibutuhkan minimal 3 titik untuk melakukan
perhitungan dan dari data yang didapat hanya ada 2 titik.
Berdasar data kelompok tikus II dibuat kurva pada kertas semilog
kadar vs waktu, sulfametoksazol mengikuti model satu kompartemen
terbuka juga seperti halnya dengan tikus I. Terdiri dari fase absorbsi, fase
absorbsi dan eliminasi, serta fase eliminasi. Namun berdasarkan penetapan
model kompartemen metode Notary, sulfametoksazol mengikuti model dua
kompartemen terbuka. Hal ini karena K1,2 + K2,1 < 20 K eliminasi, maka
dapat disimpulkan bahwa dalam percobaan ini dengan metode penghitungan
K1,2 dan K2,1 sulfametoksazol pada tikus uji II mengikuti model dua
kompartemen terbuka.
Selanjutnya dilakukan penetapan dosis yang tepat untuk subyek uji
seperti yang dilakukan pada tikus I. Namun terlebih dahulu harus dihitung
parameter farmakokinetikanya. Untuk data tikus I diperoleh Ke =
0,413/menit ; β = 965,842 g/mL ; t ½ = 1,678 menit; AUC = 7625,995
µg. menit/mL. Untuk Ka = 0,0633/menit ; α = 45,105 g/mL.

25
Dari harga parameter farmakokinetik yang diperoleh maka untuk
waktu sampling yang digunakan sudah tepat karena sudah dapat
menggambarkan sulfametoksazol termasuk model satu kompartemen atau
dua kompartemen.

C. Kelinci
Langkah percobaan yang sama dilakukan pada hewan uji kelinci.
Pada kelinci, darah diambil lewat vena marginalis, yaitu pembuluh darah
yang terdapat pada telinga dengan cara menyayatnya. Telinga yang
digunakan adalah telinga kiri. Pengambilan darah sebaiknya berada di satu
tempat saja. Jika yang digunakan adalah telinga kiri, maka untuk
pengambilan seterusnya juga digunakan telinga kiri. Hal ini bertujuan agar
tidak menyiksa hewan uji. Pengambilan darah adalah sebanyak 1-2% dari
total darah. Hal ini dimaksudkan agar keseimbangan homeostatis hewan uji
menjadi tidak terganggu karena kekacauan pada sistem homeostatis akan
mempengaruhi kerja enzim, kerja organ-organ yang menjadi terganggu,
sehingga apabila hal ini terjadi akan mempengaruhi profil kinetika obat
yang diberikan. Ketentuan ini diberikan dengan asumsi darah tidak diambil
lewat vena orbitalis (pengambilan darah lewat vena orbitalis hanya
diizinkan sekali dalam jangka waktu satu minggu). Oleh karena itu, darah
yang diambil cukup 250 µL saja untuk setiap titik. Obat yang diberikan
adalah Sulfametoksazol. Pemberian obat dilakukan secara per oral. Dosis
obat yang diberikan adalah 100 mg/ kg BB. Kadar stok obat 25 mg/ mL,
sedangkan bobot kelinci kelompok kami adalah 3, 24 kg. Sehingga volume
obat yang diberikan adalah 12,96 mL.
Langkah awal yang dilakukan adalah mengambil cuplikan darah
sebanyak 250 µL untuk blangko. Darah yang sudah diambil kemudian
ditetesi dengan heparin sebanyak 10 tetes. Pemberian heparin ini bertujuan
agar tidak terjadi penjendalan darah. Pembuatan blangko dilakukan dengan
cara menambahkan sulfametoksazol dengan kadar 5, 10, 25, 50, 100, dan
200 µg/ mL yang diperoleh dari larutan stok sulfametoksazol 250 µL yang
diencerkan dengan akuades. Setelah itu ditambahkan pereaksi TCA 5%
sebanyak 2,0 mL. Namun dalam percobaan yang kami lakukan, kami tidak
membuat kurva baku karena pembuatan kurva baku sudah dilakukan
kelompok lain. Hasil kurva baku yang diperoleh adalah 𝑌 = 0,0775 +
2,793. 10−5 𝑥. Setelah itu dilakukan sampling, yaitu pencuplikan darah yang
dilakukan pada waktu-waktu tertentu (5, 10, 15, 30, 45, 60, 75, dan 90

26
menit) yang telah dirancang sebagai jadwal pengambilan cuplikan darah.
1
Pengambilan cuplikan darah dilakukan pada 3-5x T2 eliminasi obat karena

diasumsikan pada waktu tersebut sebagian besar obat sudah dieliminasi.


Langkah selanjutnya adalah menetapkan kadar sulfametoksazol
dalam darah dengan metode Bratton-Marshall. Prinsip dari metode ini
adalah berdasarkan prinsip kalorimetri yaitu terbentuknya suatu senyawa
berwarna hasil coupling yang intensitasnya dapat ditentukan secara
spektrofotometri visibel yang hasil analisisnya harus bening , larut dan
bebas partikel agar serapan yang dihasilkan benar-benar serapan sampel.
Langkah berikutnya yang dilakukan adalah menambahkan 250 µL akuades
ke dalam darah yang sudah diberi antikoagulan (heparin), kemudian campur
homogen. Setelah itu ditambahkan TCA 5% sebanyak 2,0 mL ke dalam
masing-masing tabung reaksi yang telah berisi darah. TCA ini berfungsi
untuk memberikan suasana asam, karena reaksi diazotasi dapat berlangsung
jika dilakukan dalam suasana asam. Pada percobaan ini, yang digunakan
adalah TCA dan buka HCl karena sulfametoksazol tidak stabil dalam asam
kuat, sehingga digunakan pelarut organik yaitu TCA. TCA ini juga
berfungsi untuk mendenaturasi protein. Jika protein tidak didenaturasi,
dikhawatirkan obat akan berikatan dengan protein sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi efek farmakologis dari obat, selain itu,
adanya protein yang berikatan dengan obat juga akan mengganggu
pembacaan analisis karena pada percobaan ini yang akan dianalisis adalah
kadar obat dalam bentuk bebas. Setelah itu dilakukan vortexing untuk tiap-
tiap tabung reaksi, yang kemudian diperoleh filtrate darah bening yang
bebas dari protein. Darah yang telah divortexing kemudian disentrifuge
selama 10 menit pada kecepatan 2500 rpm. Proses sentrifuge ini bertujuan
untuk mendapatkan plasma darah karena pada percobaan ini yang akan
dianalisis adalah kadar obat di dalam plasma. Kemudian ambil beningan
sebanyak 1,5 mL lalu diencerkan dengan 2,0 mL akuades. Setelah itu
ditambahkan larutan 0,1 mL NaNO2 0,1% dan ditunggu selama 2 menit,
penambahan ini berfungsi untuk membentuk HNO2 yang akan berperan
dalam reaksi diazotasi. Setelah ditunggu 2 menit, kemudian ditambahkan
ammonium sulfamat 0,5% sebanyak 2 mL selama 2 menit. Penambahan ini
bertujuan untuk menghilangkan kelebihan asam.
Langkah berikutnya adalah pembacaan absorbansi. Namun sebelum
dilakukan pembacaan, ke dalam tabung reaksi berisi darah yang akan
dianalisis, ditambahkan 0,2 mL larutan NED 0,1%. Penambahan dilakukan

27
5 menit sebelum pembacaan, karena jika penambahan NED dilakukan sesaat
setelah penambahan ammonium sulfamat selesai dilakukan dikhawatirkan
garam diazonium yang terbentuk akan terurai lagi karena reaksi diazonium
berlangsung dengan sangat cepat. NED berfungsi sebagai pengkopling dari
coupling tersebut akan dihasilkan senyawa yang berwarna merah yang
intensitasnya bertambah dengan bertambahnya kadar obat dalam darah dan
dapat ditentukan absorbansinya dengan spektrofotometer visibel., fungsi
yang lain adalah untuk memperpanjang rantai konjugasi garam diazonium.
Adapun reaksi diazotasi yang terjadi adalah sebagai berikut:
cepat

HNO2 + H H2O + NO2


lambat
H2N + NO2 NO N SO2NH
SO2NH
N N
O CH2 H O CH2

NO N cepat OH N N SO2NH
SO2NH
N
N O CH2
H O CH2

cepat
H C N N SO2NH N N SO2NH
N N
H O CH2 O CH2

cepat
HNO2 + H2N-SO2-OH H2SO4 + H2O + N2

+
N N SO2NH H2N ( CH2)2 NH
N
O CH2

H2N ( CH2)2 NH N N SO2NH


N
O CH2

kopling sulfametoxazol berwarna ungu


Setelah penambahan NED, larutan kemudian didiamkan selama 5 menit di
tempat gelap. Namun dalam praktek yang kami lakukan, setelah
ditambahkan NED tidak didiamkan selama 5 menit untuk efisiensi waktu.

28
Kemudian pindahkan larutan ke dalam kuvet, lalu dibaca absorbansinya
pada λ 545 nm.
Dari data analisis dan perhitungan obat dengan dosis 100 mg/ kgBB,
diperoleh data sebagai berikut:
Kadar obat dalam darah (kelinci II):
T Cp (µg/ mL)
(menit)
5 3025, 42
10 2703, 19
15 3526, 67
30 4135, 34
45 3669, 89
60 4135, 34
75 2416, 76
90 6247, 76

AUC (kelinci II):


AUC ini menggambarkan banyaknya efek atau respon yang terjadi.
T AUC (µg menit/
(menit) mL)
0-5 7563, 55
5-10 14321, 525
10-15 15574, 65
15-30 57465, 075
30-45 58539, 225
45-60 58539, 225
60-75 49140, 75
75-90 64983, 9

*untuk data kelinci I tidak dapat dianalisis karena pada waktu percobaan
tidak diperoleh darah.
Dari data diatas, tidak dapat ditentukan model kompartemen dari
sulfametoksazol karena hasil yang diperoleh tidak bagus karena kurva yang
diperoleh naik turun (tidak stabil). Walaupun kurva yang diperoleh bagus,
hasilnya juga tidak dapat ditentukan karena dibutuhkan 3 titik untuk setiap
fase. Sedangkan titik yang didapat dari percobaan kami hanya 2. Dari data

29
tersebut juga tidak dapat ditentukan parameter farmakokinetiknya.
Kesalahan ini dapat disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu:
i. Jumlah pengambilan sampel yang tidak tepat.
ii. Alat spektroskopi uv yang tidak dikalibrasi terlebih dahulu sehingga
kurang sensitif.
iii. Waktu pengambilan sampel yang tidak dilakukan sesuai jadwal.
iv. Kesalahan praktikan.
v. Faktor fisiologis hewan uji yang kemungkinan mengalami stress.

VI. KESIMPULAN
1. Berdasar data percobaan sulfametoksazol menganut model satu
kompartemen terbuka sesuai dengan teori.
2. Parameter farmakokinetik pada hewan uji tikus I yaitu Ke = 7,767 x 10–3 ; β =
55,813 g/mL ; t ½ = 89,224 menit ; AUC = 2882,443 µg. menit/mL.
3. Untuk tikus I Ka dan T½ absorbsi tidak dapat dihitung karena dibutuhkan
minimal 3 titik untuk melakukan perhitungan dan dari data yang didapat
hanya ada 2 titik.
4. Parameter farmakokinetik pada hewan uji tikus II yaitu Ke = 0,413/menit ; β
= 965,842 g/mL ; t ½ = 1,678 menit; AUC = 7625,995 µg. menit/mL.
Untuk Ka = 0,0633/menit ; α = 45,105 g/mL.
5. Pada kelinci, diperoleh persamaan kurva baku 𝑌 = 0,0775 + 2,793. 10−5 𝑥
yang diperoleh dari data kelompok kelinci I
6. Dari data kelinci yang diperoleh, model kompartemen sulfametoksazol tidak
dapat ditentukan, begitu juga dengan parameter farmakokinetiknya karena
data yang diperoleh tidak bagus.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III,Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1996, The Merck Index, Vol. X,Division of Merck & Co, INC, Merck
Research Laboratories
Anonim, 2006, The Merck Index, 14th Edition, Division of Merck & Co, INC,
Merck Research Laboratories

30
Hakim , Lukman , 2000, Mediagama majalah Farmasi Indonesia, Fakultas
Farmasi Indonesia, Yogyakarta
Hakim, L., 2011 , Farmasetika, Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Kaplan, S.A., 1973, Biopharmaceutical in the performulation stages of drug
development. Dalam Swarbrick, J. (ed): Current in the pharmaceutical
sciences : Dosge form design and bioavailability, Lea & Febiger, Phil.
Mutschler, Ernest, 1991, Dinamika Obat, ITB Bandung, Bandung.
Shargel, Leon, Andrew B. C. Yu, 1988, Biofarmasetika Dan Farmakokinetika
Terapan,Airlangga University Press, Surabaya.
Ritschel, W.A, 1980, Handbook of basic pharmacokinetics, Ed II, Publ . Inc,
Hamilton

31

Anda mungkin juga menyukai