Anda di halaman 1dari 5

Oh, Susahnya Menyerang!

December 30, 2015

Gelaran penyisihan dan babak 8 besar Piala Jendral Sudirman telah usai. Empat tim
yakni Arema, Pusamania Borneo FC, Semen Padang dan Mitra Kukar berhasil melaju
ke babak semifinal. Lolosnya empat tim ini plus kiprah 11 tim lainnya di penyisihan dan
8 besar menyisakan catatan fakta unik. Fakta itu adalah tim yang mendominasi
penguasaan bola justru SULIT mendominasi permainan.

Statistik Labbola menunjukkan seringnya tim yang kalah dalam penguasaan bola, justru
unggul dalam penciptaan peluang tendangan ke gawang. Kebanyakan juga akhirnya
mampu memenangkan pertandingan. Semen Padang merupakan contoh terbaik. Pada
game vs PS TNI, mereka hanya menguasai bola 46% saja. Menariknya dengan
penguasaan bola minim tersebut, Kabau Sirah membukukkan 12 shots on goal
berbanding dengan 6 milik PS TNI. Di penyisihan kontra Bali United, tim besutan
Nilmaizar ini juga miliki 6 peluang tendangan ke gawang berbanding 4 peluang lawan.
Padahal mereka hanya menguasai bola 41%.

Rapor Labbola juga mencatat bahwa tim yang bertengger pada rangking tertinggi untuk
urusan possession adalah Bali United. Tim Pulau Dewata ini mencatat rata-rata 61%
penguasaan bola. Sayangnya, Bayu Gatra dkk tak mampu memaksimalkan penguasaan
bola tersebut menjadi peluang gol. Sepanjang 4 game penyisihan, mereka hanya
mampu mencetak gol semata wayang. Akibatnya, Bali United harus gugur duluan.

Proaktif vs Reaktif
Ya, possession itu penting, mengingat tak ada gol tanpa penguasaan bola. Meski
demikian, mengkonversi possession menjadi gol jauh lebih penting. Dalam sepakbola
dikenal dua kutub permainan. Yaitu sepakbola proaktif dan reaktif. Sepakbola proaktif
dimainkan dengan menjadikan possession sebagai titik awal. Tim berusaha terus
menguasai bola sambil mencari ruang-ruang kosong yang dapat dieksploitasi.
Eksploitasi ini berupa progresi ke depan dan penetrasi ke kotak penalti untuk melakukan
finishing ke gawang lawan.

Kutub lain adalah sepakbola reaktif. Yakni menjadikan pertahanan sebagai titik awal.
Tim berusaha mengkontrol ruang, sambil mencari kemungkinan untuk merebut bola.
Pasca rebut bola, reaksi mereka adalah bermain cepat ke depan untuk memanfaatkan
ruang-ruang besar yang tercipta saat lawan menguasai bola.

Menariknya, kecuali Arema, semua Semifinalis PJS menganut sepakbola reaktif. PBFC,
Semen Padang dan Mitra Kukar gemar menggalang pertahanan rapat dan menghukum
lawan via serangan balik kilat. Di 8 besar, praktis hanya Persipura dan Arema yang
terus berusaha mainkan sepakbola proaktif. Anehnya, Persipura sendiri justru tampil
trengginas saat mainkan sepakbola reaktif vs Bali United. Finishing buruk lah yang buat
mereka hanya raih seri. Arema sendiri juga sukses bermain reaktif untuk kalahkan
Persipura.

Memang perlu dilakukan riset dan penelaahan lebih mendalam lagi terhadap fakta di
atas. Hanya saja, fakta ringan ini sebenarnya telah memberi suatu sinyal ringan tentang
bagaimana buruknya pemain-pemain Indonesia saat momen menyerang. Tim yang
berusaha proaktif seringkali justru terjebak menjadikan penguasaan bola sebagai tujuan,
bukannya alat untuk mencetak gol. Kalau boleh sedikit kasar, tak salah kalau penulis
mengatakan KITA MASIH BODOH saat MENGUASAI BOLA!!

3P
Sebenarnya apa penyebab mendasar tim yang menguasai bola tidak mampu
mengkonversinya menjadi peluang cetak gol? Lalu, apa sih yang dibuat tim-tim
Indonesia saat menguasai bola, sehingga mereka gagal lakukan progresi bola ke depan
dan ciptakan peluang gol? Mari kita kupas!

Saat tim menguasai bola (menyerang), ada beberapa fase yang harus dilalui sebelum
sampai terjadinya gol. Pelatih top dunia membaginya menjadi 3 bahkan hingga 5 fase.
Untuk kita pemula, ada baiknya kita sederhanakan menjadi 2 fase saja. Yaitu
membangun serangan dari bawah (build up from the back) dan goalscoring (mencetak
gol). Tujuan build up adalah melakukan progresi bola dari belakang, hingga ke tengah
dan depan. Sedangkan goalscoring bertujuan untuk melakukan inisiasi ke kotak penalti
untuk kemudian diselesaikan ke gawang.

Keduanya saling berhubungan. Lemahnya kemampuan tim dalam mem-build up


serangan dipastikan akan berujung pada buruknya goalscoring. Ya, tidak mungkin
inisiasi peluang gol bisa tercipta, bila build up-nya sudah gagal. Sebaliknya, kehebatan
dalam build up juga belum cukup untuk bisa menciptakan peluang gol. Diperlukan
berbagai usaha penetratif ke kotak penalti untuk bisa mengkonversi penguasaan bola
tersebut menjadi peluang.

Pada Video DesportivoUFC di atas, Thierry Henry menceritakan filosofi 3P ala Pep
Guardiola. Yaitu POSITION, PLAY dan POSSESSION. Posisi merujuk pada
penempatan berdiri pemain yang tanpa bola membantu pemain dengan bola. Berbekal
posisi tersebut, Pep kemudian meminta pemain untuk terus mainkan bola (PLAY).
Tujuannya sebenarnya bukan untuk gerakkan bola, tapi untuk gerakkan lawan. Dengan
posisi dan sirkulasi bola, tim dapat nyaman dominasi POSSESSION untuk cari peluang
progresi dan gol.

Dari ketiga P tadi, Henry bercerita bahwa Pep selalu mendoktrin bahwa POSISI adalah
yang paling penting dan dasar dari semuanya. Nah, inilah salah kaprah terbesar pada
tim Indonesia yang “keblinger” ingin kuasai possession. Untuk mewujudkannya tidak
cukup dengan permainan satu-dua sentuhan. Atau kemampuan pemain dalam passing
atau turning. Semuanya bermodal posisi. Lalu dengan posisi akurat, pemain jadi lebih
mudah melakukan permainan passing, turning, dst.

Posisi
Dalam membangun serangan, tim-tim Indonesia amat boros dalam hal jumlah pemain
yang terlibat. Gambar di atas adalah situasi penyerangan yang dilakukan oleh Bali
United kontra Persipura. Bayu Gatra main formasi 1-4-3-3. Sedang, Persipura galang
formasi 1-4-4-2 dengan menurunkan blok pertahanan rendah hingga ke area ½
lapangan sendiri.

Pada gambar terlihat Bali United gunakan 8 pemain (termasuk kiper) untuk build up.
Tentu jumlah ini mubazir. 8 pemain ini memang dapat dengan mudah melakukan
passing diantara mereka (menguasai possession). Mengingat mereka semua beroperasi
di luar blok pertahanan Persipura. Pertanyaanya, adakah peluang untuk lakukan
passing progresi ke depan? Jelas Tidak! Ketiadaan pemain yang berada di kerumunan
blok pertahanan Persipura membuat siapapun di belakang tak bisa lakukan progresi ke
depan.

Konsekuensi lain yang terjadi adalah mubazirnya peran beberapa pemain, karena
mereka mengokupansi ruang yang sama. Pada gambar jelas terlihat, bahwa gelandang
sendiri yang mengambil bola dari stoper, lalu berusaha lakukan progresi dari belakang
ke tengah. Praktis kedua stoper sudah tidak terlibat lagi pada serangan ini. Belum lagi
pengambilan posisi Fadil dan Sandi justru mempersulit Paulo. Ketiganya berada pada
jalur passing yang sama. Sandi tak bisa di passing karena tertutup Fadil. Sedang Fadil
hanya tiga meter di depan Paulo. Ketiganya pun masih di luar blok pertahanan
Persipura. Alamaak!

Bandingkan dengan gambar di atas, saat Timnas Thailand kontra Indonesia di SEAG
2015. Situasinya begitu mirip, dimana Thailand gunakan 1-4-3-3 kontra Indonesia yang
seperti Persipura juga bangun blok pertahanan rendah. Jelas tampak bedanya bahwa
inisiatif progresi dari belakang ke depan dilakukan sendiri oleh stoper. Situasi ini
membuat Thailand tak perlu melibatkan banyak orang dalam menyusun build up dari
kedalaman.

Konsekuensi positifnya, pemain lain dapat fokus mengambil posisi di kerumunan (ruang
antar lini). Dengan banyaknya pemain di ruang antar lini, progresi dari belakang, tengah
ke depan jadi lebih mudah. Ini berujung positif lagi pada fase berikutnya, yaitu
goalscoring. Jumlah pemain banyak di depan pasti lebih mudah untuk ciptakan peluang
gol. Bandingkan dengan gambar Bali United, dimana praktis di ruang antar lini hanya
tersisa 3 orang. Logikanya, jangankan peluang gol, progresi dari belakang ke tengah
saja sulit!

Ruang Antar Lini


Ide melakukan build up dengan banyak pemain di sepakbola ditopang oleh kebiasaan
gelandang kita yang hobi turun jemput bola ke bawah. Konsep support selalu diartikan
dengan mendatangi kawan dengan bola. Bahkan sering gelandang turun merapat ke
stoper dan ambil bola dengan teknik take over, WOW! Jelas, gelandang Indonesia
memang tidak memahami konsep Ruang Antar Lini. Thiery Henry bercerita di Barcelona
pengambilan posisi di ruang antar lini wajib hukumnya. “Don’t come to your teammates,
stay in your position, trust your teammates,” ujarnya.

Definisi ruang antar lini adalah adalah ruangan yang tersedia diantara lini belakang,
tengah dan depan saat lawan sudah mengorganisir pertahanan. Pada gambar di atas,
tim putih mengorganisir blok pertahanan rendah dengan formasi 1-4-2-3-1. Tersedialah
4 ruang antar lini yang perlu diisi secara merata sesuai kebutuhan oleh pemain tim yang
menguasai bola.
Pada gambar di atas tergambar tim Orange tidak memposisikan pemainnya secara
merata di ruang antar lini. Seperti biasa gelandang datang ke stoper untuk jemput bola.
Harapannya, ia bisa membantu stoper punya pilihan passing. Gelandang tersebut tak
sadar bahwa meski dapat menerima bola dengan bebas, di depannya masih ada 11
pemain lawan. Memang ia punya banyak pilihan passing, tapi tak satupun passing
progresi ke depan dapat dilakukan. Ia hanya dapat lakukan passing di area pertahanan
sendiri.

Pada gambar di atas pengambilan posisi pemain jauh lebih ideal. Semua pemain
menyebar merata di ruang antar lini. Progresi serangan dari belakang ke tengah
dilakukan sendiri oleh stoper dengan mendatangi blok pertahanan lawan. Mengingat
lawan gunakan 1-4-2-3-1, maka tercipta 2v1. Ketika Orange No.3 lakukan drive dribble
ke no 9, otomatis ia membebaskan pemain Orange No.4. Saat passing dilakukan,
pemain Orange No.4 berada dalam situasi free. Nikmatnya, ia kemudian memiliki
banyak sekali opsi passing ke depan.

Belah Ketupat
Pengambilan posisi secara merata di ruang antar lini ternyata tidak cukup untuk sebuah
tim yang sedang menguasai bola untuk bisa ciptakan progresi dan peluang gol.
Kebiasaan lain tim-tim Indonesia pada saat menyerang adalah struktur posisional yang
buruk. Pada foto percobaan build up Sriwijaya FC vs Persija di atas, sebenarnya
pemosisian gelandang lumayan baik. Dimana gelandang berada di ruang antar lini, tidak
turun untuk jemput bola ke stoper.

Sayangnya posisi dua stoper dan dua gelandang bertahan yang membentuk posisi
kotak bukanlah posisi ideal untuk Sriwijaya FC bisa lakukan progresi ke depan. Ini
merupakan penyakit tim yang memainkan 1-4-2-3-1. Hampir semua tim-tim PJS
memainkan formasi ini. Tak heran masalah ini terjadi pada banyak tim kontestan PJS .
Dimana saat menyerang, kedua gelandang bertahan statis, sehingga justru malah
menutup jalur passing ke depan tim mereka sendiri.

Untuk mempermudah, foto Sriwijaya FC dituangkan pada ilustrasi di atas. Terlihat jelas
bahwa dengan tidak datangnya gelandang membuat Stoper No.3 dan 4 leluasa
memainkan bola di area belakang 2v1 kontra striker Persija. Meski demikian, pilihan
passing ke depan stoper terbatas pada dua gelandang bertahan (No.6 dan 8) serta bek
kiri dan kanan (No 2 dan 5). Persoalannya tidak satupun gelandang maupun fullback
Sriwijaya yang kemudian bebas dan dapat memprogresi bola ke depan.

Satu-satunya cara untuk bisa lakukan progresi ke depan adalah melakukan sedikit
perpindahan posisi menyesuaikan ruang yang tersedia. Ada banyak cara yang bisa
dilakukan, tetapi yang paling penting adalah membentuk belah ketupat. Hanya dengan
bentuk belah ketupat, pemain selalu punya opsi passing ke depan lewat umpan vertikal
ataupun diagonal. Opsi yang tidak akan terjadi bila posisi pemain membentuk kotak.

Cara yang paling populer digunakan pada formasi 1-4-2-3-1 adalah mendorong salah
satu gelandang bertahan ke depan seperti pada gambar di atas. Lalu pemain gelandang
bertahan memposisikan dirinya di tengah, ciptakan belah ketupat dengan pemain yang
menguasai bola. Transposisi semacam ini yang menciptakan belah ketupat membuat
Sriwijaya FC tentunya lebih mudah untuk progresi ke depan.

Dimana seperti gambar di atas, pemain No. 3 dapat leluasa melakukan dribble ke depan
tanpa terhalang oleh gelandang bertahan yang tadinya di depannya. Tujuan dribblenya
adalah untuk menarik striker Persija bergeser mempress. Segera setelah Striker Persija
bergeser, pemain No.3 passing ke No.4. Pada situasi ini, striker Persija sudah “mati”
alias tidak terlibat dalam permainan. Sehingga pemain No.4 Sriwijaya dapat menikmati
situasi 4v2. Bolapun akan mudah diprogresi ke depan untuk ciptakan gol.

Dosa siapa ini? Dosa kita semua (termasuk penulis tentunya). Gagapnya tim-tim
Indonesia saat menguasai bola menjadi tamparan bagi seluruh pelaku sepakbola.
Utamanya di pembinaan usia muda sebagai fondasi. Fakta di level profesional memecut
kita bahwa pemain jebolan pembinaan usia muda ternyata tak pandai menyerang. Mari
kita introspeksi diri untuk lebih baik ke depannya. Jelas, apa yang kita lakukan sekarang
tidak cukup untuk mencetak pesepakbola modern yang jago bertahan, menyerang dan
transisi. Ayo berbenah, Cetak Pemain Komplit! <>

@ganeshaputera
ganesha@kickoffindonesia.com

Anda mungkin juga menyukai