Anda di halaman 1dari 5

Menjaga Kepedulian Perlindungan Anak

Kemarin, 19 Oktober 2015, Polda Metro Jaya baru saja menjadi tuan rumah bagi deklarasi ‘Stop
Kekerasan Terhadap Anak’ yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dan negara. Dihadiri oleh
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asosiasi Manajer Artis Indonesia (AMARI), dan Himpunan Advokat
Indonesia (HAMI) serta beberapa selebritis, deklarasi tersebut dibacakan dan ditandangani oleh Kapolda
Metro Jaya dan para perwakilan unsur yang hadir.

Penandatanganan deklarasi oleh Kapolda

Deklarasi ini merupakan bentuk konkret Polda Metro Jaya yang baru saja melalui pengungkapan kasus
kekerasan terhadap anak yang menyita perhatian publik, yaitu kasus pembunuhan dan kekerasan seksual
terhadap Putri Nur Fauzia. Pada tulisan kali ini, saya ingin mengangkat pengungkapan kasus yang
menimpa Putri Nur Fauzia sebagai pengingat bagi kita dan apresiasi saya terhadap satgas yang
mengungkapkan kasus ini.

Sudah sepekan lebih sejak kami mengumumkan penetapan tersangka atas pembunuhan dan kekerasan
seksual terhadap adik kita Putri Nur Fauzia (PNF), tapi isu ini tetap relevan. Pembelajaran yang dapat di
ambil dari kasus ini pun tetap relevan.

Kasus ini berawal dari ditemukannya mayat PNF di dalam sebuah kardus pada tanggal 2 Oktober 2015,
pukul 22.00. Keesokan harinya identitas PNF baru diketahui setelah orang tuanya melapor ke Polsek
Kalideres bahwa PNF menghilang sejak pulang sekolah. Kasus ini kemudian disimpulkan sebagai kasus
pembunuhan.

Penemuan Mayat Korban di TKP

Perlu pembaca ketahui bahwa kasus ini memiliki beberapa faktor yang menyulitkan pengungkapannya.
Faktor pertama yang menunjukkan kesulitan kasus ini adalah fakta bahwa jarak antara kediaman PNF
dan TKP dimana tubuhnya dibuang cukup jauh, sekitar 7 km. Faktor lainnya adalah, keterangan saksi
umumnya berasal dari anak-anak, yang terkadang akurasi keterangan yang disampaikan perlu
pendalaman ekstra. Selain itu faktor keluarga yang masih terguncang menjadi faktor yang
memperlambat didapatkannya keterangan.

Untuk mengungkap kasus ini, Kapolda Metro Jaya membentuk satgas khusus. Satgas ini terdiri dari saya
dan Komisaris Besar Polisi Rudi Heriyanto (Kapolrestro Jakarta Barat) selaku koordinator, Ajun Komisaris
Besar Polisi Ferdy Sambo yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda
Metro Jaya sebagai wakil koordinator, dan Kasatgas Ajun Komisaris Besar Polisi Herry Heryawan yang
juga menjabat sebagai Kepala Sub-Direktorat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Ditreskrimum Polda
Metro Jaya. Secara keseluruhan, Satgas kasus ini beranggotakan 135 orang Polwan dan Polki.

Didukung juga oleh tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri, Kedokteran Forensik (Dokfor), dan
Laboratorium Forensik (Labfor) Polri, satgas penanganan kasus ini bergerak cepat mengumpulkan segala
barang bukti dan melakukan profiling terhadap lingkungan dan ciri-ciri pelaku. Khusus terkait ciri pelaku,
hasil otopsi tubuh korban memberikan kami petunjuk yang penting untuk profil pelaku. Hasil otopsi
menunjukkan bahwa korban mengalami luka di bagian kelaminnya akibat penetrasi benda tumpul yang
merupakan hasil dari kegiatan seksual. Hal ini mencoret kemungkinan-kemungkinan lain dimana pelaku
bisa saja memiliki motif dendam atau alasan lain non-seksual, disini kemudian kami menentukan profil
bahwa pelaku adalah seseorang yang memiliki gangguan psiko-seksual dan potensial pedofil.

Kami melakukan apa yang disebut sebagai scientific criminal investigation (SCI). Secara singkat, yang
dimaksud dengan SCI adalah penggunaan pendekatan ilmiah dari berbagai disiplin ilmu dalam
pengungkapan kasus. Pada kasus ini, kami mengandalkan ilmu forensik dalam pengungkapan kasus. Ilmu
forensik disini bermanfaat ketika tim labfor dan dokfor menentukan sebab-sebab kematian dan ketika
kami menemukan bukti-bukti lain.

Kami berulang kali melakukan olah TKP dan melakukan wawancara dengan saksi-saksi sampai mencapai
jumlah 100 orang lebih. Sebelumnya, dengan ketelitian yang tinggi satgas berhasil menemukan sebuah
kardus yang ternyata berisikan pakaian dan kaos kaki dari PNF yang dibuang oleh tersangka dalam
melaksanakan kejahatannya.

Selain bukti di atas, kami juga memperoleh dan mengolah data CCTV yang merekam seseorang yang
sedang membuang kardus yang diduga berisi korban. Pada prosesnya, kami kemudian menentukan
enam orang potential witness atau saksi potensial yang statusnya bisa saja ditingkatkan sebagai
tersangka apabila terdapat dua alat bukti yang cukup.

Salah satu dari potential witness tersebut adalah AD. AD diketahui sebagai orang yang suka
mengumpulkan anak-anak untuk jajan dan bermain di warungnya. AD juga merupakan seorang residivis
kasus narkoba dan tinggal di dekat tempat tinggal korban dalam sebuah rumah tidak tetap. Diketahui
juga bahwa AD suka mengajak menginap anak-anak di rumahnya. Beberapa anak mengatakan bahwa AD
suka memaksa saat mengajak menginap dan mereka tidur bercampur laki-laki dan perempuan. AD juga
membentuk geng yang beranggotakan anak-anak dengan nama geng Boel Tacoes.

Kami kemudian menemukan sebuah terobosan dari hasil wawancara terhadap para saksi yang dilakukan
oleh para Polwan dari Subdit Renakta dimana salah satu saksi mengaku pernah dicabuli oleh salah satu
potential witness atas nama AD. AD ini sudah kami tahan sebelumnya karena terbukti dari tes urine yang
mengandung narkoba dan juga mengajak anak-anak untuk mencoba narkoba, dengan adanya pengakuan
ini kami menentukan AD sebagai tersangka kasus pencabulan, walaupun bukan PNF. Penetapan status
tersangka ini memungkinkan kami untuk menggeledah rumah AD untuk mencari alat bukti.

Para Polwan bersama dengan Kapolda saat bertugas hingga malam hari

Di rumah AD kami menemukan bukti-bukti berupa bercak sperma, bercak darah, dan buku-buku yang
sudah dalam kondisi terbakar. Sperma, darah, dan lainnya kami kumpulkan melalui proses swabbing.
Melalui proses biologi forensik terbukti bahwa sperma yang ada di rumah AD merupakan sperma milik
AD dan bercak darah di rumahnya adalah milik korban PNF. Jika pada titik ini bukti mengarah kearah AD,
bukti paling kuat terdapat di dalam kaos kaki milik korban PNF yang dibuang di dalam kardus kedua
dekat dengan mayat PNF sebagaimana sudah disebutkan di atas. Di dalam kaos kaki tersebut ditemukan
folikel yang melalui tes DNA diketahui merupakan milik AD. Sebagaimana telah diberitakan, AD mengakui
perbuatannya setelah dikonfrontasikan dengan bukti-bukti yang ada.

Perkiraan jarak antara TKP dan rumah korban


Dalam pengakuannya, AD menyatakan bahwa dirinya mengajak PNF untuk masuk ke warungnya pada
pagi hari 2 Oktober 2015. PNF yang seperti banyak teman-temannya suka bermain di warung AD
menurut dan memasuki rumah AD. Di dalam rumah, AD mencoba melampiaskan nafsunya kepada PNF
setelah mengikatnya dan melucuti baju dan pakaian dalamnya. PNF memberontak dan AD
membungkamnya. AD kemudian membunuh PNF dengan cara mencekik dirinya dengan menggunakan
kabel charger ponsel yang dimilikinya. Untuk menyembunyikan aksinya, AD membawa PNF pada siang
hari 2 Oktober ke TKP sejauh 7 KM di dalam sebuah kardus, sekaligus membuang kardus berisi pakaian
PNF tidak jauh dari dibuangnya tubuh PNF.

Kaos kaki yang menjadi salah satu bukti kunci

Dari proses penyidikan kami mengetahui beberapa fakta yang penting. Fakta-fakta ini merupakan fakta
yang perlu kita perhatikan baik-baik karena beberapa di dalamnya termasuk hal-hal yang penting terkait
perlindungan anak-anak Indonesia.

Fakta pertama adalah mengenai terbiasanya anak-anak untuk pergi keluar rumah dengan pengawasan
yang minim. Kami menemukan fakta bahwa tersangka AD sering mengajak anak-anak di lingkungan
sekitarnya bermain dan menginap di rumahnya. Sebuah hal yang seharusnya tidak terjadi dimana anak-
anak pergi dan menginap di rumah orang lain tanpa izin dan dibiarkan oleh orang tua atau keluarganya.
Lebih lagi apabila penduduk sekitar mengetahui bahwa orang tersebut adalah seorang residivis kasus
narkoba, baru saja selesai menjalani hukuman, dan diketahui juga masih suka mengkonsumsi narkoba.
Beberapa saksi anak-anak dan AD sendiri mengakui bahwa ia masih mengkonsumsi narkoba dan bahkan
mengajak anak-anak untuk turut mengkonsumsi narkoba. Belum lagi dari anak-anak yang diajak
menginap tersebut ada yang dilecehkan oleh AD.

Faktor kedua adalah mengenai masyarakat yang permisif. Berkaitan dengan faktor pertama, faktor kedua
terfokus kepada masyarakat yang juga permisif melihat anak-anak yang bergaul di lingkungan yang
beresiko. Seharusnya anak-anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya akan tetapi juga
tanggung jawab masyarakat sekitar. Anak-anak seharusnya terjaga dari lingkungan yang beresiko, baik
secara tata ruang lingkungan maupun dari interaksi dengan orang-orang yang memiliki resiko melakukan
tindak kejahatan. Ini tentunya berkaitan juga dengan Faktor ketiga yaitu mengenai lingkungan yang
aman.
Masyarakat yang memperhatikan keselamatan anak sepantasnya memiliki lingkungan/tata ruang
lingkungan yang aman pula. Pada kasus PNF ini terungkap bahwa lingkungan dimana PNF tinggal amat
padat dan lokasi dimana AD tinggal cenderung tidak terpantau dengan baik oleh lingkungan sekitar.
Seperti saya bahas di tulisan yang lalu faktor lingkungan cukup penting dalam menciptakan kondisi aman
anak.

Saya berharap kasus PNF ini benar-benar menjadi pembelajaran yang serius bagi kita semua tentang
pentingnya melindungi anak. Mengutip pernyataan bapak Kapolda, bahwa kepedulian kita ini jangan
hanya terjadi ketika dan selepas ada kasus saja akan tetapi harus berlangsung terus menerus. Inisiatif
yang kami umumkan kemarin saya harapkan dapat menjadi pemicu bagi bangsa Indonesia untuk
bersama-sama seluruh stakeholder menguatkan upaya perlindungan anak Indonesia. Karena
perlindungan anak Indonesia merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa Indonesia.

Semoga kasus ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang melalui komitmen bersama yang kita
semua bangun dalam melindungi anak Indonesia. Mari kita kenang dan ingat anak-anak kita yang dahulu
sudah menjadi korban dengan bersama-sama memberikan perlindungan terbaik bagi anak-anak
Indonesia di masa depan.

Salam

Anda mungkin juga menyukai