Anda di halaman 1dari 5

Thomas Muller: Menjadi Biasa Saja adalah Luar

Biasa
April 30, 2015

Kemenangan di sepakbola selalu ditentukan oleh gol penting. Gol menjadi penting ketika terjadi
begitu spektakuler atau pada waktu yang tepat dan menentukan. Salah satu gol spektakuler
yang menjadi buah bibir fans dan para pandit adalah gol ke-3 FC Bayern ke gawang FC Porto
yang dicetak oleh Robert Lewandowski dalam partai fenomenal yang berakhir 6-1 untuk The
Bavarians. Gol ini menjadi spektakuler mengingat The Bavarians melakukan interpassing
sebanyak 26 kali tanpa terebut lawan. Sungguh cantik!

Gol penting lain adalah gol semata wayang Mario Gotze ke gawang Argentina pada final Piala
Dunia Brasil 2014. Menit 113 di Estadio de Maracana, Rio De Jeneiro menjadi petaka bagi Lionel
Messi dkk saat Schurlle mengirimkan umpan silang lob brilian ke Gotze. Tanpa ampun Gotze
mengontrol dengan dada dan menghunjamkan gol terpenting sepanjang 2014. Gol ini menjadi
buah bibir karena keindahannya, plus tentu saja datang di waktu yang tepat. Menentukan!

Pemain Penentu
Fans akan selalu mengingat Lewandowski dan Gotze sebagai pencetak dua gol istimewa ini.
Cantik, brilian dan menentukan! Meski demikian, kita tak boleh lupa bahwa gol dalam sepakbola
adalah sebuah proses. Terjadinya sebuah gol melalui proses taktikal yang rumit, dimana semua
pemain memainkan fungsi masing-masing sesuai taktik tim. Juga menyesuaikan dengan situasi
yang terjadi akibat head to head dengan taktik lawan.

Dalam proses taktikal tersebut, selalu ada pemain penentu. Menariknya dua gol istimewa di atas
terjadi akibat peran penting satu orang yang sama. Ya, dialah Thomas Muller. Pada gol
Lewandowski ke gawang Fabiano pekan lalu, FC Bayern melakukan banyak inter passing untuk
membangun serangan. Fase terpenting adalah saat Rafinha menginisiasi serangan di kanan,
mengirim umpan ke Lahm yang dilanjutkan lewat kombinasi dengan Alonso dan Thiago. Lalu
diteruskan dengan dua umpan silang Lahm dan Muller.
Hebatnya sebelum Muller mengumpan Lewandowski, ia mengambil peran penting pada proses gol
tersebut tanpa sekalipun menyentuh bola. Ia hanya bergerak melebar dan turun ke bawah untuk
ciptakan menang jumlah orang di pinggir dengan berdiri di antara Martin Indi (LB) dan Marcano (CB).
Posisi berdiri brilian yang men-stretch Marcano keluar dari zona tengah dan memaksa dua gelandang
Porto Casamiro dan Herrera mengambil kedalaman.

Situasi ini membuat Thiago bebas. Petaka kembali terjadi karena posisi berdiri Muller membuat Indi
pada situasi 1v2 harus menjaga antara Muller dan Lahm. Dalam rekaman terlihat, 1 step Indi sempat
ingin press Muller. Akibatnya Thiago yang bebas juga dapat kirim chip pada Lahm yang bebas. Masih
di posisi berdiri yang sama, Muller mendapat keuntungan di halfspace akibat renggangnya Indi dan
Marcano. Lobang ini dilihat oleh Lahm yang sekali sentuh kirim ke Muller dan dilanjutkan oleh assist
ke Lewandowski. Boom!

Proses mirip terjadi pada gol Gotze di final Brasil 2014. Pada akhir pertandingan, Loew yang pada
awalnya tempatkan Muller di sayap kanan, memasukkan Gotze untuk gantikan Klose. Ini ialah signal
Loew ingin Muller bermain sebagai false nine di depan. Taktik ini moncer. Dalam satu kesempatan
Schurlle penetrasi dribbling di sisi kiri, Muller turun menjadi gelandang diantara lini bek dan
gelandang Tim Tango.

Demichelis pun dilematis. Jika ia press Muller, ada lobang di belakangnya. Sebaliknya, jika ia stay
Muller punya space untuk dipassing, berbalik dan bahayakan gawang Romero. Demichelis pun
memilih untuk press Muller dan akibatnya kita semua tahu. Gotze merengsek ke lobang yang
ditinggalkan Demichelis dan Adios Argentina! Hebatnya, Muller menjadi penentu penting dalam
proses gol tanpa sedikitpun ia harus menyentuh bola.

Pemain Biasa Saja


Kegilaan cara bermain Thomas Muller menjadi fenomena baru di sepakbola modern.
Kehadirannya di posisi yang tepat pada waktu yang tepat saat berlaga di lapangan juga terjadi
pada perjalanan karirnya. Setelah musim impresif dengan FC Bayern II di Bundesliga Divisi 3,
Muller berhasil meraih kontrak fulltime di tim utama pada musim 2009/2010. Direktur FC Bayern
ketika itu berencana meminjamkannya ke klub kecil agar ia makin matang.
Rencana tersebut gagal. Kehadirannya di tim utama bersamaan dengan hadirnya Louis Van
Gaal. Sebagai guru taktik yang baik, Meneer Van Gaal suka dengan pemain muda potensial
seperti Muller. LVG kemudian bukan saja memberi kesempatan bermain, tetapi juga peran
penting sebagai pemain No. 10 pada formasi 1-4-2-3-1 nya. Ini membuatnya juga terpanggil ke
National Maanschaft.

Sebagai pemain top level, ia tidak punya keistimewaan. Ia punya atribut lengkap kaki kiri, kanan
dan kepala yang dikategorikan lumayan. Tetapi tidak ada satupun atribut teknisnya yang bisa
dibilang super. Muller tidak terlalu cepat dan kuat secara fisik. Ia malah sering dibilang “tukang
diving” karena sering jatuh. Ini dibantahnya dengan katakan ia memang lemah dalam duel jarak
dekat. Soal olah bola, kelasnya medioker. Ia tidak hebat dalam dribble, apalagi situasi 1v1.

Berbeda seperti Messi dan Ronaldo yang sangat proaktif, Muller adalah pemain reaktif adaptif.
Messi adalah False 9 tulen yang secara aktif dengan skill individunya berusaha menyobek
pertahanan lawan. Sedangkan Ronaldo adalah tipe striker melebar yang cepat dalam penetrasi
dan counter attack. Lawan selalu dituntut untuk menyesuaikan keduanya. Nah, Muller
sebaliknya. Ia justru melihat dulu defending tactic lawan, baru kemudian beradaptasi dengan
eksplorasi lobang-lobang yang tersedia.

Kemampuannya yang biasa saja membuatnya memiliki kemampuan “read the game” ulung.
Muller selalu bisa melihat situasi permainan, melihat dimana adanya ruang dan mengambil
posisi tepat di ruang tersebut. Kecerdikan dalam posisi berdirinya membuat ia memiliki lebih
banyak ruang dan pastinya ia lebih punya banyak waktu untuk mengambil keputusan. Tentu saja
keputusan dan eksekusi sepakbolanya jadi begitu prima.

Selain kelihaian pergi ke ruang kosong diantara lawan. Ia juga sangat pandai melihat posisi
kawan yang berada pada arah serang tim. Ia tidak sekedar pergi mencari ruang kosong, tetapi
mencari ruang kosong yang dekat dengan pemain lain. Sehingga kehadirannya di ruang tersebut
mampu menciptakan jumlah lebih 2v1 atau 3v2. Di FC Bayern, ia sering berpartner dengan
Lahm atau Robben di pinggir. Atau dengan Alonso atau Thiago di tengah.

Itulah bagi pemirsa awam, Muller seperti pemain “ngacak” yang pergi kesana kemari. Saat
bermain No.10 atau No.9, ia sering melebar dan turun ke gelandang. Saat main No.7, ia justru
ke dalam dan ke depan. Semuanya ia lakukan tidak secara instingtif, tetapi hasil observasi
kemana ia harus berlari untuk selalu ciptakan overload di suatu sektor tertentu.
Pengambilan posisinya sering pengaruhi lawan dan buka ruang baru untuk kawan. Ingat dua gol
yang jadi pembuka tulisan ini. Keduanya, Muller ciptakan ruang untuk Lahm dan Gotze. Hal
sebaliknya terjadi bila lawan tidak terpengaruh untuk mem-pressnya. Muller dengan senang hati
menerima bola di ruang lebar tanpa terjaga. Tak heran, Muller termasuk pemain yang secara
statistik jarang menyentuh bola. Bahkan, jumlah sentuhannya sering lebih sedikit dari kiper
Manuel Neuer sekalipun (lihat boks).

Produk Sistem
Gaya bermain Thomas Muller sungguh fenomenal. Ia menjuluki dirinya sebagai Raumdeuter.
Dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Space Investigator” atau “Penyelidik Ruang” dalam
bahasa kita. Rob Brown, seorang pandit papan atas menulis sebuah analogi cerdas. Thomas
Muller adalah Clark Kent saat ia menguasai bola. Sederhana dan begitu rendah hati dengan
bola. Seketika saat temannya menguasai bola, Muller menjelma menjadi Superman.

Kemunculan Thomas Muller diyakini bukanlah suatu kebetulan. Ia merupakan representasi


produk sebuah sistim canggih yang telah direncanakan sebelumnya. Pasca Euro 2000, dimana
Panser gagal total terjerembab di penyisihan, DFB melakukan revolusi pada sistim
pembinaannya. Salah satu poin penting adalah pembinaan sepakbola Jerman harus mencetak
pemain yang lebih memiliki teknik mumpuni dan kreativitas taktik.

Revolusi filosofi ini terkait pada proses talent scouting. Dimana Jerman harus lebih memilih
pemain berteknik, ketimbang pemain yang besar, kuat dan cepat. Di samping talent scouting,
akademi-akademi juga diminta terus kedepankan latihan yang berbasis pada pengembangan
teknik-taktik sepakbola.

Langkah lain yang dilakukan DFB adalah menyewa jasa Marcel Lucassen, pelatih spesialis
teknik sepakbola yang bekerja untuk Timnas Junior seluruh kelompok usia. Penulis yang
kebetulan pernah berkesempatan mengikuti Kursus Football Technique dengannya menjadi
tidak heran muncul pemain cerdas seperti Thomas Muller.

Penyebabnya tak lain adalah filosofi latihan yang ditawarkan Lucassen adalah latihan teknik
sepakbola berbasis 11vs11. Secara ekstrim, Lucassen bahkan mengatakan latihan teknik
sepakbola terbaik adalah Game 11vs11. Tentu saja pada level tertentu, Game 11vs11 harus
disederhanakan menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti 4v4, 4v2, 4v1,4v0, hingga 1.
Hanya saja apapun bentuk latihan teknik tidak boleh keluar dari konteks Game 11vs11.
Konteks Game 11vs11 ini terkait dengan Posisi, Momen, Arah dan Kecepatan. Semua latihan
teknik yang dibuat harus mencakup keputusan dan eksekusi empat aspek tadi dalam Game
11vs11. Jika tidak ada dalam Game 11vs11, maka itu bukan latihan teknik sepakbola yang tepat.
Filosofi di balik ini semua adalah karakteristik sepakbola. Dimana sepakbola tak seperti senam
yang teknik merupakan eksekusi teknik itu sendiri. Di sepakbola, teknik adalah eksekusi dari
keputusan. Tak heran semua latihan teknik pun harus berbalut dengan keputusan jika
pembinaan sepakbola ingin mencetak pemain masa depan seperti Muller.

Pemain Masa Depan


Berbagai deskripsi di atas membawa pada suatu kesimpulan bahwa Thomas Muller adalah
prototipe pemain masa depan yang ideal. Sepakbola modern makin hari makin compact dalam
hal defending. Kondisi ini membutuhkan pemain yang bisa senantiasa mencari dan menciptakan
ruang yang dapat dieksploitasi oleh dirinya, maupun temannya seperti Muller.

Kriteria ideal lainnya adalah kemampuan Muller bermain pada berbagai posisi. Kemampuan
mencari ruangnya membuat posisi bermain menjadi tak relevan. Ini jelas sesuai dengan tren
sepakbola modern yang tidak lagi zone dependant terkait posisi, tetapi space dependant terkait
pada ruang. Muller dapat bermain di No.7, 11, 10 ataupun 9. Sekedar meramal, tak menutup
kemungkinan di masa tuanya, Muller akan mengisi No.6.

Dua kemampuan di atas membawa pada pertimbangan teknis yang ekonomis. Yakni, Muller bisa
menghemat penggantian pemain. Utilitasnya membuat pelatih dapat melakukan perubahan
taktik tanpa harus mengganti pemain. Ia dapat berganti posisi sesuai kebutuhan. Bahkan, tanpa
harus mengubah posisi, ia dapat mengubah fungsi dan cara bermainnya. Penulis kini menunggu
para pembina usia muda Indonesia mampu “mencari ruang” untuk dapat cetak pemain luar biasa
karena biasa saja. Ditunggu Thomas Muller Indonesia! <>

@ganeshaputera
Tulisan asli dimuat di www.fandom.id

Anda mungkin juga menyukai