Proyek OVO dimulai sekitar 2,5 tahun lalu, tetapi kami baru efektif beroperasi
pada 8 bulan terakhir. Mengenai ide awal pendirian, saat itu saya bersama
kolega melihat ada banyak masyarakat Indonesia yang ingin berpartisipasi
dalam ekonomi digital.
Dengan adanya ekonomi digital, opportunity jadi lebih luas, khususnya untuk
para merchant. Mereka melihat, sebelumnya hanya bisa berjualan pada radius
beberapa kilometer dari tempatnya. Namun, dengan adanya digital mereka
bisa jualan ke seluruh Indonesia.
Kami juga melihat sekitar 2 sampai 3 tahun lalu sedang tren e-commerce.
Banyak sekali pedagang mulai dari UMKM, segmen menengah, sampai yang
besar ingin berpartisipasi, tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya.
Jadi, mereka tidak bisa ikut dalam ekonomi digital. Kami cari tahu kendala
mereka masuk transaksi digital apa? Salah satu kendala terbesar adalah
pembayaran.
Seperti kita ketahui, Indonesia sangat cash base society. Sekitar 90% transaksi
masih menggunakan cash, sekitar 9% menggunakan kartu, dan masih kecil
sekali yang menggunakan Internet atau smartphone.
Dengan situasi seperti ini, saya melihat ada kesempatan untuk membangun
ekosistem terbuka yang memungkinkan siapapun yang mau bergabung itu
bisa. Di dalam ekosistem, kami menyediakan platform pembayaran melalui
cara-cara online.
Ekosistem yang kami buat juga sangat fleksibel untuk mengatasi kendala soal
payment di Indonesia. Tidak hanya untuk online payment, tetapi juga
dimungkinkan untuk offline payment.
Pada awal memulai bisnis ini, kami butuh mitra strategis. Akhirnya, kami
bekerja sama dengan Lippo Group, karena kami lihat ritel ekosistemnya Lippo
Group kuat. Melalui kerja sama itu, kami menggandeng dulu merchant yang
ada di dalam ekosistemnya Lippo Group untuk masuk ke dalam platform.
Begitu platform dari merchant sudah mulai bergulir, kami langsung buka
peluang ke berbagai merchant. Sebenarnya, pada awal juga kami terbuka,
tidak ada konsep eksklusif yang artinya semuanya bisa bergabung.
OVO itu sebenarnya independent company, dan kami punya manajemen yang
terpisah. Shareholder kami juga tidak hanya Lippo. Dari luar melihatnya
ownership kami Lippo. Sebenarnya tidak juga karena kami ada beberapa
shareholder juga.
Kami juga sudah bekerja sama dengan lebih dari 30.000 merchant, dan
masyarakat bisa bertransaksi melalui OVO di sekitar 404 pusat perbelanjaan.
Tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi sudah menyebar ke kawasan timur
Indonesia.
Dari sisi transaksi, berdasarkan volume amount, saya bisa bilang kami adalah
the largest payment company di Indonesia. Volume transaksinya terus
berkembang pesat, per bulan bisa mencapai ratusan miliar, hampir mencapai
Rp1 triliun.
Kalau kami lihat, para pengguna itu transaksinya cukup besar, tidak hanya
untuk transaksi online, tetapi juga transaksi offline misalnya untuk pembelian
elektronik.
Apakah sebagian besar merchant mitra OVO merupakan milik Lippo Group?
Tidak. Sebagian besar mitra yang bekerja sama dengan kami justru di luar
Lippo Group. Dari 404 pusat perbelanjaan yang bekerja sama dengan kami,
yang dari Lippo hanya sekitar 60—70 mal.
Kami mau memosisikan OVO sebagai primary wallet para pengguna. Goal
kami adalah OVO menjadi wallet online bagi masyarakat Indonesia. Mulai dari
pengguna bangun tidur, hingga mau tidur lagi end-to-end selalu menggunakan
OVO.
Kami juga sudah menjalin kemitraan dengan Grab, kami menjadi wallet-nya
Grab. Ketika makan siang, pengguna juga bisa bertransaksi menggunakan OVO
di sejumlah restoran. Selain itu, belanja kebutuhan sehari-hari pengguna juga
bisa bertransaksi di sejumlah supermarket yang menjadi mitra kami.
Dengan GrabPay kami kerja sama secara komersial dalam jangka pendek.
Artinya bahwa pembayaran lewat aplikasi Grab itu melalui OVO. Kami sudah
buat yang namanya single wallet, atau unified wallet. Dalam waktu dekat ini
kami akan luncurkan unified wallet yang bisa dipakai di aplikasi OVO, dan
wallet yang sama juga dipakai di aplikasinya Grab.
Jadi misalnya, pengguna top up saldo ke aplikasi OVO, uang itu muncul juga di
aplikasi Grab. Uangnya yang mengelola adalah OVO. Dana yang ada di aplikasi
itu dikelola oleh OVO, karena kami sebagai payment service provider (PSP).
Dengan penambahan jumlah merchant, apakah transaksi pada tahun ini bisa
meningkat signifikan?
Untuk bisa mencapai transaksi, fokus kami adalah membuat merchant masuk
ke dalam ekosistem kami. Dari sisi konsumen, kami juga buat sistemnya lebih
mudah agar volume transaksi terus naik.
Menurut Anda apa tantangan terbesar bagi industri digital payment sejauh
ini?
Kompetisi kami sekarang nomor satu justru dari cash, karena 90%
masyarakat di Indonesia masih memilih bertransaksi menggunakan cash.
Proposisi nilai kami kepada para pengguna adalah bagaimana kami membuat
agar bertransaksi di OVO bisa senyaman mungkin, dan lebih gampang dari
cash.
Itu memang tidak gampang, karena cash lebih gampang. Itu adalah tantangan
kami untuk membuat transaksi jadi lebih mudah dan nyaman seperti halnya
bertransaksi menggunakan cash.
Bagaimana Anda melihat persaingan pada digital payment sejauh ini?
Dari sisi pelaku usaha, yang saya coba dorong adalah kami bekerja sama
bareng. Jangan saingan deh, karena ekosistem kami masih kecil. Buat apa kita
taruh infrastruktur bertumpuk-tumpuk, malah lebih mahal biayanya.
Berkompetisi boleh saja, tetapi kenapa dari sisi infrastruktur kita tidak buat
bareng-bareng saja?
Mimpi besarnya adalah menjadi The number one payment and only self
services di Indonesia. Apa maksudnya? Pertama, menjadi primary wallet atau
online wallet agar di manapun dan kapanpun setiap orang bisa gunakan
aplikasi OVO.
Kedua, sisi financial services ini kami ingin kembangkan. Jadi, kami bisa
memberikan financial services product ke pelanggan-pelanggan kami.
Pasti kami akan terus memperluas pasar di luar Jawa. Kami melihat potensi
pertumbuhan di luar Jawa besar sekali. Ekonomi Indonesia yang bergantung
ke Jawa, dan Jakarta khususnya, semakin sedikit.
Saya lihat peraturan yang ada sekarang ini sudah oke. Jadi, hal-hal yang paling
penting itu yang diatur. Artinya, tidak semuanya diatur, pelaku industri diberi
keleluasaan untuk membedakan produknya.
Sebenarnya kita bisa saling melengkapi, karena fintech bukan bank, dan kami
juga tidak mau menjadi bank. Untuk penyimpan dananya juga sudah diatur
oleh BI.
Menurut saya itu perlu, karena dana ini adalah dana masyarakat. Kami juga
tidak mau pemain fintech memakai dananya untuk kepentingan lain-lain,
sehingga dana masyarakat hilang. Artinya, partnership antara fintech dan
bank itu justru perlu diperkuat.