Anda di halaman 1dari 13

RELASI HUKUM ISLAM, PERATURAN PERUNDANGAN DAN PARIWISATA

HALAL

Diajukan dalam Rangka Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester:

Hukum Bisnis

Dosen Pengampuh :

Prof. Dr. H. MUHAMMAD DJAKFAR, SH., M.Ag

Disusun Oleh:

Reza Adi Novit (17510105)

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2019
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis
panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-NYA yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
serta inayah-NYA kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
Hukum Bisnis yang berjudul “Relasi Hukum Islam, Peraturan Perundangan dan Pariwisata
Halal” ini dengan lancar, shalawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kebodohan menuju zaman
yang penuh dengan teknologi yang telah kita rasakan dampaknya pada hari ini.
Tugas yang berjudul “Relasi Hukum Islam, Peraturan Perundangan dan Pariwisata Halal”
disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Hukum Bisnis jurusan
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Adapun tugas Hukum Bisnis ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunan makalah.
Untuk itu penulis tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan kesehatan sehingga bisa menyelesaikan tugas ini.
2. Orang tua yang selalu memberi dukungan serta rela menjadi donatur demi kelancaran
penyusunan tugas Kewarganegaan ini.
3. Dosen Pancasila Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH.,M.Ag yang telah
bersedia membimbing penulis dalam penyusunan tugas ini.
4. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.

Dalam penyusunan tugas ini penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini jauh dari kata
sempurna, karena kesempurnaan semata hanya milik Allah SWT, untuk itu segala kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis nantikan.

Malang, 7 Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pariwisata merupakan salah satu penyokong penting dalam pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Indonesia menjadi salah satu destinasi yang banyak dikunjungi
oleh turis mancanegara baik Asia maupun Eropa, karena keunikan dan kekayaan alam
dan budaya yang dimiliki.

Sumbangan Langsung: Kontribusi langsung dari Perjalanan dan Pariwisata


pada PDB diharapkan menjadi USD86.9 milyar (4.2% dari total PDB) pada tahun
2011, meningkat 6.4% p.a.ke USD161.7 milyar (4.4%) di tahun 2021 (dalam harga
tetap 2011): 6.4%. Sumbangan Keseluruhan: Kontribusi keseluruhan dari perjalanan
dan Pariwisata terhadap PDB, termasuk dampak ekonomi yang lebih luas
diperkirakan meningkat 6.1% p.a.dari USD223.5 milyar (10.9% PDB) pada tahun
2011 menjadi USD405.9 milyar (11.4%) pada tahun 2021: 6.1% 1. Berdasarkan data
tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pariwisata sangat membantu
pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Kesadaran akan produk halal saat semakin tinggi oleh karena itu produk
dengan label halal sangat diminati dan digandrungi, termasuk dalam sektor pariwisata.
Munculnya konsep pariwisata halal didasari atas perilaku seorang konsumen muslim
yang peduli terhadap konsumsi produk dan layanan yang sesuai dengan syariah ketika
melakukan kunjungan wisata.
Oleh karena itu, berbagai negara di dunia baik negara dengan mayoritas
penduduk muslim dan non muslim, berlomba-lomba untuk mengeksplorasi pariwisata
halal. Beberapa infrastruktur penunjang seperti produk, fasilitas, dan layanan bagi
para wisatawan muslim mulai dikembangkan, antara lain dengan penyediaan restoran
halal, pembangunan hotel-hotel syariah, dan pembangunan musholla di sekitar tempat
wisata.
konsep Pariwisata Halal di Indonesia harus didasarkan pada landasan hukum
Islam dan Perundangan yang ada di Indonesia serta relevansi antara keduanya untuk
menjadikan Pariwisata Halal di Indonesia mampu bersaing dalam persaingan global

1
Myra Gunawan dan Oliver Ortis, Rencana Strategis : Pariwisata Berkelanjutan dan Green Jobs untuk
Indonesia (Jakarta : International Labour Organization),Halaman.13
untuk menggaet para wisatawan muslim dunia, serta menjadikan Indonesia menjadi
negara dengan destinasi wisata halal yang unggul.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Pariwisata Halal di Indonesia?
2. Bagaimana Landasan Hukum Pariwisata Halal di Indonesia?
3. Bagaimana Relasi Antara Pariwisata Halal, Hukum Islam, dan Peraturan
Perundang undangan ?
1.3 Tujuan
1. Memahami Konsep Pariwisata Halal di Indonesia
2. Memahami Landasan Hukum Pariwisata Halal di Indonesia
3. Memahami Relasi Antara Pariwisata Halal, Hukum Islam, dan Peraturan
Perundang undangan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pariwisata Halal di Indonesia

Secara etimologi, kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri atas dua
kata yaitu pari dan wisata. Pari berarti “banyak” atau “berkeliling”, sedangkan wisata berarti
“pergi” atau “bepergian”. Atas dasar itu, maka kata pariwisata seharusnya diartikan sebagai
perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar, dari suatu tempat ke tempat lain,
yang dalam bahasa Inggris disebut dengan kata “tour”, sedangkan untuk pengertian jamak,
kata “Kepariwisataan” dapat digunakan kata “tourisme” atau “tourism” (Yoeti, 1996:112).2
Pemahaman akan pengertian dari makna pariwisata memiliki banyak definisi, ini
salah satu pengertian pariwisata menurut para ahli. Menurut Hunziger dan krapf dari Swiss
dalam Grundriss Der Allgemeinen Femderverkehrslehre, menyatakan pariwisata adalah
keseluruhan jaringan dan gejala-gejala yang berkaitan dengan tinggalnya orang asin disuatu
tempat dengan syarat orang tersebut tidak melakukan suatu pekerjaan yang penting (Major
Activity) yang memberi keuntungan yang bersifat permanent maupun sementara. (Hunziger,
2008).
Menurut definisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat
lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari
keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi
sosial, budaya, alam dan ilmu. Suatu perjalanan dianggap sebagai perjalanan wisata bila
memenuhi tiga persyaratan yang diperlukan, yaitu :
1. Harus bersifat sementara, artinya tidak menetap.
2. Harus bersifat sukarela, artinya kesadaran minat sendiri bukan karena dipaksa.
3. Tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah atau bayaran. (Mariyani,2015).3
Pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai Negara
sudah tidak diragukan lagi. Banyak negara sejak beberapa tahun terakhir menggarap
pariwisata dengan serius dan menjadikan pariwisata sebagai sektor perolehan devisa,
penciptaan lapangan kerja, maupun pengentasan kemiskinan.4

2
I Ketut Suwena dan I Gusti Ngurah Widyatmaja, Pengetahuan Ilmu Pariwisata, Pustaka Larasan, Bali, 2017,
halaman. 15
3
Isdarmanto, Dasar-dasar kepariwisataan dan Pengelolaan Destinasi Wisata, Gerbang Media Aksara dan
StiPrAm, Yogyakarta, 2016, halaman. 5
4
(I Gde Pitana, dan I Ketut Surya Diarta, Pengantar Ilmu Pariwisata, Yogyakarta, C.V Andi Offset, 2009), 2
Kata halal berasal dari bahasa Arab halla, yahillu, hillan, wahalalan yang memiliki
makna dibenarkan atau dibolehkan oleh hukum syarak. Memiliki arti sebagai sesuatu yang
dibolehkan atau diizinkan oleh Allah (Al-Qhardhawi, 1994). Kata tersebut merupakan
sumber utama yang tidak hanya terkait dengan makanan atau produk makanan, tetapi juga
memasuki semua aspek kehidupan, seperti perbankan dan keuangan, kosmetik, pekerjaan,
pariwisata, dan lainnya. Sementara itu, pariwisata halal adalah salah satu konsep yang
muncul terkait dengan halal dan telah didefinisikan dalam berbagai cara oleh banyak ahli.
Sebagian yang mendefinisian wisata halal (halal tourism) dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan definisi tersebut, dasar-dasar pariwisata halal termasuk komponen-komponen
seperti: makanan halal, transportasi halal, hotel halal, logistik halal, keuangan islami, paket
perjalanan islami, dan spa halal.

Tabel 2. Definisi Wisata Halal (Halal Tourism)

Penulis Definisi
Battour dan Ismail (2016) Kegiatan dalam pariwisata yang ‘diizinkan
atau dibolehkan’ menurut ajaran Islam.

Mohsin et al. (2016) Penyediaan produk dan layanan pariwisata


yang memenuhi kebutuhan wisatawan
muslim seusai ajaran agama Islam.

Halbase (2015) Menawarkan paket wisata dan tujuan yang


khusus untuk memenuhi pertimbangan dan
kebutuhan muslim.

Banyak para pakar ekonomi atau lebih spesifiknya para pemasar yang sangat
memperhatikan tentang sebuah label dalam kemasan produk. Label juga bisa diartikan
sebagai gantungan sederhana yang ditempelkan pada produk atau gambar yang dirancang
secara rumit dan menjadi bagian dari kemasan produk. Label bisa membawa nama merek
produk atau menjadi sebuah informasi terkait produk.6

5
Eka Dwi Santriana dan Hayyun Durrotul Faridah, Wisata Halal : Perkembangan, Peluang, dan Tantangan.
Journal of Halal Product and Research (JHPR) Vol. 01 No.02, Mei-November 2018. Halaman.34
6
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Jakarta, PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2000, halaman. 478
Memperoleh sertifikat halal telah diakui sebagai strategi pemasaran yang efektif dan
signifikan dalam meningkatkan loyalitas pelanggan, meningkatkan citra dan reputasi
organisasi dan meningkatkan margin laba perusahaan. Sertifikasi halal juga meningkatkan
kepercayaan konsumen dalam keputusan pembelian.7

Selain itu predikat halal yang melekat pada istilah wisata akan mengandung
konsekuensi yang berbeda dengan wisata konvensional yang sekularistik yang selama ini
telah sedemikian maju dan banyak dilakukan di berbagai belahan dunia, tanpa kecuali di
Indonesia sendiri yang dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Tentu saja dari aspek
karakteristik, wisata halal jelas berbeda dengan wisata sekularistik yang samasekali
memisahkan antara aspek keduniawian yang profan dengan aspek keukhrawian yang
transenden. Bagi penganut paham konvensional, masalah wisata adalah sematamata urusan
duniawi yang tidak perlu disentuh, apalagi dipandu dengan ajaran syariat yang bersumber
dari wahyu, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Kerena itu dalam praktiknya, wisata konvensional
yang sekuler berjalan dalam panduan sains yang bersumber dari hasil imajinasi (renungan)
akal manusia semata, sehingga dalam kenyataannya tidak jarang banyak yang kontra
produksi dengan ajaran syariat dalam Islam. Atau dengan kata lain, oleh karena wisata
sekuler itu lahir, selanjutnya tumbuh dan berkembang sesuai panduan sains, pada akhirnya
muncul perilaku dari para pelaku, dalam banyak hal, semata-mata untuk mengejar
keuntungan (profit) yang materialistik. Demikian pula bagi para wisatawan yang maindsetnya
telah terkomintanisasi filosofi wisata sekuler, mereka melakukan wisata hanyalah untuk
mencari kepuasaan diri secara lahir semata. Padahal sejatinya perjalanan wisata itu, menurut
ajaran Islam, tidak lepas dari motivasi (intensi) yang bersangkutan. Jika intensinya untuk
tadabbur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, maka bukanlah tidak mungkin perjalanan
wisata mereka akan mempunyai nilai ganda, yakni untuk refreshing dan bersenang-senang,
sekaligus mempunyai nilai ibadah. Inilah yang dimaksud bahwa ciri utama wisata halal yang
tidak terpisahkan antara nilai keduniawian dan keukhrawian sekaligus.8

2.2 Landasan Hukum Pariwisata Halal di Indonesia

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang


Kepariwisataan, Bab I disebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan

7
Normia Akmad Salindal, “Halal Certification Compliance and Its Effects On Companies, Innovative, and
Market Performance”. Journal Of Islamic Marketing. Vol. 10. No. 2, 2019, Halaman.591
8
Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal Perspektif Multidimensi, Malang, UIN Maliki Press, 2017, Halaman.
30-31
oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Kepariwisataan merupakan keseluruhan
kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan
dan masyarakat setempat,sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Dalam pandangan Islam, pertama, perjalanan dianggap sebagai ibadah,karena
diperintahkan untuk melakukan satu kewajiban dari rukun Islam, yaitu haji pada bulan
tertentu dan umrah yang dilakukan sepanjang tahun ke baitullah. Kedua, dalam pandangan
dunia Islam, wisata juga terhubung dengan konsep pengetahuan dan pembelajaran. Hal ini
menjadi perjalanan terbesar yang dilakukan pada awal Islam dengan tujuan mencari dan
menyebarkan pengetahuan (Q.S. al-Taubah: 112).Ketiga, tujuan wisata dalam Islam adalah
untuk belajar ilmu pengetahuan dan berpikir. Perintah untuk berwisata di muka bumi muncul
pada beberapa tempat dalam Al-Qur'an (lihat Q.S. al-An’am: 11-12 dan al-Naml: 69-70.
Keempat, tujuan terbesar dari perjalanan dalam wisata Islam adalah untuk mengajak orang
lain kepada Allah dan untuk menyampaikan kepada umat manusia ajaran Islam yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini adalah misi Rasul dan para sahabat beliau.
Para sahabat Nabi Muhammad menyebar ke seluruh dunia, mengajarkan kebaikan dan
mengajak mereka untuk menjalankan kebenaran. Konsep wisata dikembangkan untuk
mencapai tujuan tersebut. Akhirnya, wisata Islam juga termasuk kegiatan perjalanan untuk
merenungkan keajaiban penciptaan Allah dan menikmati keindahan alam semesta ini,
sehingga akan membuat jiwa manusia mengembangkan keimanan yang kuat dalam keesaan
Allah dan akan membantu seseorang untuk memenuhi kewajiban hidup (Jaelani, 2016).9

Setting Peraturan Perundangan Untuk Bisnis Pariwisata


Sebagai aspek dari hukum kepariwisataan, hukum bisnis pariwisata Indonesia didasarkan
pada :
1. Undang-Undang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990, beserta
seluruh peraturan pelaksanaannya;

9
Aan Jaelani, Halal tourism industry in Indonesia: Potential and prospects. MPRA Paper No. 76237. 2017.
Halaman. 5
2. Undang-Undang Pengesahan Agreement Estabilishing the World Trade Organization,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, dimana tercakup di dalamnya GATS; dan
3. Peraturan perundangan yang terletak pada bidang hukum lain seperti Hukum
Penanaman Modal, Hukum Perusahaan, Hukum Perizinan, dan lain-lain.
Disamping mengatur kegiatan kepariwisataan secara keseluruhan, Undang-
Undang Kepariwisataan juga meletakan dasar-dasar ketentuan untuk mengatur
kegiatan bisnis pariwisata. Bisnis pariwisata dalam Undang-undang tersebut diberi
istilah usaha pariwisata, yaitu kegiatan yang bertujuan menyediakan jasa pariwisata,
mengusahakan objek dan daya tarik wisata, sarana wisata, dan usaha lain yang terkait.
10

Ciri mendasar yang membedakan hukum Islam dengan hukum modern adalah tentang
sumber yang menjadi dasar ketentuannya. Hukum Islam sudah pasti bersumber pokok
dari ajaran wahyu, baik al-Qur’an maupun Sunnah. Sedangkan hukum modern
merupakan produk sains (imajinasi/akal manusia) yang tidak jarang membuka ruang
ijtihad (debatable) sejalan dengan situasi dan kondisi yang sedemikian dinamis sesuai
tempat dan perubahan zaman. Pada zaman dulu, bisa jadi orang melakukan wisata
makruh hukumnya, karena dianggap kurang manfaatnya. Terlebih lagi jika destinasi yang
dikunjungi banyak praktik perbuatan yang kontra produksi dengan syariat Islam, maka
bukanlah tidak mungkin haram untuk dikunjungi. Sebab itu untuk mencarikan solusi,
sekaligus memberi alternatif kepada masyarakat agar terhindari dari yang haram akhirnya
dikembangkanlah derstinasi wisata baru yang sesuai dengan prinsip syariah.
Untuk itu, paling tidak secara fikih, hukum wisata halal adalah mubah, artinya boleh
dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Adapun karakteristik hukum Islam sebagai pembeda dari hukum modern, secara lebih
rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Merupakan bagian dari agama Islam
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan
akhlak Islam
3. Mempunyai dua istilah kunci, yakni syariat dan fiqih
4. Meliputi dua bidang utama, yakni ibadah dan muamalah
5. Strukturnya berlapis yang meliputi:
a) Nas atau teks al-Qur’an,

10
A.J. Muljadi, Kepariwisataan dan Perjalanan ,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada : 2012), Halaman. 13
b) Sunnah,
c) Hasil ijtihad yang memenuhi syarat,
d) Pelaksanaannya dalam praktik baik berupa keputusan hakim maupun yang
berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fiqih).
6. Mendahulukan kewajiban daripada hak, mengedepankan amal daripada pahala
7. Meliputi: a) hukum taklifi (al-ahkam al-khamsah), yakni Jaiz, sunnah, makruh, wajib
dan haram,16 dan b) hukum wadh’i yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi
atau terwujudnya hubungan hukum.
Menurut Fathi Ridlwan menyatakan bahwa ciri-ciri hukum islam ada tiga macam,
yaitu manusiawi (insani), bermoral (akhlaqi), dan universal.11

2.3 Relasi Antara Pariwisata Halal, Hukum Islam, dan Peraturan Perundang
Undangan
Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa pada dasarnya, segala bentuk muamalat
diperbolehkan kecuali ada daliI yang mengharamkannya. Artinya bahwa dalam
pariwisata pada hakikatnya diperbolekan tetapi terdapat hal-hal yang harus
diperhatikan dalam lingkup yang mencakup dan berhubungan dengan kepariwisataan.
Adanya hukum islam (fiqh) dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
pariwisata halal tidak lain adalah hanya untuk:
a. Menjamin berfungsinya keamanan mekanisme pasar secara efisien dan lancar
b. Melindungi Berbagai Jenis Usaha yang menyangkut dan berkaitan dengan
kepariwisataan
c. Membantu memperbaiki suatu sistem keuangan dan sistem perbankan
d. Memberikan perlindungan terhadap suatu pelaku ekonomi atau pelaku bisnis
e. Mewujudkan sebuah bisnis yang aman dan adil
Selain itu, adanya hukum islam juga berperan penting dalam memegang keamanan
yang berhubungan dengan halal dan haramnya kepariwisataan dilihat dari segala
aspek. Hal tersebut berhubungan dengan hak dari pengunjung khususnya yang
beragama Islam yang mengunjungi pariwisata yang mempunyai predikat halal.
Oleh karena itu dalam pariwisata halal juga memerlukan ketentuan yang
mengatur tentang perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen dewasa
ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna

11
(Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, Malang, UIN Maliki Press, 2016), 15-16
mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang
mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk
mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban. Pemerintah berperan
mengatur, mengawasi, dan mengontrol sehingga tercipta sistem yang kondusif saling
berkaitan satu dengan yang lain, dengan demikian tujuan menyejahterakan
12
masyarakat secara luas dapat tercapai.
Artinya pariwisata merupakan termasuk bisnis syariah dimana harus
mengikuti dan mentaati ketentuan dalam hukum bisnis syariah. Sesungguhnya
pandangan hidup Islam mempunyai relevansi dengan perilaku bisnis syariah. Artinya,
seorang muslim tentu mempunyai keyakinan bahwa hidup ini akan berakhir dengan
kematian. Di alam barzah akan ada siksa kubur bagi orang yang berbuat maksiat.
Pada hari berbangkit nanti setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas semua
perbuatannya. Perilaku bisnis seorang mukmin tentu akan berlangsung dengan penuh
kejujuran, transparan dan berkedilan. Seorang muslim yang dalam berbisnis mau
melakukan berbagai kecurangan atau manipulasi adalah sebagai indikasi dari
pandangan hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mereka perlu mendapat
bimbingan agar dapat melakukan aktivitas bisnis sesuai dengan ketentuan Allah dan
kelak akan memperoleh keberuntungan dunia dan akhirat.

12
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,hlm. 1
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pariwisata berperan penting dalam pembangunan ekonomi di suatu Negara.
Banyak negara menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor pendorong
pertumbuhan ekonomi negara. predikat halal yang melekat pada suatu pariwisata
wisata akan mengandung konsekuensi yang berbeda dengan wisata konvensional.
predikat halal merupakan strategi pemasaran yang efektif dan signifikan dalam
meningkatkan loyalitas pelanggan, meningkatkan citra dan reputasi organisasi dan
meningkatkan margin laba perusahaan. Sertifikasi halal juga meningkatkan
kepercayaan konsumen dalam keputusan pembelian.
Dalam membangun konsep pariwisata halal, harus memperhatikan dan
memadupadankan bisnis pariwisata dengan hukum yang ada baik Perundang-
undangan negara dan hukum islam. Pariwisata halal harus memiliki dasar hukum
islam yang kuat, mulai dari bentuk usaha berdasarkan konsep bisnis syariah dan juga
pengelolaan yang menggunakan basis manajemen syariah. Hal ini sangat penting
untuk menjadikan pariwisata sebagai media untuk mencari keuntungan dunia dan
keberkahan akhirat, sehingga terciptalah keseimbangan dunia dan akhirat.
3.2 Saran
Pariwisata halal di Indonesia harus dikembangkan dan dikelola atas konsep
dasar syariah yang baik, seperti pembangunan infrastruktur yang ada pada daerah
pariwisata halal yang meliputi : produk, fasilitas, dan layanan bagi para wisatawan
muslim. Dengan langkah itu secara tidak langsung akan berdampak pada
peningkatan jumlah kunjungan wisatawan muslim ke Indonesia serta penilaian
pariwisata halal yang baik dari dunia global.
DAFTAR PUSTAKA

Djakfar, Muhammad. 2016 . Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan


Nasional dengan Syariah, Malang: UIN Maliki Press, 2016
Djakfar, Muhammad. 2017. Pariwisata Halal Perspektif Multidimensi, Malang: UIN Maliki
Press
Gunawan, Myra dan Ortis, Oliver. 2012. Rencana Strategis : Pariwisata Berkelanjutan dan
Green Jobs untuk Indonesia, Jakarta : International Labour Organization
Isdarmanto. 2017. Dasar-Dasar Kepariwisataan dan Pengelolaan Destinasi Pariwisata,
Yogyakarta: Gerbang Media Aksara dan STiPrAm, 2017
Jaelani, Aan. 2017. Halal tourism industry in Indonesia: Potential and prospects. MPRA
Paper No. 76237.
Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi
Kristiyanti, Siwi Tri Celina. 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika
Muljadi, A.J. 2012. Kepariwisataan dan Perjalanan ,Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Pitana, I. Gde dan I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata, Yogyakarta: C.V
Andi Offset
Salindal, Akmad, Normia. 2019. Halal Certification Compliance and Its Effects On
Companies, Innovative, and Market Performance, Journal Of Islamic Marketing Vol.10
No.2
Santriana, Eka. Dwi dan Faridah, Hayyun. Durrotul. 2018 Wisata Halal: Perkembangan,
Peluang, dan Tantangan. Journal of Halal Product and Research (JHPR) Vol. 01 No.02
Suwena, I. Ketut dan Widyatmaja, I. Gusti Ngurah. 2017. Pengetahuan Dasar Iilmu
Pariwisata, Bali: Pustaka Larasan

Anda mungkin juga menyukai